Tampilkan postingan dengan label Israel Konflik Sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Israel Konflik Sosial. Tampilkan semua postingan

Israel Konflik Sosial

 


Konflik sosial merupakan hal yang wajar dalam suatu proses sosial. 

Konflik sosial merupakan ciri khas yang menunjukan bahwa suatu masyarakat 

sedang mengalami proses perubahan secara dinamis. Konflik sosial yang ditata 

secara baik akan menghasilkan dampak yang baik, sebaliknya jika tidak maka 

konflik akan berakhir dengan kekerasan dan perpecahan. Hal inilah yang 

ditunjukan dalam kisah konflik yang tercatat dalam 1 Raja-raja 12:1-19. Kisah 

tersebut merupakan gambaran utuh dari peristiwa konflik yang tidak tertata 

dengan baik. Akibatnya, terjadilah kekerasan dan revolusi sosial yang 

berdampak luas bagi seluruh masyarakat Israel. Berdasarkan konsep dasar

tersebut, maka tulisan ini bertujuan untuk memberikan penjelasan yang 

komprehensif tentang sebab, bentuk dan akibat dari peristiwa konflik dalam 

kisah 1 Raja-raja 12:1-19. Tulisan ini juga bertujuan untuk menjelasan tentang 

relevansi kekinian yang dapat dipelajari dari kisah konflik sosial dalam 1 Raja￾raja 12:1-19. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 

pendekatan sosio-historis melalui studi kepustakaan untuk menghasilkan suatu 

kesimpulan penelitian terhadap kisah 1 Raja-raja 12:1-19. Hasil penelitian 

terhadap topik “Israel dan konflik sosial” menunjukan bahwa tindakan 

penindasan, ekploitasi dan diskriminasi diduga telah menjadi faktor utama 

penyebab terjadinya konflik sosial dan perpecahan masyarakat Israel.

Pada dasarnya setiap masyarakat yang bersifat dinamis merupakan 

komunitas sosial yang terus berproses dengan perubahan. Perubahan masyarakat 

dapat mengenai berbagai aspek, nilai dan dimensi dalam suatu proses sosial. 

Berbagai bentuk perubahan dapat membantu masyarakat mengalami berbagai 

pembaharuan dan perkembangan kehidupan sosial. Menurut Wilbert Moore, 

perubahan sosial masyarakat adalah perubahan penting dari bentuk struktur 

sosial masyarakat. Sedangkan struktur sosial sendiri merupakan berbagai pola 

perilaku dan interaksi sosial individu dalam masyarakat.1 Sejalan dengan hal 

tersebut, Samuel Koening memahami proses perubahan sosial sebagai suatu 

pola yang menunjuk kepada modifikasi-modifikasi yang terjadi pada kehidupan 

manusia. 2 Dengan demikian, setiap perubahan sosial masyarakat dapat 

dikatakan memiliki cakupan yang beragam dan melibatkan berbagai kekuatan 

penting pada struktur sosial masyarakat.

Israel dan Konflik Sosial... (Osian Orjumi Moru)

…(Petrus Yunianto)

...( Santy Sahartian)

81

Proses perubahan sosial masyarakat adalah suatu bentuk gejala alamiah 

yang menunjukan eksistensi masyarakat dalam hubungannya dengan berbagai 

konteks kehidupan. Masyarakat menjadi subjek utama yang mengkonstruksi 

dimensi-dimensi kehidupan individu sehingga menghasilkan berbagai 

perubahan sosial. Perubahan-perubahan sosial pada suatu masyarakat dapat 

hadir dalam berbagai dimensi, bentuk dan kondisi. Menurut Robert H. Lauer, 

wujud mekanisme sosial yang mendorong terjadinya perubahan pada komunitas 

masyarakat adalah kondisi konflik.3

Konflik menjadi persoalan penting yang berperan dalam pembentukan dan 

pengembangan karakteristik suatu masyarakat. Konflik merupakan suatu 

kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif.4 Konflik dapat 

mendorong terbentuknya ikatan persatuan masyarakat yang semakin kokoh, 

namun juga dapat mempercepat terjadinya perpecahan dan diferensiasi sosial 

yang luas. Konflik yang tidak tertata secara baik akan berujung kepada 

pembentukan karakteristik masyarakat yang terpecah dan terpisah dari ikatan 

solidaritas mekanisnya. Kondisi konflik tersebut juga dapat mendorong dan 

menciptakan terjadinya pembaharuan masyarakat secara tak seimbang.

Dampak destruktif dari konflik semacam itu, muncul secara jelas dalam 

kisah 1 Raja-raja 12:1-19. Dalam cerita tersebut digambarkan tentang suatu 

peristiwa konflik yang berujung kepada terjadinya revolusi sosial yang memaksa 

terbentuknya deferensiasi sosial secara luas antara suku-suku di Palestina. Teks 

1 Raja-raja 12:1-19 memberi gambaran utuh tentang asal-muasal terbentuknya 

konflik sosial di Israel pada sekitar tahun 931/930 sM.

Peristiwa konflik pada bangsa Israel telah memunculkan berbagai 

perdebatan dan pertanyaan kontroversial diseputaran sebab terjadinya konflik 

tersebut. Perdebatan yang muncul merupakan dua tarikan ide yang melihat 

persoalan konflik di Israel sebagai wujud proses sosial yang bersifat 

multidimensional. Gottwald menyebut penyebab terjadinya konflik di Israel 

antara tahun 931/930 sM sebagai the dual causality principle.

5 Gottwald dalam 

tulisannya menjelaskan tentang dua alasan yang menjadi penyebab terjadinya 

perpisahan kerajaan Israel Bersatu antara tahun 931/930 sM yakni alasan 

spiritual yang tercatat dalam 1 Raja-raja 11:1-13 dan alasan riil yang tercatat 

dalam kisah 1 Raja-raja 12:1-19.

Dua alasan tersebut secara teknis memiliki sudut pandang yang berbeda. 

Akibatnya, telah memunculkan berbagai pertanyaan dan tafsiran yang beragam. 

Atas dasar persoalan tersebut, maka artikel ini dirancang untuk menjawab 

pertanyaan tentang bagaimana kondisi riil masyarakat Israel pada masa 

terjadinya konflik sosial seperti yang dicatat dalam 1 Raja-raja 12:1-19. 

Menyangkut perihal diatas, penulisan artikel ini bertujuan untuk menjelaskan 

secara eksplisit tentang kondisi sosio-historis penyebab terjadinya konflik dan 

perpecahan masyarakat kerajaan Israel Bersatu seperti yang dicatat dalam 1 

Raja-raja 12:1-19. Penjelasan artikel ini menjadi penting, sebab mampu 

menyajikan gambaran sejarah yang bersifat holistik, komprehensif, dan 

kontekstual atas peristiwa konflik yang pernah terjadi di Israel pada tahun 

931/930 sM.

Secara struktural, pembahasan artikel ini dimulai dari suatu penjelasan 

tentang keterkaitan antara konsep konflik dengan konsep perubahan sosial. 

Pembahasan tersebut kemudian dilanjutkan dengan penjelasan yang bersifat 

holistik tentang peristiwa konflik sosial antara suku-suku Israel seperti yang 

tercatat dalam kisah 1 Raja-raja 12:1-19. Artikel ini kemudian diakhiri dengan 

upaya untuk mencari suatu relevansi kekinian atau makna konteksual dari 

peristiwa konflik sosial yang terjadi di Israel dalam kerangka masyarakat 

modern saat ini.

Pembahasan dan Hasil

Konflik dan Perubahan Sosial Masyarakat

Masyarakat merupakan komunitas sosial yang secara teoritis dan teknis 

akan terus bergerak secara dinamis sehingga akan mengalami berbagai 

perubahan sosial. Perubahan sosial masyarakat adalah elemen penting yang 

mengkonstruksi wajah suatu komunitas masyarakat. Pada akhirnya hal ini akan 

memunculkan suatu bentuk konsekuensi logis tentang adanya proses 

pembentukan identitas diri masyarakat yang berdasarkan pada pola perubahan 

dan pola adaptasi. Pola perubahan dan pola adaptasi suatu masyarakat seringkali 

didorong oleh adanya suatu mekanisme sosial yang dikenal sebagai konflik 

sosial. Konflik sosial diartikan sebagai gambaran tentang perselisihan, 

percekcokan, ketegangan atau pertentangan sebagai akibat dari perbedaan￾perbedaan yang muncul dalam kehidupan masyarakat, baik perbedaan yang 

bersifat individual maupun perbedaan kelompok.9 Konflik sosial juga diartikan 

sebagai ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, 

ide, dan lain-lain. Lebih lanjut konflik sosial berarti adanya suatu persepsi 

tentang perbedaan kepentingan (Perceived divergence of interest), atau

munculnya kepercayaan bahwa setiap aspirasi individu yang berkonflik tidak 

dapat dicapai secara simultan. 10 Dari definisi tersebut nampak suatu konsep 

dasar tentang kondisi konflik sosial yang bukan saja berhubungan dengan 

konfrontasi fisik melainkan juga berhubungan dengan perbedaan kepentingan, konsep maupun gagasan sehingga melahirkan pertentangan antara dua pihak 

atau lebih dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. 

Konflik sosial merupakan dasar penting dalam pembentukan identitas 

suatu masyarakat. 11 Hal ini menandai adanya suatu hubungan erat antara 

peristiwa konflik dengan perubahan sosial masyarakat yang cenderung menjadi 

rangkaian proses yang berkelanjutan.

12 Akibatnya, setiap proses perubahan 

sosial pasti memiliki ikatan kedekatan yang bersifat adaptif dengan peristiwa 

konflik sosial.

Secara teoritis, konflik sosial merupakan salah satu hal fundamental dari 

perkembangan kehidupan manusia yang memiliki karakteristik heterogen. 

Kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk heterogen tercermin jelas pada 

berbagai perbedaan yang muncul secara kasat mata, baik itu dalam hal 

perbedaan jenis kelamin, sistem hukum, strata ekonomi, sistem budaya, sistem 

kepercayaan, pandangan politik, dan sebagainya. Sifat heterogenitas itulah yang 

menyebabkan munculnya berbagai situasi berupa benturan sosial atau konflik 

sosial. Selama sifat dasar heterogenitas manusia masih ada, maka peristiwa 

konflik akan selalu menjadi hal yang tak terhindarkan dalam berbagai dimensi 

kehidupan manusia. Dengan dasar pandangan tersebut, maka setiap bentuk

konflik sosial selalu memiliki dwifungsi perubahan sosial yakni dapat menjadi 

alat perekat sekaligus alat perenggang dalam sistem ikatan sosial masyarakat.

Dalam hal inilah konflik sosial memiliki peranan strategis dalam menentukan 

pola dan bentuk perubahan sosial suatu masyarakat dari waktu ke waktu.

13

Dilihat dari bentuk dan jenisnya, konflik sosial dapat tampil dalam 

berbagai wujud dan kriteria pada struktur masyarakat yang bersifat 

multikultural. Konflik sosial dapat dikelompokan berdasarkan altar terjadinya 

konflik, pihak yang terkait dalam konflik, substansi konflik, dan lain-lain. 

Berdasarkan dampaknya, konflik sosial dapat diklasifikasikan menjadi dua 

bentuk yakni konflik destruktif dan konstruktif. 14 Dua jenis konflik tersebut 

merupakan motor pengerak yang penting bagi terjadinya suatu proses perubahan 

sosial masyarakat. Muncul dan berkembangnya berbagai ragam jenis konflik 

merupakan bentuk ekspresi sosial masyarakat yang sedang mengalami proses ahartian)

85

adaptasi sosial sehingga menghasilkan masyarakat yang bersifat adaptif 

terhadap perubahan sosial.

Kenyataan bahwa setiap masyarakat pasti memiliki struktur sosialnya 

masing-masing telah menimbulkan berbagai perbedaan dinamika sosial yang 

menyebabkan perubahan pola-pola perilaku sosial. Perubahan dan 

perkembangan masyarakat pada berbagai dimensi kehidupan sosial, merupakan 

hasil akhir dari proses interaksi sosial yang bersifat kompleks. Interaksi sosial

adalah wujud perjumpaan individu-individu yang memunculkan berbagai 

perubahan termaksud karena adanya konflik sosial.

Konflik sosial sering kali merupakan bentuk letupan dari berbagai proses 

interaksi sosial yang disebabkan baik oleh faktor internal maupun eksternal 

suatu masyarakat. Terdapat banyak faktor yang menjadi pendorong terciptanya 

situasi konflik yang menimbulkan pergolakan dan perubahan masyarakat secara 

dinamis. Konflik sosial terjadi apabila norma sosial dalam keadaan lemah atau 

sedang mengalami perubahan. Pada saat-saat semacam itu orang akan 

cenderung membentuk suatu cara pandang yang bersifat idiosyncratic mengenai 

hak-hak sosial dan individunya.15

Cara pandang demikian akan melahirkan beberapa kondisi dasariah yang 

menjadi sebab atau alasan terjadinya konflik pada kerangka perubahan sosial 

masyarakat. Kondisi dasariah tersebut antara lain: (1) kondisi teknis, (2) kondisi 

politik, (3) dan kondisi sosial.16 Ketiga kondisi ini menjadi faktor pendorong 

terbentuknya konflik dalam proses interaksi sosial. Adanya keterhubungan dan 

tumpang tindih antara ketiga kondisi tersebut juga menunjukan adanya suatu 

proses tarik menarik yang kuat secara empiris antara peristiwa konflik dengan

perubahan sosial pada tatanan riil masyarakat. Ketiga faktor tersebut terhubung 

secara dinamis pada tataran horizontal masyarakat disetiap proses sosialnya.

Jika dipahami secara mendalam, secara teoritis, kondisi teknis yang 

menyebabkan terjadinya konflik sebagai syarat terbentuknya perubahan sosial 

masyarakat adalah kondisi munculnya seorang pemimpin dan pembentukan 

ideologi pada tataran empiris. Kedua hal tersebut dianggap memainkan peranan 

stategis dalam pembentukan kelompok konflik dan tindakan kolektif yang 

penting bagi setiap perubahan sosial masyarakat. Hal ini disebabkan oleh karena 

tidak ada tindakan kelompok yang diorganisasi dapat terjadi tanpa suatu tipe 

kepemimpinan dan suatu bentuk kepercayaan yang bersifat membenarkan atau ideologi.17

Dalam hal kondisi politik, hal penting yang ditekankan adalah adanya 

tingkat kebebasan pada individu untuk membentuk suatu komunitas dan 

tindakannya. Pada tingkat komunitas tertentu, kondisi ekstrim dapat 

diperlihatkan oleh adanya pemerintahan totaliter yang melarang terbentuknya

partai politik oposisi atau model asosiasi sosial-politik lainnya. Sedangkan pada 

kutup berbeda, diperlihatkan adanya suatu komunitas masyarakat demokratis

yang terbuka dan toleran terhadap macam-macam kelompok konflik untuk

mengejar kepentingan dalam batas-batas pengaturan hukum yang luas demi 

melindungi kemerdekaan bagi semua orang. Variasi yang sama dapat pula kita 

amati dalam asosiasi-asosiasi tertentu. Dalam beberapa asosiasi, pembentukan 

kelompok konflik secara terang-terangan atau samar-samar dipersulit, kalau 

bukan dilarang, sedangkan dalam asosiasi yang lain, kelompok konflik itu 

diizikan atau diharapkan untuk dapat mempengaruhi proses pengambilan 

keputusan, paling kurang dalam batas-batas tertentu.18

Pada kategori kondisi sosial, hal yang paling ditekankan adalah tentang 

tingkat komunikasi antaranggota dari suatu kelompok tertentu. Kelompok￾kelompok konflik pasti tidak akan muncul diantara orang-orang yang terpisah 

dalam hal jarak dan tempat. Individu-individu yang terlibat konflik sosial tidak 

dibatasi oleh kondisi ekologis yang terpencar-pencar. Konflik sosial dapat 

terjadi hanya jika setiap individu dalam suatu komunitas memiliki tingkat 

komunikasi sosial yang buruk sehingga memunculkan adanya dinamika 

perubahan sosial suatu masyarakat. Pada titik ini, kualitas suatu komunikasi 

sosial akan sangat menentukan proses terjadinya konflik dan perubahan sosial

masyarakat.

19

Kondisi kebebasan politik, kondisi ideologi, kondisi kepemimpinan, dan 

kondisi komunikasi internal, merupakan prasyarat dasar untuk pembentukan 

kelompok-kelompok konflik. Jika satu dari elemen-elemen tersebut tidak 

terdapat diantara para anggota suatu kelompok, maka kelompok konflik tidak 

akan terbentuk.20 Selain kondisi-kondisi tersebut, perlu juga adanya prasyarat 

psikologis tertentu atau sosial psikologis. Salah satu prasyarat yang pokok 

adalah tentang keinginan laten yang menjadi manifest. Meskipun proses ini hartian)

87

dapat dirangsang oleh pimpinan kelompok konflik (ideologinya) dan pola 

komunikasinya, namun secara konseptual proses ini berbeda di tingkat 

psikologis individu yang lebih dari pada di tingkat struktural.21

Dari penjelasan tersebut, tergambar jelas adanya hubungan konseptual 

antara unsur-unsur internal dan eksternal dalam situasi konflik sosial sebagai 

faktor pendorong perubahan sosial suatu masyarakat. Kualitas hubungan antar

individu pada suatu komunitas masyarakat, telah memainkan peran penting dan 

stategis dalam konteks hubungan antara konflik dengan perubahan sosial. Hal 

ini menandai adanya hubungan erat antara berbagai dimensi sosial yang 

terintegrasi dalam suatu komunitas masyarakat. Jika seluruh penjelasan diatas 

tervisualisasi secara simultan, maka akan nampak sebagai berikut:

Latar Belakang Sejarah 1 Raja-Raja 12 1-19

Kitab Raja-raja merupakan kelanjutan sejarah yang tercatat dalam 1 dan 2 

Samuel. Kitab-kitab ini secara selektif meliputi seluruh sejarah para raja Israel 

dan Yahuda. Kitab 1 dan 2 Raja-raja diperkirakan tertulis secara lengkap dalam 

dasawarsa 560-550 sM. Tujuan penulisan kitab ini adalah untuk menjelaskan 

peristiwa perpecahan kerajaan serta keruntuhan kerajaan Israel dan Yahuda.22

Kitab 1 dan 2 Raja-raja merupakan bagian panjang dari teks-teks Deuteronomis 

(DH) dan merupakan kitab penutup sejarah Deuteronomis (DH). 23 Teks-teks 

Deuteronomis adalah teks-teks yang dianggap memiliki hubungan erat dengan 

konteks pemerintahan raja-raja Israel pada periode waktu yang panjang, mulai 

dari masa sebelum pembuangan sampai pada masa pembuangan.

Sebagai bagian yang integral dari gulungan besar kitab Raja-raja, sejarah 

teks 1 Raja-raja 12:1-19 merupakan sejarah yang berhubungan erat dengan 

penulisan teks-teks Deuteronomis (DH). Dikatakan demikian, karena secara 

struktural teks 1 Raja-raja 12:1-19 berisikan keberlanjutan kisah tentang pola 

kepemimpinan dinasti Daud dan konflik yang terjadi pada masa kerajaan Israel 

Bersatu. Hal tersebut menjelaskan bahwa teks 1 Raja-raja 12:1-19 merupakan 

teks yang berisikan latar belakang sejarah tradisi Deuteronomis dalam hubungan 

dengan sejarah penguasa dan kerajaannya yang sangat penting bagi upaya 

pembentukan identitas kebangsaan Israel.

Menurut Frank Moore Cross, terdapat dua struktur dan komposisi dasar 

dari tradisi Deuteronomis (DH) yakni Dtr 1 dan Drt 2. Dtr 1 ditulis pada masa 

reformasi raja Yosia atau masa sebelum pembuangan (640-609 sM) dalam 

hubungan dengan upaya reformasinya. Dtr1 memiliki dua tema besar dalam 

tulisannya yakni pertama, tema tentang “dosa Yerobeam” (1 Raj. 13:34) dan 

kedua, tema tentang Daud sebagai hamba Allah dan Yerusalem sebagai kota 

pilihan Allah (1 Raj. 11: 12-13, 2 Raj. 8: 19). Sedangkan Dtr 2 memiliki tema 

tersendiri yang berhubungan dengan kondisi masa pembuangan sebagai dasar 

alasan spiritual terjadinya kejatuhan Yerusalem dan dinasti Daud.24 Dua tema ini 

mewarnai hampir seluruh later belakang sejarah penulisan teks-teks 

Deuteronomis (DH).

Secara teoritis, kedudukan historis dari 1 Raja-raja 12:1-19 berada pada 

posisi sebagai bagian yang integral dari alasan tentang terjadinya kehancuran 

Yerusalem atas ketidaktaatan pada kehendak Yahweh. Latar belakang historis 

ini menempatkan teks 1 Raja-raja 12:1-19 pada posisi yang strategis dalam 

hubungan dengan kondisi masa pembuangan. Tulisan ini menekankan adanya 

ketidakbenaran dan ketidakadilan pada pola pemerintahan raja-raja Yahuda 

yang menyebabkan terjadinya keruntuhan kerajaan Israel Bersatu sebagai akibat 

penghukuman Tuhan atas dinasti Daud. Kisah dalam 1 Raja-raja 12:1-19 

berupaya untuk memberikan gambaran historis tentang alasan-alasan konseptual 

ahartian)

89

dibalik perpecahan dan kejatuhan kerajaan Israel Bersatu. Tema inilah yang 

hendak diangkat oleh sejarah Deuteronimis (DH) sebagai fondasi penting dalam 

penulisan teks 1 Raja-raja 12:1-19. Dengan demikian pemahaman historis 

terhadap 1 Raja-raja 12:1-19 harus dilihat dalam kerangka tema ini.

Israel dan Konflik Sosial Dalam 1 Raja-raja 12:1-19

Kisah tentang konflik sosial bangsa Israel yang tercatat dalam 1 Raja-raja 

12:1-19, diawali dengan cerita sejarah pemerintahan raja Salomo sebagai 

pengganti Daud. Dalam TANAK, Salomo dikenal sebagi sosok yang berhikmat. 

Hikmat Salomo bukan sekadar kognitif, namun merambah hingga pada 

kehidupan praksis.25 Namun konsep spritualitas semacam ini akan terlihat jelas 

perbedaannya jika pola kepemimpinan Salomo ditelisik dari kisah 1 Raja-raja 

12:1-19. Dalam catatan sejarah, pola kepemimpinan Salomo banyak didominasi 

dengan upaya untuk melakukan pembangunan secara masif pada segala lini

kehidupan masyarakat dan negara. Hasrat pembangunan yang besar tersebut, 

telah mendorong Salomo untuk mengembangkan suatu pola pendekatan 

kekuasaan yang berbeda dengan Daud. Akibatnya terjadilah berbagai 

pemberontakan sebagai bentuk perlawanan atas ketidaksukaan orang Utara 

terhadap Salomo.

Perlawanan terhadap Salomo dan kekuasaannya dengan cepat mendapat 

dukungan dari negara-negara asing seperti Mesir dan Aram. Sosok-sosok 

pemimpin potensial yang memimpin perlawanan terhadap Salomo dan 

kekuasaannya, seperti keturunan budak dari orang Edom (atau mungkin orang 

Aram), dilindungi di Mesir sampai waktu yang tepat untuk melakukan 

pemberontakan. 26 Salah satu contohnya adalah Yerobeam I. Pada masa 

pemerintaham Salomo, Yerobeam I yang merupakan mantan kepala 

atministrator kekuasaan Salomo di Efraim, melarikan diri ke Mesir dan 

mendapat perlindungan di sana bersama pemberontak lainnya sebagai akibat 

perlawanan terhadap kekuasaan Salomo.27

Kepemimpinan Salomo yang diduga bergaya otokratis, telah menimbulkan 

dampak negatif bagi terbentuknya ikatan solidaritas mekanis suku-suku di 

Palestina. Pola kepemimpinan demikian juga menimbulkan berbagai 

kepincangan dalam segi kesejahtraan dan keadilan sosial bagi rakyatnya sendiri. 

Kepincangan-kepincangan tersebut disebabkan karena adanya tuntutan 

kebutuhan finansial yang besar untuk memenuhi pembiayaan logistik 

pembangunan dan gaya hidup mewah penguasa. Tuntutan kebutuhan finansial 

yang besar tersebut diduga harus diimbangi dengan kerja keras penduduk desa 

tanpa mendapatkan pendapatan atau upah yang seimbang. Menurut Norman K. 

Gottwald, kondisi diatas merupakan faktor tekanan sistem ekonomi dan politik 

yang menindas dari kebijakan-kebijakan sistem pemerintahan pada masa itu.

28

Secara lebih terperinci, Robert B. Coote menyebutnya sebagai tindakan kerja 

rodi dan pemungutan pajak tinggi (pajak mencekik leher) pada masyarakat desa 

di Utara.29

Tindakan kerja rodi dan pemungutan pajak yang tinggi (pajak mencekik 

leher) terhadap kaum tani tersebut disebabkan karena adanya pertumbuhan pesat 

pada pusat kota-kota pemerintahan sehingga menjadi benteng-benteng kokoh 

yang megah. Begitu pesatnya proses pembangunan tersebut, sehingga pernah 

terdapat puluhan kota benteng di Israel. Selain program pembangunan kota-kota 

benteng, terdapat pula program pembangunan istana raja dan Bait Allah sebagai 

pusat kultus dengan jumlah dana dan pekerja yang sangat besar.

Menurut catatan sejarah, terdapat pula gudang-gudang besar yang 

dibangun dengan tinggi, yang terdiri dari deretan ruang penyimpanan yang 

panjang dan sempit dengan dinding tebal dan fondasi, telah ditemukan di 

Yerikho, Lakhis, Megido, Bet-Semes dan mungkin T. Jemmeh serta T. Beit￾Mirsim. Untuk pertama kalinya Israel memiliki kota-kota dengan tempat-tempat 

suci yang menyertainya, tentara, istana, badan-badan pemerintahan dan 

lumbung-lumbung yang amat besar. Pada masa pemerintahan saat itu, seorang 

bernama Adoram memimpin kerja paksa untuk membangun kembali pertahanan 

kota-kota di sepanjang rute perdagangan yang melewati kerajaan. Kota-kota 

tersebut adalah Hazor, Magido, Gezer, Bet-Horon dan Baalath, bersama dengan 

Tamar di Arabah. Kota-kota tersebut diperlengkapi sebagai gudang 

penyimpanan bagi hasil bumi setempat dan pusat-pusat kandang kuda bagi 

pasukan kereta tempur yang beroperasi dari tempat itu. Gerbang kota berbilik enam yang monumental di Hazar, Megido dan Gezer dibangun berdasarkan 

denah yang seragam.30

Untuk membangun istana dan Bait Allah, Salomo dan pemerintahannya

diduga telah menghabiskan dana dan daya dalam jumlah yang besar. Kedua 

bangunan tersebut terbuat dari banyak hiasan kayu cedar dan sejenis cemara 

dengan ukiran yang sangat indah. Kedua bangunan tersebut juga dilapisi oleh

banyak emas, perak dan perunggu sehingga meninggalkan kesan yang sangat 

mewah.

31 Proses pembangunan ini membutuhkan kayu yang banyak dari Tirus 

dan sebagian besar emas dari Mesir yang mencapai lima ton. Istana raja sendiri 

dilapisi dengan dua ratus lempeng besar dan tiga ratus lempeng kecil emas 

murni. Akibatnya, Salomo harus mengirim ke Tirus sebanyak 100.000 gantang 

gandum dan satu juta galon minyak zaitun tiap tahun, baik pada masa hujan 

maupun tidak sebagai bayaran atas utang pembangunan tersebut. Salomo diduga 

juga telah menyerahkan dua puluh kota dan desa di Galilea kepada raja Hiram. 

Semua itu belumlah cukup untuk melunasi utang kepada Tirus.

32

Saat istana dan Bait Allah selesai dibangun, makanan dalam jumlah yang 

sangat besar ditambah biaya pesta peresmian yang megah diduga harus 

ditanggung oleh penduduk desa. Menurut catatan Coote, saat peresmian bait 

Allah para imam menyembelih 22.000 lembu jantan dan 120.000 domba. Bait 

Allah yang baru itu berarti daging bagi tiap orang, untuk satu hari. Derita akibat 

tidak adanya lembu jantan untuk digunakan di desa-desa dan biaya yang lebih 

besar untuk mendapatkan lembu jantan guna menggarap tanah sesudah itu, sulit 

dibayangkan.33

Guna membangun benteng, istana, dan Bait Suci, para penguasa di istana 

Salomo telah mempekerjakan tenaga kerja yang terdiri dari 30.000 pria dan 

pemuda, 80.000 tukang batu dan 70.000 pemikul keranjang yang dilakukan 

secara paksa. Petugas yang mengawasi pekerja ini berjumlah 3.300 orang. 

Jumlah pekerja yang sedemikian banyaknya membutuhkan pasokan makanan

dan material dalam jumlah yang besar. Pasokan makanan dan material tersebut 

berasal dari perbekalan negara atau mereka dipaksa membawa sendiri dari 

rumah. Sedangkan untuk jenis pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan 

khusus, pihak istana telah menyewa pengrajin-pengrajin yang terampil dari kota-kota pelabuhan di Fenesia. Hal ini menggambarkan dengan jelas adanya 

penggelontoran biaya dalam jumlah besar demi menyukseskan program 

pembangunan para penguasa.

34

Penderitaan rakyat jelata juga bertambah dengan adanya pembebanan 

biaya untuk konsumsi para pejabat dan pegawai di Yerusalem yang tafsir 

berjumlah 1.700 orang dengan tambahan 4000 orang.35 Bahkan menurut catatan 

TANAK sendiri, tiap hari, para penguasa di Istana raja dan keluarga mereka 

mengkonsumsi tiga puluh karung tepung roti, enam puluh karung gandum, tiga 

puluh ekor lembu jantan, seratus domba, dicampur dengan kijang dan unggas, 

anggur serta minyak dalam jumlah yang tidak bisa dirincikan. 36 Pembiayaan 

terhadap tingkat konsumsi yang tinggi tersebut diduga harus dipikul oleh 

masyarakat desa sebagai sumber pendapatan istana raja.

Perubahan besar yang terjadi di Palestina pada masa kekuasaan Salomo 

dengan adanya berbagai program pembangunan fisik yang masif, juga telah 

mendorong dibentuknya kekuatan militer kerajaan yang besar, lengkap dengan 

kuda dan keretanya serta pasukan-pasukan sewaan untuk menjaga keamanan 

negara yang semakin maju dari berbagai sisi. Demi mendukung pembentukan 

kekuatan militer yang besar tersebut, maka biaya yang harus dikeluarkan oleh 

istana raja juga sungguh mencengangkan. Kereta tempurnya masing-masing 

seharga 600 syikal; kuda yang terlatih 150 syikal. Tiap kereta membutuhkan tiga 

ekor kuda, maka kereta beserta perangkat kudanya mencapai 1050 syikal. 

Kemudian, masih ada lagi biaya tambahan: awak kereta, petugas perawatan, 

senjata, suku cadang, perumahan bagi pegawai, tempat penginapan dan bengkel 

reparasi, kandang kuda dan pakan kuda. Pembongkaran dan pelumasan dengan 

minyak zaitun perlu sering dilakukan. Kuda-kuda membutuhkan latihan selama 

berbulan-bulan, kemudian latihan dan perawatan kuda secara terus-menerus oleh 

tenaga-tenaga terlatih. Kereta tempur Salomo berjumlah 1.400, kuda 4.000, 

awak kereta dan tenaga pendukung sampai 12.000 orang – seluruhnya 

bergantung pada bahan pangan yang ditanam oleh masyarakat desa.

37 Jadi untuk 

kekuatan militer saja pihak istana harus mengeluarkan biaya yang sangat besar. 

Pembiayaan tersebut sepenuhnya diduga bergantung pada hasil produksi 

pertanian yang didapatkan dari kerja keras masyarakat desa di Utara.

o)

...( Santy Sahartian)

93

Tekanan sosial-ekonomi yang diakibatkan oleh adanya program 

pembangunan fisik dan kekuatan militer dalam skala masif tersebut, diduga pada 

akhirnya telah memunculkan berbagai reaksi perlawanan terhadap ketidakadilan

dan kesewenang-wenangan penguasa atas rakyatnya sendiri. Reaksi perlawanan

sporadis dari kaum tertindas terhadap Istana raja, diduga berlangsung selama 

masa pemerintahan Salomo sampai pada masa pemerintahan Rehabeam. Mereka 

melakukan perlawanan gerakan bawah tanah yang menentang perubahan￾perubahan yang menindas kaum tani dan rakyat jelata. Kaum ini dikenal dengan 

nama kaum Rekhabi. Namun tindakan perlawanan dari kaum Rekhabi tersebut 

selalu dianggap sebagai gerakan kaum pemberontak oleh para penguasa resmi 

sehingga mereka harus mengalami berbagai diskriminasi dan penindasan.38

Munculnya berbagai peristiwa pemberontakan sebagai embrio perpecahan 

kerajaan Israel Bersatu yang dimotori oleh kaum Rekhabi selama masa 

pemerintahan Salomo, menemukan puncak momentumnya pada peristiwa yang 

tercatat dalam 1 Raja-raja 12:1-19. Beban besar yang dipikul oleh masyarakat 

Utara sebagai konsekuensi logis dari hasrat besar Istana raja dalam program 

pembangunan fisik dan manusia, telah mendorong adanya kualisi masyarakat 

Utara yang dipimpin oleh Yerobeam I untuk melakukan protes diplomasi dan 

keberatan mendalam terhadap penerus tahta Salomo yakni raja Rehabeam saat 

berkunjung ke Sikhem. Protes tersebut tersimpulkan dalam narasa kalimat 1 

Raja-raja 12:4, “ayahmu telah memberatkan tanggunan kami, maka sekarang 

ringankanlah pekerjaan yang sukar yang dibebankan ayahmu dan tanggungan 

yang berat yang dipikulkannya kepada kami, supaya kami menjadi hambamu”.

Protes diplomasi koalisi rakyat Utara yang dipimpin oleh Yerobeam I 

terhadap ketidakadilan dan berbagai bentuk eksploitasi yang dialami semasa 

pergolakan politik dan proses pembangunan yang masif, ditanggap dingin oleh 

raja Rehabeam dengan perkataan, “Ayahku telah memberatkan tanggungan 

kamu, tetepi aku akan menambahkan tanggunganmu itu; ayahku telah 

menghajar kamu dengan cambuk, tetapi aku akan menghajar kamu dengan 

cambuk yang berduri besi” (1 Raj. 12:14).39 Tanggapan yang kurang bersahabat 

ini, telah memunculkan reaksi kemarahan koalisi rakyat Utara terhadap pola 

kepemimpinan dinasti Daud dengan menciptakan situasi konflik yang bersifat 

destruktif. Tindaklanjut kemarahan kualisi rakyat Utara ditunjukan dengan 

adanya upaya pengusiran paksa yang dilakukan terhadap Rehabeam dalam kisah 

1 Raja-raja 12:18. Protes diplomasi yang seharusnya berakhir dengan proses 

penyelesaian konflik secara kompromistis, akomonatif dan kolaboratif (win and 

win solution) berubah menjadi konflik destruktif yang menghasilkan perpecahan 

kerajaan sebagai akibat egosentrime penguasa (win and lose solution).

Kisah 1 Raja-raja 12:1-19 menggambarkan suatu proses konflik sosial 

yang disebabkan oleh adanya berbagai ketimpangan sosial dan ketidakadilan 

penguasa terhadap penderitaan rakyatnya. Peristiwa konflik yang terjadi di 

Israel adalah konflik yang telah melibatkan adanya tiga unsur penting sebagai 

bentuk akhir dari akumulasi berbagai faktor yang terjadi secara masif dalam 

konteks masyarakat Utara. Tiga faktor tersebut yakni: pertama, faktor politik 

yang berhubungan langsung dengan pola kepemimpinan penguasa yang diduga 

cenderung mengutamakan kepentingan politik dan keuntungan ekonomi 

dibandingkan kesejahtraan rakyatnya sendiri. Kondisi ini nampak jelas dalam 

situasi ekploitasi dan ketidakadilan sosial yang dialami oleh suku-suku di Utara 

seperti yang tercatat dalam kisah 1 Raja-raja 12:1-19. Kedua, faktor teknis 

dimana terdapat seorang pemimpin dikalangan rakyat Utara yang berani tampil 

dalam membela dan mendorong terjadinya perubahan sosial dikalangan rakyat 

Utara. Yerobeam I yang telah mendapat dukungan dari berbagai pihak di Utara 

akhirnya tampil sebagai sosok pemimpin karismatik yang berkontribusi penting 

bagi terwujudnya revolusi Utara. Dukungan terhadap Yerobeam I tersebut, besar 

manfaatnya bagi pembentukan legalitas kepemimpinan dan loyalitas kesukuan. 

Kondisi tersebut disebabkan karena dalam tradisi suku-suku di Palestina seorang 

imam atau hakim (local Hero) adalah pemimpin utama yang memiliki otoritas 

dan kekuasaan melindungi anggota sukunya.40 Karenanya, mendapat dukungan 

dari tokoh-tokoh penting di Utara adalah besar pengaruhnya bagi eksistesi 

kepemimpin seorang Yerobeam I. Ketiga, faktor sosial dimana terjadinya suatu 

ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang diduga telah menyebabkan 

penderitaan fisik dan mental bagi penduduk Utara sebagai akibat terjadinya 

berbagai tindakan esploitasi dan diskriminasi. Ketimpangan-ketimpangan sosial 

yang terjadi saat itu, pada akhirnya menjadi faktor utama pendorong dan 

pencetus terjadinya puncak konflik sosial yang bersifat destruktif antara 

penguasa di Selatan dengan rakyat Utara dalam kisah 1 Raja-raja 12:1-19. etrus Yunianto)

...( Santy Sahartian)

95

Relevansi Kekinian Kisah Konflik 1 Raja-Raja 12:1-19

Konflik sosial merupakan hal mendasar dalam setiap proses perubahan 

masyarakat. Secara teoritis, konflik sosial memainkan peran penting dalam 

mendukung terbentuknya pola pergerakan masyarakat dinamis. Konflik sosial

perlu dimaknai sebagai suatu jalan atau sarana menuju perubahan masyarakat.41

Konflik sosial yang terjadi pada masyarakat dapat menghasilkan suatu model 

konstruksi interaksi sosial yang bersifat unik. Konflik sosial dapat menghasilkan 

pergerakan sosial yang mendukung munculnya kemajuan suatu masyarakat, 

tetapi juga dapat menghasilkan ketidaksabilan sosial bahkan perpecahan dalam 

hubungan horizontal masyarakat.

Dilihat dari konstruksi historis kisah 1 Raja-raja 12:1-19, terlihat jelas

adanya hubungan erat antara peristiwa konflik sosial dengan perpecahan 

kerajaan Israel Bersatu yang terjadi pada tahun 931/930 sM. Perpecahan 

kerajaan Israel Bersatu merupakan hasil dari suatu konflik panjang antara 

penguasa dinasti Daud dengan suku-suku di Utara. Peristiwa perpecahan 

kerajaan tersebut diduga merupakan hasil akumulasi dari berbagai faktor 

pendorong konflik seperti penindasan, kesewenang-wenangan, eksploitasi dan 

ketidakadilan sosial yang terjadi pada rakyat Israel Utara.

Melihat dan memahami faktor-faktor pendorong perpecahan kerajaan 

Israel Bersatu seperti yang dicatat dalam kisah 1 Raja-raja 12:1-19, telah 

memunculkan pengertian mendasar bahwa setiap perlakuan yang bermuatan 

tindakan ketidakadilan sosial, penindasan, dan ekploitasi oleh penguasa terhadap 

rakyatnya akan berujung kepada tindakan pemberontakan, konflik dan 

perpecahan sosial masyarakat. Tindakan pemberontakan, konflik, dan 

perpecahan seperti yang tercermin dalam kisah 1 Raja-raja 12:1-19 merupakan 

bentuk konsekuensi logis dari proses komunikasi sosial yang buruk. Pemutusan 

komunikasi sosial dan adanya sistem pemerintahan yang bersifat 

otoritarianisme, telah menjadi akar persoalan terjadinya konflik karena 

ketidakadilan, penindasan dan eksploitasi yang terjadi secara terus-menerus

terhadap rakyat kecil.

Belajar dari kisah terjadinya konflik sosial di Israel seperti yang tercatat 

dalam kisah 1 Raja-raja 12:1-19, memunculkan suatu ide tentang konsep 

penanganan konflik yang lebih adaptif dan ideal dalam konteks dinamika

perubahan masyarakat modern saat ini. Jika konflik dipahami sebagai situasi yang wajar dalam proses perubahan sosial, maka yang terpenting dari 

penanganan konflik sosial agar tidak menimbulkan sifat yang destruktif bagi 

masyarakat adalah pola pengelolaan konflik dan komunikasi sosial.

Pola pengelolaan konflik dan komunikasi sosial dalam konteks masyarakat 

majemuk saat ini, harus didasarkan kepada hubungan komunikasi yang bersifat 

egaliter dan manejeman konflik yang bersifat restitutif. Hal ini berarti 

komunikasi antara pihak penguasa dan rakyat yang dipimpinnya harus berjalan 

dalam koridor hukum dan etika sosial. Setiap penguasa maupun rakyat yang 

dipimpinnya harus secara sadar mematuhi setiap unsur hukum positif yang 

berlaku secara lagal pada suatu negara sambil mengedepankan komitmen dalam 

menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia sebagai dasar penting dalam 

setiap proses penegakan hukum. Sedangkan dalam upaya mewujudkan suatu 

manejeman konflik yang bersifat restitutif, maka segala bentuk pengelolaan 

konflik harus berujung kepada upaya menciptakan kondisi konflik yang bersifat 

win and win solution, yang berarti suatu kondisi dimana pihak-pihak yang 

berkonflik harus berupaya menciptakan proses dialog yang mengedepankan 

sikap menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian dan rekonsiliasi sebagai modal 

dasar kesatuan masyarakat. Dengan penerapan dua metode tersebut (komunikasi 

yang bersifat egaliter dan manajemen konflik yang bersifat restitutif), maka 

setiap peristiwa konflik yang terjadi pada konteks masyarakat modern dapat 

tertata secara baik sehingga menghasilkan keluaran konflik yang bersifat 

konstruktif bagi hubungan sosial antara individu dalam konteks masyarakat luas.

Kondisi masyarakat modern yang terbuka dan egalitar sebagai akibat dari 

kemajuan pendidikan dan teknologi, juga tidak dapat terlepas dari fenomena 

sosial berupa peristiwa konflik yang disebabkan oleh adanya ketidakadilan 

sosial, eksploitasi, kesewenang-wenangan dan penindasan. Berbagai contoh 

nyata peristiwa ketidakadilan sosial dan tindakan eksploitasi yang masih terjadi 

pada masyarakat modern seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia, Human 

Trafficking (perbudakan modern), kerja paksa dengan upah kerja yang rendah, 

pembungkaman hak-hak demokrasi (lihat peristiwa sosial demokrasi di negara

Korea Utara saat ini), diskriminasi etinis dan ras, diskriminasi golongan dan 

agama, kesenjangan ekonomi antara masyarakat sampai persoalan ekploitasi 

sistem keuangan (pemberian utang dengan bunga yang tinggi oleh individu atau 

lembanga keuangan tertentu), masih terus menjadi sumber konflik sosial 

masyarakat yang terikat secara organik. Hal ini menandakan adanya berbagai 

bentuk degradasi sosial yang berujung kepada peristiwa konflik dan perpecahan 

masyarakat masa kini.


...( Santy Sahartian)

97

Berdasarkan kenyataan tersebut, perlu adanya perhatian serius dari 

berbagai komponen sosial masyarakat dalam hal mencari dan mengupayakan 

bentuk-bentuk penanganan konflik sosial yang bersifat adaptif terhadap 

kemajuan, kesejahtraan sosial dan kemajemukan. Berbeda dengan model

resolusi konflik di Israel seperti yang tercatat dalam 1 Raja-raja 12:1-19, 

resolusi konflik pada konteks masyarakat modern yang serba majemuk harus 

meninggalkan pola-pola penanganan konflik yang bersifat win and lose solution. 

Penanganan konflik masyarakat modern harus mengutamakan pendekatan sosial 

yang berbentuk kompromi, kolaborasi dan penegakan hukum yang bersifat 

restitutif dalam menciptakan suatu keluaran konflik yang konstruktif bagi 

kemajuan masyarakat. Pada akhirnya, konsep di atas akan mendorong 

terwujudnya prinsip-prinsip kesejahtraan bersama, keadilan, kemanusiaan dan 

kesamaderajatan bagi seluruh warga masyarakat. 42 Tanpa pengelolaan yang 

demikian, maka peristiwa konflik sosial yang terjadi pada konteks masyarakat 

modern akan berakhir dengan kondisi win and lose solution (ikhtiar untuk 

mengalahkan lawan konflik) seperti dalam kisah 1 Raja-raja 12:1-19.

Simpulan

Dari keseluruhan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa peristiwa 

konflik sosial yang terjadi pada kisah 1 Raja-raja 12:1-19 adalah suatu puncak 

peristiwa konflik yang diduga disebabkan oleh munculnya berbagai bentuk 

tindakan ekploitasi, penindasan dan diskriminasi para penguasa terhadap 

rakyatnya sendiri. Hal tersebut telah mengakibatkan adanya berbagai 

ketimpangan sosial, ketidakadilan sosial dan kesewenang-wenangan yang 

berujung kepada revolusi sosial sebagai tingkat terekstrim dari peristiwa konflik 

sosial. Peristiwa konflik sosial seperti yang tercatat dalam 1 raja-raja 12:1-19

juga memberikan pembelajaran sosial terbaik dalam hal penanganan konflik 

yang harus dilakukan dalam konteks masyarakat modern. Tindakan penanganan 

konflik tersebut harus mencakup dua hal penting yakni pertama, upaya preventif 

konflik berupa komunikasi yang bersifat egaliter dan kedua, manajemen konflik 

yang bersifat restitutif (win and win solution).