Tampilkan postingan dengan label Kitab hakim-hakim. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kitab hakim-hakim. Tampilkan semua postingan

Kitab hakim-hakim

   

 


Orang yang membaca kitab Hakim-hakim akan secara cepat 

dapat menemukan bahwa ada tema yang mengikat kisah-kisah para 

hakim yang dicatat dalam zaman para hakim ini memerintah. Secara 


 

umum dengan mudah orang menemukan adanya lingkaran kesesatan 

(apostasy cycle). Dari zaman Ehud, hakim pertama yang disebutkan 

sampai zaman Simson, sebagai hakim yang terakhir dituliskan,1ada 

empat hal yang berulang,2 yaitu: Pertama, orang Israel berubah setia 

dan menyembah ilah bangsa Kanaan; Kedua, Allah murka dan 

menyerahkan mereka ke tangan orang Kanaan yang menindas dengan 

keras; Ketiga, Orang Israel di tengah penderitaan berseru meminta 

kelepasan kepada TUHAN; dan keempat, Allah membangkitkan 

seorang hakim untuk melepaskan mereka dari cengkeraman orang 

Kanaan sehingga terjadi situasi damai selama sang hakim memerintah. 

Lingkaran kesesatan ini juga sering dipahami sebagai pengulangan atau 

demonstrasi dari hukum dalam kitab Ulangan tentang ketaatan dan 

ketidaktaatan. Terry Brensinger menulis bahwa hal ini bisa “dirangkum 

dalam sebuah rumusan yang komprehensif: ketaatan kepada Allah 

menghasilkan berkat, tetapi ketidaktaatan mengakibatkan bencana.”3 

Senada dengan Bresinger, George F. Moore melihat akan nuansa 

negatif dalam kitab Hakim-hakim sehingga ia menyatakan “maksud 

dari penulis yaitu ...untuk memberi kesan kepada pembacanya 

pelajaran bahwa ketidaksetiaan kepada Yahweh selalu dihukum.”4 Hal 


 

itu pula yang membuat kitab Hakim-hakim dipandang dan dikategori-

kan oleh Martin Noth dan juga para pengikut kritik redaksi sebagai 

bagian dari Deuteronomistic History.5 Menurut Noth, kitab Hakim-

hakim berisikan “variasi ekspresi yang terbatas yang menuntun kepada 

                                                 

5. Istilah ini sendiri memang tersebar luas setelah dicetuskan oleh 

Martin Noth dalam bukunya Überlieferungsgeschichtliche Studien, 

 mengatakan bahwa “sulit untuk mengetahui siapa yang mula-

mula menemukan istilah ‘deuteronomistic’ ini.’’ The Future 

of the Deuteronomistic History (Leuven: Leuven University Press, 2000), vi. 

Deuteronomistic History yaitu  sebuah istilah yang menunjuk kepada semua 

kitab-kitab khususnya kitab nabi-nabi (nebiim) atau kitab sejarah yang memiliki 

nuansa pengajaran yang dinyatakan dalam kitab Ulangan (Deuteronomic). 

Raymond Person, The Deuteronomic School: History, Social Setting, and 

Literature (Atlanta: Society of Biblical Literature, 2002), 8. Ada berbagai pendapat 

yang menjadi perdebatan atau diskusi dari para teolog mengenai hal ini: 

Perdebatan tentang kitab mana saja yang dikategorikan sebagai deuteronimistic 

history membuat kelima kitab yang sering disebut sebagai Pentateukh juga 

terkena dampaknya. Apakah kitab Ulangan harus dikeluarkan sehingga sebutan-

nya menjadi Tetrateukh, atau justru menyatukan kitab Yosua ke dalam kitab 

awal sehingga disebut Hexateukh; Perdebatan tentang siapa penulis Deutero-

nomistic History juga tidak kalah serunya. Apakah ini karya seorang seperti 

hipotesa Martin Noth yang mengatakan bahwa penulisnya yaitu  seorang “yang 

terinspirasi oleh keingintahuan akan kekacauan sejarah yang ia saksikan.” Noth, 

The Deuteronomistic History, 145. Gerhard Von Rad menduga penulisnya yaitu  

seorang Lewi. Gerhard von Rad, Studies in Deuteronomy

ya tiga 

redaktor yang disebut sebagai DtrG atau DtrH (history), DtrP (prophetic) dan 

DtrN (nomistic). mer, The Future of the Deuteronomistic History, 2. Pendapat 

Smend disebut sebagai pendapat dari Göttingen School. Frank Moore Cross 

berpendapat bahwa hanya ada dua redactor yaitu (Dtr

). Frank Moore Cross, Canaanite Myth and Hebrew Epic: 

Essays in the History of the Religion of Israel (Cambridge, MA: Harvard University 

Press, 1973), 278–289. Pendapat Cross mewakili Harvard School. Person 

menyatakan bahwa penulisnya bukan perorangan/individual, melainkan sebuah 

sekolah/sekelompok orang yang “aktif di zaman pembuangan Babil dan kerajaan 

Persia, yang berawal dalam birokrasi pada masa kerajaan [Yehuda].” Person, The 

Deuteronomic School, 2, 7. Ringkasan dari semua ini juga dapat dilihat di Erik 

Eynikel, The Reform of King Josiah and the Composition of the Deuteronomistic 

History (Leiden: E. J. Brill, 1986), 7-31. 

20 

 

pengulangan yang sangat sering dari frase yang sederhana dan struktur 

kalimat yang sama, yang di dalamnya ciri Deuteronomistic sangatlah 

jelas terlihat.”6   

Menariknya, tema tersebut seakan berhenti bersama dengan 

kematian Simson. Pasal selanjutnya tidak lagi berbicara tentang kisah 

yang senada dengan situasi Israel dengan para hakimnya. Bahkan bisa 

dikatakan bahwa dalam lima pasal terakhir (pasal 17-21) tidak ada lagi 

“hakim“ yang dibangkitkan oleh TUHAN. Tidak ada lagi bangsa Kanaan 

yang digambarkan sebagai bangsa yang menjadi ancaman bagi keber-

langsungan hidup orang Israel. Selain memunculkan kisah yang lebih 

bersifat internal (terjadi di tengah dan berkaitan dengan bangsa Israel 

sendiri), kisah-kisah yang dituliskan dalam lima pasal terakhir ini bisa 

disimpulkan dalam sebuah kalimat yang juga ternyata ditulis berulang 

kali: “Pada zaman itu tidak ada raja di antara orang Israel.“ sebab  itu 

bisa dikatakan bahwa kalimat ini menjadi tema utama dalam kelima 

pasal terakhir dari kitab Hakim-hakim. 

 

Pokok Permasalahan 

Adanya tema di lima pasal terakhir, yang berbeda dengan 

tema yang terbaca dalam kisah para hakim di pasal-pasal sebelumnya 

membuat kitab Hakim-hakim kini sepertinya memiliki dua buah tema. 

Kehadiran dua tema ini menimbulkan permasalah dalam upaya 

memahami kitab Hakim-hakim. Kelompok pertama yaitu  kelompok 

yang melihat bahwa tema yang berbeda ini bukan hanya membuktikan 

bahwa sebenarnya kitab Hakim-hakim ini merupakan kumpulan tulisan 

yang disatukan dalam rentang waktu yang berbeda, tetapi juga bahwa 

pasal di awal dan lima pasal di akhir yaitu  sebuah karya editing yang 

ditambahkan kepada kumpulan kisah para Hakim yang telah ada 

sebelumnya. Berarti tema di lima pasal terakhir yaitu  sebuah tema 

                                                 

tambahan dalam kitab Hakim-hakim.7 Kelompok kedua melihat bahwa 

kitab Hakim-hakim yaitu  sebuah kesatuan sehingga tema di lima 

pasal terakhir bukanlah sebuah tema tambahan, melainkan sebuah 

tema yang terkait erat dengan tema yang ada dalam pasal-pasal 

sebelumnya sebab  pasal-pasal ini menyatu dengan pasal-pasal 

sebelumnya.8 Untuk bisa memahami akan makna tema di kelima pasal 

terakhir ini, maka ada beberapa permasalahan yang perlu terlebih 

dahulu diselesaikan: Sejauh manakah tema dalam lima pasal terakhir 

ini merupakan sebuah tema yang “kuat” atau cukup penting? Seberapa 

pentingkah tema “tidak ada raja“ dalam keseluruhan kitab sejarah? 

Apakah yang menjadi peran lima pasal terakhir dari kitab Hakim-hakim 

ini dalam keseluruhan kitab Hakim-hakim? 

Penulis melalui artikel ini hendak menyatakan bahwa tema 

“Pada zaman itu tidak ada raja“ yaitu  sebuah tema yang terkait erat 

bahkan menjadi tema dasar dari kitab Hakim-hakim. Beberapa alasan 

yang penulis pakai yaitu : Pertama, tema besar dalam kitab sejarah 

yaitu  “ke-Raja-an“, bukan “hakim“. Dalam struktur kehidupan bangsa 

Israel, kepemimpinan tunggal yang diperlukan yaitu  pemimpin yang 

menyatukan seluruh bangsa Israel. Hakim lebih bersifat pemimpin dari 

sebuah suku atau beberapa suku, namun bukan keseluruhan. Kedua, 

Tema lingkaran kesesatan Israel dalam kitab Hakim-hakim yaitu  

sebagai sebuah sub tema untuk menunjukkan kepemimpinan yang 

diperlukan dan ternyata tidak dapat dipenuhi dengan kehadiran para 

hakim sekalipun. Ketiga, lima pasal terakhir dari kitab Hakim-hakim 

                                                 

 

yaitu  bagian yang menjadi kesimpulan historiografi dari keseluruhan 

kitab. Secara struktur sebuah tulisan, maka bagian yang paling penting 

yaitu  “kesimpulan“nya. Tidak adanya raja itulah yang membuat 

bangsa Israel berjalan dengan pemahaman sendiri sehingga kesesatan 

terjadi dan permasalahan menimpa bangsa Israel sebab  hukuman 

Tuhan yaitu  bagian dari akibat dari tidak adanya raja. Itu sebabnya 

tema di lima pasal terakhir menjadi resume atau kesimpulan yang 

mengemas seluruh isi dari kitab Hakim-hakim secara teologis.  

Untuk menjelaskan semua argumen dan kesimpulan, maka 

pertama tama dalam artikel ini akan dibahas tentang pemahaman 

makna tema “pada zaman itu tidak ada raja” yang mendominasi lima 

pasal terakhir kitab Hakim-hakim. Dengan pemahaman tersebut 

kemudian akan dibahas tentang kaitan makna tersebut dengan ling-

karan kesesatan Israel yang terlihat mendominasi dalam kisah para 

Hakim. Kesimpulan dan beberapa pelajaran penting yang dapat dipetik 

dari tema “pada zaman itu tidak ada raja” menjadi penutup. 

 

Memahami Tema “Pada Zaman itu Tidak Ada Raja di Israel” 

Latar Belakang dari Situasi dalam Hakim-Hakim 17-21 

Pasal 17 diawali dengan wayehi yang sepertinya memisahkan 

kisah dalam pasal ini dengan pasal sebelumnya. Hal ini yang membuat 

mereka yang menyatakan bahwa pasal ini yaitu  sebuah sisipan dalam 

naskah deuteronomistic history yang seharusnya langsung dilanjutkan 

dengan 1 Samuel sebab  ada kesamaan topik antara Simson yang 

melawan orang Filistin dengan Samuel yang juga melawan orang 

Filistin.9 Walaupun kitab Hakim-hakim merupakan sebuah kitab yang 

                                                 

9. Moore, Judges, xxix. Moore melihat bahwa kisah ini tidak 

berhubungan dengan penyelamatan yang dipimpin oleh seorang pilihan Tuhan 

untuk melepaskan Israel dari musuh mereka. Itu sebabnya tidak termasuk 

dalam bagian deuteronomistic history. Dengan kata lain bagi Moore tema 

besar dari kitab Hakim-hakim yaitu  penyelamatan, kisah dalam lima pasal 

terakhir tidak memiliki tema yang sama sehingga bisa dikategorikan sebagai 

                                    Hakim-Hakim 17 – 21                    23 

 

disusun dengan menggunakan beberapa sumber, namun tidak berarti 

bahwa pemisahan kisah dapat menjadi dasar argumen untuk menyata-

kan bahwa pasal-pasal ini merupakan sisipan yang berbeda atau 

terpisah dari tema yang ada sebelumnya. Kata wayehi  dalam kitab ini 

saja muncul 37 kali dalam pasal 1-16. Kemunculan kata ini memang 

mengandung arti “yaitu ” sebagai sebuah awal dari kisah baru atau 

satu episode yang baru. Namun kata ini tidak secara otomatis mem-

buat apa yang dinyatakan kemudian terpisah dari kisah sebelum-nya. 

Dengan demikian, kisah dalam pasal 17 ini tidak harus diartikan sebagai 

sebuah kisah yang disisipkan secara terpisah. 

Kisah pasal 17 berisi tentang seorang Efraim yang bernama 

Mika dan apa yang ia lakukan untuk membuat tempat penyembahan di 

rumahnya dan kemudian kedatangan seorang Lewi yang mencari 

kehidupan melengkapkan upayanya untuk “menghadirkan” TUHAN 

dalam rumahnya. 

Kisah ini mendahului kisah migrasi Dan ke utara (pasal 18). 

Migrasi bani Dan ini juga dicatat dalam Yosua 19 dan juga terlihat 

sekilas di Hakim-hakim 1. Berdasarkan pencatatan tersebut, maka bisa 

diperkirakan bahwa kisah migrasi bani Dan ke utara tidaklah terlalu 

jauh masanya dengan kisah-kisah para hakim lainnya atau bahkan 

mendahului. Penempatan kisah ini menjadi bagian dari pasal pasal 

penutup menunjukkan adanya makna khusus dari pencatatannya. Ini 

bukan menjadi sebuah catatan kronologi dari sejarah melainkan 

sebuah historiografi yang memiliki nuansa pengajaran yang spesifik. 

Sebagaimana pada umumnya diterima oleh semua penafsir kitab 

sejarah, kitab nabi-nabi awal (former prophet books) ditulis sebagai 

sebuah interpretasi dari sejarah Israel seperti Nico menyatakan bahwa 

kitab-kitab ini yaitu  “sebuah pelajaran panjang dalam agama, yang 

diawali dengna masuknya ke tanah perjanjian di bawah kepemimpinan 

                                                                                

 

Yosua dan berakhir dengan umat pada akhirnya dibuang keluar dari 

tanah itu lagi. Ini yaitu  kitab kenabian.”10 

Pasal 19 diawali dengan kata wayehi yang menunjukkan 

bahwa kisah yang diberikan kemudian merupakan satu kisah tersendiri. 

Sekalipun mengisahkan tentang orang Lewi, namun jelas bahwa ini 

merupakan kisah yang berbeda dengan kisah yang sebelumnya. Itu 

sebabnya ada pula yang menyatakan bahwa Hakim-hakim 19-21 meru-

pakan bagian yang berbeda dari pasal 17-18. Pasal 17-18 bisa di-

mengerti sebagai bagian penutup dari kisah para Hakim, tetapi bagian 

ini sebenarnya merupakan sebuah tambahan (appendix). Dikatakan 

sebagai tambahan sebab  bagian ini tidak mempengaruhi keseluruhan 

kitab Hakim-hakim bila dihilangkan. Juga sebab  bagian ini sama sekali 

tidak memuat perjumpaan dengan bangsa Kanaan dalam sebuah pepe-

rangan atau kemenangan sebagaimana terlihat menjadi satu ciri yang 

berulang dari kisah para hakim yang melepaskan orang Israel dari para 

musuh yang menekan mereka. 

 

Pemahaman “Tidak Ada Raja di Israel” dalam Kelima Pasal Terakhir 

Kitab Hakim-Hakim 

Pemahaman di Hakim-Hakim 17:6 

Menyoroti ayat 6 yang tidak secara langsung berkaitan dengan 

sebuah kisah apapun bisa dilihat sebagai sebuah penutup atau 

pembuka dari perikop yang sebelum dan atau sesudahnya. Ayat 6 

terdiri dari 2 anak kalimat11 sebagai berikut: 

   

Untuk memahami anak kalimat pertama, perlulah terlebih dahulu 

melihat apa yang dikatakan oleh narator sebagai sebuah kesimpulan. 

Melalui apa yang diungkapkan baik di perikop sebelumnya ataupun 

sesudahnya, sehingga kata “benar menurut pandangannya sendiri” ini 

dapat ditandai sebagai hal yang positf atau negatif. Bila maksud dari 

anak kalimat ini positif, maka anak kalimat yang pertama meng-

isyaratkan hal yang positif pula. Tetapi bila maksud anak kalimat kedua 

yaitu  negatif, maka anak kalimat pertama perlu dicermati artinya 

secara mendalam. 

 

Situasi dalam Kisah Pasal 17 

Pasal 17 mengisahkan tentang keluarga Mikha dan orang Lewi 

yang kemudian menjadi imam bagi keluarga tersebut dalam menyem-

bah YHWH. Isu tentang penyembahan yaitu  sebuah isu yang menjadi 

salah satu benang merah dalam keseluruhan kitab Hakim-hakim. 

Dalam pasal pasal sebelumnya, oleh sebab  penyembahan yang keliru, 

yaitu “berbalik dari TUHAN dan menyembah atau mengikuti ilah 

bangsa Kanaan” maka murka Allah dan hukuman Allah tercurah 

kepada bangsa Israel. Dalam lingkaran kesesatan Israel, hal ini yaitu  

tahap pertama yang memicu tahapan-tahapan selanjutnya. Jika dalam 

pasal-pasal yang sebelumnya, hal ini dinyatakan sebagai “pendahu-

luan” dari kisah kesusahan dan pelepasan oleh para hakim, di pasal 17 

ini kisah penyembahan yang keliru itu menjadi fokus dari cerita. 

Setidaknya ada beberapa hal yang diceritakan dalam pasal 17 ini yang 

merupakan hal yang berlawanan dengan prinsip atau perintah Allah 

melalui Musa dan Yosua, pemimpin Israel yang terdahulu. 

Pertama, Pembuatan patung pahatan dan tuangan oleh ibu 

dari Mika dengan menggunakan uang curian yang dikembalikan oleh 

Mika. Patung tuangan ini disebut sebagai “terafim” dalam ayat 5, juga 

disebut sebagai “allahku” dalam 18:24. Dalam kisah di pasal 17 jelas 

26 

 

bahwa patung pahatan dan tuangan tersebut disembah oleh Mika yang 

memiliki kuil atau tepatnya “rumah allah” (bet elohim). Penyembahan 

kepada terafim yaitu  tindakan yang juga disebut sebagai penyem-

bahan berhala dalam 1 Samuel 15:23. Terlihat dengan jelas bagaimana 

ibu dari Mika menyebut nama “YHWH”, namun juga menjadi inisiator 

untuk pembuatan patung tuangan dan pahatan yang kemudian 

menjadi sembahan di “rumah allah” yang dibangun oleh Mika. Hal ini 

menjadi sebuah indikasi bahwa pemahaman atau pengenalan tentang 

YHWH telah terkontaminasi oleh pemahaman yang ada di sekitar 

mereka, yaitu agama Kanaan. 

Kedua, terlihat praktek kehidupan agama yang dilakukan 

secara “sembarangan”. Pengangkatan anak Mikha sebagai imam adal-

ah salah satu contohnya. Mikha yaitu  seorang dari suku Efraim, jelas 

bahwa pengaturan dalam kitab Musa telah menyebutkan bahwa hanya 

keturunan dari suku Lewilah yang berhak untuk menjadi seorang imam. 

Bukan hanya dari secara suku anak Mikha tidak sah untuk jadi seorang 

imam, tetapi juga sebab  pengangkatan ke dalam jabatan itu dilakukan 

secara pribadi oleh Mikha yang tidak mempunyai wewenang dari Allah 

untuk menahbiskan seseorang menjadi imam. 

Ketiga, sikap mentalitas dari seorang Lewi yang menjadi imam 

keluarga. Narator dengan jelas menyebutkan bahwa orang ini hidup 

dan melakukan aktivitas agamawi untuk kehidupannya. Lunturnya 

pemahaman penyembahan dalam aktivitas inti dari seorang imam 

yaitu  sesuatu yang sangat fatal. Tidak heran jika kemudian dengan 

mudah orang ini memilih untuk menjadi imam bagi bani Dan dengan 

segala yang ditawarkan kepadanya yang tentu baginya terasa lebih 

menguntungkan. Jika seorang imam yang seharusnya dalam kehi-

dupannya sangat dekat dengan komunikasi dan perjumpaan dengan 

TUHAN secara spiritual, ternyata begitu dangkal pemahaman spiri-

tualitasnya, maka bisa dibayangkan betapa lebih lagi keadaan moralitas 

dan spiritualitas dari bangsa pada saat itu. 

Pencampuran/sinkretisme yang memasukkan bentuk tuangan 

(terafim), yang yaitu  unsur berhala dari ilah Kanaan untuk melakukan 

                                    

penyembahan kepada TUHAN, merupakan penyimpangan penyem-

bahan kepada alat yang dipakai diperlihatkan sebagai bukti kesesatan 

yang terjadi pada zaman tersebut. Parahnya kehidupan spiritualitas 

telah mewarnai sampai kepada kehidupan dari anak-anak Israel pada 

masa itu. Hal ini juga yang menjadi sorotan besar dari kitab Hakim-

hakim. Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa anak kalimat kedua dari 

ayat 6 bukanlah berarti positif, melainkan sesuatu yang negatif. “Setiap 

orang melakukan apa yang benar dalam pandangannya sendiri” 

menunjuk kepada “kebenaran” bukan secara obyektif absolut “benar” 

tetapi secara subyektif “dalam pandangannya sendiri”. 

Dengan anak kalimat kedua sebagai referensi, maka bisa 

disimpulkan bahwa istilah “pada zaman itu tidak ada raja di Israel” 

memiliki makna negatif. Ketidakadaan “raja” merupakan sesuatu yang 

membuat adanya ketidakbenaran di tengah kehidupan anak-anak 

Israel. Melalui ayat 6 ini terlihat bahwa tidak ada raja membuat keka-

cauan dalam kehidupan pribadi dalam hal ini kehidupan Mikha dan 

kehidupan seorang Lewi. 

 

Hakim-Hakim 18:1 

Secara struktur penulisan dalam ayat ini tidak berbeda 

dengan penulisan di Hakim-hakim 17:6. Berikut dapat dilihat: 

 

Pada kalimat/anak kalimat yang selanjutnya, memang ada perbe-

daan isi sebab  pasal 17:6 bukan hanya menjadi pembuka dari bagian 

selanjutnya, tetapi juga menjadi penutup dari bagian sebelumnya. 

Kisah dalam pasal 18 merupakan lanjutan dari pasal sebelum-

nya sebab  masih bertutur tentang tokoh yang sama dari pasal 17, 

yaitu orang Lewi yang menjadi imam di kuil milik Mikha dan juga Mikha 

sendiri menjadi salah satu tokoh dalam cerita. Tokoh utama dalam 

pasal ini yaitu  bani Dan. Kisah tentang penyerangan ke kota Lais dan 

28 

 

pengambilalihan orang Lewi dan patung milik Mikha menjadi berita 

utama.  

Catatan waktu peristiwa yaitu  saat mereka sedang mencari 

tempat untuk menetap. Bila dihubungkan dengan Yosua 19:47-49 yang 

menceritakan tentang bani Dan yang menduduki Leshem dan mena-

mainya Dan, maka kisah ini bisa dikatakan tidak jauh (atau bahkan 

terjadi pada) masa akhir dari kepemimpinan Yosua. Sementara pen-

catatan peristiwa dalam kitab Hakim-hakim pasti dilakukan setelah 

mereka diangkut dalam pembuangan sebagaimana ditegaskan dalam 

ayat 30. 

Diangkutnya mereka ke dalam pembuangan menjadi sebuah 

akhir yang ironi dari kisah “keberhasilan” mereka menduduki kota Lais 

dan merasakan ketenangan setelah merasakan desakan dari orang 

Amori dan sempitnya tempat mereka di tempat semula. Ironi yang 

sama dari ketenangan yang dirasakan oleh Mikha sebab  merasa 

memiliki “YHWH” berdiam di rumah allahnya yang pada akhirnya 

kehilangan semuanya sebab  dirampas oleh bani Dan. 

Ironi yang dikisahkan dan juga tindakan bani Dan yang melaku-

kan penyembahan yang serupa dengan apa yang dilakukan oleh Mikha 

menuntun pada sebuah kesimpulan bahwa kisah tentang tindakan 

yang dilakukan oleh bani Dan di tempat ini bukan dicatat sebagai kisah 

yang bernuansa kepahlawanan, tetapi sebagai sebuah kisah kejatuhan 

atau pelanggaran yang dilakukan oleh bani Dan di hadapan Allah. 

Dari kesimpulan ini, maka pada saat narator memulai kisah 

dengan menyebutkan “tidak ada raja di Israel” dalam 18:1 mengarah 

kepada sesuatu kondisi yang negatif. Narator di tempat ini seperti 

dalam 17:6 hendak memberikan pesan tentang diperlukannya seorang 

raja untuk menghindarkan Israel dari pelanggaran yang mereka 

lakukan. 

Dalam pasal 18 ini “tidak ada raja di Israel” menjadi alasan dari 

kekacauan suatu suku bangsa dalam penyembahan dan dalam 

pemahaman akan peperangan. Dibandingkan dengan 17:6 terlihat 

adanya peningkatan intensitas kerusakan moral-religius dari per-

                                    

orangan (Mikha, orang Lewi) menjadi sebuah suku (bani Dan). 

Satterthwaite berpendapat bahwa “perubahan/pergantian antara 

individual dan level suku diceritakan untuk menunjukkan sebuah 

penyakit di Israel yang merasuk semua tingkat dalam masyarakat, 

personal, keluarga dan secara nasional.”12 

 

Hakim-Hakim 19:1 

Jika diperhatikan maka ada sedikit perbedaan dalam penu-

lisan bagian ini: 

 

 

Selain wayehi yang menjadi sebuah awal dari episode baru dalam 

cerita, terdapat juga perubahan letak kata ein dan melekh yang 

diletakkan berbalikkan dengan penambahan kata sambung yang 

diletakkan pada kata “raja”. Jika diterjemahkan secara hurufiah, maka 

bagian ini berbunyi: “dan yaitu  dalam hari-hari itu saat13 raja tidak 

ada di Israel.” 

Perubahan letak memberikan penekanan yang berbeda. 

Dalam bagian ini kata “raja” menjadi yang lebih utama daripada kata 

“tidak ada”. Agaknya di sini narator ingin memberikan sebuah 

perhatian kepada makna keberadaan raja lebih daripada situasi yang 

terjadi sebab  absennya raja. 

Pasal 19-20 bercerita tentang suku Benyamin yang berperang 

dengan kesepuluh suku lainnya. Dimulai dengan masalah kematian 

gundik seorang Lewi setelah diperkosa oleh penduduk kota Gibea dari 

                                                 

suku Benyamin. Kisah tentang orang Lewi ini (Hak 19) sama atau mirip 

dengan kisah tentang Sodom dalam Kejadian 19. Daniel Block 

menerangkan hal ini sebagai “echo literary strategy”14 untuk 

meletakkan suku Benyamin sebagai yang sama dengan Sodom. 

Beritanya jelas: Seperti orang Kanaan, hukuman sekarang dijatuhkan 

kepada suku Benyamin. Block menulis, “dengan gambaran tentang 

Gibea seperti Sodom diulang kembali, dan suku Benyamin seperi 

penduduk Kanaan di bawah hukum tentang , kisah drama 

tentang hari-hari kelam pada zaman para hakim mencapai pada 

puncaknya.”15 Orang Lewi ini kemudian menuntut keadilan dengan 

mengirimkan potongan mayat dari sang gundik ke dua belas suku Israel 

sehingga akhirnya semua suku kemudian memerangi suku Benyamin 

yang tidak mau menyerahkan orang dursila dari Gibea yang sudah 

memperkosa gundik itu. 

Peperangan yang terjadi bukanlah peperangan yang menun-

jukkan kejayaan bangsa Israel, tetapi sebaliknya, menggambarkan 

kehancuran dari bangsa Israel yang memerangi sukunya sendiri. 

Gambaran yang kelam ini menjadi “puncak” dari kejatuhan sebab  ada 

dua kejatuhan yang digambarkan dalam bagian ini: 

Pertama, kebobrokan moral yang berlawanan dengan hukum 

Allah baik dalam masalah keramahan kepada orang asing yang 

bermalam, maupun pemerkosaan yang dilakukan oleh orang dursila 

dari Gibea. Kebobrokan moral ini memiliki satu kemiripan dengan 

peristiwa Sodom dalam kitab Kejadian. Kini bukan lagi orang di luar 

Israel yang memiliki moralitas yang bejad, tetapi justru suku yang ada 

di antara suku Israel sendiri. 

Kedua, kehancuran kesatuan sebagai sebuah bangsa sebab  

mereka bukan berperang melawan penduduk Kanaan tetapi justru 

melawan sesama bangsa Israel. Dari seluruh kisah peperangan yang 

dicatat dalam kitab Hakim-hakim, bagian ini yaitu  satu-satunya kisah 

yang menunjukkan sebuah kebersamaan dari suku-suku bangsa yang 

melawan suku Benyamin sehingga kemenangan yang mereka capaipun 

menjadi sebuah kepedihan, bukan kesukaan (band. Hak 21:3, 6). 

Dalam hal yang dinyatakan di atas inilah keberadaan seorang 

raja sangat diperlukan, yaitu untuk mempersatukan bangsa dan men-

jaga seluruh bangsa baik dalam hal moral maupun dalam menyatakan 

hukum/mengadili yang bersalah (bukan seperti cara orang Lewi yang 

menarik perhatian dari suku-suku bangsa dengan cara yang “kejam”). 

 

Hakim-Hakim 21:25 

Pasal 21 tidak dipisahkan secara tegas dari pasal sebelumnya 

tetapi merupakan sebuah kelanjutan. Pemisahan antar alinea hanya 

ditandai dalam Masoretic Text dengan tanda “p”17 sehingga Hakim-

hakim 21:1-4 merupakan alinea yang melanjutkan kisah kekalahan dan 

kehancuran bani Benyamin. Juga ayat 5 mengacu pada janji keber-

samaan yang mereka lakukan di Mizpa pada saat mereka berkumpul 

untuk memerangi suku Benyamin yang dicatat di Hakim-hakim 20:1. 

Kisah yang diangkat dalam pasal ini merupakan sebuah upaya 

dari suku-suku Israel untuk menyelamatkan keturunan Benyamin agar 

tidak punah dari kaum Israel. Terikat dengan sumpah mereka, maka 

                                                                                                        

dengan sejarah suku Benyamin di kemudian hari, maka terlihat bahwa sama 

seperti suku Benyamin yang tertolak ini, Saul, raja pertama Israel yang berasal 

dari keturunan Benyamin juga akhirnya tertolak, sementara Yehuda sebagai 

suku yang dipilih oleh Allah untuk maju pertama, maka di kemudian hari 

Daudpun muncul sebagai raja yang besar dari kaum Yehuda. 

17. Seow, 170. Penandaan “p” sebagai awal sebuah bagian terdapat 

di Hak 20:35 yang berlangsung sampai ayat  48. Kemudian dengan tanda yang 

sama utk memulai bagian berikutnya, yaitu 21:1-4. Semua pembagian itu 

masih dalam satu bagian sampai 21:12 yang ditandai dengan “s” sebagai akhir 

dari bagian besarnya. 

32 

 

mereka kemudian memakai cara lain untuk membuat agar suku 

Benyamin tetap mendapatkan para wanita yang diperlukan untuk 

melanjutkan keturunan. Kisah ini diakhiri oleh narator dengan mem-

berikan sebuah kalimat konklusi di ayat 25. Nilai dari konklusi ini tentu 

terkait dengan apa yang menjadi cerita di atasnya. 

Cara yang dipakai oleh suku-suku di luar suku Benyamin untuk 

meyediakan para gadis untuk suku Benyamin bisa dikatakan sebagai 

cara yang tidak tepat.  

Pertama, mereka menyerang dan menghabiskan penduduk 

Yabesh-Gilead dan menawan para gadis sebagai jalan keluar dari 

keterikatan mereka kepada sumpah yang mereka buat sendiri dalam 

kemarahan mereka terhadap bani Benyamin. Penduduk Yabesh-Gilead 

sendiri merupakan salah satu kaum dari suku Manasye yang berada di 

seberang sungai Yordan (band. Yos 22:9). Dari Hakim-hakim 21:5 jelas 

bahwa yang dimaksud dengan penduduk Yabesh-Gilead di sini bukan-

lah orang Kanaan, melainkan dari antara kaum keluarga dalam suku 

bangsa Israel sendiri. Mereka yang dibunuh yaitu  para pria, wanita 

yang sudah menikah dan anak-anak. Hal ini yaitu  sama dengan 

pemusnahan sebuah kaum. Pemusnahan yang semacam itu memang 

pernah diperintahkan oleh Yosua kepada bangsa Israel, tetapi untuk 

memerangi penduduk Kanaan, bukan untuk kaum sendiri. Sebaliknya, 

perlindungan justru harus diberikan agar tidak ada kaum yang hilang 

sebab  hal itu diperlukan untuk menjaga tanah yang diwariskan kepada 

bangsa Israel dari nenek moyang mereka.  

Kedua, strategi yang diajarkan kepada bani Benyamin untuk 

menculik para gadis yang sedang menari di kala ada perayaan bagi 

TUHAN di Silo pada dasarnya merupakan sebuah taktik yang dibuat 

dengan pola pikir manusia yang mencari “celah” dari sebuah sumpah 

yang mereka buat. Para tua-tua Israel tentu tidak memberitahukan 

rencana ini kepada penduduk Silo dan mereka sudah menyiapkan 

jawaban bila ada protes dari penduduk Silo.  

                                    

 

Dengan demikian makna dari kalimat penutup yang diberikan 

oleh narator bukan bersifat positif, melainkan negatif, senada dengan 

pasal-pasal sebelumnya. 

Secara struktur, Hakim-hakim 21:25 memiliki kesamaan 

dengan Hakim-hakim 17:6: 

 

Kesamaan ini meneguhkan pendapat bahwa pasal 17-21 yaitu  sebuah 

kesatuan yang diawali dan diakhiri dengan sebuah pernyataan yang 

persis sama. Kiastik dari pasal 17-21 terlihat sbb: 

 

17:6  Pada hari hari itu tidak ada raja di Israel   a 

  Orang berlaku apa yang benar menurut pandangannya 

 18:1                             Pada hari hari itu tidak ada raja di Israel    b 

 19:1        [Terjadilah] Pada hari hari itu raja tidak ada di Israel    b

1

 

21:25  Pada hari hari itu tidak ada raja di Israel   a 

  Orang berlaku apa yang benar menurut pandangannya 

 

Kesatuan kiastik ini membuat pasal 19-21 bukanlah sebagai sebuah 

tambahan (appendix), melainkan memiliki posisi yang sama dengan 

pasal 17-18 sebagai penutup dari kitab Hakim-hakim. 

Dari struktur kiastik yang terlihat, maka berita “tidak ada raja” 

dan “raja tidak ada” menjadi hal utama yang membuat orang berbuat 

sekehendak hatinya. Dengan demikian, maka pemahaman “raja” di 

bagian ini mengarah kepada sosok yang memberikan pengaruh positif. 

Ketika kehadiran sosok ini hilang, maka hal-hal negatif muncul dan 

mewarnai kehidupan bangsa Israel.  

34 

 

Siapa “Raja” yang Dimaksudkan di Sini 

Pemahaman ini memimpin kepada sebuah pertanyaan ten-

tang siapa “raja” yang dimaksudkan di sini: Allah sebagai Raja, atau 

manusia yang memiliki kedudukan sebagai raja? 

Pemahaman Allah sebagai “raja” atau ke-raja-an (kingship of 

god) merupakan hal yang tidak asing bagi bangsa Israel sebab  dalam 

dunia Timur dekat (ancient near east) hal itu yaitu  hal yang juga 

merupakan pandangan dari bangsa-bangsa di sekitar Israel. Gary V. 

Smith mengatakan bahwa “terminologi ke-raja-an dan ke-tuhan-an 

(kingship and lordship) yang mendominasi literatur Mesopotamia 

menunjukkan bahwa kuasa dan otoritas dari para dewa yaitu  faktor 

penting dalam pemikiran mereka.”18 Ada banyak sekali temuan yang 

menunjukkan bahwa para dewa bukan hanya di Mesopotamia, tetapi 

juga dalam budaya Babel, Mesir, juga memiliki pengertian yang tidak 

jauh berbeda.19 Selanjutnya Smith mengatakan, “Raja yang di dunia 

dipandang memiliki kesamaan dengan para dewa dinyatakan dalam 

ungkapan “raja yaitu  seperti gambaran dari dewa.”20  

Pemahaman bahwa TUHAN yaitu  Raja menurut Mowingkel 

yaitu  tema pusat dari Perjanjian Lama.21 Selain sangat jelas terlihat 

dalam Mazmur, pemahaman tentang Allah yang berkuasa menyuruh 

dan menempatkan yang dikatakan oleh Yusuf (Kej 45:8) merupakan 

                                                 

 

gambaran dari Raja yang berkuasa. Demikian juga dengan sebutan 

“Tuhan semesta bumi” (Yos 3:11) menyatakan kuasa-Nya atas dunia. 

Di luar dari lima pasal terakhir dari kitab Hakim-hakim, kata 

“raja” memang jarang muncul di kitab Hakim-hakim ini dalam 

hubungan sebagai pemimpin Israel.22 Kata ini hanya muncul secara 

eksplisit untuk Abimelekh (Hak 9:6) yang menobatkan dirinya menjadi 

raja.23 Hal ini membuat beberapa penafsir melihat pemahaman “raja” 

dalam arti yang negatif bila dihubungkan dengan manusia sebab  

Abimelekh yaitu  sosok raja yang jelek sehingga kematiannyapun oleh 

narator disimpulkan sebagai balasan Allah atas kejahatannya (Hak 

9:56). Dengan dasar ini, maka bila pemahaman “raja” di lima pasal 

terakhir memperlihatkan makna yang positif, tentu kata “raja” tidak 

dimaksudkan untuk manusia. Beberapa penafsir seperti Boling dan juga 

Darby melihat bahwa “raja” di lima kitab terakhir menunjuk kepada 

TUHAN sebagai “Raja”. Boling berpendapat bahwa situasi  kacau terjadi 

sebab  “Yahweh tidak sungguh-sungguh diakui sebagai Raja atas 

Israel.”24 Gideon pun dengan tegas menyatakan posisi ke-Raja-an 

TUHAN atas Israel. Dalam kitab Samuel, ketika akhirnya bangsa Israel 

meminta “raja” seperti bangsa-bangsa lain memiliki, maka TUHAN 

dengan tegas mengatakan bahwa permintaan itu sama dengan 

“menolak” TUHAN sebagai Raja (1Sam 8:7).25   

                                                 

 

Pandangan ini kelihatannya cukup beralasan, namun jika 

diperhatikan dengan teliti, maka terlihat bahwa pendapat ini lemah 

sebab  setidaknya ada dua alasan mendasar: Pertama, pemahaman 

“raja” dalam teologi umat Allah berbeda dengan pemahaman tentang 

raja yang ada dalam bangsa-bangsa di sekitar Israel pada masa itu. 

Perbedaan yang jelas terlihat yaitu “raja” bagi bangsa Israel bukanlah 

turunan dewa dan tidak pernah dipandang seperti itu. Ia juga bukan 

merangkap sebagai kepala dalam keagamaan seperti raja-raja bangsa 

di sekitar Israel. Smith dengan tepat menuliskan bahwa “di Israel, raja 

bukanlah imam besar dan bukan melalui raja Allah menyatakan 

kehendak-Nya...sebab  mereka pada dasarnya yaitu  hamba dari 

Yahweh, Raja sejati Israel.”26 Dengan pemahaman ini, seperti juga 

tertulis dalam Ulangan 17:14-20, kedudukan raja itu sendiri bukanlah 

sesuatu yang membuat Allah murka sebab  Allah yang memilih raja 

tersebut. Penetapan dari Allah ini, dan juga peraturan yang ditetapkan 

Allah (Taurat) yang menjadi pedoman dalam seorang raja menjalankan 

pemerintahannya, menjadikan posisi Allah tetap sebagai sang Raja dan 

raja di dunia menjadi agen-Nya yang nyata bagi umat-Nya. Teokrasi 

tetap menjadi kerangka kehidupan umat Allah di dunia ini. Kedua, 

permasalahan yang dikemukakan sebenarnya yaitu  cara dan motivasi 

dalam meminta raja. Ketika raja dipandang dan diinginkan sebagai 

person yang “menyelamatkan” atau membebaskan dan yang meme-

nangkan peperangan, maka hal itulah yang tidak berkenan di hadapan 

Allah. Dalam interaksi dan intervensi Allah kepada umat-Nya, jelas 

bahwa YHWH yaitu  yang membebaskan dan memberikan kesela-

                                                                                                        

 

matan. IA yang berperang dan memakai orang yang dipilih-Nya untuk 

berperang bagi Dia. Tidak ada sesuatu apapun atau seorangpun yang 

dapat dan berhak “menggantikan” peran YHWH yang menyelamat-

kan.27 Dalam penolakan Gideon untuk memerintah atas Israel, Gerald 

Gerbrandt menjelaskan hal ini dengan tepat. Gerbrandt menjelaskan 

bahwa “berita dari 8:22-23 bukanlah bahwa ke-raja-an (kingship) itu 

tidak cocok dengan Yahwehisme, tetapi di sini lagi masalahnya yaitu  

motivasi untuk meminta yaitu  sebab  ‘engkau telah menyelamatkan 

kami dari tangan orang Midian’.”28 Dalam kasus Abimelekh, tidak 

dinyatakan bahwa posisi “raja” yang membuat dia dihukum Allah. Jelas 

dari perumpamaan yang Yotam katakan dan dalam kisah Abimelekh, 

cara dia menjadi raja dengan membunuh ketujuh puluh saudaranya 

dalam persekongkolannya dengan penduduk Sikhem itulah yang yang 

tidak benar. Catatan dari narator dalam kisah Abimelekh di akhir 

riwayatnya dengan jelas mengatakan bahwa “Allah membalaskan 

kejahatan yang dilakukannya kepada ayahnya, yaitu pembunuhan atas 

ketujuh puluh saudaranya” (Hak 9:56). Gerbrandt memberikan komen-

tarnya, “bukanlah ke-raja-an (kingship) yaitu  sebuah kejahatan, tetapi 

ketika ke-raja-an didasarkan pada kejahatan dan penyalahgunaan 

kekuasaan...maka akibat yang tidak dapat dielakkan dari ke-raja-an 

yang sedemikian akan menjadi kehancuran.”29 Dalam kisah di 1 

                                                 

 

Samuel, juga terlihat bahwa keinginan yang mereka minta dari raja 

yaitu  “memimpin kami dalam perang” (1Sam 8:20) seperti raja 

bangsa lain. Dari jawaban TUHAN jelas bahwa masalahnya yaitu  umat 

Israel waktu itu ingin “menggeser” posisi Raja yang menyelamatkan 

(yang yaitu  haknya Tuhan), dan menaruh posisi terebut kepada raja 

yang kelihatan. Itulah sebabnya permintaan mereka dipandang jahat 

oleh Allah.30 Posisi “raja” yang diberikan oleh Allah kepada manusia 

bukanlah meniadakan atau menggeser ke-raja-an Allah atas umat-Nya. 

Selama hal itu jelas dan diterapkan, maka hal itu bukanlah sesuatu yang 

bertentangan dengan kehendak-Nya. 

Argumentasi di atas memperlihatkan bahwa kedudukan atau 

posisi “raja” bukanlah sesuatu yang dilihat secara negatif. Bila hal ini 

dikaitkan dengan kata “raja” yang dalam lima pasal terakhir dari kitab 

Hakim-hakim yang memiliki arti positif, maka istilah “raja” dalam 

kelima pasal terakhir masih terbuka untuk diterapkan kepada penger-

tian raja secara manusia. David Howard memberikan sebuah komentar 

yang bisa juga dijadikan sebagai acuan. Ia menulis bahwa sekalipun 

memang tidak secara jelas ditujukan kepada siapa yang dimaksud 

dengan raja disini, “dalam kenyataanya, pernyataan terdekat dalam 

kitab ini untuk YHWH memerintah memakai kata māšal (8:22, 23), dan 

bukan mālak atau melek; yang terakhir sebaliknya dipakai hanya untuk 

menunjuk kepada raja secara manusia (human king) yang memberikan 

dukungan kepada pandangan umum [bahwa yang dimaksud dalam 

bagian ini yaitu  orang yang menjadi raja+.”31 Kitab Hakim-hakim tidak 

mempermasalahkan keberadaan YHWH sebagai Penyelamat dan 

secara implisit sebagai Raja. Yang sedang dibicarakan sebagai topik 

                                                 

dalam bagian ini lebih mengarah kepada kehadiran seorang raja 

(secara manusia) yang pada masa itu memang belum muncul. Dengan 

demikian maka “raja” yang dimaksud dalam kelima pasal terakhir dari 

kitab Hakim-hakim yaitu  manusia yang diposisikan sebagai raja. 

Tema tentang “raja” memang merupakan tema yang mewar-

nai dalam kehidupan bangsa Israel. Keberadaannya dibicarakan lebih 

banyak daripada bahasan tentang “hakim”. Peran dan kuasanya juga 

lebih dari apa yang dimiliki dan dilakukan oleh para hakim. Kata 

“hakim” yang dipakai khususnya dalam kitab Hakim-hakim lebih mene-

kankan peran mereka sebagai orang-orang yang memimpin dalam 

upaya pembebasan dari penindasan yang dilakukan oleh bangsa-

bangsa di sekitar atau dalam berperang melawan para penindas.32 

Berbicara tentang raja, maka salah satu perannya yaitu  sama seperti 

para hakim dalam zaman hakim-hakim yaitu memimpin dalam per-

lawanan kepada bangsa lain yang berusaha menindas atau menguasai 

mereka. Para hakim yang dinyatakan dalam kitab Hakim-hakim itu 

yaitu  para pemimpin suku. Tugas utama mereka yaitu  melepaskan 

suku bangsa dari penindas dan menjaga perdamaian selama mungkin 

selagi mereka hidup. Tugas utama mereka yaitu  lebih bernuansa 

militer. Sementara raja yaitu  seorang pemimpin bangsa. Tugas 

mereka bukan hanya menjaga perdamaian secara militer, tetapi juga 

untuk memimpin seluruh bangsa untuk taat kepada Allah. Raja 

diperlukan untuk membuat kedisiplinan, dan tatanan untuk membuat 

umat dapat menyembah Allah yang benar. Dari sudut pandang 

                                                 

 

otoritas, para hakim lebih terbatas lingkupnya. Para hakim memang 

dapat meminta kerjasama dari suku-suku lain dalam pertempuran 

melawan dalam komandonya, tetapi hal itu tidak selamanya. Setelah 

perang usai, mereka akan kembali kepada kehidupan masing-masing. 

Raja dapat menyatukan semua suku bersama-sama baik dalam saat 

peperangan, maupun dalam waktu damai. sebab  itu kebutuhan akan 

adanya raja tidak terelakkan. Amit menyimpulkan: “perlunya memiliki 

raja yaitu  sebuah pelajaran penting yang dipetik dari masa pemerin-

tahan Allah dan kepemimpinan para hakim-hakim. Allah dan umat-Nya 

menyadari bahwa perlu adanya kepemimpinan yang terus-menerus 

yang dapat memikul tanggungjawab dan segala yang berkaitan dengan 

hal itu.”33 Dengan demikian jelaslah bahwa untuk masalah kepemim-

pinan dalam skala pembahasan yang lebih luas dan menyeluruh, maka 

bukanlah hakim yang menjadi point penting, tetapi raja yang menjadi 

pokok bahasan utama untuk kehidupan bangsa Israel. Hal ini membuat 

tema tentang “raja” secara otomatis juga menjadi tema yang mema-

yungi atau menjadi isu yang lebih luas dan mendasar dalam kitab 

sejarah, termasuk juga kitab Hakim-hakim. 

 

Keterkaitan Tema “Pada Zaman Itu Tidak Ada Raja di Israel” dengan 

Lingkaran Kesesatan 

Tidak adanya raja yaitu  akar utama dari kekacauan yang ter-

jadi dalam kehidupan bangsa Israel sehingga lingkaran kesesatan terli-

hat berulangkali dalam kisah para Hakim yang tercatat mulai dari Ehud 

sampai Simson. Dari struktur sebuah narasi, setiap kisah memiliki pola 

yang bisa diterangkan sebagai berikut: Exposition (1) – Complication (2) 

– Change (3) – Unraveling (4) – Ending (5).34 Titik awal/eksposisi me-

nunjukkan keadaan atau permasalahan yang sedang dihadapi. Dalam 

kitab Hakim-hakim ini, awal dari semua kisah memiliki kesamaan, yaitu 

                                                 

 

“orang Israel melakukan apa yang jahat di mata TUHAN” (2:11, 3:7, 12, 

4:1, 6:1, 10:6, 13:1). Beberapa kali kemudian kondisi ini diterangkan 

dengan lebih detail mengenai apa yang dimaksud sebagai “jahat di 

mata TUHAN”, yaitu bahwa mereka meninggalkan TUHAN atau 

beribadah kepada allah lain (2:12,13, 3:7, 6:10, 10:6). Jelas bahwa 

masalah spiritual, yaitu TUHAN tidak lagi diakui dan ditaati. Kisah-kisah 

tersebut memang tidak menjelaskan mengapa masalah spiritual itu 

bisa terjadi. Jawaban itu justru baru diberikan di lima pasal terakhir. 

Melalui kelima pasal terakhir kitab Hakim-hakim narator jelas menun-

jukkan bahwa dengan tidak adanya raja itulah yang membuat kehi-

dupan spiritualitas pribadi sampai skala keseluruhan bangsa menjadi 

rusak. Kerusakan moral juga digambarkan sebagai akibat dari hilangnya 

ketaatan kepada tuntunan Allah sebab  yang menjadi patokan utama 

dalam penilaian dan keputusan yaitu  pan-dangan diri sendiri.  

Sepertinya para hakim itu sendiri ternyata tidak mampu 

mengatasi permasalahan spiritual yang mendasari segala kekacauan. 

Para hakim memang dibangkitkan oleh TUHAN untuk menjawab apa 

yang menjadi teriakan dari bangsa Israel yang merasa tertekan oleh 

suku-suku yang berada di sekitar mereka. Para hakim bangkit untuk 

satu tugas yaitu membebaskan orang Israel dari cengkeraman penin-

dasnya. Mereka memang menyelesaikan secara temporal masalah 

penindasan dengan berperang dan memenangkan pe-perangan, tetapi 

kondisi spiritual tidak “tersentuh” sehingga situasi tetap berulang 

ketika sang hakim meninggal bahkan dinyatakan ketika sang hakim 

masih adapun, mereka juga sudah menyimpang (Hak 2:17). Kesesatan 

Israel mewarnai kehidupan suku-suku Israel di sepanjang kitab Hakim-

hakim sebab  para hakim tidak menyelesaikan akar masalah kesesatan 

yang membuat Allah menghukum mereka. Gideon yang terlihat me-

miliki pemahaman tentang TUHAN yang yaitu  Raja sejati (Hak 8:23) 

itupun bahkan membuat patung tuangan berbentuk efod yang 

membuat Israel menyimpang dari iman kepada TUHAN (Hak 8:27) 

Berbeda dengan peran hakim, tuntutan tanggungjawab 

seorang raja yaitu  lebih besar. Raja bukan hanya harus memimpin 

42 

 

mereka saat negara terancam secara militer oleh musuh atau bangsa 

lain yang hendak menginvasi, tetapi dalam tanggungjawab yang lebih 

besar yaitu  memimpin seluruh bangsa untuk tetap berada dalam 

kesetiaan kepada TUHAN. Gerbrandt menuliskan bahwa raja yaitu  

“untuk memimpin Israel dengan menjadi administrator dari perjanjian 

(covenant); kemudian ia bisa meyakini YHWH yang menyelamatkan. 

Inti dari perjanjian ini yaitu  kewajiban Israel untuk setia secara total 

kepada YHWH.”35 Dengan demikian keberadaan seorang raja dilihat 

sebagai dasar yang penting untuk kehidupan umat Israel dan dan juga 

sekaligus menjadi jawaban atas apa yang menjadi masalah utama dari 

semua kekacauan yang dibahas dalam kitab Hakim-hakim dengan 

lingkaran kesesatan yang tidak henti-hentinya berulang dalam 

kehidupan suku-suku bangsa Israel sejak Yosua tidak lagi menjadi 

pemimpin mereka.  

Kisah dari penindasan bisa beragam, para hakim yang 

dibangkitkan TUHAN bisa berbeda latar belakangnya, peperangan 

mereka bisa berbeda strateginya, namun hal yang sama yang melatar 

belakangi semua peristiwa yaitu  situasi di mana bangsa Israel 

berubah setia kepada TUHAN. Situasi inilah yang dijelaskan oleh 

narator dalam kelima pasal terakhir terjadi sebab  satu kesamaan: 

pada zaman itu tidak ada raja di Israel. Bila struktur ini diibaratkan 

sebuah pohon, maka batang pohon yang utama yaitu  “tidak ada raja 

di Israel”. Kisah masing-masing hakim menjadi carang-carang yang 

muncul dari pokok batang pohon utama. “Lingkaran kesesatan” men-

jadi daun-daun yang mewarnai setiap carangnya. Dengan analogi 

seperti ini, jelaslah bahwa sebenarnya tema utama dari kitab Hakim-

hakim bukanlah “lingkaran kesesatan”, melainkan “tidak ada raja di 

Israel” yang menjadi pokok batang pohon utamanya. 

 

 

Tema “Pada Zaman Itu Tidak Ada Raja di Israel” dalam Struktur Kitab 

Hakim-Hakim 

Kitab Hakim-hakim yaitu  sebuah kitab narasi. Pada umumnya 

sebuah narasi, memiliki tiga bagian penting sebagaimana Amit menga-

takan, yaitu “permulaan sebuah kisah, tubuh dari kisah dan sebuah 

akhir.”36 Ada sebuah harapan perubahan atau kondisi yang lebih baik 

diceritakan pada bagian akhir. Bila kondisi lebih baik terjadi, maka kisah 

yang dinarasikan menunjukkan hal yang positif atau sebuah kebaikan. 

Bila tidak terjadi perubahan apapun, atau bahkan jika ternyata akhirnya 

lebih buruk kondisinya, maka pasti ada sesuatu yang salah telah terjadi 

dan kisah yang diceritakan menunjukkan kesalahan tersebut. 

Melihat dari struktur kitab Hakim-hakim, maka bisa dikatakan 

bahwa bagian akhir atau ending yaitu  kelima pasal terakhir ini. Itu 

sebabnya pasal pasal terakhir ini menjadi bagian yang penting untuk 

merajut keseluruhan kitab dalam sebuah gambaran akhir. Boling mem-

bagi struktur kitab dengan menunjukkan bahwa di awal kitab dinyata-

kan tentang Israel yang tersebar setelah kematian Yosua dan diakhiri 

dengan kisah penyatuan seluruh Israel.37 Hal ini tidaklah tepat meng-

ingat kitab Hakim-hakim ini diakhiri dengan sebuah pernyataan yang 

dalam pembahasan dalam artikel ini (lihat bagian pertama) jelas me-

nunjuk kepada suatu kekacauan, bukan sebuah kebaikan. 

William Dumbrell mencoba untuk memberikan sentuhan yang 

berbeda. Baginya, bagian akhir ini menunjukkan bahwa sebenarnya 

raja bukanlah sebuah jawaban bagi kehidupan Israel. Justru yang 

diperlukan yaitu  orang orang seperti para hakim yang dipakai TUHAN. 

Dumbrell menegaskan bahwa penulis kitab Hakim-hakim ini “meng-

usulkan pola intervensi ilahi langsung (direct divine intervention), 

dengan kepemimpinan teokrasi, yang atasnya kesejahteraan Israel 

diperoleh, tidak pernah begitu benar benar didemonstrasikan seperti 

                                                 

 

pada zaman para hakim.”38  Dumbrell melihat bahwa kitab ini ditulis 

pada masa pembuangan, saat kerajaan ternyata tidak memberikan 

solusi.39 Sekalipun pendapat ini memberikan perhatian kepada posisi 

YHWH yang berkuasa dan melihat bahwa adanya raja justru meng-

hilangkan keutamaan YHWH sebagai Raja, namun masalahnya yaitu  

situasi para hakim sebenarnya justru menunjukkan kekacauan itu 

sendiri. Hakim yang satu berganti dengan hakim yang lain, hanya untuk 

menyelesaikan masalah yang di permukaan. Akar masalah yaitu bahwa 

orang Israel meninggalkan TUHAN tidaklah diselesaikan. Lagipula 

dalam zaman para hakim kepemimpinan hanyalah bersifat parsial pada 

suku-suku tertentu dan tidak pernah menjadi solusi untuk sebuah 

kesatuan bangsa. Howard cukup tepat untuk menilai bahwa “sebuah 

kelemahan dari posisi dia [Boling] dan Dumbrell yaitu  bahwa mereka 

memberikan penekanan yang terlalu besar kepada pernyataan di 

[Hakim-hakim] 21:25... dan terlalu sedikit perhatian kepada apa yang 

ada di 17:6, 18:1, dan 19:1.”40 Keberadaan raja secara manusia tidak 

pernah dimaksudkan dan dipikirkan sebagai pengganti dan menggeser 

kedaulatan TUHAN atas bangsa Israel sehingga tidaklah perlu dikuatir-

kan, sebaliknya, tidak adanya raja justru membuat bangsa Israel tidak 

memiliki pemimpin yang bisa menyatukan dan membawa bangsa Israel 

kepada penyembahan dan kesetiaan kepada TUHAN. 

Bagian akhir atau ending ini yaitu  bagian yang penting sebab  

sebuah narasi pada umumnya memberikan sebuah kesimpulan ten-

                                                 

tang cerita di bagian akhir.41 Di sini penulis setuju dengan apa yang 

dikatakan oleh Amit bahwa pasal pasal ini dituliskan untuk “menyim-

pulkan kegagalan kepemimpinan para hakim dan merekomendasikan 

monarki/kerajaan.”42 Penulis kitab Hakim-hakim memang dengan 

sengaja memberikan lima pasal terakhir dengan satu kalimat penyatu: 

“pada zaman itu tidak ada raja di Israel” dalam sebuah struktur narasi. 

Setelah memberikan keseluruhan cerita yang memiliki dasar yang sama 

(sekalipun belum dikatakan selama bertutur), pada akhirnya narator 

menyimpulkan pelajaran penting dari ke semua kisah, yaitu “kepemim-

pinan yang kuat yang diperlukan yaitu  raja”. Tanpa mengecilkan 

makna kesatuan Israel seperti yang dilihat oleh Boling dan Dumbrell,43 

raja justru menjadi penyatu yang diperlukan bukan hanya pada saat 

perang (seperti pada para hakim) melainkan juga pada saat damai. 

Kehadiran raja justru menjadi pemutus lingkaran kesesatan yang terus 

menerus terjadi dalam kehidupan bangsa Israel pada masa para hakim.  

 

Penutup 

Kitab Hakim-hakim memang tidak secara langsung berbicara 

tentang raja, tetapi mengarahkan para pembacanya untuk melihat 

bahwa kehadiran raja yaitu  hal yang tidak bisa dielakkan sangat 

diperlukan bahkan menjadi jawaban di tengah segala kekacauan yang 

menjadi ciri kisah di kitab Hakim-hakim. Tema ke-raja-an yang men-

dominasi kitab sejarah atau khususnya kitab nabi awal (former prophet) 

merupakan hal yang lebih utama daripada kisah tentang hakim itu 

sendiri. Ketidakadaan raja itulah yang menjadi tema dasar yang menya-

tukan seluruh kisah yang berbeda-beda dari semua hakim yang diceri-

                                                 

 

takan di dalam kitab Hakim-hakim. Kesimpulan yang diberikan di akhir 

kitab menjadi pokok penting dalam struktur kitab narasi seperti kitab 

Hakim-hakim ini. Hal ini membuat tema yang diusung dalam lima pasal 

terakhir bukanlah sebuah tema sisipan, sebaliknya ini yaitu  tema 

utama dari kitab Hakim-hakim. 

Tema “pada zaman itu tidak ada raja di Israel” memberikan 

sebuah pelajaran penting tentang kepemimpinan yang menjadi pokok 

penting dalam hidup sebuah bangsa ataupun komunitas, termasuk 

gereja pada masa kini. Pemimpin yang diperlukan bukan hanya pemim-

pin yang bisa menyelesaikan atau menangani masalah yang ada di 

permukaan, tetapi lebih dari itu, ia harus menjadi seorang yang dapat 

mendeteksi akar masalah dan menyelesaikannya. Tanpa itu, persoalan 

akan terus menerus berulang dan tidak pernah membuat sebuah 

kemajuan. Kondisi dunia pada hari ini dengan filosofi posmo tidak 

berbeda dengan apa yang dinyatakan di akhir kitab Hakim-hakim. Indi-

vidualisme dan relativisme telah membuat “semua orang melakukan 

apa yang benar dalam pandangannya sendiri” (Hak 21:25). sebab  itu, 

sekarang diperlukan tampilnya pemimpin yang dapat menghindarkan 

manusia dari kekacauan yang sudah mengintip di depan pintu.