Tampilkan postingan dengan label yahudi di al-qur'an. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label yahudi di al-qur'an. Tampilkan semua postingan

yahudi di al-qur'an

 


yahudi di al-qur'an 


Abad 20, terlebih menjelang abad 21, ditandai oleh mulai munculnya 

kesadaran umat manusia tentang adanya kesatuan global, yakni adanya 

ketergantungan satu umat dengan lainnya dan keperluan akan saling memahami serta 

memberi respek antara sesama manusia, meski memiliki pandangan atau ideologi 

berbeda. Sekat-sekat budaya, agama dan nasionalitas mulai runtuh - sebuah 

fenomena yang sebelumnya tidak pemah terbayangkan, baik oleh tukang ramal atau 

para ilmuwan. Persoalan pluralisme agama mulai mencuat ke permukaan dan 

dibicarakan secara serius oleh berbagai kalangan, termasuk agamawan sendiri. Jika 

sebelumnya perbedaan agama acap kali mengantarkan para pemeluk agama yang 

satu memusuhi pemeluk agama yang lain dan bahkan saling menumpahkan darah, 

maka di zaman yang disebut "global" ini mereka niscaya dituntut untuk saling 

menghargai dan menghormati, sebab jika tidak maka dikhawatirkan destruksi dan 

malapetaka akan semakin menjadikan dunia ini bagai neraka. Dunia sudah sangat 

fragile: mudah dibangun; lebih mudah lagi dihancurkan. Namun demikian, 

membangun kesadaran diri dan menempatkan diri secara proporsional di tengah­

tengah globalisme peradaban dunia tidaklah mudah. Diperlukan banyak energi untuk 

usaha ini  dan diperlukan usaha keras setiap pemeluk agama untuk sukses 

mengukuhkan diri sebagai bagian dari umat manusia yang rindu akan persaudaraan 

dan perdamaian. 

Akhir-akhir ini, dalam konteks dan harapan idealitas kehidupan seperti 

ini  di atas, hubungan Yahudi-Muslim temyata semakin ditantang oleh berbagai 

persoalan politik dan ideologi. Perebutan wilayah geografis dan kekuasaan politik di 

Timur Tengah, yang melibatkan berbagai kepentingan intemasional, telah 

memainkan peran penting dalam menumbuhkan kesan semakin negatif pada masing­

masing pihak terhadap pihak lain dan bahkan telah merambat ke dalam pikiran dan 

suasana hati banyak orang di dunia ini, baik Y ahudi maupun Muslim, akibat dari 

provokasi dan ketakutan (fear) yang ditiupkan ke dalam jiwa kebanyakan orang 

awam secara tidak henti-hentinya oleh mereka yang terlalu berambisi dan ingin 

menang sendiri. Akibatnya, agama dan kekerasan seolah-olah tidak dapat lagi 

dipisahkan; kemerdekaan telah diartikan sebagai kemampuan mengalahkan dan 

menundukkan lawan. Pada saat-saat agama telah dijadikan alat untuk kepentingan­

kepentingan tertentu, maka tidak ada jalan bagi seseorang untuk "membebaskan diri" 

dari kemelut ini  melainkan dengan cara mengklarifikasi pemahamannya 

terhadap agama itu sendiri. Upaya memberikan klarifikasi inilah yang merupakan 

titik keresahan awal yang mendorong penulis melakukan studi ini. 

Agama adalah wilayah perbincangan yang amat luas. Karena itu studi ini 

dibatasi pada kajian ayat-ayat al-Qur'an tentang Yahudi? Dengan kata lain, dapat 

dijelaskan bahwa wilayah "garapan" yang dipergunakan untuk tulisan ini adalah 

studi al-Qur'an, dengan mengangkat salah satu sisi pandang kitab suci ini  

tentang sebuah komunitas yang mungkin dapat dikatakan unik3 dalam sejarah umat 

manusia, yaitu Yahudi. 

Sebagai sebuah teks - seperti teks-teks lainnya juga - Kitab Suci al-Qur' an 

memiliki sifat-sifat kesejarahan dan kebudayaan tersendiri yang khas. Kekhususan 

a tau keunikan al-Qur' an terletak pada kenyataan bahwa ia adalah teks yang aktif 

merespons sejarah, budaya dan realitas lingkungan masyarakatnya. Diturunkan di 

tengah-tengah masyarakat jahiliah dan kaum Ahli Kitab (Ahl al-Kitiib ), al-Qur' an 

bersikap kritis dan juga korektif terhadap berbagai gagasan dan konsep-konsep 

tradisional yang dianggap melanggar garis-garis kebenaran dan keadilan primordial 

yang telah digariskan Tuhan. Sekurang-kurangnya ada tiga umat yang dihadapi al-

Qur'an pada saat ia diturunkan, yaitu kaum penyembah berhala, orang-orang Yahudi 

2Y almdi yang dimaksudkan di sini ad.alah umat Y ahudi dalam pengertian luas, 

termasuk Bani Israil serta tradisi dan ajaran yang mereka anut. 

3 Al-Qur'an menyebut bangsa Yahudi sebagai umat pilihan (Q.S. al-Dukhan: 32). 

Namun ulama Islam umumnya menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa mereka 

(bangsa Y ahudillsrael) ad.alah umat pilihan pada zamannya. Maksudnya, sekarang mereka 

bukan umat pilihan lagi, sebab "zaman Y ahudi" telah berlalu, sedangkan sekarang ad.alah 

"zaman Islam." J adi yang dianggap umat pilihan sekarang ad.alah kaum Muslim. 

Pencermatan terhadap pandangan ini  memperlihatkan adanya bias kultural di dalamnya. 

Dalam kenyataannya, sampai sekarang Y ahudi masih eksis dan merupakan bangsa yang 

diperhitungkan, baik dalam bidang ekonomi maupun ilmu pengetahuan. Lagi pula, 

sesungguhnya peradaban tidak dapat dibatasi dengan garis-garis geografis dan sejarah. 

Istilah "zaman Y ahudi" dan "zaman Islam" dapat membingungkan, tidak jauh berbeda dari 

istilah "negara Yahudi" dan "negara Islam"; yang terakhir·ini terkait dengan politik. Politik 

atau kekuasaan juga sering "mengacaukan." Barangkali akan lebih tepat jika mufassir (ulama 

Islam) memberikan penjelasan lain yang lebih mengacu pada prinsip-prinsip universal. 

dan orang-orang Nasrani/Masehi. Semua kelompok ini telah memiliki konsep-konsep 

keagamaan yang mapan, sehingga al-Qur'an bersikap sangat hati-hati, namun juga 

sangat tegas, dalam menghadapi mereka. Banyak tradisi Arab sebelum Islam yang 

diadopsi al-Qur'an dengan memberikan beberapa modifikasi, seperti perkawinan, 

tata krama dalam kehidupan sosial dan sistem peribadatan di sekitar Tanah Haram. 

Di samping itu ada juga kritik-kritik yang dilancarkan secara evolutif, seperti yang 

berkaitan dengan larangan mengkonsumsikan khamr. Kritik yang berkaitan dengan 

konsep-konsep teologi dan dasar-dasar kemanusiaan disampaikan al-Qur'an secara 

lebih tegas dan bahkan keras. Dalam hal ini al-Qur' an tanpa kompromi menolak, 

misalnya, penyembahan berhala, konsep ketuhanan Isa Almasih dan klaim orang­

orang Yahudi sebagai umat pilihan (semata-mata karena beridentitas Yahudi). Secara 

umum dapat dikatakan bahwa al-Qur'an, di samping telah membentuk sebuah 

pandangan keagamaan tersendiri, juga telah membangun sebuah sikap keagamaan 

tertentu terhadap penganut agama lain yang ikut terlibat dalam interaksi sosial­

budaya sepanjang sejarah kelahiran Islam, yakni sepanjang proses sejarah turunnya 

al-Qur'an. 

Kaum Ahli Kitab, terutama kalangan Yahudi, adalah komunitas yang 

termasuk menonjol keterlibatannya dalam perkembangan pembentukan keyakinan 

Islam. Kelompok ini sering kali berhadapan dengan Nabi, baik dalam suasana 

keakraban maupun permusuhan. Komunikasi dan interaksi mereka dengan Nabi dan 

kaum Muslim telah menyebabkan banyak ayat al-Qur' an turun memberi respons, dan 

hubungan ini dalam beberapa hal berakhir dengan konflik. Memang harus diakui 

bahwa pada dasamya yang menjadi sasaran awal al-Qur'an adalah situasi kota 

Mekkah dengan kehidupan para elitnya yang korup, 4 namun kemudian, tidak 

terhindarkan, masyarakat Y ahudi dan Nasrani ikut terlibat, sebab dalam pandangan 

al-Qur'an manusia sesungguhnya adalah umat yang satu.5 Untuk mengajak manusia 

melaksanakan kebaikan dan meninggalkan tindakan-tindakan jahat dan tidak 

bermoral, pertama sekali yang harus dilakukan adalah meyakinkan mereka akan 

adanya konsekuensi-konsekuensi dari semua perbuatannya: kebaikan akan dibalas 

dengan pahala yang besar, sedangkan kejahatan akan mendatangkan malapetaka 

yang sangat merugikan. Karena itu al-Qur'an selalu menekankan pentingnya beriman 

kepada Allah dan hari akhirat serta beramal saleh. Berangkat dari keyakinan inilah 

persoalan-persoalan teologi mulai muncul, dan para penentang Nabi <;li Mekkah 

sering kali menjadikan orang-orang Y ahudi sebagai konsultan mereka untuk 

mendapatkan argumentasi melawan Nabi. Akibatnya, al-Qur'an kemudian bukan 

hanya mengkritik konsep-konsep teologi orang Y ahudi yang dianggap menyimpang 

tetapi juga "membongkar" berbagai perilaku mereka dalam sejarah. 

Nabi Muhammad pada awalnya menaruh harapan besar pada orang-orang 

Y ahudi sebagai pendukung bagi agama yang sedang beliau dakwahkan, sebab beliau 

menganggap mereka memiliki basis keyakinan yang bersumber pada ajaran yang 

sejalan dengan agama yang beliau bawa. Interaksi Nabi dan kaum Muslim di satu 

pihak dengan kaum Y ahudi di pihak lain kemudian menjadi intens, dan wahyu pun 

turun memberikan berbagai tanggapan, mengkritik dan pada akhimya bahkan 

mengecam tindakan-tindak:an mereka yang temyata tidak seperti diharapkan, yakni 

justeru menjadi penentang utama terhadap risalah yang dibawa Nabi. 6 Perkembangan 

sikap al-Qur'an terhadap Yahudi ini menarik, karena ia bergerak seiring dengan 

perkembangan kondisi politik dan pembentukan masyarakat Muslim masa awal. Lagi 

pula, ini menjadi indikasi bagi watak historisitas (kesejarahan) teks al-Qur'an -

sebuah wacana kontemporer yang tampak masih hangat diperdebatkan. Namun, yang 

lebih penting di sini adalah kenyataan bahwa karena demikian seringnya al-Qur' an 

menyebut tentang Y ahudi, tidak jarang kaum Muslim menganggap al-Qur' an telah 

cukup memadai sebagai referensi untuk mengetahui apa yang perlu diketahui 

mengenai Y ahudi tanpa memerlukan sumber-sumber lain. Fenomena ini merupakan 

keresahan berikutnya (barangkali keresahan yang lebih bemada akademik) yang 

menggerakkan keinginan penulis melakukan studi ini: bahwa kajian tentang ayat-

ayat mengenai Yahudi dalam al-Qur'an perlu ditelaah kembali dengan semangat dan 

pendekatan yang lebih "objektif' dan ilmiah. 

Studi al-Qur'an dapat disebut sebagai kajian yang independent, namun ia 

sangat luas dan memiliki hubungan yang erat dengan berbagai studi Islam lainnya 

seperti fikih, hadis, dan sejarah. Karena itu - di samping karena keberadaannya 

sebagai sumber utama ajaran Islam- al-Qur'an sangat penting dikaji, dan menempati 

posisi sentral dalam studi Islam. Al-Qur'an sebagai teks kitab suci selalu dapat 

6Beberapa riwayat menyebutkan bagaimana misalnya orang-orang Y ahudi 

melakukan konspirasi dengan kaum musyrik Mekkah untuk menentang Nabi dengan 

mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan atau bahkan menyulut api pertikaian; 

pada kesempatan lain juga diriwayatkan sejumlah ayat al-Qur'an diturunkan dalam rangka 

meresponi secara langsung sikap negatif orang-orang Y ahudi terhadap Islam dan Nabi 

Muhammad (misalnya riwayat sabab al-nuziil [sebab turun] ayat Q.S. al-Baqarah: 80-98, al­

Isra': 85 dan al-Kahf: 83). Lihat misalnya karangan Abii al-I:Iasan 'Ali al-WaJ:P.d.I, Asbiib al­

Nuziil, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994/1414), 15-17, 163, 167. 

ditafsirkan, selalu membuka peluang yang besar bagi telaah hermeneutika dan 

berbagai upaya rekonstruksi terhadap makna dari pesan-pesan Ilahi yang terkandung 

di dalamnya. Beragam kitab tafsir telah ditulis dari zaman ke zaman, yang mencoba 

menggali makna-makna di balik teks, dengan menggunakan pendekatan yang 

berbeda-beda dan penekanan pada spesialisasi masing-masing. Ibn 'Arabi,

misalnya, 

telah menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dengan pendekatan teosofinya, al-Razf 

dengan pendekatan filosofisnya, dan Sayyid Qutb9 dengan pendekatan sastranya. 

Kekayaan literatur dalam studi al-Qur' an sangat massive: semua persoalan 

kelihatan sudah pemah dibahas dan mungkin bahkan telah "tumpang-tindih." 

Quranic literature, kata 'Abdullah YUsuf 'Ali, is so voluminous that no single man 

can compass a perusal of the whole.10 Baik Muslim maupun non-Muslim, seperti 

dikatakan Fazlur Rahman, telah menghasilkan karya yang cukup banyak mengenai 

al-Qur' an. 11 Lalu apakah al-Qur' an perlu dikaji kembali? Belum cukupkah literatur 

yang kaya raya ini  menyediakan informasi yang dibutuhkan untuk memahami 

al-Qur'an? Jika ilmu pengetahuan dan perkembangan budaya manusia tidak pemah 

berhenti, maka semestinya teks-tef kitab suci, yang berbicara dengan bahasa 

wll-versal, juga selalu dapat dikembangkan dan dimaknai kembali dalam paradigma 

baru. Dalam dunia ilmu sdalu terbuka celah untuk dimasuki, seialu ada teori untuk 

ditinjau ulang, dan selalu ada statemen yang perlu direvisi dan diperbaiki. 

Menafsirkan kern bali ayat-ayat al-Qur' an yang telah pernah ditafsirkan berulang kali 

adalah konsekuensi logis dari kesadaran akan perkembangan ilmu pengetahuan. dan 

perubahan sosial-budaya manusia lersebut. 

Mengapa Yahudi dalam al-Qur'an? Persoaian tentang Yahudi teiah menjadi 

topik penting bukan hanya karena jarang diangkat secara serius dalam diskursus 

keislaman dengan pendekatat1 yang objektif dan apresiatif, tetapi juga karena sering 

kali disiilahpahami, diperalaL WILuk kepenlingan politik tertentu serta dipandang 

penuh kecurigaan. Y ahudi sebagai sebuah agama menempati posisi yang tersudutkan 

dalam wacana dialog antar agama kontemporer, sampai saat-saat yang paling 

terakhir, khususnya dialog Yahudi-lslam. 12 Begitu pula Yahudi sebagai sebuah 

bangsa atau ras telah tercabik-cabik oleh kebencian dan tercampak bagai sampah 

dalam sejarah dan pergumulan politik bangsa-bangsa di dunia. Sejarah Eropa penuh 

dengan lumuran darah bangsa Y ahudi, 13 dan literatur Islam juga tidak sunyi dari 

12Sementara dialog Yahudi-Kristen (dan Juga Tslam-Kristen) telah sangat banyak 

beriangsung, diaiog Islam-Y ahudi mengenai persoaian-persoalan kontemporer hampir bisa 

dikatakan tidak terjadi, di antara lain sebagai akibat dari berbagai ketegangan politik sejak 

pembenlukan negara Israel. Lihal Louis Jacobs, The Jewish Religion: A Companion, 

(Oxford: o-xford University Press, 1995), 273. 

13Sejak orang-orang Nasrani Eropa bergerak dengan semangat Perang Salib pada 

abad Xl banyak sekali orang-orang Y ahudi yang dipaksa masuk agama Nasrani atau dibunuh 

secara massal sebagai upaya balas dendam: Y ahudi dikatakan telah membunuh Tuhan 

mereka (Yesus). Kebencian ini terns berlangsung sampai abad modern yang puncaknya 

adalah peristiwa the Huluc:aust: pembunuhan massal terhadap (laki-laki, perempuan dan 

anak-anak) Y ahudi dalam bentuk yang sangat mengerikan oleh Nazi jerman_ - sebuah 

skandal keman.usiaan yang, ba:r-c:t.ngkali, ierdahsyal sepanjang sejarah. Lihal Hamid Basyaib, 

"Perspektif Sejaral1 Hubungan Islam dan Y ahudi," dalam Komaruddin Hidayat dan Alunad 

cercaan dan kutukan terhadap bangsa ini . 14 Y ahudi telah menjadi simbol Iblis, 

dan seluruh kejahatan, baik politik, ekonomi ataupun lainnya di dunia ini dianggap 

tidak lain melainkan rekayasa orang-orang Y ahudi. Ini adalah pemandangan yang 

amat menyedihkan dan perlu dicermati ulang dengan penuh kehati-hatian dan pikiran 

terbuka. Nilai-nilai kemanusiaan dan kesucian dalam budaya dan komunitas mana 

pun pada dasarnya harus diselamatkan, dengan segala upaya, sekecil apa pun upaya 

ini  dimiliki. 

Mengapa al-Qur'an yang dijadikan titik keberangkatan? Sejumlah ayat al-

Qur' an, sebagaimana telah disinggung di atas, telah mengkritik kaum Y ahudi atau 

Bani Israil, atau Ahli Kitab secara umum. 15 Tetapi di samping itu terdapat pula ayat-

ayat yang menempatkan mereka secara netral dan bahkan memuji. 16 Tetapi para 

Gaus AF (ed.), Passing Over: Melintas Batas Agama, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 

1998), 352-360. Lihatjuga Lewis M Hopfe dan Mark R. Woodward, Religions of the World, 

(New Jersy: Prentice Hall, 1998), 275-286. Namun per1u dicatat bawa masih ada po1emik 

tentang sikap Nasrani mengenai peristiwa the Holocaust. Perlu juga dipertanyakan motif 

dominan yang te1ah memicu peristiwa ini : apakah politik, ekonomi, agama atau 

sentimen rasial. Semuanya tentu ada dengan kadar yang berbeda 


komentator Muslim tradisional telah sering kali menakwilkan ayat-ayat yang terakhir 

ini untuk mengalahkan yang pertama, 17 atau mereka menggeneralisasikan ayat -ayat 

yang mungkin berbicara secara spesifik mengenai sebuah komunitas Y ahudi tertentu 

kepada semua umat Yahudi. Pandangan-pandangan mereka patut - atas dasar 

universalitas pesan-pesan al-Qur'an- dikritisi atau ditelaah ulang, dan mereka dapat 

saja diragukan sebagai telah membangun sebuah penafsiran yang berlandas pada 

penilaian yang fair dan objektif. Maka mengkaji teks al-Qur'an yang berbicara 

tentang Y ahudi dan Bani Israil untuk merekonstruksi tafsiran terhadap teks ini  

dalam paradigma baru yang relevan dengan semangat pluralitas adalah sebuah 

tuntutan bagi mereka yang mendahulukan keterbukaan daripada fanatisme, 

persaudaraan daripada permusuhan. Terlebih lagi, semua orang dapat menyaksikan 

bahwa konflik "Arab-Israel" sampai sekarang belum kunjung selesai - sebuah 

tragedi yang telah melahirkan ekstremisme di kedua belah pihak. Kaum Y ahudi 

mengklaim Palestina sebagai tanah mereka yang dijanjikan Tuhan dengan "sertifikat 

suci" yang turun dari larrglf, meski, menurut Ahmad Deedat, 18 ironis sekali bahwa 75 

'-dati mereka tidak percaya pada Tuhan. Sementara itu kaum Muslim, di satu sisi 

memlai pendudukan Israel di Palestina sebagai sebuah penjajahan yang bersamanya 

ikut mengalir kepentingan imperialisme Barat, dan di sisi lain melihat kenyataan 

ini  sebagai sebuah tantangan yang menuntut semangat "jihad" untuk membela 

kebenaran Islam dan melawan "Yahudi terkutuk, musuh Tuhan dan musuh manusia 


sepanjang zaman." Tetapi satu hal penting dicatat, bahwa para sarjana Muslim, 

seperti yang dikatakan al-Faruqi, perlu berhati-hati untuk tidak mencampuradukkan 

antara Judaism dan Zionism. Dismantling the Zionist state does not necessarily mean 

the destruction of Jewish lives or properties. 19 Zionisme adalah sebuah gerakan yang 

sangat kompleks dan bahkan dianggap sebuah paradoks yang sangat berbahaya oleh 

kalangan Y ahudi ortodoks sendiri. 20 Seperti yang terjadi dalam hampir semua 

gerakan politik, agama selalu ditarik ke depan oleh sebagian orang (mungkin karena 

prejudice, fanatik atau kepentingan-kepentingan lain) untuk dijadikan "perisai" bagi 

interes personal atau kelompok, dan sebagai pemberi justifikasi bagi segala sesuatu 

yang diinginkan. Berbagai faktor politik, ekonomi dan sosial budaya temyata telah 

memainkan perannya dalam hermeneutika para sarjana Muslim Guga non-Muslim, 

tentunya). Ini bukanlah fokus tulisan ini, tetapi termasuk persoalan menarik dan perlu 

mendapatkan perhatian serius untuk kajian lebihjauh. 

Kajian ini difokuskan pada analisis terhadap presentasi al-Qur'an tentang 

Y ahudi. Seperti telah disebutkan, al-Qur' an berbicara sangat banyak tentang Y ahudi, 

dan sepertinya, umat inilah yang telah menyita perhatian yang lebih serius dan 

intensif dari kitab suci Islam dibanding umat-umat lain, selain umat Islam sendiri; 

bahkan ketika al-Qur'an berbicara mengenai Ahli Kitab (Ahl al-Kitlib), pada 

umumnya yang dimaksudkan adalah umat Yahudi.


hanya merespons sikap kaum Y ahudi pada zaman Nabi Muhammad, tetapi juga 

membeberkan sejarah mereka yang panjang, pandangan keagamaan mereka, dan 

berbagai tingkah laku mereka sepanjang sejarah, baik positif maupun negatif. Karena 

itu sebuah penelaahan yang cermat sangat diperlukan untuk menjelaskan kembali 

bagaimana hubungan al-Qur' an dengan orang-orang Y ahudi dan bagaimana al-

Qur'an mempersepsikan mereka sebagai sebuah bangsa dan juga sebagai sebuah 

komunitas keagamaan. 

Sampai pada poin ini dapat dikatakan bahwa Y ahudi mendapat tern pat yang 

"spesial" dalam Kitab Suci al-Qur'an. Kenyataan sejarah juga menunjukkan bahwa 

mereka inilah satu-satunya kelompok keagamaan yang paling intens berinteraksi 

dengan Nabi Muhammad sebagai pembawa al-Qur'an. Dengan kata lain, mereka 

adalah kelompok yang ikut berperan dalam membentuk milieu masyarakat penerima 

al-Qur'an. Lebih jauh lagi, para komentator Muslim juga telah secara ekstensif 

mengutip tradisi Y ahudi untuk memenuhi lembaran-lembaran karya tafsir mereka, 

meski validitas tindakan ini masih dalam ikhtillif Fakta-fakta ini menjadi alasan bagi 

pentingnya menelaah kembali perspektif al-Qur'an tentang Yahudi, mengingat telah 

memburuknya hubungan umat ini dengan kaum Muslim pada masa-masa terakhir. 

Proyek ini merupakan sebuah studi untuk mengeksplorasi persoalan ini  

di atas dalam kaitannya dengan isu-isu kontemporer tentang pluralisme agama. Kitab 

suci agama (al-Qur'an) di sini dijadikan basis atau titik keberangkatan karena ia (al-

Qur'an, dan juga kitab suci semua agama) adalah sumber yang paling potensial untuk 

karya 'Afif 'Abd al-FattaJ:,_ Tabbarah, Al-Yahiid fi al-Qur'iin, (Beirut: Dar al-'Ilm li al­

Malayin, 1986), 7. 

13 

menjelaskan dan mengembangk:an berbagai wacana yang berkaitan dengan isu 

keagamaan termasuk pluralisme agama; dan sebaliknya, ia bahkan dapat juga 

menjadi sangat potensial untuk dijadikan pengundang petaka, konflik, provokasi dan 

bahkan permusuhan antar umat beragama. Hanya dengan pemahaman yang 

"komprehensif dan utuh" terhadap kitab suci, pokok-pokok ajaran agama akan dapat 

ditemukan secara lebih jelas dan jernih, yang pada dasamya sangat kondusif untuk 

dialog antar agama dan wacana "keberagamaan manusia. "22 Inilah latar belakang 

yang mendorong penulis melakukan kajian ini: untuk mengk:onstruksi kembali 

pandangan al-Qur'an tantang "orang lain," the other, khususnya Yahudi, sekaligus 

sebagai kritik diri (self criticism) bagi kaum Muslim, dan juga untuk 

menyumbangk:an tambahan khazanah pemikiran yang dapat dijadikan pertimbangan 

dalam memposisikan diri atau membuat pemetaan diri di tengah-tengah kehidupan 

global, dengan cara yang lebih "berwawasan." 

B. Permasalahan: Pertanyaan dan Hipotesis 

Yahudi, di hampir seluruh dunia Arab dan Muslim, telah menjadi simbol 

segala kejahatan. "Yahudi bangsa terkutuk" demikian dominan mempengaruhi 

pikiran kebanyakan Muslim dewasa ini, terlebih sejak munculnya konflik Arab-Israel 

yang sampai sekarang belum kunjung selesai. 23 Kemunculan negara Israel pada abad 

22M. 

modem ( 1948i4 bukanlah awal dari kebencian antara kedua umat ini. Kebanyakan 

Muslim bahkan mencari legitimasi bagi kebencian ini  dengan merujuk pada 

peristiwa pengusiran kaum Yahudi Medinah oleh Nabi Muhammad, tanpa 

menjelaskan konteks sosial-politik pada waktu itu, atau merujuk kepada al-Qur'an 

dengan penakwilan yang lebih bemada emosional ketimbang proporsional. 

Diskriminasi dan prejudice terhadap kelompok yang disebut dengan ahl al-dhimmah 

(kafir zimmi), terutama sekali sebagai hasil tafsiran parafuqaha' dan sarjana Muslim 

pada masa awal Islam (bahkan sampai sekarang) juga ikut bertanggung jawab atas 

hubungan Muslim-Yahudi seperti sekarang ini.25 Kebencian yang telah "menyejarah" 

seperti ini perlu ditelaah ulang secara kritis. Dalam dunia yang semakin global, 

kesadaran akan pluralitas dengan sendirinya akan berkembang, dan setiap kelompok 

tidak bisa memposisikan dirinya sebagai yang superior. Semangat inilah yang 

mengusik pemikiran penulis mengenai pandangan al-Qur'an tentang Yahudi yang 

dalam sejarah Islam telah diposisikan sebagai kaum terkutuk. Jika Yahudi adalah 

terkutuk, bukankah - sebagai konsekuensi logisnya - berarti dunia ini harus 

dibersihkan dari jenis masyarakat atau bangsa ini ? Apakah pandangan seperti 

ini realistis? Apakah tidak bertentangan dengan al-Qur'an itu sendiri yang tidak 

membeda-bedakan manusia atas dasar suku bangsa, 

memeluk agama, 27 dan bahkan respek terhadap ahl al-Kitiib (yang umumnya adalah 

orang Y ahudi)? 

Dari uraian di atas, beberapa pertanyaan dapat dirumuskan sebagai berikut: 

1). Apa yang menjadi dasar kritik al-Qur'an terhadap orang-orang Yahudi dan sejauh 

mana kritik-kritik ini  memberikan implikasi penolakan Islam (al-Qur'an) 

terhadap va1iditas agama mereka? 2). Apakah kritik al-Qur'an ditujukan kepada 

semua kaum Y ahudi, atau tidak mungkinkah kritik-kritik ini  hanya ditujukan 

kepada Yahudi tertentu yang berada di Arab pada zaman turunnya al-Qur'an? 3). 

Wajarkah, apabila diuji dengan semangat ajaran al-Qur'an, dikatakan Yahudi bangsa 

terkutuk atau umat paling keji di dunia ini? 

Atas dasar pertanyaan-pertanyaan di atas, beberapa hipotesis diajukan di sini: 

1). Kritik-kritik al-Qur'an terhadap umat Yahudi pada dasarnya mengacu pada 

landasan seruan al-Qur' an sendiri yang bersifat universal, egaliter, terbuka dan 

menekankan prinsip-prinsip moral dan keadilan. Al-Qur' an mengkritik orang-orang 

Y ahudi karena perilaku mereka yang dianggap telah melanggar prinsip-prinsip dasar 

terse but. Lebih jauh mereka dikecam, bahkan disebut sebagai kafir karena berbagai 

pengkhianatan yang mereka lakukan terhadap Islam dan Nabi Muhammad. 2). 

Orang-orang Yahudi yang menjadi sasaran kritik al-Qur'an adalah sangat partikular, 

yakni orang-orang Yahudi (Medinah) zaman Nabi Muhammad Karena itu kritik­

kritik ini  tidak dapat digeneralisasi kepada semua Yahudi di dunia sepanjang 

sejarah. Dengan kata lain, bahwa kaum Y ahudi, setelah diaspora, telah membentuk 

kelompok-kelompok tertentu di berbagai belahan dunia dengan tradisi dan tafsiran 

27Q.S. al-Baqarah: 256. 

16 

mereka masing-masing atas ajaran agama yang mereka warisi dari Nabi Musa;

28 

tidak semua mereka memiliki pandangan yang sama, dan kaum Y ahudi di Arab, 

setelah melalui proses sejarah yang panjang, tentu saja membangun sikap dan 

pandangannya sendiri tentang agama. 3). Al-Qur'an telah menunjukkan respek dan 

sikap bersahabat terhadap kaum Ahli Kitab, maka alangkah tidak pantas bagi kaum 

Muslim memilih jalan lain dalam bersikap terhadap mereka. Al-Qur'an telah 

menyeru mereka dengan lembut: ya ahl al-Kitlib ta'lilaw illi kalimah sawli',

29 

maka 

sepantasnya kaum Muslim selalu membuka ruang dialog dalam menyelesaikan 

konflik dengan mereka. Al-Qur' an memang pemah menyebutkan bahwa Tuhan telah 

mengutuk umat Yahudi,30 tetapi ini harus diperjelas: Yahudi yang mana, kapan dan 

dalam konteks yang bagaimana? Seperti telah disebutkan di atas, hal ini tidak dapat 

digeneralisasi secara sembarangan, karena al-Qur'an sebenamya tidak mengenal 

kutukan rasial atau kecaman diskriminatif. 

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 

Kajian ini diharap dapat memberikan kontribusi dalam bidang studi al-Qur'an 

(Qur'anic studies). Sebuah pemahaman baru mengenai pandangan al-Qur'an tentang 

Yahudi dicoba untuk dikonstruksikan kembali dalam konteks kontemporer, 

khususnya dengan mempertimbangkan isu-isu mengenai pluralisme agama. Para 

sarjana Muslim klasik telah banyak sekali membuat statemen negatif mengenai kaum 

Yahudi dengan merujuk pada al-Qur'an dan sabda-sabda Nabi. Namun berbagai 

telaah yang dilakukan baik oleh para sarjana Muslim maupun non-Muslim 

kontemporer terhadap al-Qur'an telah melahirkan nuansa yang berbeda. Jika yang 

pertama berbicara dalam kerangka berpikir eksklusif maka yang terakhir lebih 

cenderung inklusif Tujuan dari studi ini, tegasnya, mencoba memberikan 

pemahaman dan penjelasan yang lebih proporsional dan kritis mengenai persoalan 

ini  di atas. 

Dimensi lain dari kontribusi kajian ini lebih mengacu ke arah pembentukan 

sikap kelompok beragama itu sendiri. Sebuah sikap yang adil sangat ditentukan oleh 

sebuah pemahaman yang jemih. Jika penulis boleh mengklaim bahwa hasil studi ini 

akan memberikan sebuah pemahaman yang lebih clear mengenai Y ahudi dalam al-

Qur'an, maka ini akan sangat membantu kaum Muslim dan juga umat Yahudi dalam 

menata hubungan mereka yang lebih kooperatif untuk membangun dunia masa depan 

yang lebih damai. Ini mungkin terdengar berlebihan, tetapi sesungguhnya banyak hal 

kecil bila dilakukan secara bersama-sama dan dengan sungguh-sungguh akan 

menjadi hal besar dan diperhitungkan, bahkan dapat mengubah dunia dan sejarah. 

Konflik atau permusuhan sering kali muncul dari pandangan negatif terhadap 

yang lain (the other). '"Kita" menjadi sebuah identitas yang eksklusif, karena '"kita" 

bukan "mereka." Identitas selalu dikukuhkan dengan memposisikan diri berhadapan 

dengan yang lain,31 dan identitas itu terbentuk dalam sebuah proses sejarah, 

didukung oleh vested interest sejumlah atau sekelompok orang. Jika teori ini benar 

maka sejarah Islam juga ikut bertanggung jawab atas konflik-konflik antar agama. 

"Kita" - kita dalam kelompok atau agama mana pun - sangat sulit menerima orang 

lain, the other, sebagai partner yang sejajar. "Kita" selalu menganggap diri superior 

dan yang lainnya adalah kelompok kelas dua, kelas tiga dan sebagainya. Kaum 

Muslim selalu mengklaim dirinya sebagai kelompok yang paling toleran, dengan 

merujuk pada "fakta" bahwa jika umat Islam berada di bawah kekuasaan umat lain, 

maka mereka akan berada dalam tekanan dan diperlakukan secara tidak adil; 

sedangkan jika umat Islam yang berkuasa maka umat lain akan mendapatkan 

kebebasan dan pengamanan yang memadai. Namun, toleransi dalam pengertian 

seperti ini tidak cukup kuat untuk menjadi landasan membangun dunia yang semakin 

global dan plural. Karena itu Bernard Lewis barangkali tepat ketika mempertanyakan 

apa yang dimaksud dengan "toleran?'' Apakah toleran berarti without persecution 

atau without discrimination?32 

Saling bermusuhan antar penganut agama yang berbeda bukanlah problem 

hubungan antar agama, tetapi problem penganut agama itu sendiri. "Kita" selalu 

takut kepada "orang lain" karena "kita" merasa superior, dan kehadiran "orang lain" 

akan menciptakan semacam gangguan keamanan (insecurity)/3 yang dapat merusak 

tatanan budaya, tradisi, keyakinan atau apa pun yang "kita" anggap telah mapan dan 

final. Perasaan inilah yang sesungguhnya menjadi problem keagamaan paling 

penting, 34 dan studi ini - meski tidak berpretensi memecahkan problem terse but -

ak:an merupakan salah satu upaya ke arah yang diharapkan itu. 

Seperti telah disebutkan di atas, dialog dengan Y ahudi hampir-hampir saja 

tabu dalam pandangan masyarakat Muslim. Lebih jauh lagi, dialog Y ahudi-Kristen 

juga terhambat oleh berbagai kendala, tidak selancar dialog Islam-Kristen dalam 

beberapa dekade terakhir. Padahal Yahudi, Nasrani/Kristen dan Islam adalah tiga 

saudara (the three sisters) yang seharusnya bekeija sama membangun dunia yang 

lebih damai. Ketiga agama monoteis ini memiliki potensi yang besar dalam 

membangun peradaban dunia. Jika ketiganya terns menerus berseteru, maka yang 

akan disak:sikan adalah dunia yang semakin terpuruk di masa mendatang. Karena itu, 

kajian ini - yang berupaya menelaah pandangan kitab suci umat Islam tentang 

Y ahudi dengan menggunak:an pendekatan hermeneutika dan paradigma pluralisme 

agama - diharapkan dapat merupak:an sebagian dari upaya awal ke arah 

pembangunan ini . 

Sebagai agama yang mengajak: kepada kedamaian dan kebaikan, Islam sudah 

semestinya memiliki pandangan yang jelas terhadap keragaman tradisi umat 

manusia. Tafsiran kaum Muslim terhadap ajaran Islam sepanjang sejarah telah 

dipengaruhi oleh berbagai perkembangan politik dan budaya, karena itu tidak mesti 

dianggap selalu tepat dan benar atau telah final. Berhadapan dengan masa depan 

yang lebih global, persoalan keberagaman adalah hal yang tidak: dapat dielakkan. 

Barangkali penelitian seperti ini dapat ~mberikan sumbangan bagi secercah 

harapan untuk membangun pandangan yang lebih kondusif bagi kaum Muslimin 

untuk hidup damai bersama umat lain dengan tradisi yang berbeda. 

D. Survei Literatur 

Sangat banyak tulisan, baik yang dikerjakan oleh para sarjana Muslim atau 

non-Muslim, tentang Yahudi dalam kaitannya dengan Islam, Nabi Muhammad dan 

al-Qur'an. Namun sepanjang pengetahuan penulis, belum ada yang secara spesifik 

membicarakan topik ini dalam perspektif tafsir al-Qur' an, dengan melihat langsung 

apa kata kitab suci ini tentang Y ahudi, dan memberikan analisa dan elaborasi yang 

memadai. Para penulis Muslim yang bersimpati, atau sekurang-kurangnya bersikap 

netral, terhadap agama lain telah melahirkan banyak karya cemerlang, yang menatap 

ayat-ayat al-Qur'an di bawah cahaya pluralisme agama. Akan tetapi sebuah telaah 

yang memfokuskan diri pada pengembangan yang lebih luas dalam melihat ayat-ayat 

tentang Yahudi (dan tentu saja juga tentang berbagai topik lain) masih sangat 

dibutuhkan. 

Mohammed Arkoun telah menulis sebuah topik yang agak umum mengenai 

masalah ini: "Explorations and Responses: New Perspectives.for a Jewish-Christian­

Muslim Dialogue," namun memberikan nilai yang substansial bagi metodologi 

comparative religion. Ia menekankan pentingnya pemahaman kembali makna wa}Jy 

(revelation) dalam ketiga agama ini : sebagai kalam Tuhan, manifestasinya 

21 

melalui Nabi-nabi kaum Israel, Y esus dan Muhammad, serta sebagai a determining 

force in the history of the communities of the Book/book. 35 

Sebuah karya yang lebih awal adalah Major Themes ·of the Qur 'an oleh 

Fazlur Rahman. Buku ini menampilkan topik-topik mendasar tentang pesan-pesan al-

Qur'an. Sejauh yang penulis ketahui, ini adalah karya terbaik yang mengulas ayat-

ayat al-Qur' an di bawah tema-tema tertentu secara komprehensif. Pada bagian 

terakhir buku ini dimuat dua Appendix yang relevan dengan rencana studi yang 

dilakukan untuk disertasi ini, terutama sekali Appendix ll. Di sini Fazlur Rahman 

mengulas pandangan al-Qur'an tentang Ahl al-Kitlib (Ahli Kitab): Yahudi, Nasrani 

dan Sabi 'In. Meskipun dengan keras menolak eksklusivisme dan konsep bangsa 

pilihan, al-Qur'an, demikian jelas Fazlur Rahman, berulang kali menyatakan 

pengakuannya terhadap eksistensi orang-orang baik dalam komunitas lain seperti 

Yahudi dan Nasrani. 36 Mengutip Q.S. al-Baqarah: 148 dan 177, Fazlur Rahman 

menegaskan bahwa nilai positif dari keberagaman agama adalah bahwa mereka 

saling berlomba dalam kebaikan. 37 

Tulisan lain Fazlur Rahman yang lebih relevan dengan proyek studi 1m 

adalah "Islam's Attitude Toward Judaism." Argumen yang dikemukakan Fazlur 

Rahman di sini tidak jauh berbeda dari sebelumnya, bahwa al-Qur'an telah 

menempatkan kaum Y ahudi dan Nasrani sebagai komunitas yang memiliki dokumen 

wahyu sendiri dan dipanggil dengan nama "Ahl al-Kitiib. " Mereka diajak untuk 

melaksanakan ajaran Taurat dan mereka diberikan otonomi sendiri dalam hal agama 

dan budaya. Namun al-Qur'an terns mengajak mereka kepada Islam dan memandang 

Y esus sebagai seorang Nabi. 38 Fazlur Rahman juga dengan tegas menyatakan sangat 

menyayangkan situasi politik yang telah menimbulkan kondisi yang sangat tidak 

kondusif bagi persahabatan Islam-Y ahudi sejak pendirian negara Israel, di mana 

Barat sangat berperan dalam menciptakan atmosfer ini. Padahal, kata Fazlur 

Rahman, sekitar tiga belas setengah abad setelah zaman kenabian, hubungan kedua 

umat ini bukan hanya damai tetapi juga sangat kooperatif dan bermakna. 39 

Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun, seperti telah didiskusikan sekilas di 

atas, telah menulis secara ekstensif tentang al-Qur'an dan di sana-sini menyinggung 

hubungan antar agama serta pandangan al-Qur'an terhadap umat lain. Namun, seperti 

telah disebutkan, kajian yang mendalam mengenai tema-tema spesifik dengan 

pendekatan dan metode yang mereka terapkan masih sangat diperlukan. 

Sebuah karya menarik lain yang menyinggung topik studi ini adalah the 

Qur 'anic Concept of History oleh Mazheruddin Siddiqi. Bab IV buku ini khusus 

berbicara mengenai komentar al-Qur'an tentang sejarah Yahudi. Buku ini 

memberikan berbagai informasi berharga, dan komentar-komentar para mufassir 

seperti Ibn Katsir, al-Razi dan al-Aliisi dirujuk secara mendetil. Namun concern 

buku ini mengenai sejarah semata, sehingga diperlukan telaah lebih lanjut untuk 

memahami makna sejarah yang relevan dengan pluralisme agama.40 

Patut juga disebutkan di sini sebuah buku yang ditulis oleh Farid Esack, 

Dosen Senior dalam bidang Agama di Universitas Western Cape, Afrika Selatan, al-

Qur 'an, Liberation and Pluralism. Esack menggunakan pendekatan hermeneutik 

dalam membahas ayat-ayat al-Qur'an yang berkenaan dengan agama dan 

pembebasan. Buku ini pada dasamya berbicara tentang perjuangan masyarakat 

Afrika Selatan melawan diskriminasi apartheid (perbedaan ras). Di sini Esack 

melihat bahwa perjuangan melawan kezaliman telah menumbuhkan suatu 

pemahaman tersendiri dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an dalam konteks 

pluralisme agama di tengah-tengah masyarakat Muslim Afrika Selatan. Esack secara 

panjang lebar mendiskusikan bagaimana sikap al-Qur'an terhadap pemeluk agama 

lain, the Other. Ia sangat menyadari bahwa telah muncul dua pandangan yang 

ekstrem dalam menginterpretasikan ayat-ayat al-Qur' an yang berbicara mengenai 

pemeluk agama lain: Para sarjana Muslim liberal telah meninggalkan ayat.&)'tt yang 

mengecam the Other, sementara kaum tradisionalis dan konservatif telah mengamW 

jalan yang disebut dengan forced linguistic, yang memaksa teks-teks inklusif untuk 

memproduksikan makna-makna eksklusif41 Esack menekankan pentingnya 

pemahaman yang jemih mengenai masalah ini dengan jalan mempertimbangkan 

berbagai konteks sejarah ayat-ayat ini . Buku ini telah menyediakan sebuah 


tafsiran yang gemus tentang pandangan al-Qur'an terhadap kaum non-Muslim, 

termasuk Y ahudi. Namun buku ini sangat terbatas; ia hanya berbicara dalam konteks 

hermeneutika pembebasan. 

Buku yang banyak memberikan informasi bermanfaat bagi kajian ini adalah 

Ahl al-Kitab: Makna dan Cakupannya, 42 karya Muhammad Galib M. Buku ini 

memberikan informasi mengenai jumlah ayat-ayat yang relevan, pendapat para 

ulama, penjelasan semantik terhadap kata-kata dan sebagainya. Buku ini tentu saja 

tidak memberikan analisis memadai dari sudut pandang hermeneutika. Artikel yang 

senada namun lebih kritis dan relevan dengan kajian ini adalah tulisan Ismatu Ropi 

"Wacana Inklusif Ahl al-Kitab."43 Ismatu mengkritik pandangan para sarjana 

Muslim klasik tentang umat lain, termasuk Y ahudi. Pandangan ini , menurutnya, 

dibangun atas "setting kultural dan suasana religius masa itu." Lebih lanjut, kata 

Ismatu, telah terjadi pula "penyempitan makna" dalam memahami pandangan al-

Qur' an tentang agama lain, sebagai upaya membangun dan mengukuhkan citra diri 

umat Islam sebagai umat atau komunitas baru pada waktu itu. 44 Tulisan ini cukup 

menarik, namun tentu saja sangat terbatas dan tidak dielaborasi secara luas dan 

mendalam. Tulisan lain yang juga mengarah pada studi ini adalah "Pandangan al­

Qur' an terhadap Bigetisme Y ahudi dan Kristen" oleh Hamim Ilyas. 

berangkat dari kehendak untuk membantah kritikan sementara orientalis, terutama 

sekali W. Montgomery Watt, terhadap al-Qur'an mengenai bigetisme Yahudi dan 

Kristen. Watt menolak tuduhan al-Qur'an mengenai hal ini dengan alasan tidak 

ditemukannya bukti-bukti terse but dalam literatur Y ahudi dan Kristen. 46 Hamim 

membantah, bahwa absennya sebuah peristiwa sejarah dalam catatan tradisi tertentu 

tidak bisa menjadi alasan untuk menolaknya ketika ia diungkap oleh tradisi yang 

lain. Argumen kemudian mengacu pada upaya pembelaan terhadap kebenaran al-

Qur'an, namun dengan pengakuan bahwa pemyataan al-Qur'an itu tidak bisa 

digeneralisasikan pada semua Y ahudi dan Kristen. Artikel ini, meski hanya terfokus 

pada persoalan keesaan dan keberanakan Tuhan (bigetisme), dapat menjadi salah 

satu dukungan bagi ide-ide pembentukan argumen dalam studi yang penulis lakukan. 

Pendekatan yang digunakan Hamim juga hampir sama dengan yang penulis terapkan, 

namun tulisan ini  belum ~~ aspek pluralisme agama secara mendalam. 

The Qur 'an and the "Other" yang ditulis oleh Abderrahmane Lakhsassi47 

menaruh perhatian yang sangat serius terhadap wacana keberagaman agama dan 

dialog antar agama. Lakhsassi menganalisa enam mufassir Muslim, d&fi al-Tabari 

sampai Sayyid Qutb dan Fazlur Rahman, dan menyimpulkan bahwa al-Qur'an sangat 

fleksibel dan terbuka untuk dikaji sepanjang zaman atau sesuai dengan konteks 

sosiokultural mufassimya. Dalam wacana studi al-Qur'an kontemporer, demikian 


menurut Lakhsassi setelah menunjukk:an sejumlah alasan, para sarjana Muslim 

semestinya meninggalkan doktrin "umat pilihan" dan tuduhan ta/lrifkarena tidak lagi 

relevan dengan konteks kontemporer di mana pluralisme agama telah merupakan 

sebuah kenyataan. Ia mengingatkan bahwa to play with such double edged doctrines 

is playing with fire; the wielder of the doctrine can hurt the other but does not realize 

that, sooner or later, he also can get hurt.48 Lakhsassi telah mengungkapkan alasan­

alasan yang kuat mengapa kaum Muslim harus meninggalkan klaim-klaim 

doktrinalnya yang bersifat eksklusif dan mengkaji kembali al-Qur'an secara lebih 

terbuka dan kontekstual. Objek yang menjadi bidikan analisis Lakhsassi tentu saja 

berbeda dari concern studi yang penulis ajukan, namun berbagai argumentasi yang ia 

tampilkan sangat mendukung. 

Mengenai kitab-kitab tafsir, dari klasik hingga modem, tidak perlu 

diungkapkan secara mendetil di sini, karena secara umum mereka mengadopsikan 

pandangan yang sama tentang posisi teologis penganut agama selain Islam: Bahwa 

siapa pun yang tidak memeluk Islam setelah kedatangan Muhammad sebagai utusan 

Tuhan tidak akan selamat. Akan tetapi, ironisnya, di sisi lain, berbagai elaborasi 

terhadap kisah-kisah dalam al-Qur'an diambil dari sumber-sumber Yahudi. Analisis 

terhadap kitab-kitab tafsir tidak dilakukan di sini, namun kitab-kitab tafsir yang 

relevan akan dirujuk dan ditanggapi secara kritis dalam pembahasan nanti. Walaupun 

demikian, ada dua buah buku mengenai topik ini perlu disebutkan, yakni al-Yahfid fi 

al-Qur 'lin karya 'Afif 'Abd al-Fattal). Tabbiirah49 dan Mu/lammad wa al-Yahud karya 

Mul}ammad ~d Baraniq dan Mt$immad Yiisuf al-Mal].jiib. 50 Buku pertama 

mengulas ayat-ayat tentang Yahudi dengan pendekatan yang lebih objektif namun 

tetap dalam bingkai eksklusivisme. Bagian ketujuh buku ini secara khusus 

mendiskusikan ayat-ayat yang mengingatkan kaum Y ahudi untuk berlaku lurus dan 

bersikap teguh dalam menjalankan perintah kitab (agamanya), namun pada akhimya 

sang penulis menegaskan bahwa hanya yang memeluk Islam di antara mereka yang 

selamat.51 Buku yang kedua lebih mengacu pada sejarah dan sikap kaum Yahudi 

dalam berinteraksi dengan Nabi Muhammad dan kaum Muslim. Ayat-ayat al-Qur'an 

dibahas secara baik namun sangat selektif dan kurang fair. Hanya berbagai 

karakteristik negatif Y ahudi yang ditonjolkan. Kedua buku ini sangat membantu 

memberikan petunjuk bagi berbagai informasi yang diperlukan untuk studi yang 

penulis lakukan, tetapi keduanya tetap berbeda secara substansial dan metodologis 

dari studi yang dilakukan untuk disertasi ini. 

Penelitian disertasi ini berada pada posisi bidang tafsir, yakni sebagai kajian 

terhadap al-Qur' an dengan penalaran kritis, terbuka dan berupaya untuk "bebas" dari 

keterikatan pada dogma-dogma tradisional. Dengan demikian, kajian ini, meskipun 

difokuskan pada ayat-ayat tentang Y ahudi, diupayakan menjadi sebuah model atau 

paradigma pemikiran tafsir "baru," yang mempertimbangkan berbagai sisi pemikiran 

serta merujuk pada aplikabilitas tindakan manusia dalam realitas kehidupan. 


E. Landasan Teoretis 

Pendekatan untuk penelitian ini didasarkan atas landasan pemikiran bahwa al-

Qur' an adalah sebuah teks - dalam pengertian, ia telah terucap dan tertulis, dan telah 

menjadi bagian dari realitas di "bumi"- yang lahir dalam sebuah proses sejarah. Ia 

tidak muncul dengan sendirinya secara tiba-tiba (out of the blue), tetapi bergelut 

dengan proses gerak manusia dalam ruang dan rentangan waktu. Al-Qur' an bisa 

dikatakan sebagai sebuah respons Ilahi atas keresahan dan pergelutan manusia 

dengan dirinya dan alam semesta dalam rangka mencari makna hidup dan kebenaran. 

Ia hadir karena adanya kreativitas manusia, dan karena itu ayat-ayatnya harus 

dijelaskan dalam konteks ini . Al-Qur'an berbicara kepada sebuah masyarakat 

tertentu dan dalam kurun waktu tertentu. Ini mengimplikasikan bahwa ayat-ayatnya 

berbicara dengan keterbatasan bahasa dan sejarah. Sejarah telah berlalu dan bahasa 

(kata-kata) tetap sebagaimana adanya, tetapi makna di balik peristiwa dan kata-kata 

selalu dapat dikembangkan sejalan dengan perkembangan ilrnu pengetahuan dan 

peradaban manusia. Kata-kata dalam al-Qur'an tetap sama, tetapi makna yang 

dipahami manusia dapat berubah, seperti kata Heschel: words remain, while 

. b. h 52 meanmgs are su 'l}ect to c ange. 

Keterbatasan bahasa dan ·sejarah tidak berarti telah meninggalkan al-Qur' an 

sebagai kitab suci dalam pasungan waktu masa silam. Teks al-Qur'an tetap 

sebagaimana adanya, tetapi makna terdalam dari pesan-pesannya akan selalu 

memantulkan sinyal ke luar untuk dicerapi oleh manusia sesuai dengan 

perkembangan nalarnya. Al-Qur'an berbicara dengan semangat kemanusiaan dan 

bersifat universal, karena ia memang dimaksudkan untuk menjadi ''petunjuk bagi 

manusia. "53 Ini terbukti dari banyaknya pemyataan al-Qur' an yang diungkapkan 

dalam bentuk figuratif, simbolik dan bersifat general. Memang ada ayat-ayat al­

Qur'an yang sangat spesifik dan partikular, tetapi ia terkait dengan event, dan harus 

dipahami dalam konteksnya. Dalam hal ini al-Qur' an berarti terbuka untuk terns 

menerus dikaji dan relevan untuk semua umat pada setiap zaman: Artinya, sebagai 

teks kitab suci, maknanya selalu dapat direinterpretasikan sesuai dengan semangat 

perkembangan kehidupan yang dihadapi manusia. 

Agama, seperti kata Heschel, more than a creed or an ideology and cannot be 

understood when detached from acts and events.54 Jadi al-Qur'an sebagai kitab suci 

agama juga harus dipahami dalam kondisi yang sama. Makna yang terkandung di 

dalamnya selalu terkait dengan "events" baik secara langsung atau tidak langsung. 

Dengan memahami dan menerobos ke dalam kesadaran Nabi Muhammad sebagai 

penerima wahyu (penyampai al-Qur'an) dan kondisi sosial masyarakat pada 

zamannya, seseorang dapat menemukan realitas yang tersembunyi di balik mereka. 

Al-Qur' an, seperti telah disebutkan pada bagian awal bab ini, memuat sangat 

banyak ayat-ayat tentang kisah, pandangan keagamaan dan karakteristik kaum 

Y ahudi. Ini mengisyaratkan intensifnya hubungan mereka dengan Nabi Muhammad. 

Namun hampir sepanjang sejarah Islam, seperti terungkap dalam berbagai kitab tafsir 

dan berbagai literatur Islam lainnya, hubungan ini selalu dipandang dalam bentuk 

negatif. Terlebih, mereka dipandang sebagai penganut agama yang telah mansukh 

dan bahkan memusuhi Islam. Tetapi sejak menjelang abad ke 21 banyak perubahan 

dalam tatanan sosial budaya telah terjadi sebagai akibat dari industrialisasi dan 

teknologi informasi yang semakin maju dan mengglobal. Kenyataan pluralisme 

agama tidak terelakkan. Maka ~engan sendirinya pemahaman keagamaan atau 

penafsiran kembali teks-tekS kitab suci juga harus dilakukan. Memahami kembali 

statemen-statemen al-Qur'an tentang Yahudi dengan berlandas pada jalan pikiran 

seperti ini  dalam beberapa paragrafdi atas adalah sebuah altematif. Dengan 

kata lain, pembacaan kembali terhadap kitab suci perlu dilakukan dengan paradigma 

baru - mungkin dapat disebut sebagai paradigma sosial dan multikultural. 

55 

Dasar-dasar teoritis ini disebutkan, dimaksudkan untuk memberikan 

gambaran umum tentang pemikiran yang akan dijadikan pegangan untuk 

menjelaskan metodologi dan pendekatan seperti yang didiskusikan pada bagian 

berikut. 

F. Metodologi dan Pendekatan 

Apakah ada metodologi terbaik dalam memahami al-Qur'an? Ketika ditanya 

tentang tafsir al-Qur'an yang paling baik, ij:asan al-Banna menjawab: "Hatimu! Hati 

orang Mukmin adalah tafsir terbaik terhadap Kitab Allah." Kemudian al-Banna 

melanjutkan: "dan metode pemahaman [al-Qur'an] yang paling mendekati 

[kebenaran] adalah dengan jalan seseorang membacanya dengan tadabbur (penuh 


perhatian/konsentrasi) dan khusyu' (tunduk/penuh penghayatan) serta memohon 

petunjuk dari Allah disertai dengan kesungguhan mengerahkan seluruh kemampuan 

pikiran pada saat membacanya. "56 Lebih jauh al-Banna menekankan pentingnya 

pemahaman terhadap sejarah hidup Nabi dan sejarah turunnya al-Qur'an untuk 

mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap ayat-ayat al-Qur'an. 

"Pemahaman" itu, kata al-Banna, adalah cahaya yang terpancar dari lubuk hati. 57 

Al-Banna, seorang pemikir Muslim kontemporer serta tokoh dan pendiri 

gerakan al-Ikhwiin al-Muslimun di Mesir, sebenamya telah mengindikasikan 

pentingnya pendekatan hermeneutik dalam memahami al-Qur'an. Di antara kata 

kunci dalam hermeneutika adalah "pemahaman." Al-Banna memang tidak 

mengungkapkannya dengan bahasa yang digunakan dalam wacana pemikiran filsafat 

Barat modem dan dengan istilah "analisis teks", tetapi, seperti terlihat dalam paragraf 

di atas, al-Banna telah mengungkapkan hal ini  dengan baik sekali dalam bahasa 

peradaban populer masyarakatnya sendiri. Al-Banna kelihatan sama sekali tidak 

tertarik dengan apa yang disebut dengan the rules of interpretation seperti yang 

dipahami ulama klasik atau juga kebanyakan ulama zamannya. Ia lebih 

mementingkan keterbukaan - yang terindikasi dari istilah khusyil ' ( tunduk [kepada 

kebenaran], tidak mendahulukan kepentingan pribadi) yang ia gunakan - dan 

independensi, dengan berpegang pada prinsip bahwa setiap "mukmin" memiliki 

kapasitas untuk memahami al-Qur'an; dan kapasitas ini  sangat ditentukan oleh 

proses dialektika seseorang dengan sejarah, lingkungan sosial dan peradaban. 

Dengan jalan demikian, tafsir ayat-ayat al-Qur' an akan merupakan produk 

hermeneutika, produk dari kesadaran subjektif seseorang untuk memberi makna 

terhadap teks, produk yang merupakan bagian dari sejarah dan peradaban itu sendiri. 

Pandangan Al-Ba.nna di atas dikemukakan untuk menjelaskan bahwa pada 

dasarnya seperti itulah sketsa metodologi yang penulis ingin terapkan untuk 

penelitian ini. Penulis sepakat dengan al-Banna dalam hal memberikan kebebasan 

dan ruang gerak yang longgar bagi penafsir atau mufassir untuk mengekspresikan 

apa yang ia pahami dari al-Qur'an. Akan tetapi hal ini menimbulkan persoalan ketika 

orang memahami kebebasan ini  sebagai tanpa aturan. Ketika setiap orang 

"bertanya kepada hatinya," mungkin saja masing-masing hati itu akan memberikan 

jawaban berbeda. Lalu bagaimana mengukur kebenarannya? 

Karena itu penulis perlu mempertegas bahwa penelitian ini dilakukan dengan 

menempuh beberapa langkah tertentu, seperti akan dijelaskan di belakang nanti. 

Namun sebelumnya perlu dinyatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam 

disertasi ini lebih mengacu pada interpretasi teks atau hermeneutika serta gabungan 

pendekatan-pendekatan lain, seperti sejarah dan perbandingan. Ada beberapa poin 

yang dirasa penting dikemukakan berkaitan dengan teori dalam hermeneutika 

ini : Pertama, teks tidak bisa dijadikan sebagai objek seperti dalam penelitian 

atau analisis sains. Ia diperlakukan sebagai buah karya, yang berbicara, yang 

memiliki dunia tersendiri, di mana seseorang harus siap meninggalkan dunianya jika 

mau masuk ke sana. Teks tidak dipahami melalui apa yang disebut dengan "anatomy 

33 

of criticism," tetapi melalui "humanistic understanding. "58 Ia tidak dibedah untuk 

diketahui isinya, tetapi diselami untuk dihayati bersamanya makna-makna yang ia 

kandung. Seperti dikatakan Palmer, dalam penelitian harus dibedakan antara 

"object" dan "work" (karya), baik karya manusia atau karya Tuhan. Karya harus 

dilihat sebagai karya~ ia memiliki sentuhan kemanusiaan yang sarat nilai dan makna. 

Memahami makna yang lebih filosofis dari sebuah karya itulah yang menjadi fokus 

henneneutika. 59 Karena itu dalam memahami sebuah "karya" atau teks diperlukan 

kepekaan historis dan humanistik yang tajam. Sehubungan dengan kerangka berpikir 

ini al-Qur'an tidak ditafsirkan semata-mata dengan menggunakan the rules of 

interpretation yang kaku, seperti dalam pengertian tradisional (meskipun ini tetap 

dipertimbangkan), tetapi lebih pada philosophical elaboration ~f understanding. 

Artinya sebuah pemyataan dipahami dengan melihat berbagai kemungkinan yang 

dapat mempengaruhi maksud pengarang dan makna yang terkandung dalamnya. 

Kedua, seperti telah dikemukakan di atas, teks selalu berkaitan dengan 

events. Jadi, proses sejarah yang melahirkan sebuah teks merupakan faktor yang 

sangat penting untuk dijadikan pertimbangan. Ini tidak hanya dengan melihat asbab 

al-nuzUI dalam makna klasik, tetapi juga dengan menerapkan analisis sejarah secara 

kritis. 

Ketiga, teks juga harus dilihat sebagai bahasa dan simbol yang diungkapkan 

dalam suatu waktu dan tempat tertentu. Waktu dan tempat inilah yang perlu 

diterobos untuk mendapatkan makna dan pemahaman yang lebih terang dan relevan 

dengan zaman sekarang, 60 yang dalam istilah Ferguson disebut to span the gap 

between the past and present.61 Dalam hal ini tidak berarti al-Qur'an direduksi dan 

dipak:sakan sesuai dengan kehendak kekinian, tetapi ia dijembatani dengan 

menggunak:an fasilitas pengetahuan dan pengalaman modem. Penafsir yang hidup 

hari ini dapat memaknai teks al-Qur'an yang turun sekian abad silam dengan 

memberi makna baru pada teks ini  tanpa merusak: makna dasamya. 62 Barangkali 

model pendekatan yang penulis terapkan di sini masih dalam kerangka metodologi 

yang disebut Amin Abdullah dengan al-ta 'wTl al- 'ilmt3 atau, sebut saja, dalam 

istilah lain "mengolah teks, melacak: mak:na."64 Dengan kata-kata yang lebih 

sederhana, kajian ini penulis sebut dengan istilah "tafsir kritis" dan pendekatannya 

adalah "hermeneutika multikultural. "65 Dalam tafsir ini, yang paling dominan adalah 

kepekaan kemanusian, sebuah kepekaan yang mesti tumbuh dari berbagai 

pengalaman dan pengetahuan serta pergelutan manusia dengan kehidupan, sejarah 

dan peradaban. 66 

Dalam rangka memenuhi tuntutan metodologis seperti ini  di atas, maka 

langkah-langkah yang ditempuh untuk penelitian ini dapat diringkaskan kembali 

sebagai berikut: Pertama, penulis mengumpulkan ayat-ayat al-Qur'an tentang 

Y ahudi yang terdapat dalam berbagai surat, terutama dalam surat al-Baqarah, dan 

membagi-bagikannya dalam topik-topik tertentu. Ayat-ayat ini  dianalisa 

terutama sekali, pada tahap awal, dengan mempelajari pandangan ulama atau para 

mufassir untuk didiskusikan dan dikritisi. Untuk tujuan ini yang dirujuk adalah kitab-

kitab tafsir, sejarah dan buku-buku lain yang relevan. Ini mesti dilakukan sebagai 

langkah awal karena siapa pun tidak mungkin berangkat dari kekosongan. 

Pandangan-pandangan yang sudah ada perlu dijadikan landasan pijakan untuk 

membangun sebuah pemikiran baru. 

Kedua, penulis melakukan perbandingan antara berbagai statemen al-Qur' an 

dengan pandangan-pandangan dan catatan sejarah dalam literatur Y ahudi, terutama 

sekali kitab Bible Yahudi (Hebrew Bible).

bagaimana pandangan Y ahudi tentang diri mereka, yakni dengan merujuk pada kitab 

suci mereka dan karya-karya sarjana mereka yang otoritatif. Hal ini dianggap 

penting, sebab dalam al-Qur'an beberapa kali disebutkan: " ... ..l~\ wlUJ" ("dan 

orang-orang Yahudi berkata .... "). 68 Maka sekurang-kurangnya perlu dipelajari 

bagaimana pandangan orang Yahudi mengenai ''tuduhan" al-Qur'an ini , untuk 

menemukan makna yang lebih tepat dari statemen-statemen al-Qur'an mengenai hal 

itu. Langkah ini tidak dilakukan secara mendetail dan menyeluruh, tetapi secara 

umum dan terkait dengan topik-topik yang relevan saja, karena yang diperlukan di 

sini adalah menemukan contoh-contoh dalam rangka memperkaya argumentasi untuk 

perdebatan dan diskusi selanjutnya. 

Ketiga, sebagai konsekuensi logis dari metodologi dan pendekatan yang 

digunakan untuk penelitian ini, seperti telah dijelaskan di atas, pandangan-pandangan 

Muslim tradisional tentang Yahudi, atau pemahaman mereka mengenai ayat-ayat al­

Qur' an tentang Y ahudi, akan dikritisi atau ditinjau ulang dengan menghadapkannya 

dengan berbagai fakta lain dan pandangan-pandangan lain yang berbeda. Pada 

akhirnya, tafsiran ulang terhadap ayat-ayat ini  dilakukan dengan menggunakan 

pertimbangan-pertimbangan yang lebih kritis, terbuka dan lebih aplikatif terhadap 

realitas kehidupan di zaman ini. 

G. Sistematika Penulisan 

Langkah-langkah metodologis ini  di atas tidak sepenuhnya 

mencerminkan sekuens atau urutan dan sistematika penulisan disertasi m1. 

Sistematika penulisan lebih berpijak pada the logic of academic mode. Penulis 

memulai penulisan dengan mengemuk:akan alasan-alasan pengkajian dan sejauh 

mana ia dapat dianggap krusial dan menarik. Pada bagian pertama ini juga dijelaskan 

model pendekatan atau metodologi yang diterapkan, serta beberapa preview landasan 

teoretis yang menjadi fondasi penelitian. 

Bagian kedua berbicara lebih jauh mengenai landasan teoretis ini . 

Dalam hal ini, tulisan difokuskan pada teori-teori studi al-Qur' an terutama sekali 

yang berbasis pada paradigma pemikiran kontemporer. Teori-teori inilah yang 

menjadi bingkai pemikiran yang didiskusikan pada bah selanjutnya. 

Bab ketiga adalah bagian awal atau pengantar ke inti proyek penelitian ini, 

yakni tentang Y ahudi dalam tradisi Islam. Lalu diteruskan dengan bab empat yang 

mengeksplorasi dan mendiskusikan secara lebih mendalam mengenai pandangan al­

Qur' an tentang Y ahudi. W alaupun hanya dibagi kepada tiga sub bab saja, bab ini 

menggunakan proporsi yang cukup signifikan. Analisis lebih jauh tentang eksplorasi 

yang dilakukan dalam bah empat diperdalam pada bah lima, yaitu bab yang memuat 

kritik dan konstruk:si ulang nalar pemikiran keagamaan yang penulis resahkan. Di 

sinilah studi al-Qur' an diperdebatkan dan didialogkan dengan nalar pengetahuan dan 

pengalaman kehidupan kontemporer. Atas dasar kajian dan diskusi dalam bab-bab 

sebelumnya, beberapa kesimpulann dirumuskan dan dimuat dalam bab khusus yaitu 

Penutup. Di samping itu, beberapa saran atau rekomendasi juga disampaikan dalam 

bah terakhir ini. 


Dari berbagai analisis dan diskusi yang dikemukakan dalam bab-bab 

sebelumnya, beberapa kesimpulan penting dapat diambil di sini: Pertama, ayat-ayat 

al-Qur'an tentang Yahudi atau Bani Israil pada dasamya tidak semuanya berupa 

kritik dan kecaman; sangat banyak ayat-ayat al-Qur'an yang justeru memberikan 

apresiasi kepada mereka atau, sekurang-kurangnya, bersifat netral. Bani Israil 

disebutkan al-Qur'an sebagai umat pilihan dan dalam banyak ayat dirujuk sebagai 

Ahli Kitab, yakni umat yang memiliki kitab suci yang diturunkan Tuhan. Sementara 

itu, kritik-kritik terhadap mereka ditujukan pada sikap dan perilaku mereka yang 

menurut al-Qur' an telah menyimpang dari ajaran kitab suci mereka sendiri. Karena 

itu al-Qur'an menyeru mereka mengamalkan ajaran kitab sucinya dengan benar. 

Berkaitan dengan hal ini, konsep tal]rif atau tabdil, seperti yang kembangkan ulama 

tradisional, yang mengatakan bahwa orang-orang Y ahudi telah melakukan distorsi 

terhadap teks kitab suci mereka, menurut penulis, sulit dipertahankan. 

Kedua, kecaman-kecaman al-Qur'an terhadap Yahudi, sesuai tesis di atas, 

sebenarnya merupakan respon kepada mereka yang secara nyata menentang al-

Qur'an. Artinya, al-Qur'an sama sekali tidak bermaksud menyerang agama Yahudi 

atau menghina umat Y ahudi; yang dikritik adalah perilaku mereka, dan yang dikutuk 

adalah mereka yang melakukan pengkhianatan. Mereka ini adalah orang-orang 

Y ahudi Medinah yang hidup dan bergumul dengan peradaban Arab serta secara 

intens berinteraksi dengan Nabi dan al-Qur'an. Dengan demikian, tidak semua 

Yahudi di seluruh dunia dan sepanjang sejarah persis seperti diungkapkan al-Qur'an, 

baik dari segi positif maupun negatifnya, bahkan jika kaum Muslim ingin 

mengetahui segala sesuatu tentang Yahudi (sejarah, peradaban dan tradisi keagamaan 

mereka), maka al-Qur'an bukanlah sumber satu-satunya dan bukan pula sumber yang 

memadai. Dengan demikian, al-Qur' an akan dapat dipahami lebih baik jika 

dipertemukan atau dibandingkan dengan ilmu pengetahuan dan teks-teks keagamaan 

lainnya. 

Ketiga, sesuai penjelasan di atas, pandangan-pandangan dan kritik al-Qur'an 

terhadap kaum Y ahudi dapat dikatakan bersifat khusus dan kondisional. Karena itu 

konteks dan tujuan dari ayat-ayat tentang mereka itu harus diperhatikan. Ketika al­

Qur'an, misalnya, mengatakan Tuhan mengutuk mereka (orang-orang Yahudi), tidak 

berarti yang dimaksudkan adalah semua mereka di seluruh permukaan bumi dan 

sepanjang sejarah dunia. Demikian juga ketika al-Qur'an menuduh mereka 

mengatakan Uzair anak Tuhan, yang dimaksudkan hanya beberapa orang di antara 

mereka yang disaksikan langsung olah al-Qur' an sendiri. Kalau konteks pembicaraan 

al-Qur' an seperti ini tidak diperhatikan maka akan menimbulkan kekeliruan dalam 

menangkap pesan-pesan dasar dari al-Qur' an itu sendiri. 

Keemptt, dengan demikian, kebencian kaum Muslim terhadap Yahudi 

sebenamya tidak berasal dari ajaran al-Qur'an, dan pelabelan Yahudi dengan segala 

macam kejahatan dan keburukan tidak sejalan dengan semangat al-Qur'an. 

Fenomena ini memang telah mewamai sejarah dan literatur Muslim dari sejak awal 

359 

sampai hari ini. Akan tetapi tidak berarti itulah kebenaran yang harus diterima dan 

tidak boleh dikritisi. Perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan modem tampak 

membuka peluang yang lebih positif untuk membangun kesadaran "kita" yang lebih 

kritis terhadap "diri sendiri" dan "orang lain." Demikian juga, kesadaran sejarah 

(historical awareness) akan menjadikan seseorang lebih mampu bersikap positif dan 

apresiatif terhadap keragaman pandangan dan tradisi dalam kehidupan manusia. 

Kelima, ajaran dasar al-Qur'an sebenamya sangat kompatibel dengan 

semangat pluralisme agama. Al-Qur'an mengajak kepada keterbukaan dan 

mengkritik sikap eksklusif dan klaim-klaim benar sendiri seperti yang diperlihatkan 

oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani yang hidup di lingkungan masyarakat Arab 

zaman turun wahyu. Oleh karena itu, alangkah ironisnya - dan memang tidak 

mungkin - jika al-Qur'an sendiri lantas dianggap telah mengambil sikap dan 

tindakan yang sama. 

Akhirnya, jika semua umat beragama mau merujuk pada inti ajaran kitab 

sucinya secara jujur dan bersedia untuk bersikap terbuka terhadap umat lain serta 

mampu mengapresiasi kitab suci umat lain secara positif, maka akan ada harapan 

yang lebih cerah bagi kehidupan yang lebih damai di antara umat manusia (yang 

memiliki budaya dan tradisi keagamaan berbeda-beda) di masa akan datang.  

Studi ini sangat terbatas, hanya mengeksplorasi ayat-ayat tentang Y ahudi dan 

melakukan reinterpretasi atas ayat-ayat ini  dengan melihat konteks hubungan 

360 

Yahudi-Muslim dan wacana pluralisme agama yang sedang berkembang akhir-akhir 

ini. Sasaran utama kajian ini adalah pembenahan pemahaman terhadap kitab suci dan 

perbaikan hubungan Yahudi-Muslim yang telah dikotori oleh berbagai fitnah politik 

dan dendam sejarah yang tidak rasional. 

Ayat-ayat tentang Y ahudi dapat dikaji dalam konteks dan dengan pendekatan 

berbeda-beda. Dari sudut pandang bahasa, misalnya, masih diperlukan telaah lebih 

mendalam mengenai istilah-istilah yang digunakan al-Qur'an, baik istilah Yahudi 

dan Bani Israil itu sendiri (apa perbedaan di antara keduanya; apakah perbedaan 

ini  berdampak secara konseptual pada pemaknaan pandangan al-Qur'an?) 

maupun istilah-istilah lain yang digunakan al-Qur' an ketika. memberi respon dan 

mengkritik mereka. Secara historis, telaah terhadap kronologis ayat-ayat tentang 

Yahudi secara lebih rinci dan mendalam juga masih diperlukan: bagaimana, 

misalnya, ayat-ayat ini  berkembang secara radikal dari bentuk-bentuk seruan 

yang lunak sampai pada sikap permusuhan dan kutukan? Sejauh mana 

perkembangan ini  dapat menjelaskan perkembangan hubungan orang-orang 

Y ahudi dan Nabi Muhammad serta bagaimana menyikapi keputusan akhir Nabi yang 

mengambil tindakan keras terhadap mereka? 

Terkait dengan kajian penulis dalam disertasi ini, ada baiknya dilakukan 

penelitian mengenai buku-buku tentang Yahudi - baik asli maupun teijemahan -

yang beredar di Indonesia Buku-buku ini  mungki~ sejauh pantauan penulis, 

hampir semuanya bernada negatif dan mengecam umat Y ahudi, dan secara umum 

argumentasi-argumentasi di dalamnya lebih banyak didasarkan pada ayat-ayat al­

Qur'an. Lalu, persoalannya, sejauh mana pemahaman ayat-ayat al-Qur'an ini  

telah dilakukan secara tepat dan proporsional? Lebih jauh, bagaimana dampak isi 

buku ini  terhadap sikap masyarakat dalam merespon isu pluralisme agama, 

konflik Timur Tengah, terorisme dan bahkan perkembangan pemikiran keagamaan di 

Tanah Air yang dinilai sebagian kalanganjuga karena pengaruh kejahatan Yahudi? 

Penelitian tentang Y ahudi dalam fikih penulis anggap juga patut 

direkomendasikan. Fikih, yang ditulis ulama Islam berabad-abad silam dan masih 

dipakai hingga saat ini, telah mendiskusikan secara ekstensif berbagai persoalan 

terkait dengan Yahudi dan Nasrani serta Taurat dan Injil, mulai dari soal perkawinan, 

pakaian, makanan, sampai masalah bersuci dan istinjii '. Secara garis besar, fikih 

telah mendiskreditkan umat Yahudi dan juga Nasrani, bahkan dengan cara-cara yang 

tidak pantas. Jika hal ini dapat dikaji kembali dengan pendekatan yang lebih terbuka, 

positif dan semangat ilmiah yang sungguh-sungguh, maka akan sangat besar 

kontribusinya bagi pemahaman keagamaan yang lebih sehat dan apresiatif, terutama 

dalam konteks pluralisme agama. Kajian ini, menurut penulis, benar-benar penting 

dalam rangka melacak serta memetakan kembali persoalan hubungan Yahudi-

Muslim yang hari ini semakin berada pada titik kritis yang mengkhawatirkan. 












DISERTASI ini berbicara mengenai ayat-ayat al-Qur'an tentang Yahudi. 

Persoalannya: Mengapa, dalam sejumlah ayat, al-Qur'an mengkritik umat Yahudi? 

Siapa sebenamya Yahudi yang menjadi sasaran al-Qur'an itu? Kajian ini dianggap 

penting sebab menyangkut dasar falsafah hidup kaum Muslim dalam menentukan 

sikapnya terhadap umat Y ahudi. Hubungan Muslim dengan Y ahudi hari ini semakin 

memburuk; mereka dianggap sebagai orang-orang terkutuk dan musuh paling 

berbahaya bagi Islam. Apakah pandangan seperti itu merupakan refleksi yang sahih 

dari ajaran al-Qur'an? Studi ini dilakukan sebagai upaya memahami kembali ayat­

ayat al-Qur'an ini  untuk merekonstruksi pandangan al-Qur'an tentang Yahudi. 

Untuk tujuan ini , paradigma yang digunakan tidak terlepas dari konsep 

pluralisme agama, karena terkait dengan hubungan dua umat dengan keyakinan 

keagamaan berbeda. Penulis menganalisa ayat-ayat al-Qur'an tentang Yahudi dalam 

konteks zaman Nabi dan dalam hubungannya dengan keberadaan umat Yahudi yang 

ikut memberi kontribusi penting bagi perkembangan wahyu al-Qur'an. Jadi kajian ini 

pada dasamya berbentuk tafsir, yakni interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur'an, 

namun dengan menggunakan model, paradigma dan pendekatan yang berbeda dari 

studi tafsir yang mungkin sering diasumsikan dalam lingkungan tradisi Islam. 

Metodologi yang digunakan lebih mengarah pada hermeneutika, yakni dengan 

mengedepankan penalaran kritis-filosofis. Penulis memberikan penafsiran-penafsiran 

terhadap ayat-ayat al-Qur'an dengan mempertimbangkan berbagai aspek kajian lain, 

seperti sejarah, sosial-budaya dan filsafat. Karena itu subjektivitas dan ekspresi 

pribadi penulis lebih dominan. 

Dari telaah yang dilakukan, penulis berkesimpulan bahwa ayat-ayat al-Qur'an 

yang berbicara mengenai atau mengkritik Y ahudi dapat dikatakan berada pada 

tataran historis, kultural dan sosiologis; artinya ada pergumulan manusia dan budaya 

dalam rentang waktu tertentu yang telah menyebabkan ayat-ayat itu diturunkan. 

Sementara itu yang menjadi tekanan al-Qur'an adalah aspek moral dari pergumulan 

ini ; artinya, dialog-dialog al-Qur'an dengan orang-orang Yahudi serta respons 

dan kritik yang diarahkan kepada mereka terbentuk dalam rumusan-rumusan agama 

yang menyangkut perilaku manusia, baik terhadap sesamanya, lingkungannya 

ataupun terhadap Tuhan. Al-Qur'an tidak membuat klaim-klaim khusus tentang 

kebenaran agama; yang ditekankan al-Qur'an adalah sikap keberagamaan itu sendiri, 

yakni agar para pemeluk agama itu bersikap lurus dan jujur. Di sisi lain, seruan­

seruan al-Qur'an kepada orang-orang Yahudi selalu dilakukan dengan cara terus 

Xll 

terang dan dengan tetap menaruh hormat pada Kitab Suci mereka; al-Qur' an 

menegaskan bahwa posisi dirinya hanyalah sebagai bagian dari wahyu Tuhan 

sebagaimana telah turunkan kepada nabi-nabi sebelumnya. Demikian juga tidak ada 

indikasi dalam al-Qur' an yang mengarah pada upaya-upaya "pengislaman'' orang 

Yahudi atas dasar bahwa mereka tidak akan selamat tanpa menyatakan memeluk 

agama Islam. A-Qur'an menganggap orang-orang Yahudi juga berada pada garis 

yang benar jika mereka mengikuti wahyu Tuhan secara jujur dan lurus. 

Berbagai sikap politik yang diambil orang-orang Y ahudi terhadap Nabi telah 

menyebabkan turunnya kecaman-kecaman al-Qur' an yang lebih keras. Mereka 

berkolaborasi dengan orang-orang musyrik Mekkah untuk melawan Islam dan 

melakukan tindakan-tindakan yang keji secara moral. Setelah memberikan 

peringatan-peringatan, dan temyata mereka tidak menggubrisnya, al-Qur' an 

mengambil sikap tegas untuk menolak mereka sebagai sekutu Islam dan menyatakan 

mereka sebagai kafir. 

Fakta inilah yang dijadikan potret sikap Islam terhadap Y ahudi oleh 

kebanyakan Muslim dan mereka menjadikan ayat-ayat al-Qur'an sebagai rujukan 

utama dalam mengembangkan kebencian dan sikap bermusuhan dengan umat 

Yahudi. Fakta lain yang dijadikan pijakan untuk tujuan yang sama adalah tindakan 

Nabi Muhammad mengusir orang-orang Y ahudi dari negeri Madinah, yang diikuti 

pula oleh sebagian sahabat beliau. Menurut penulis, landasan pijakan seperti itu tidak 

memadai, karena terlepas dari konteksnya dan juga mengabaikan berbagai fakta yang 

lain. Keputusan Nabi mengusir orang-orang Y ahudi dari Madinah adalah puncak dari 

akumulasi perseteruan politik yang tidak dapat ditoleransi lagi, dan pemyataan al­

Qur'an tentang kekafiran orang-orang Yahudi adalah kesimpulan dari seluruh 

perilaku moral mereka yang keji, penuh intrik dan dusta, sombong dan tidak terbuka 

terhadap kebenaran. Namun perlu ditegaskan bahwa mereka yang dikritik al-Qur'an 

itu adalah sebagian dari orang-orang Y ahudi Madinah dan tidak sepenuhnya 

merepresentasikan seluruh pandangan dan tradisi keagamaan umat Y ahudi di seluruh 

dunia. Sayangnya, perseteruan politik dan kebencian emosional telah mengaburkan 

pemahaman kebanyakan Muslim dalam memaknai fakta-fakta di atas. 

Akhimya, dapat disimpulkan bahwa berbagai pemyataan al-Qur'an dan sikap 

terakhir Nabi terhadap Y ahudi Medinah tidak dapat dijadikan alasan untuk mengutuk 

Yahudi, baik sebagai sebuah umat atau sebuah tradisi keagamaan. Al-Qur'an dan 

sikap Nabi di sini semestinya dilihat secara kondisional dan sebagai acuan moral 

yang harus ditafsirkan secara lebih luas dengan memperhatikan berbagai kondisi 

kehidupan pada waktu itu untuk dijembatani dan dipahami dalam konteks kehidupan 

hari ini. 


DISERTASI ini merupakan sebuah upaya untuk menjelaskan perspektif al-Qur'an 

tentang Y ahudi. Tidak sedikit karya dalam hi dang ini telah dikerjakan, namun 

penulis ingin melihat topik ini dengan pendekatan berbeda. Benih keinginan ini telah 

muncul sejak satu dekade lalu, ketika penulis kuliah di University of New South 

Wales, Australia, pada saat pertama sekali mengenal orang-orang dan dunia yang 

"asing." Meskipun penulis mengikuti kuliah-kuliah Antropologi, pertemuan dengan 

Dosen dan ternan-ternan sekelas yang berasal dari Jatar beJakang budaya dan tradisi 

keagamaan berbeda membuat concern penulis terhadap keragaman agama mulai 

tumbuh dan menjadi semakin mendalam. Pada awalnya, ini terasa sebagai 

pengalaman yang menakutkan, namun kemudian menjadi semacam tantangan 

intelektual yang mengasyikkan. 

Penulis, sebagaimana kebanyakan anak-anak Muslim lainnya di Aceh, 

dibesarkan dalam lingkungan tradisional dengan disiplin keagamaan yang ketat. 

Keyakinan keagamaan telah ditanam sejak kecil dan klaim kebenaran Islam sebagai 

satu-satunya kebenaran bukanlah hal yang asing lagi. Islam dan non-Islam selalu 

diperlihatkan sebagai dua sisi kehidupan yang mustahil dapat dipertemukan. Islam 

adalah keyakinan yang berpusat pada ajaran yang disampaikan Muhammad, nabi 

paling mulia dan penutup sekalian rasul Tuhan~ selain ajaran ini  dianggap batil 

dan pemeluknya akan menjadi isi neraka di hari akhirat. 

Dalam kehidupan yang semakin global, tak pelak lagi, pandangan seperti di 

atas akan berhadapan dengan berbagai tantangan, baik sosial, politik maupun 

kultural. Interaksi di antara orang-orang yang memiliki keyakinan berbeda, baik 

dalam dunia bisnis, intelektual maupun dalam kehidupan keseharian, akan terus 

terjadi dalam bentuk yang semakin intens. Pengalaman ini , seperti yang penulis 

alami, menjadikan seseorang berpikir kembali dan mendorongnya melakukan 

XIV 

perenungan yang lebih mendalam soal arti keyakinan yang ia anut selama ini. Ketika 

seorang Muslim berhadapan dengan seorang ternan non-Muslim, misalnya, dan 

menyaksikan seluruh perilakunya yang santun, jujur dan disiplin, apakah mudah 

baginya untuk memberikan justifikasi bahwa orang di depannya itu tidak lain adalah 

seorang manusia keji yang akan menjadi penghuni neraka? Terlebih, bukankah 

kebanyakan (mungkin lebih 90%) manusia memeluk suatu keyakinan lebih banyak 

karena ikatan psikologis, sosial dan budaya - yakni karena ia dilahirkan dan 

dibesarkan dalam tradisi keyakinan ini - dibanding alasan-alasan lain? Lalu, 

apakah keselamatan seseorang di akhirat semata-mata ditentukan oleh institusi 

formal agama tertentu yang ia anut, yang umumnya tidak lebih dari warisan budaya 

yang ia terima dari orangtuanya? 

Tantangan inilah yang pada akhimya telah mengantar penulis pada kajian 

disertasi ini. Namun patut dinyatakan bahwa penulis tidak mengkaji atau 

membuktikan mana yang benar dan mana yang salah atau siapa yang akan selamat di 

akhirat dan siapa yang tidak di antara umat-umat berbeda keyakinan. Topik utama 

disertasi ini adalah mengenai apa kata ayat-ayat al-Qur' an tentang Y ahudi. Benarkah, 

sebagaimana diasumsikan kebanyakan Muslim, al-Qur'an mengajarkan umatnya 

memusuhi dan mengutuk umat Y ahudi? Ketika al-Qur' an menyebut "Yahudi" atau 

"Bani Israil," siapa atau komunitas mana sebenarnya yang dimaksudkan? 

Pada dasarnya bidang studi yang penulis tekuni adalah Tafsir dan 'Ulum al­

Qur 'lin, atau secara umum dapat disebut dengan studi al-Qur' an Hal ini telah 

memberi ruang gerak yang luas bagi penulis untuk mengeksplorasi berbagai bidang 

kajian lain dan isu-isu kontemporer yang menarik minat penulis, sebab studi al­

Qur'an merupakan core kajian Islam dan memiliki relevansi yang kuat dengan 

berbagai kajian ilmu lainnya. Peluang inilah yang penulis manfaatkan untuk 

menelaah isu pluralisme agama, dengan menggunakan "tafsir al-Qur' an" sebagai 

acuan dasar pemikiran dan ayat-ayat tentang Yahudi sebagai contoh kasusnya. Ak:an 

tetapi perlu dicatat bahwa penulisan disertasi ini tidak dimaksud untuk "membela" 

Yahudi ataupun mendukung segala kebenaran yang diajarkan dalam tradisi mereka. 

Bukan pula tujuan tulisan ini untuk mengutuk Y ahudi dan mempertahankan 

superioritas Islam atau ajaran al-Qur' an atas ajaran agama-agama lain. Disertasi ini 

diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih tercerahkan mengenai konsep 

XV 

al-Qur'an tentang cara memandang "orang lain," khususnya cara pandang yang 

ditunjukkan al-Qur'an itu sendiri tentang umat Yahudi; disertasi ini merupakan 

upaya "memahami," bukan "menjustifikasi"- sebuah keinginan untuk "mendalami," 

tanpa pretensi dan bukan untuk berapologi.