Orang yang membaca kitab Hakim-hakim akan secara cepat
dapat menemukan bahwa ada tema yang mengikat kisah-kisah para
hakim yang dicatat dalam zaman para hakim ini memerintah. Secara
umum dengan mudah orang menemukan adanya lingkaran kesesatan
(apostasy cycle). Dari zaman Ehud, hakim pertama yang disebutkan
sampai zaman Simson, sebagai hakim yang terakhir dituliskan,1ada
empat hal yang berulang,2 yaitu: Pertama, orang Israel berubah setia
dan menyembah ilah bangsa Kanaan; Kedua, Allah murka dan
menyerahkan mereka ke tangan orang Kanaan yang menindas dengan
keras; Ketiga, Orang Israel di tengah penderitaan berseru meminta
kelepasan kepada TUHAN; dan keempat, Allah membangkitkan
seorang hakim untuk melepaskan mereka dari cengkeraman orang
Kanaan sehingga terjadi situasi damai selama sang hakim memerintah.
Lingkaran kesesatan ini juga sering dipahami sebagai pengulangan atau
demonstrasi dari hukum dalam kitab Ulangan tentang ketaatan dan
ketidaktaatan. Terry Brensinger menulis bahwa hal ini bisa “dirangkum
dalam sebuah rumusan yang komprehensif: ketaatan kepada Allah
menghasilkan berkat, tetapi ketidaktaatan mengakibatkan bencana.”3
Senada dengan Bresinger, George F. Moore melihat akan nuansa
negatif dalam kitab Hakim-hakim sehingga ia menyatakan “maksud
dari penulis yaitu ...untuk memberi kesan kepada pembacanya
pelajaran bahwa ketidaksetiaan kepada Yahweh selalu dihukum.”4 Hal
itu pula yang membuat kitab Hakim-hakim dipandang dan dikategori-
kan oleh Martin Noth dan juga para pengikut kritik redaksi sebagai
bagian dari Deuteronomistic History.5 Menurut Noth, kitab Hakim-
hakim berisikan “variasi ekspresi yang terbatas yang menuntun kepada
5. Istilah ini sendiri memang tersebar luas setelah dicetuskan oleh
Martin Noth dalam bukunya Überlieferungsgeschichtliche Studien,
mengatakan bahwa “sulit untuk mengetahui siapa yang mula-
mula menemukan istilah ‘deuteronomistic’ ini.’’ The Future
of the Deuteronomistic History (Leuven: Leuven University Press, 2000), vi.
Deuteronomistic History yaitu sebuah istilah yang menunjuk kepada semua
kitab-kitab khususnya kitab nabi-nabi (nebiim) atau kitab sejarah yang memiliki
nuansa pengajaran yang dinyatakan dalam kitab Ulangan (Deuteronomic).
Raymond Person, The Deuteronomic School: History, Social Setting, and
Literature (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2002), 8. Ada berbagai pendapat
yang menjadi perdebatan atau diskusi dari para teolog mengenai hal ini:
Perdebatan tentang kitab mana saja yang dikategorikan sebagai deuteronimistic
history membuat kelima kitab yang sering disebut sebagai Pentateukh juga
terkena dampaknya. Apakah kitab Ulangan harus dikeluarkan sehingga sebutan-
nya menjadi Tetrateukh, atau justru menyatukan kitab Yosua ke dalam kitab
awal sehingga disebut Hexateukh; Perdebatan tentang siapa penulis Deutero-
nomistic History juga tidak kalah serunya. Apakah ini karya seorang seperti
hipotesa Martin Noth yang mengatakan bahwa penulisnya yaitu seorang “yang
terinspirasi oleh keingintahuan akan kekacauan sejarah yang ia saksikan.” Noth,
The Deuteronomistic History, 145. Gerhard Von Rad menduga penulisnya yaitu
seorang Lewi. Gerhard von Rad, Studies in Deuteronomy
ya tiga
redaktor yang disebut sebagai DtrG atau DtrH (history), DtrP (prophetic) dan
DtrN (nomistic). mer, The Future of the Deuteronomistic History, 2. Pendapat
Smend disebut sebagai pendapat dari Göttingen School. Frank Moore Cross
berpendapat bahwa hanya ada dua redactor yaitu (Dtr
). Frank Moore Cross, Canaanite Myth and Hebrew Epic:
Essays in the History of the Religion of Israel (Cambridge, MA: Harvard University
Press, 1973), 278–289. Pendapat Cross mewakili Harvard School. Person
menyatakan bahwa penulisnya bukan perorangan/individual, melainkan sebuah
sekolah/sekelompok orang yang “aktif di zaman pembuangan Babil dan kerajaan
Persia, yang berawal dalam birokrasi pada masa kerajaan [Yehuda].” Person, The
Deuteronomic School, 2, 7. Ringkasan dari semua ini juga dapat dilihat di Erik
Eynikel, The Reform of King Josiah and the Composition of the Deuteronomistic
History (Leiden: E. J. Brill, 1986), 7-31.
20
pengulangan yang sangat sering dari frase yang sederhana dan struktur
kalimat yang sama, yang di dalamnya ciri Deuteronomistic sangatlah
jelas terlihat.”6
Menariknya, tema tersebut seakan berhenti bersama dengan
kematian Simson. Pasal selanjutnya tidak lagi berbicara tentang kisah
yang senada dengan situasi Israel dengan para hakimnya. Bahkan bisa
dikatakan bahwa dalam lima pasal terakhir (pasal 17-21) tidak ada lagi
“hakim“ yang dibangkitkan oleh TUHAN. Tidak ada lagi bangsa Kanaan
yang digambarkan sebagai bangsa yang menjadi ancaman bagi keber-
langsungan hidup orang Israel. Selain memunculkan kisah yang lebih
bersifat internal (terjadi di tengah dan berkaitan dengan bangsa Israel
sendiri), kisah-kisah yang dituliskan dalam lima pasal terakhir ini bisa
disimpulkan dalam sebuah kalimat yang juga ternyata ditulis berulang
kali: “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel.“ sebab itu
bisa dikatakan bahwa kalimat ini menjadi tema utama dalam kelima
pasal terakhir dari kitab Hakim-hakim.
Pokok Permasalahan
Adanya tema di lima pasal terakhir, yang berbeda dengan
tema yang terbaca dalam kisah para hakim di pasal-pasal sebelumnya
membuat kitab Hakim-hakim kini sepertinya memiliki dua buah tema.
Kehadiran dua tema ini menimbulkan permasalah dalam upaya
memahami kitab Hakim-hakim. Kelompok pertama yaitu kelompok
yang melihat bahwa tema yang berbeda ini bukan hanya membuktikan
bahwa sebenarnya kitab Hakim-hakim ini merupakan kumpulan tulisan
yang disatukan dalam rentang waktu yang berbeda, tetapi juga bahwa
pasal di awal dan lima pasal di akhir yaitu sebuah karya editing yang
ditambahkan kepada kumpulan kisah para Hakim yang telah ada
sebelumnya. Berarti tema di lima pasal terakhir yaitu sebuah tema
tambahan dalam kitab Hakim-hakim.7 Kelompok kedua melihat bahwa
kitab Hakim-hakim yaitu sebuah kesatuan sehingga tema di lima
pasal terakhir bukanlah sebuah tema tambahan, melainkan sebuah
tema yang terkait erat dengan tema yang ada dalam pasal-pasal
sebelumnya sebab pasal-pasal ini menyatu dengan pasal-pasal
sebelumnya.8 Untuk bisa memahami akan makna tema di kelima pasal
terakhir ini, maka ada beberapa permasalahan yang perlu terlebih
dahulu diselesaikan: Sejauh manakah tema dalam lima pasal terakhir
ini merupakan sebuah tema yang “kuat” atau cukup penting? Seberapa
pentingkah tema “tidak ada raja“ dalam keseluruhan kitab sejarah?
Apakah yang menjadi peran lima pasal terakhir dari kitab Hakim-hakim
ini dalam keseluruhan kitab Hakim-hakim?
Penulis melalui artikel ini hendak menyatakan bahwa tema
“Pada zaman itu tidak ada raja“ yaitu sebuah tema yang terkait erat
bahkan menjadi tema dasar dari kitab Hakim-hakim. Beberapa alasan
yang penulis pakai yaitu : Pertama, tema besar dalam kitab sejarah
yaitu “ke-Raja-an“, bukan “hakim“. Dalam struktur kehidupan bangsa
Israel, kepemimpinan tunggal yang diperlukan yaitu pemimpin yang
menyatukan seluruh bangsa Israel. Hakim lebih bersifat pemimpin dari
sebuah suku atau beberapa suku, namun bukan keseluruhan. Kedua,
Tema lingkaran kesesatan Israel dalam kitab Hakim-hakim yaitu
sebagai sebuah sub tema untuk menunjukkan kepemimpinan yang
diperlukan dan ternyata tidak dapat dipenuhi dengan kehadiran para
hakim sekalipun. Ketiga, lima pasal terakhir dari kitab Hakim-hakim
yaitu bagian yang menjadi kesimpulan historiografi dari keseluruhan
kitab. Secara struktur sebuah tulisan, maka bagian yang paling penting
yaitu “kesimpulan“nya. Tidak adanya raja itulah yang membuat
bangsa Israel berjalan dengan pemahaman sendiri sehingga kesesatan
terjadi dan permasalahan menimpa bangsa Israel sebab hukuman
Tuhan yaitu bagian dari akibat dari tidak adanya raja. Itu sebabnya
tema di lima pasal terakhir menjadi resume atau kesimpulan yang
mengemas seluruh isi dari kitab Hakim-hakim secara teologis.
Untuk menjelaskan semua argumen dan kesimpulan, maka
pertama tama dalam artikel ini akan dibahas tentang pemahaman
makna tema “pada zaman itu tidak ada raja” yang mendominasi lima
pasal terakhir kitab Hakim-hakim. Dengan pemahaman tersebut
kemudian akan dibahas tentang kaitan makna tersebut dengan ling-
karan kesesatan Israel yang terlihat mendominasi dalam kisah para
Hakim. Kesimpulan dan beberapa pelajaran penting yang dapat dipetik
dari tema “pada zaman itu tidak ada raja” menjadi penutup.
Memahami Tema “Pada Zaman itu Tidak Ada Raja di Israel”
Latar Belakang dari Situasi dalam Hakim-Hakim 17-21
Pasal 17 diawali dengan wayehi yang sepertinya memisahkan
kisah dalam pasal ini dengan pasal sebelumnya. Hal ini yang membuat
mereka yang menyatakan bahwa pasal ini yaitu sebuah sisipan dalam
naskah deuteronomistic history yang seharusnya langsung dilanjutkan
dengan 1 Samuel sebab ada kesamaan topik antara Simson yang
melawan orang Filistin dengan Samuel yang juga melawan orang
Filistin.9 Walaupun kitab Hakim-hakim merupakan sebuah kitab yang
9. Moore, Judges, xxix. Moore melihat bahwa kisah ini tidak
berhubungan dengan penyelamatan yang dipimpin oleh seorang pilihan Tuhan
untuk melepaskan Israel dari musuh mereka. Itu sebabnya tidak termasuk
dalam bagian deuteronomistic history. Dengan kata lain bagi Moore tema
besar dari kitab Hakim-hakim yaitu penyelamatan, kisah dalam lima pasal
terakhir tidak memiliki tema yang sama sehingga bisa dikategorikan sebagai
Hakim-Hakim 17 – 21 23
disusun dengan menggunakan beberapa sumber, namun tidak berarti
bahwa pemisahan kisah dapat menjadi dasar argumen untuk menyata-
kan bahwa pasal-pasal ini merupakan sisipan yang berbeda atau
terpisah dari tema yang ada sebelumnya. Kata wayehi dalam kitab ini
saja muncul 37 kali dalam pasal 1-16. Kemunculan kata ini memang
mengandung arti “yaitu ” sebagai sebuah awal dari kisah baru atau
satu episode yang baru. Namun kata ini tidak secara otomatis mem-
buat apa yang dinyatakan kemudian terpisah dari kisah sebelum-nya.
Dengan demikian, kisah dalam pasal 17 ini tidak harus diartikan sebagai
sebuah kisah yang disisipkan secara terpisah.
Kisah pasal 17 berisi tentang seorang Efraim yang bernama
Mika dan apa yang ia lakukan untuk membuat tempat penyembahan di
rumahnya dan kemudian kedatangan seorang Lewi yang mencari
kehidupan melengkapkan upayanya untuk “menghadirkan” TUHAN
dalam rumahnya.
Kisah ini mendahului kisah migrasi Dan ke utara (pasal 18).
Migrasi bani Dan ini juga dicatat dalam Yosua 19 dan juga terlihat
sekilas di Hakim-hakim 1. Berdasarkan pencatatan tersebut, maka bisa
diperkirakan bahwa kisah migrasi bani Dan ke utara tidaklah terlalu
jauh masanya dengan kisah-kisah para hakim lainnya atau bahkan
mendahului. Penempatan kisah ini menjadi bagian dari pasal pasal
penutup menunjukkan adanya makna khusus dari pencatatannya. Ini
bukan menjadi sebuah catatan kronologi dari sejarah melainkan
sebuah historiografi yang memiliki nuansa pengajaran yang spesifik.
Sebagaimana pada umumnya diterima oleh semua penafsir kitab
sejarah, kitab nabi-nabi awal (former prophet books) ditulis sebagai
sebuah interpretasi dari sejarah Israel seperti Nico menyatakan bahwa
kitab-kitab ini yaitu “sebuah pelajaran panjang dalam agama, yang
diawali dengna masuknya ke tanah perjanjian di bawah kepemimpinan
Yosua dan berakhir dengan umat pada akhirnya dibuang keluar dari
tanah itu lagi. Ini yaitu kitab kenabian.”10
Pasal 19 diawali dengan kata wayehi yang menunjukkan
bahwa kisah yang diberikan kemudian merupakan satu kisah tersendiri.
Sekalipun mengisahkan tentang orang Lewi, namun jelas bahwa ini
merupakan kisah yang berbeda dengan kisah yang sebelumnya. Itu
sebabnya ada pula yang menyatakan bahwa Hakim-hakim 19-21 meru-
pakan bagian yang berbeda dari pasal 17-18. Pasal 17-18 bisa di-
mengerti sebagai bagian penutup dari kisah para Hakim, tetapi bagian
ini sebenarnya merupakan sebuah tambahan (appendix). Dikatakan
sebagai tambahan sebab bagian ini tidak mempengaruhi keseluruhan
kitab Hakim-hakim bila dihilangkan. Juga sebab bagian ini sama sekali
tidak memuat perjumpaan dengan bangsa Kanaan dalam sebuah pepe-
rangan atau kemenangan sebagaimana terlihat menjadi satu ciri yang
berulang dari kisah para hakim yang melepaskan orang Israel dari para
musuh yang menekan mereka.
Pemahaman “Tidak Ada Raja di Israel” dalam Kelima Pasal Terakhir
Kitab Hakim-Hakim
Pemahaman di Hakim-Hakim 17:6
Menyoroti ayat 6 yang tidak secara langsung berkaitan dengan
sebuah kisah apapun bisa dilihat sebagai sebuah penutup atau
pembuka dari perikop yang sebelum dan atau sesudahnya. Ayat 6
terdiri dari 2 anak kalimat11 sebagai berikut:
Untuk memahami anak kalimat pertama, perlulah terlebih dahulu
melihat apa yang dikatakan oleh narator sebagai sebuah kesimpulan.
Melalui apa yang diungkapkan baik di perikop sebelumnya ataupun
sesudahnya, sehingga kata “benar menurut pandangannya sendiri” ini
dapat ditandai sebagai hal yang positf atau negatif. Bila maksud dari
anak kalimat ini positif, maka anak kalimat yang pertama meng-
isyaratkan hal yang positif pula. Tetapi bila maksud anak kalimat kedua
yaitu negatif, maka anak kalimat pertama perlu dicermati artinya
secara mendalam.
Situasi dalam Kisah Pasal 17
Pasal 17 mengisahkan tentang keluarga Mikha dan orang Lewi
yang kemudian menjadi imam bagi keluarga tersebut dalam menyem-
bah YHWH. Isu tentang penyembahan yaitu sebuah isu yang menjadi
salah satu benang merah dalam keseluruhan kitab Hakim-hakim.
Dalam pasal pasal sebelumnya, oleh sebab penyembahan yang keliru,
yaitu “berbalik dari TUHAN dan menyembah atau mengikuti ilah
bangsa Kanaan” maka murka Allah dan hukuman Allah tercurah
kepada bangsa Israel. Dalam lingkaran kesesatan Israel, hal ini yaitu
tahap pertama yang memicu tahapan-tahapan selanjutnya. Jika dalam
pasal-pasal yang sebelumnya, hal ini dinyatakan sebagai “pendahu-
luan” dari kisah kesusahan dan pelepasan oleh para hakim, di pasal 17
ini kisah penyembahan yang keliru itu menjadi fokus dari cerita.
Setidaknya ada beberapa hal yang diceritakan dalam pasal 17 ini yang
merupakan hal yang berlawanan dengan prinsip atau perintah Allah
melalui Musa dan Yosua, pemimpin Israel yang terdahulu.
Pertama, Pembuatan patung pahatan dan tuangan oleh ibu
dari Mika dengan menggunakan uang curian yang dikembalikan oleh
Mika. Patung tuangan ini disebut sebagai “terafim” dalam ayat 5, juga
disebut sebagai “allahku” dalam 18:24. Dalam kisah di pasal 17 jelas
26
bahwa patung pahatan dan tuangan tersebut disembah oleh Mika yang
memiliki kuil atau tepatnya “rumah allah” (bet elohim). Penyembahan
kepada terafim yaitu tindakan yang juga disebut sebagai penyem-
bahan berhala dalam 1 Samuel 15:23. Terlihat dengan jelas bagaimana
ibu dari Mika menyebut nama “YHWH”, namun juga menjadi inisiator
untuk pembuatan patung tuangan dan pahatan yang kemudian
menjadi sembahan di “rumah allah” yang dibangun oleh Mika. Hal ini
menjadi sebuah indikasi bahwa pemahaman atau pengenalan tentang
YHWH telah terkontaminasi oleh pemahaman yang ada di sekitar
mereka, yaitu agama Kanaan.
Kedua, terlihat praktek kehidupan agama yang dilakukan
secara “sembarangan”. Pengangkatan anak Mikha sebagai imam adal-
ah salah satu contohnya. Mikha yaitu seorang dari suku Efraim, jelas
bahwa pengaturan dalam kitab Musa telah menyebutkan bahwa hanya
keturunan dari suku Lewilah yang berhak untuk menjadi seorang imam.
Bukan hanya dari secara suku anak Mikha tidak sah untuk jadi seorang
imam, tetapi juga sebab pengangkatan ke dalam jabatan itu dilakukan
secara pribadi oleh Mikha yang tidak mempunyai wewenang dari Allah
untuk menahbiskan seseorang menjadi imam.
Ketiga, sikap mentalitas dari seorang Lewi yang menjadi imam
keluarga. Narator dengan jelas menyebutkan bahwa orang ini hidup
dan melakukan aktivitas agamawi untuk kehidupannya. Lunturnya
pemahaman penyembahan dalam aktivitas inti dari seorang imam
yaitu sesuatu yang sangat fatal. Tidak heran jika kemudian dengan
mudah orang ini memilih untuk menjadi imam bagi bani Dan dengan
segala yang ditawarkan kepadanya yang tentu baginya terasa lebih
menguntungkan. Jika seorang imam yang seharusnya dalam kehi-
dupannya sangat dekat dengan komunikasi dan perjumpaan dengan
TUHAN secara spiritual, ternyata begitu dangkal pemahaman spiri-
tualitasnya, maka bisa dibayangkan betapa lebih lagi keadaan moralitas
dan spiritualitas dari bangsa pada saat itu.
Pencampuran/sinkretisme yang memasukkan bentuk tuangan
(terafim), yang yaitu unsur berhala dari ilah Kanaan untuk melakukan
penyembahan kepada TUHAN, merupakan penyimpangan penyem-
bahan kepada alat yang dipakai diperlihatkan sebagai bukti kesesatan
yang terjadi pada zaman tersebut. Parahnya kehidupan spiritualitas
telah mewarnai sampai kepada kehidupan dari anak-anak Israel pada
masa itu. Hal ini juga yang menjadi sorotan besar dari kitab Hakim-
hakim. Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa anak kalimat kedua dari
ayat 6 bukanlah berarti positif, melainkan sesuatu yang negatif. “Setiap
orang melakukan apa yang benar dalam pandangannya sendiri”
menunjuk kepada “kebenaran” bukan secara obyektif absolut “benar”
tetapi secara subyektif “dalam pandangannya sendiri”.
Dengan anak kalimat kedua sebagai referensi, maka bisa
disimpulkan bahwa istilah “pada zaman itu tidak ada raja di Israel”
memiliki makna negatif. Ketidakadaan “raja” merupakan sesuatu yang
membuat adanya ketidakbenaran di tengah kehidupan anak-anak
Israel. Melalui ayat 6 ini terlihat bahwa tidak ada raja membuat keka-
cauan dalam kehidupan pribadi dalam hal ini kehidupan Mikha dan
kehidupan seorang Lewi.
Hakim-Hakim 18:1
Secara struktur penulisan dalam ayat ini tidak berbeda
dengan penulisan di Hakim-hakim 17:6. Berikut dapat dilihat:
Pada kalimat/anak kalimat yang selanjutnya, memang ada perbe-
daan isi sebab pasal 17:6 bukan hanya menjadi pembuka dari bagian
selanjutnya, tetapi juga menjadi penutup dari bagian sebelumnya.
Kisah dalam pasal 18 merupakan lanjutan dari pasal sebelum-
nya sebab masih bertutur tentang tokoh yang sama dari pasal 17,
yaitu orang Lewi yang menjadi imam di kuil milik Mikha dan juga Mikha
sendiri menjadi salah satu tokoh dalam cerita. Tokoh utama dalam
pasal ini yaitu bani Dan. Kisah tentang penyerangan ke kota Lais dan
28
pengambilalihan orang Lewi dan patung milik Mikha menjadi berita
utama.
Catatan waktu peristiwa yaitu saat mereka sedang mencari
tempat untuk menetap. Bila dihubungkan dengan Yosua 19:47-49 yang
menceritakan tentang bani Dan yang menduduki Leshem dan mena-
mainya Dan, maka kisah ini bisa dikatakan tidak jauh (atau bahkan
terjadi pada) masa akhir dari kepemimpinan Yosua. Sementara pen-
catatan peristiwa dalam kitab Hakim-hakim pasti dilakukan setelah
mereka diangkut dalam pembuangan sebagaimana ditegaskan dalam
ayat 30.
Diangkutnya mereka ke dalam pembuangan menjadi sebuah
akhir yang ironi dari kisah “keberhasilan” mereka menduduki kota Lais
dan merasakan ketenangan setelah merasakan desakan dari orang
Amori dan sempitnya tempat mereka di tempat semula. Ironi yang
sama dari ketenangan yang dirasakan oleh Mikha sebab merasa
memiliki “YHWH” berdiam di rumah allahnya yang pada akhirnya
kehilangan semuanya sebab dirampas oleh bani Dan.
Ironi yang dikisahkan dan juga tindakan bani Dan yang melaku-
kan penyembahan yang serupa dengan apa yang dilakukan oleh Mikha
menuntun pada sebuah kesimpulan bahwa kisah tentang tindakan
yang dilakukan oleh bani Dan di tempat ini bukan dicatat sebagai kisah
yang bernuansa kepahlawanan, tetapi sebagai sebuah kisah kejatuhan
atau pelanggaran yang dilakukan oleh bani Dan di hadapan Allah.
Dari kesimpulan ini, maka pada saat narator memulai kisah
dengan menyebutkan “tidak ada raja di Israel” dalam 18:1 mengarah
kepada sesuatu kondisi yang negatif. Narator di tempat ini seperti
dalam 17:6 hendak memberikan pesan tentang diperlukannya seorang
raja untuk menghindarkan Israel dari pelanggaran yang mereka
lakukan.
Dalam pasal 18 ini “tidak ada raja di Israel” menjadi alasan dari
kekacauan suatu suku bangsa dalam penyembahan dan dalam
pemahaman akan peperangan. Dibandingkan dengan 17:6 terlihat
adanya peningkatan intensitas kerusakan moral-religius dari per-
orangan (Mikha, orang Lewi) menjadi sebuah suku (bani Dan).
Satterthwaite berpendapat bahwa “perubahan/pergantian antara
individual dan level suku diceritakan untuk menunjukkan sebuah
penyakit di Israel yang merasuk semua tingkat dalam masyarakat,
personal, keluarga dan secara nasional.”12
Hakim-Hakim 19:1
Jika diperhatikan maka ada sedikit perbedaan dalam penu-
lisan bagian ini:
Selain wayehi yang menjadi sebuah awal dari episode baru dalam
cerita, terdapat juga perubahan letak kata ein dan melekh yang
diletakkan berbalikkan dengan penambahan kata sambung yang
diletakkan pada kata “raja”. Jika diterjemahkan secara hurufiah, maka
bagian ini berbunyi: “dan yaitu dalam hari-hari itu saat13 raja tidak
ada di Israel.”
Perubahan letak memberikan penekanan yang berbeda.
Dalam bagian ini kata “raja” menjadi yang lebih utama daripada kata
“tidak ada”. Agaknya di sini narator ingin memberikan sebuah
perhatian kepada makna keberadaan raja lebih daripada situasi yang
terjadi sebab absennya raja.
Pasal 19-20 bercerita tentang suku Benyamin yang berperang
dengan kesepuluh suku lainnya. Dimulai dengan masalah kematian
gundik seorang Lewi setelah diperkosa oleh penduduk kota Gibea dari
suku Benyamin. Kisah tentang orang Lewi ini (Hak 19) sama atau mirip
dengan kisah tentang Sodom dalam Kejadian 19. Daniel Block
menerangkan hal ini sebagai “echo literary strategy”14 untuk
meletakkan suku Benyamin sebagai yang sama dengan Sodom.
Beritanya jelas: Seperti orang Kanaan, hukuman sekarang dijatuhkan
kepada suku Benyamin. Block menulis, “dengan gambaran tentang
Gibea seperti Sodom diulang kembali, dan suku Benyamin seperi
penduduk Kanaan di bawah hukum tentang , kisah drama
tentang hari-hari kelam pada zaman para hakim mencapai pada
puncaknya.”15 Orang Lewi ini kemudian menuntut keadilan dengan
mengirimkan potongan mayat dari sang gundik ke dua belas suku Israel
sehingga akhirnya semua suku kemudian memerangi suku Benyamin
yang tidak mau menyerahkan orang dursila dari Gibea yang sudah
memperkosa gundik itu.
Peperangan yang terjadi bukanlah peperangan yang menun-
jukkan kejayaan bangsa Israel, tetapi sebaliknya, menggambarkan
kehancuran dari bangsa Israel yang memerangi sukunya sendiri.
Gambaran yang kelam ini menjadi “puncak” dari kejatuhan sebab ada
dua kejatuhan yang digambarkan dalam bagian ini:
Pertama, kebobrokan moral yang berlawanan dengan hukum
Allah baik dalam masalah keramahan kepada orang asing yang
bermalam, maupun pemerkosaan yang dilakukan oleh orang dursila
dari Gibea. Kebobrokan moral ini memiliki satu kemiripan dengan
peristiwa Sodom dalam kitab Kejadian. Kini bukan lagi orang di luar
Israel yang memiliki moralitas yang bejad, tetapi justru suku yang ada
di antara suku Israel sendiri.
Kedua, kehancuran kesatuan sebagai sebuah bangsa sebab
mereka bukan berperang melawan penduduk Kanaan tetapi justru
melawan sesama bangsa Israel. Dari seluruh kisah peperangan yang
dicatat dalam kitab Hakim-hakim, bagian ini yaitu satu-satunya kisah
yang menunjukkan sebuah kebersamaan dari suku-suku bangsa yang
melawan suku Benyamin sehingga kemenangan yang mereka capaipun
menjadi sebuah kepedihan, bukan kesukaan (band. Hak 21:3, 6).
Dalam hal yang dinyatakan di atas inilah keberadaan seorang
raja sangat diperlukan, yaitu untuk mempersatukan bangsa dan men-
jaga seluruh bangsa baik dalam hal moral maupun dalam menyatakan
hukum/mengadili yang bersalah (bukan seperti cara orang Lewi yang
menarik perhatian dari suku-suku bangsa dengan cara yang “kejam”).
Hakim-Hakim 21:25
Pasal 21 tidak dipisahkan secara tegas dari pasal sebelumnya
tetapi merupakan sebuah kelanjutan. Pemisahan antar alinea hanya
ditandai dalam Masoretic Text dengan tanda “p”17 sehingga Hakim-
hakim 21:1-4 merupakan alinea yang melanjutkan kisah kekalahan dan
kehancuran bani Benyamin. Juga ayat 5 mengacu pada janji keber-
samaan yang mereka lakukan di Mizpa pada saat mereka berkumpul
untuk memerangi suku Benyamin yang dicatat di Hakim-hakim 20:1.
Kisah yang diangkat dalam pasal ini merupakan sebuah upaya
dari suku-suku Israel untuk menyelamatkan keturunan Benyamin agar
tidak punah dari kaum Israel. Terikat dengan sumpah mereka, maka
dengan sejarah suku Benyamin di kemudian hari, maka terlihat bahwa sama
seperti suku Benyamin yang tertolak ini, Saul, raja pertama Israel yang berasal
dari keturunan Benyamin juga akhirnya tertolak, sementara Yehuda sebagai
suku yang dipilih oleh Allah untuk maju pertama, maka di kemudian hari
Daudpun muncul sebagai raja yang besar dari kaum Yehuda.
17. Seow, 170. Penandaan “p” sebagai awal sebuah bagian terdapat
di Hak 20:35 yang berlangsung sampai ayat 48. Kemudian dengan tanda yang
sama utk memulai bagian berikutnya, yaitu 21:1-4. Semua pembagian itu
masih dalam satu bagian sampai 21:12 yang ditandai dengan “s” sebagai akhir
dari bagian besarnya.
32
mereka kemudian memakai cara lain untuk membuat agar suku
Benyamin tetap mendapatkan para wanita yang diperlukan untuk
melanjutkan keturunan. Kisah ini diakhiri oleh narator dengan mem-
berikan sebuah kalimat konklusi di ayat 25. Nilai dari konklusi ini tentu
terkait dengan apa yang menjadi cerita di atasnya.
Cara yang dipakai oleh suku-suku di luar suku Benyamin untuk
meyediakan para gadis untuk suku Benyamin bisa dikatakan sebagai
cara yang tidak tepat.
Pertama, mereka menyerang dan menghabiskan penduduk
Yabesh-Gilead dan menawan para gadis sebagai jalan keluar dari
keterikatan mereka kepada sumpah yang mereka buat sendiri dalam
kemarahan mereka terhadap bani Benyamin. Penduduk Yabesh-Gilead
sendiri merupakan salah satu kaum dari suku Manasye yang berada di
seberang sungai Yordan (band. Yos 22:9). Dari Hakim-hakim 21:5 jelas
bahwa yang dimaksud dengan penduduk Yabesh-Gilead di sini bukan-
lah orang Kanaan, melainkan dari antara kaum keluarga dalam suku
bangsa Israel sendiri. Mereka yang dibunuh yaitu para pria, wanita
yang sudah menikah dan anak-anak. Hal ini yaitu sama dengan
pemusnahan sebuah kaum. Pemusnahan yang semacam itu memang
pernah diperintahkan oleh Yosua kepada bangsa Israel, tetapi untuk
memerangi penduduk Kanaan, bukan untuk kaum sendiri. Sebaliknya,
perlindungan justru harus diberikan agar tidak ada kaum yang hilang
sebab hal itu diperlukan untuk menjaga tanah yang diwariskan kepada
bangsa Israel dari nenek moyang mereka.
Kedua, strategi yang diajarkan kepada bani Benyamin untuk
menculik para gadis yang sedang menari di kala ada perayaan bagi
TUHAN di Silo pada dasarnya merupakan sebuah taktik yang dibuat
dengan pola pikir manusia yang mencari “celah” dari sebuah sumpah
yang mereka buat. Para tua-tua Israel tentu tidak memberitahukan
rencana ini kepada penduduk Silo dan mereka sudah menyiapkan
jawaban bila ada protes dari penduduk Silo.
Dengan demikian makna dari kalimat penutup yang diberikan
oleh narator bukan bersifat positif, melainkan negatif, senada dengan
pasal-pasal sebelumnya.
Secara struktur, Hakim-hakim 21:25 memiliki kesamaan
dengan Hakim-hakim 17:6:
Kesamaan ini meneguhkan pendapat bahwa pasal 17-21 yaitu sebuah
kesatuan yang diawali dan diakhiri dengan sebuah pernyataan yang
persis sama. Kiastik dari pasal 17-21 terlihat sbb:
17:6 Pada hari hari itu tidak ada raja di Israel a
Orang berlaku apa yang benar menurut pandangannya
18:1 Pada hari hari itu tidak ada raja di Israel b
19:1 [Terjadilah] Pada hari hari itu raja tidak ada di Israel b
1
21:25 Pada hari hari itu tidak ada raja di Israel a
Orang berlaku apa yang benar menurut pandangannya
Kesatuan kiastik ini membuat pasal 19-21 bukanlah sebagai sebuah
tambahan (appendix), melainkan memiliki posisi yang sama dengan
pasal 17-18 sebagai penutup dari kitab Hakim-hakim.
Dari struktur kiastik yang terlihat, maka berita “tidak ada raja”
dan “raja tidak ada” menjadi hal utama yang membuat orang berbuat
sekehendak hatinya. Dengan demikian, maka pemahaman “raja” di
bagian ini mengarah kepada sosok yang memberikan pengaruh positif.
Ketika kehadiran sosok ini hilang, maka hal-hal negatif muncul dan
mewarnai kehidupan bangsa Israel.
34
Siapa “Raja” yang Dimaksudkan di Sini
Pemahaman ini memimpin kepada sebuah pertanyaan ten-
tang siapa “raja” yang dimaksudkan di sini: Allah sebagai Raja, atau
manusia yang memiliki kedudukan sebagai raja?
Pemahaman Allah sebagai “raja” atau ke-raja-an (kingship of
god) merupakan hal yang tidak asing bagi bangsa Israel sebab dalam
dunia Timur dekat (ancient near east) hal itu yaitu hal yang juga
merupakan pandangan dari bangsa-bangsa di sekitar Israel. Gary V.
Smith mengatakan bahwa “terminologi ke-raja-an dan ke-tuhan-an
(kingship and lordship) yang mendominasi literatur Mesopotamia
menunjukkan bahwa kuasa dan otoritas dari para dewa yaitu faktor
penting dalam pemikiran mereka.”18 Ada banyak sekali temuan yang
menunjukkan bahwa para dewa bukan hanya di Mesopotamia, tetapi
juga dalam budaya Babel, Mesir, juga memiliki pengertian yang tidak
jauh berbeda.19 Selanjutnya Smith mengatakan, “Raja yang di dunia
dipandang memiliki kesamaan dengan para dewa dinyatakan dalam
ungkapan “raja yaitu seperti gambaran dari dewa.”20
Pemahaman bahwa TUHAN yaitu Raja menurut Mowingkel
yaitu tema pusat dari Perjanjian Lama.21 Selain sangat jelas terlihat
dalam Mazmur, pemahaman tentang Allah yang berkuasa menyuruh
dan menempatkan yang dikatakan oleh Yusuf (Kej 45:8) merupakan
gambaran dari Raja yang berkuasa. Demikian juga dengan sebutan
“Tuhan semesta bumi” (Yos 3:11) menyatakan kuasa-Nya atas dunia.
Di luar dari lima pasal terakhir dari kitab Hakim-hakim, kata
“raja” memang jarang muncul di kitab Hakim-hakim ini dalam
hubungan sebagai pemimpin Israel.22 Kata ini hanya muncul secara
eksplisit untuk Abimelekh (Hak 9:6) yang menobatkan dirinya menjadi
raja.23 Hal ini membuat beberapa penafsir melihat pemahaman “raja”
dalam arti yang negatif bila dihubungkan dengan manusia sebab
Abimelekh yaitu sosok raja yang jelek sehingga kematiannyapun oleh
narator disimpulkan sebagai balasan Allah atas kejahatannya (Hak
9:56). Dengan dasar ini, maka bila pemahaman “raja” di lima pasal
terakhir memperlihatkan makna yang positif, tentu kata “raja” tidak
dimaksudkan untuk manusia. Beberapa penafsir seperti Boling dan juga
Darby melihat bahwa “raja” di lima kitab terakhir menunjuk kepada
TUHAN sebagai “Raja”. Boling berpendapat bahwa situasi kacau terjadi
sebab “Yahweh tidak sungguh-sungguh diakui sebagai Raja atas
Israel.”24 Gideon pun dengan tegas menyatakan posisi ke-Raja-an
TUHAN atas Israel. Dalam kitab Samuel, ketika akhirnya bangsa Israel
meminta “raja” seperti bangsa-bangsa lain memiliki, maka TUHAN
dengan tegas mengatakan bahwa permintaan itu sama dengan
“menolak” TUHAN sebagai Raja (1Sam 8:7).25
Pandangan ini kelihatannya cukup beralasan, namun jika
diperhatikan dengan teliti, maka terlihat bahwa pendapat ini lemah
sebab setidaknya ada dua alasan mendasar: Pertama, pemahaman
“raja” dalam teologi umat Allah berbeda dengan pemahaman tentang
raja yang ada dalam bangsa-bangsa di sekitar Israel pada masa itu.
Perbedaan yang jelas terlihat yaitu “raja” bagi bangsa Israel bukanlah
turunan dewa dan tidak pernah dipandang seperti itu. Ia juga bukan
merangkap sebagai kepala dalam keagamaan seperti raja-raja bangsa
di sekitar Israel. Smith dengan tepat menuliskan bahwa “di Israel, raja
bukanlah imam besar dan bukan melalui raja Allah menyatakan
kehendak-Nya...sebab mereka pada dasarnya yaitu hamba dari
Yahweh, Raja sejati Israel.”26 Dengan pemahaman ini, seperti juga
tertulis dalam Ulangan 17:14-20, kedudukan raja itu sendiri bukanlah
sesuatu yang membuat Allah murka sebab Allah yang memilih raja
tersebut. Penetapan dari Allah ini, dan juga peraturan yang ditetapkan
Allah (Taurat) yang menjadi pedoman dalam seorang raja menjalankan
pemerintahannya, menjadikan posisi Allah tetap sebagai sang Raja dan
raja di dunia menjadi agen-Nya yang nyata bagi umat-Nya. Teokrasi
tetap menjadi kerangka kehidupan umat Allah di dunia ini. Kedua,
permasalahan yang dikemukakan sebenarnya yaitu cara dan motivasi
dalam meminta raja. Ketika raja dipandang dan diinginkan sebagai
person yang “menyelamatkan” atau membebaskan dan yang meme-
nangkan peperangan, maka hal itulah yang tidak berkenan di hadapan
Allah. Dalam interaksi dan intervensi Allah kepada umat-Nya, jelas
bahwa YHWH yaitu yang membebaskan dan memberikan kesela-
matan. IA yang berperang dan memakai orang yang dipilih-Nya untuk
berperang bagi Dia. Tidak ada sesuatu apapun atau seorangpun yang
dapat dan berhak “menggantikan” peran YHWH yang menyelamat-
kan.27 Dalam penolakan Gideon untuk memerintah atas Israel, Gerald
Gerbrandt menjelaskan hal ini dengan tepat. Gerbrandt menjelaskan
bahwa “berita dari 8:22-23 bukanlah bahwa ke-raja-an (kingship) itu
tidak cocok dengan Yahwehisme, tetapi di sini lagi masalahnya yaitu
motivasi untuk meminta yaitu sebab ‘engkau telah menyelamatkan
kami dari tangan orang Midian’.”28 Dalam kasus Abimelekh, tidak
dinyatakan bahwa posisi “raja” yang membuat dia dihukum Allah. Jelas
dari perumpamaan yang Yotam katakan dan dalam kisah Abimelekh,
cara dia menjadi raja dengan membunuh ketujuh puluh saudaranya
dalam persekongkolannya dengan penduduk Sikhem itulah yang yang
tidak benar. Catatan dari narator dalam kisah Abimelekh di akhir
riwayatnya dengan jelas mengatakan bahwa “Allah membalaskan
kejahatan yang dilakukannya kepada ayahnya, yaitu pembunuhan atas
ketujuh puluh saudaranya” (Hak 9:56). Gerbrandt memberikan komen-
tarnya, “bukanlah ke-raja-an (kingship) yaitu sebuah kejahatan, tetapi
ketika ke-raja-an didasarkan pada kejahatan dan penyalahgunaan
kekuasaan...maka akibat yang tidak dapat dielakkan dari ke-raja-an
yang sedemikian akan menjadi kehancuran.”29 Dalam kisah di 1
Samuel, juga terlihat bahwa keinginan yang mereka minta dari raja
yaitu “memimpin kami dalam perang” (1Sam 8:20) seperti raja
bangsa lain. Dari jawaban TUHAN jelas bahwa masalahnya yaitu umat
Israel waktu itu ingin “menggeser” posisi Raja yang menyelamatkan
(yang yaitu haknya Tuhan), dan menaruh posisi terebut kepada raja
yang kelihatan. Itulah sebabnya permintaan mereka dipandang jahat
oleh Allah.30 Posisi “raja” yang diberikan oleh Allah kepada manusia
bukanlah meniadakan atau menggeser ke-raja-an Allah atas umat-Nya.
Selama hal itu jelas dan diterapkan, maka hal itu bukanlah sesuatu yang
bertentangan dengan kehendak-Nya.
Argumentasi di atas memperlihatkan bahwa kedudukan atau
posisi “raja” bukanlah sesuatu yang dilihat secara negatif. Bila hal ini
dikaitkan dengan kata “raja” yang dalam lima pasal terakhir dari kitab
Hakim-hakim yang memiliki arti positif, maka istilah “raja” dalam
kelima pasal terakhir masih terbuka untuk diterapkan kepada penger-
tian raja secara manusia. David Howard memberikan sebuah komentar
yang bisa juga dijadikan sebagai acuan. Ia menulis bahwa sekalipun
memang tidak secara jelas ditujukan kepada siapa yang dimaksud
dengan raja disini, “dalam kenyataanya, pernyataan terdekat dalam
kitab ini untuk YHWH memerintah memakai kata māšal (8:22, 23), dan
bukan mālak atau melek; yang terakhir sebaliknya dipakai hanya untuk
menunjuk kepada raja secara manusia (human king) yang memberikan
dukungan kepada pandangan umum [bahwa yang dimaksud dalam
bagian ini yaitu orang yang menjadi raja+.”31 Kitab Hakim-hakim tidak
mempermasalahkan keberadaan YHWH sebagai Penyelamat dan
secara implisit sebagai Raja. Yang sedang dibicarakan sebagai topik
dalam bagian ini lebih mengarah kepada kehadiran seorang raja
(secara manusia) yang pada masa itu memang belum muncul. Dengan
demikian maka “raja” yang dimaksud dalam kelima pasal terakhir dari
kitab Hakim-hakim yaitu manusia yang diposisikan sebagai raja.
Tema tentang “raja” memang merupakan tema yang mewar-
nai dalam kehidupan bangsa Israel. Keberadaannya dibicarakan lebih
banyak daripada bahasan tentang “hakim”. Peran dan kuasanya juga
lebih dari apa yang dimiliki dan dilakukan oleh para hakim. Kata
“hakim” yang dipakai khususnya dalam kitab Hakim-hakim lebih mene-
kankan peran mereka sebagai orang-orang yang memimpin dalam
upaya pembebasan dari penindasan yang dilakukan oleh bangsa-
bangsa di sekitar atau dalam berperang melawan para penindas.32
Berbicara tentang raja, maka salah satu perannya yaitu sama seperti
para hakim dalam zaman hakim-hakim yaitu memimpin dalam per-
lawanan kepada bangsa lain yang berusaha menindas atau menguasai
mereka. Para hakim yang dinyatakan dalam kitab Hakim-hakim itu
yaitu para pemimpin suku. Tugas utama mereka yaitu melepaskan
suku bangsa dari penindas dan menjaga perdamaian selama mungkin
selagi mereka hidup. Tugas utama mereka yaitu lebih bernuansa
militer. Sementara raja yaitu seorang pemimpin bangsa. Tugas
mereka bukan hanya menjaga perdamaian secara militer, tetapi juga
untuk memimpin seluruh bangsa untuk taat kepada Allah. Raja
diperlukan untuk membuat kedisiplinan, dan tatanan untuk membuat
umat dapat menyembah Allah yang benar. Dari sudut pandang
otoritas, para hakim lebih terbatas lingkupnya. Para hakim memang
dapat meminta kerjasama dari suku-suku lain dalam pertempuran
melawan dalam komandonya, tetapi hal itu tidak selamanya. Setelah
perang usai, mereka akan kembali kepada kehidupan masing-masing.
Raja dapat menyatukan semua suku bersama-sama baik dalam saat
peperangan, maupun dalam waktu damai. sebab itu kebutuhan akan
adanya raja tidak terelakkan. Amit menyimpulkan: “perlunya memiliki
raja yaitu sebuah pelajaran penting yang dipetik dari masa pemerin-
tahan Allah dan kepemimpinan para hakim-hakim. Allah dan umat-Nya
menyadari bahwa perlu adanya kepemimpinan yang terus-menerus
yang dapat memikul tanggungjawab dan segala yang berkaitan dengan
hal itu.”33 Dengan demikian jelaslah bahwa untuk masalah kepemim-
pinan dalam skala pembahasan yang lebih luas dan menyeluruh, maka
bukanlah hakim yang menjadi point penting, tetapi raja yang menjadi
pokok bahasan utama untuk kehidupan bangsa Israel. Hal ini membuat
tema tentang “raja” secara otomatis juga menjadi tema yang mema-
yungi atau menjadi isu yang lebih luas dan mendasar dalam kitab
sejarah, termasuk juga kitab Hakim-hakim.
Keterkaitan Tema “Pada Zaman Itu Tidak Ada Raja di Israel” dengan
Lingkaran Kesesatan
Tidak adanya raja yaitu akar utama dari kekacauan yang ter-
jadi dalam kehidupan bangsa Israel sehingga lingkaran kesesatan terli-
hat berulangkali dalam kisah para Hakim yang tercatat mulai dari Ehud
sampai Simson. Dari struktur sebuah narasi, setiap kisah memiliki pola
yang bisa diterangkan sebagai berikut: Exposition (1) – Complication (2)
– Change (3) – Unraveling (4) – Ending (5).34 Titik awal/eksposisi me-
nunjukkan keadaan atau permasalahan yang sedang dihadapi. Dalam
kitab Hakim-hakim ini, awal dari semua kisah memiliki kesamaan, yaitu
“orang Israel melakukan apa yang jahat di mata TUHAN” (2:11, 3:7, 12,
4:1, 6:1, 10:6, 13:1). Beberapa kali kemudian kondisi ini diterangkan
dengan lebih detail mengenai apa yang dimaksud sebagai “jahat di
mata TUHAN”, yaitu bahwa mereka meninggalkan TUHAN atau
beribadah kepada allah lain (2:12,13, 3:7, 6:10, 10:6). Jelas bahwa
masalah spiritual, yaitu TUHAN tidak lagi diakui dan ditaati. Kisah-kisah
tersebut memang tidak menjelaskan mengapa masalah spiritual itu
bisa terjadi. Jawaban itu justru baru diberikan di lima pasal terakhir.
Melalui kelima pasal terakhir kitab Hakim-hakim narator jelas menun-
jukkan bahwa dengan tidak adanya raja itulah yang membuat kehi-
dupan spiritualitas pribadi sampai skala keseluruhan bangsa menjadi
rusak. Kerusakan moral juga digambarkan sebagai akibat dari hilangnya
ketaatan kepada tuntunan Allah sebab yang menjadi patokan utama
dalam penilaian dan keputusan yaitu pan-dangan diri sendiri.
Sepertinya para hakim itu sendiri ternyata tidak mampu
mengatasi permasalahan spiritual yang mendasari segala kekacauan.
Para hakim memang dibangkitkan oleh TUHAN untuk menjawab apa
yang menjadi teriakan dari bangsa Israel yang merasa tertekan oleh
suku-suku yang berada di sekitar mereka. Para hakim bangkit untuk
satu tugas yaitu membebaskan orang Israel dari cengkeraman penin-
dasnya. Mereka memang menyelesaikan secara temporal masalah
penindasan dengan berperang dan memenangkan pe-perangan, tetapi
kondisi spiritual tidak “tersentuh” sehingga situasi tetap berulang
ketika sang hakim meninggal bahkan dinyatakan ketika sang hakim
masih adapun, mereka juga sudah menyimpang (Hak 2:17). Kesesatan
Israel mewarnai kehidupan suku-suku Israel di sepanjang kitab Hakim-
hakim sebab para hakim tidak menyelesaikan akar masalah kesesatan
yang membuat Allah menghukum mereka. Gideon yang terlihat me-
miliki pemahaman tentang TUHAN yang yaitu Raja sejati (Hak 8:23)
itupun bahkan membuat patung tuangan berbentuk efod yang
membuat Israel menyimpang dari iman kepada TUHAN (Hak 8:27)
Berbeda dengan peran hakim, tuntutan tanggungjawab
seorang raja yaitu lebih besar. Raja bukan hanya harus memimpin
42
mereka saat negara terancam secara militer oleh musuh atau bangsa
lain yang hendak menginvasi, tetapi dalam tanggungjawab yang lebih
besar yaitu memimpin seluruh bangsa untuk tetap berada dalam
kesetiaan kepada TUHAN. Gerbrandt menuliskan bahwa raja yaitu
“untuk memimpin Israel dengan menjadi administrator dari perjanjian
(covenant); kemudian ia bisa meyakini YHWH yang menyelamatkan.
Inti dari perjanjian ini yaitu kewajiban Israel untuk setia secara total
kepada YHWH.”35 Dengan demikian keberadaan seorang raja dilihat
sebagai dasar yang penting untuk kehidupan umat Israel dan dan juga
sekaligus menjadi jawaban atas apa yang menjadi masalah utama dari
semua kekacauan yang dibahas dalam kitab Hakim-hakim dengan
lingkaran kesesatan yang tidak henti-hentinya berulang dalam
kehidupan suku-suku bangsa Israel sejak Yosua tidak lagi menjadi
pemimpin mereka.
Kisah dari penindasan bisa beragam, para hakim yang
dibangkitkan TUHAN bisa berbeda latar belakangnya, peperangan
mereka bisa berbeda strateginya, namun hal yang sama yang melatar
belakangi semua peristiwa yaitu situasi di mana bangsa Israel
berubah setia kepada TUHAN. Situasi inilah yang dijelaskan oleh
narator dalam kelima pasal terakhir terjadi sebab satu kesamaan:
pada zaman itu tidak ada raja di Israel. Bila struktur ini diibaratkan
sebuah pohon, maka batang pohon yang utama yaitu “tidak ada raja
di Israel”. Kisah masing-masing hakim menjadi carang-carang yang
muncul dari pokok batang pohon utama. “Lingkaran kesesatan” men-
jadi daun-daun yang mewarnai setiap carangnya. Dengan analogi
seperti ini, jelaslah bahwa sebenarnya tema utama dari kitab Hakim-
hakim bukanlah “lingkaran kesesatan”, melainkan “tidak ada raja di
Israel” yang menjadi pokok batang pohon utamanya.
Tema “Pada Zaman Itu Tidak Ada Raja di Israel” dalam Struktur Kitab
Hakim-Hakim
Kitab Hakim-hakim yaitu sebuah kitab narasi. Pada umumnya
sebuah narasi, memiliki tiga bagian penting sebagaimana Amit menga-
takan, yaitu “permulaan sebuah kisah, tubuh dari kisah dan sebuah
akhir.”36 Ada sebuah harapan perubahan atau kondisi yang lebih baik
diceritakan pada bagian akhir. Bila kondisi lebih baik terjadi, maka kisah
yang dinarasikan menunjukkan hal yang positif atau sebuah kebaikan.
Bila tidak terjadi perubahan apapun, atau bahkan jika ternyata akhirnya
lebih buruk kondisinya, maka pasti ada sesuatu yang salah telah terjadi
dan kisah yang diceritakan menunjukkan kesalahan tersebut.
Melihat dari struktur kitab Hakim-hakim, maka bisa dikatakan
bahwa bagian akhir atau ending yaitu kelima pasal terakhir ini. Itu
sebabnya pasal pasal terakhir ini menjadi bagian yang penting untuk
merajut keseluruhan kitab dalam sebuah gambaran akhir. Boling mem-
bagi struktur kitab dengan menunjukkan bahwa di awal kitab dinyata-
kan tentang Israel yang tersebar setelah kematian Yosua dan diakhiri
dengan kisah penyatuan seluruh Israel.37 Hal ini tidaklah tepat meng-
ingat kitab Hakim-hakim ini diakhiri dengan sebuah pernyataan yang
dalam pembahasan dalam artikel ini (lihat bagian pertama) jelas me-
nunjuk kepada suatu kekacauan, bukan sebuah kebaikan.
William Dumbrell mencoba untuk memberikan sentuhan yang
berbeda. Baginya, bagian akhir ini menunjukkan bahwa sebenarnya
raja bukanlah sebuah jawaban bagi kehidupan Israel. Justru yang
diperlukan yaitu orang orang seperti para hakim yang dipakai TUHAN.
Dumbrell menegaskan bahwa penulis kitab Hakim-hakim ini “meng-
usulkan pola intervensi ilahi langsung (direct divine intervention),
dengan kepemimpinan teokrasi, yang atasnya kesejahteraan Israel
diperoleh, tidak pernah begitu benar benar didemonstrasikan seperti
pada zaman para hakim.”38 Dumbrell melihat bahwa kitab ini ditulis
pada masa pembuangan, saat kerajaan ternyata tidak memberikan
solusi.39 Sekalipun pendapat ini memberikan perhatian kepada posisi
YHWH yang berkuasa dan melihat bahwa adanya raja justru meng-
hilangkan keutamaan YHWH sebagai Raja, namun masalahnya yaitu
situasi para hakim sebenarnya justru menunjukkan kekacauan itu
sendiri. Hakim yang satu berganti dengan hakim yang lain, hanya untuk
menyelesaikan masalah yang di permukaan. Akar masalah yaitu bahwa
orang Israel meninggalkan TUHAN tidaklah diselesaikan. Lagipula
dalam zaman para hakim kepemimpinan hanyalah bersifat parsial pada
suku-suku tertentu dan tidak pernah menjadi solusi untuk sebuah
kesatuan bangsa. Howard cukup tepat untuk menilai bahwa “sebuah
kelemahan dari posisi dia [Boling] dan Dumbrell yaitu bahwa mereka
memberikan penekanan yang terlalu besar kepada pernyataan di
[Hakim-hakim] 21:25... dan terlalu sedikit perhatian kepada apa yang
ada di 17:6, 18:1, dan 19:1.”40 Keberadaan raja secara manusia tidak
pernah dimaksudkan dan dipikirkan sebagai pengganti dan menggeser
kedaulatan TUHAN atas bangsa Israel sehingga tidaklah perlu dikuatir-
kan, sebaliknya, tidak adanya raja justru membuat bangsa Israel tidak
memiliki pemimpin yang bisa menyatukan dan membawa bangsa Israel
kepada penyembahan dan kesetiaan kepada TUHAN.
Bagian akhir atau ending ini yaitu bagian yang penting sebab
sebuah narasi pada umumnya memberikan sebuah kesimpulan ten-
tang cerita di bagian akhir.41 Di sini penulis setuju dengan apa yang
dikatakan oleh Amit bahwa pasal pasal ini dituliskan untuk “menyim-
pulkan kegagalan kepemimpinan para hakim dan merekomendasikan
monarki/kerajaan.”42 Penulis kitab Hakim-hakim memang dengan
sengaja memberikan lima pasal terakhir dengan satu kalimat penyatu:
“pada zaman itu tidak ada raja di Israel” dalam sebuah struktur narasi.
Setelah memberikan keseluruhan cerita yang memiliki dasar yang sama
(sekalipun belum dikatakan selama bertutur), pada akhirnya narator
menyimpulkan pelajaran penting dari ke semua kisah, yaitu “kepemim-
pinan yang kuat yang diperlukan yaitu raja”. Tanpa mengecilkan
makna kesatuan Israel seperti yang dilihat oleh Boling dan Dumbrell,43
raja justru menjadi penyatu yang diperlukan bukan hanya pada saat
perang (seperti pada para hakim) melainkan juga pada saat damai.
Kehadiran raja justru menjadi pemutus lingkaran kesesatan yang terus
menerus terjadi dalam kehidupan bangsa Israel pada masa para hakim.
Penutup
Kitab Hakim-hakim memang tidak secara langsung berbicara
tentang raja, tetapi mengarahkan para pembacanya untuk melihat
bahwa kehadiran raja yaitu hal yang tidak bisa dielakkan sangat
diperlukan bahkan menjadi jawaban di tengah segala kekacauan yang
menjadi ciri kisah di kitab Hakim-hakim. Tema ke-raja-an yang men-
dominasi kitab sejarah atau khususnya kitab nabi awal (former prophet)
merupakan hal yang lebih utama daripada kisah tentang hakim itu
sendiri. Ketidakadaan raja itulah yang menjadi tema dasar yang menya-
tukan seluruh kisah yang berbeda-beda dari semua hakim yang diceri-
takan di dalam kitab Hakim-hakim. Kesimpulan yang diberikan di akhir
kitab menjadi pokok penting dalam struktur kitab narasi seperti kitab
Hakim-hakim ini. Hal ini membuat tema yang diusung dalam lima pasal
terakhir bukanlah sebuah tema sisipan, sebaliknya ini yaitu tema
utama dari kitab Hakim-hakim.
Tema “pada zaman itu tidak ada raja di Israel” memberikan
sebuah pelajaran penting tentang kepemimpinan yang menjadi pokok
penting dalam hidup sebuah bangsa ataupun komunitas, termasuk
gereja pada masa kini. Pemimpin yang diperlukan bukan hanya pemim-
pin yang bisa menyelesaikan atau menangani masalah yang ada di
permukaan, tetapi lebih dari itu, ia harus menjadi seorang yang dapat
mendeteksi akar masalah dan menyelesaikannya. Tanpa itu, persoalan
akan terus menerus berulang dan tidak pernah membuat sebuah
kemajuan. Kondisi dunia pada hari ini dengan filosofi posmo tidak
berbeda dengan apa yang dinyatakan di akhir kitab Hakim-hakim. Indi-
vidualisme dan relativisme telah membuat “semua orang melakukan
apa yang benar dalam pandangannya sendiri” (Hak 21:25). sebab itu,
sekarang diperlukan tampilnya pemimpin yang dapat menghindarkan
manusia dari kekacauan yang sudah mengintip di depan pintu.





.jpg)





