Konflik sosial merupakan hal yang wajar dalam suatu proses sosial.
Konflik sosial merupakan ciri khas yang menunjukan bahwa suatu masyarakat
sedang mengalami proses perubahan secara dinamis. Konflik sosial yang ditata
secara baik akan menghasilkan dampak yang baik, sebaliknya jika tidak maka
konflik akan berakhir dengan kekerasan dan perpecahan. Hal inilah yang
ditunjukan dalam kisah konflik yang tercatat dalam 1 Raja-raja 12:1-19. Kisah
tersebut merupakan gambaran utuh dari peristiwa konflik yang tidak tertata
dengan baik. Akibatnya, terjadilah kekerasan dan revolusi sosial yang
berdampak luas bagi seluruh masyarakat Israel. Berdasarkan konsep dasar
tersebut, maka tulisan ini bertujuan untuk memberikan penjelasan yang
komprehensif tentang sebab, bentuk dan akibat dari peristiwa konflik dalam
kisah 1 Raja-raja 12:1-19. Tulisan ini juga bertujuan untuk menjelasan tentang
relevansi kekinian yang dapat dipelajari dari kisah konflik sosial dalam 1 Rajaraja 12:1-19. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan sosio-historis melalui studi kepustakaan untuk menghasilkan suatu
kesimpulan penelitian terhadap kisah 1 Raja-raja 12:1-19. Hasil penelitian
terhadap topik “Israel dan konflik sosial” menunjukan bahwa tindakan
penindasan, ekploitasi dan diskriminasi diduga telah menjadi faktor utama
penyebab terjadinya konflik sosial dan perpecahan masyarakat Israel.
Pada dasarnya setiap masyarakat yang bersifat dinamis merupakan
komunitas sosial yang terus berproses dengan perubahan. Perubahan masyarakat
dapat mengenai berbagai aspek, nilai dan dimensi dalam suatu proses sosial.
Berbagai bentuk perubahan dapat membantu masyarakat mengalami berbagai
pembaharuan dan perkembangan kehidupan sosial. Menurut Wilbert Moore,
perubahan sosial masyarakat adalah perubahan penting dari bentuk struktur
sosial masyarakat. Sedangkan struktur sosial sendiri merupakan berbagai pola
perilaku dan interaksi sosial individu dalam masyarakat.1 Sejalan dengan hal
tersebut, Samuel Koening memahami proses perubahan sosial sebagai suatu
pola yang menunjuk kepada modifikasi-modifikasi yang terjadi pada kehidupan
manusia. 2 Dengan demikian, setiap perubahan sosial masyarakat dapat
dikatakan memiliki cakupan yang beragam dan melibatkan berbagai kekuatan
penting pada struktur sosial masyarakat.
Israel dan Konflik Sosial... (Osian Orjumi Moru)
…(Petrus Yunianto)
...( Santy Sahartian)
81
Proses perubahan sosial masyarakat adalah suatu bentuk gejala alamiah
yang menunjukan eksistensi masyarakat dalam hubungannya dengan berbagai
konteks kehidupan. Masyarakat menjadi subjek utama yang mengkonstruksi
dimensi-dimensi kehidupan individu sehingga menghasilkan berbagai
perubahan sosial. Perubahan-perubahan sosial pada suatu masyarakat dapat
hadir dalam berbagai dimensi, bentuk dan kondisi. Menurut Robert H. Lauer,
wujud mekanisme sosial yang mendorong terjadinya perubahan pada komunitas
masyarakat adalah kondisi konflik.3
Konflik menjadi persoalan penting yang berperan dalam pembentukan dan
pengembangan karakteristik suatu masyarakat. Konflik merupakan suatu
kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif.4 Konflik dapat
mendorong terbentuknya ikatan persatuan masyarakat yang semakin kokoh,
namun juga dapat mempercepat terjadinya perpecahan dan diferensiasi sosial
yang luas. Konflik yang tidak tertata secara baik akan berujung kepada
pembentukan karakteristik masyarakat yang terpecah dan terpisah dari ikatan
solidaritas mekanisnya. Kondisi konflik tersebut juga dapat mendorong dan
menciptakan terjadinya pembaharuan masyarakat secara tak seimbang.
Dampak destruktif dari konflik semacam itu, muncul secara jelas dalam
kisah 1 Raja-raja 12:1-19. Dalam cerita tersebut digambarkan tentang suatu
peristiwa konflik yang berujung kepada terjadinya revolusi sosial yang memaksa
terbentuknya deferensiasi sosial secara luas antara suku-suku di Palestina. Teks
1 Raja-raja 12:1-19 memberi gambaran utuh tentang asal-muasal terbentuknya
konflik sosial di Israel pada sekitar tahun 931/930 sM.
Peristiwa konflik pada bangsa Israel telah memunculkan berbagai
perdebatan dan pertanyaan kontroversial diseputaran sebab terjadinya konflik
tersebut. Perdebatan yang muncul merupakan dua tarikan ide yang melihat
persoalan konflik di Israel sebagai wujud proses sosial yang bersifat
multidimensional. Gottwald menyebut penyebab terjadinya konflik di Israel
antara tahun 931/930 sM sebagai the dual causality principle.
5 Gottwald dalam
tulisannya menjelaskan tentang dua alasan yang menjadi penyebab terjadinya
perpisahan kerajaan Israel Bersatu antara tahun 931/930 sM yakni alasan
spiritual yang tercatat dalam 1 Raja-raja 11:1-13 dan alasan riil yang tercatat
dalam kisah 1 Raja-raja 12:1-19.
Dua alasan tersebut secara teknis memiliki sudut pandang yang berbeda.
Akibatnya, telah memunculkan berbagai pertanyaan dan tafsiran yang beragam.
Atas dasar persoalan tersebut, maka artikel ini dirancang untuk menjawab
pertanyaan tentang bagaimana kondisi riil masyarakat Israel pada masa
terjadinya konflik sosial seperti yang dicatat dalam 1 Raja-raja 12:1-19.
Menyangkut perihal diatas, penulisan artikel ini bertujuan untuk menjelaskan
secara eksplisit tentang kondisi sosio-historis penyebab terjadinya konflik dan
perpecahan masyarakat kerajaan Israel Bersatu seperti yang dicatat dalam 1
Raja-raja 12:1-19. Penjelasan artikel ini menjadi penting, sebab mampu
menyajikan gambaran sejarah yang bersifat holistik, komprehensif, dan
kontekstual atas peristiwa konflik yang pernah terjadi di Israel pada tahun
931/930 sM.
Secara struktural, pembahasan artikel ini dimulai dari suatu penjelasan
tentang keterkaitan antara konsep konflik dengan konsep perubahan sosial.
Pembahasan tersebut kemudian dilanjutkan dengan penjelasan yang bersifat
holistik tentang peristiwa konflik sosial antara suku-suku Israel seperti yang
tercatat dalam kisah 1 Raja-raja 12:1-19. Artikel ini kemudian diakhiri dengan
upaya untuk mencari suatu relevansi kekinian atau makna konteksual dari
peristiwa konflik sosial yang terjadi di Israel dalam kerangka masyarakat
modern saat ini.
Pembahasan dan Hasil
Konflik dan Perubahan Sosial Masyarakat
Masyarakat merupakan komunitas sosial yang secara teoritis dan teknis
akan terus bergerak secara dinamis sehingga akan mengalami berbagai
perubahan sosial. Perubahan sosial masyarakat adalah elemen penting yang
mengkonstruksi wajah suatu komunitas masyarakat. Pada akhirnya hal ini akan
memunculkan suatu bentuk konsekuensi logis tentang adanya proses
pembentukan identitas diri masyarakat yang berdasarkan pada pola perubahan
dan pola adaptasi. Pola perubahan dan pola adaptasi suatu masyarakat seringkali
didorong oleh adanya suatu mekanisme sosial yang dikenal sebagai konflik
sosial. Konflik sosial diartikan sebagai gambaran tentang perselisihan,
percekcokan, ketegangan atau pertentangan sebagai akibat dari perbedaanperbedaan yang muncul dalam kehidupan masyarakat, baik perbedaan yang
bersifat individual maupun perbedaan kelompok.9 Konflik sosial juga diartikan
sebagai ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan,
ide, dan lain-lain. Lebih lanjut konflik sosial berarti adanya suatu persepsi
tentang perbedaan kepentingan (Perceived divergence of interest), atau
munculnya kepercayaan bahwa setiap aspirasi individu yang berkonflik tidak
dapat dicapai secara simultan. 10 Dari definisi tersebut nampak suatu konsep
dasar tentang kondisi konflik sosial yang bukan saja berhubungan dengan
konfrontasi fisik melainkan juga berhubungan dengan perbedaan kepentingan, konsep maupun gagasan sehingga melahirkan pertentangan antara dua pihak
atau lebih dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Konflik sosial merupakan dasar penting dalam pembentukan identitas
suatu masyarakat. 11 Hal ini menandai adanya suatu hubungan erat antara
peristiwa konflik dengan perubahan sosial masyarakat yang cenderung menjadi
rangkaian proses yang berkelanjutan.
12 Akibatnya, setiap proses perubahan
sosial pasti memiliki ikatan kedekatan yang bersifat adaptif dengan peristiwa
konflik sosial.
Secara teoritis, konflik sosial merupakan salah satu hal fundamental dari
perkembangan kehidupan manusia yang memiliki karakteristik heterogen.
Kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk heterogen tercermin jelas pada
berbagai perbedaan yang muncul secara kasat mata, baik itu dalam hal
perbedaan jenis kelamin, sistem hukum, strata ekonomi, sistem budaya, sistem
kepercayaan, pandangan politik, dan sebagainya. Sifat heterogenitas itulah yang
menyebabkan munculnya berbagai situasi berupa benturan sosial atau konflik
sosial. Selama sifat dasar heterogenitas manusia masih ada, maka peristiwa
konflik akan selalu menjadi hal yang tak terhindarkan dalam berbagai dimensi
kehidupan manusia. Dengan dasar pandangan tersebut, maka setiap bentuk
konflik sosial selalu memiliki dwifungsi perubahan sosial yakni dapat menjadi
alat perekat sekaligus alat perenggang dalam sistem ikatan sosial masyarakat.
Dalam hal inilah konflik sosial memiliki peranan strategis dalam menentukan
pola dan bentuk perubahan sosial suatu masyarakat dari waktu ke waktu.
13
Dilihat dari bentuk dan jenisnya, konflik sosial dapat tampil dalam
berbagai wujud dan kriteria pada struktur masyarakat yang bersifat
multikultural. Konflik sosial dapat dikelompokan berdasarkan altar terjadinya
konflik, pihak yang terkait dalam konflik, substansi konflik, dan lain-lain.
Berdasarkan dampaknya, konflik sosial dapat diklasifikasikan menjadi dua
bentuk yakni konflik destruktif dan konstruktif. 14 Dua jenis konflik tersebut
merupakan motor pengerak yang penting bagi terjadinya suatu proses perubahan
sosial masyarakat. Muncul dan berkembangnya berbagai ragam jenis konflik
merupakan bentuk ekspresi sosial masyarakat yang sedang mengalami proses ahartian)
85
adaptasi sosial sehingga menghasilkan masyarakat yang bersifat adaptif
terhadap perubahan sosial.
Kenyataan bahwa setiap masyarakat pasti memiliki struktur sosialnya
masing-masing telah menimbulkan berbagai perbedaan dinamika sosial yang
menyebabkan perubahan pola-pola perilaku sosial. Perubahan dan
perkembangan masyarakat pada berbagai dimensi kehidupan sosial, merupakan
hasil akhir dari proses interaksi sosial yang bersifat kompleks. Interaksi sosial
adalah wujud perjumpaan individu-individu yang memunculkan berbagai
perubahan termaksud karena adanya konflik sosial.
Konflik sosial sering kali merupakan bentuk letupan dari berbagai proses
interaksi sosial yang disebabkan baik oleh faktor internal maupun eksternal
suatu masyarakat. Terdapat banyak faktor yang menjadi pendorong terciptanya
situasi konflik yang menimbulkan pergolakan dan perubahan masyarakat secara
dinamis. Konflik sosial terjadi apabila norma sosial dalam keadaan lemah atau
sedang mengalami perubahan. Pada saat-saat semacam itu orang akan
cenderung membentuk suatu cara pandang yang bersifat idiosyncratic mengenai
hak-hak sosial dan individunya.15
Cara pandang demikian akan melahirkan beberapa kondisi dasariah yang
menjadi sebab atau alasan terjadinya konflik pada kerangka perubahan sosial
masyarakat. Kondisi dasariah tersebut antara lain: (1) kondisi teknis, (2) kondisi
politik, (3) dan kondisi sosial.16 Ketiga kondisi ini menjadi faktor pendorong
terbentuknya konflik dalam proses interaksi sosial. Adanya keterhubungan dan
tumpang tindih antara ketiga kondisi tersebut juga menunjukan adanya suatu
proses tarik menarik yang kuat secara empiris antara peristiwa konflik dengan
perubahan sosial pada tatanan riil masyarakat. Ketiga faktor tersebut terhubung
secara dinamis pada tataran horizontal masyarakat disetiap proses sosialnya.
Jika dipahami secara mendalam, secara teoritis, kondisi teknis yang
menyebabkan terjadinya konflik sebagai syarat terbentuknya perubahan sosial
masyarakat adalah kondisi munculnya seorang pemimpin dan pembentukan
ideologi pada tataran empiris. Kedua hal tersebut dianggap memainkan peranan
stategis dalam pembentukan kelompok konflik dan tindakan kolektif yang
penting bagi setiap perubahan sosial masyarakat. Hal ini disebabkan oleh karena
tidak ada tindakan kelompok yang diorganisasi dapat terjadi tanpa suatu tipe
kepemimpinan dan suatu bentuk kepercayaan yang bersifat membenarkan atau ideologi.17
Dalam hal kondisi politik, hal penting yang ditekankan adalah adanya
tingkat kebebasan pada individu untuk membentuk suatu komunitas dan
tindakannya. Pada tingkat komunitas tertentu, kondisi ekstrim dapat
diperlihatkan oleh adanya pemerintahan totaliter yang melarang terbentuknya
partai politik oposisi atau model asosiasi sosial-politik lainnya. Sedangkan pada
kutup berbeda, diperlihatkan adanya suatu komunitas masyarakat demokratis
yang terbuka dan toleran terhadap macam-macam kelompok konflik untuk
mengejar kepentingan dalam batas-batas pengaturan hukum yang luas demi
melindungi kemerdekaan bagi semua orang. Variasi yang sama dapat pula kita
amati dalam asosiasi-asosiasi tertentu. Dalam beberapa asosiasi, pembentukan
kelompok konflik secara terang-terangan atau samar-samar dipersulit, kalau
bukan dilarang, sedangkan dalam asosiasi yang lain, kelompok konflik itu
diizikan atau diharapkan untuk dapat mempengaruhi proses pengambilan
keputusan, paling kurang dalam batas-batas tertentu.18
Pada kategori kondisi sosial, hal yang paling ditekankan adalah tentang
tingkat komunikasi antaranggota dari suatu kelompok tertentu. Kelompokkelompok konflik pasti tidak akan muncul diantara orang-orang yang terpisah
dalam hal jarak dan tempat. Individu-individu yang terlibat konflik sosial tidak
dibatasi oleh kondisi ekologis yang terpencar-pencar. Konflik sosial dapat
terjadi hanya jika setiap individu dalam suatu komunitas memiliki tingkat
komunikasi sosial yang buruk sehingga memunculkan adanya dinamika
perubahan sosial suatu masyarakat. Pada titik ini, kualitas suatu komunikasi
sosial akan sangat menentukan proses terjadinya konflik dan perubahan sosial
masyarakat.
19
Kondisi kebebasan politik, kondisi ideologi, kondisi kepemimpinan, dan
kondisi komunikasi internal, merupakan prasyarat dasar untuk pembentukan
kelompok-kelompok konflik. Jika satu dari elemen-elemen tersebut tidak
terdapat diantara para anggota suatu kelompok, maka kelompok konflik tidak
akan terbentuk.20 Selain kondisi-kondisi tersebut, perlu juga adanya prasyarat
psikologis tertentu atau sosial psikologis. Salah satu prasyarat yang pokok
adalah tentang keinginan laten yang menjadi manifest. Meskipun proses ini hartian)
87
dapat dirangsang oleh pimpinan kelompok konflik (ideologinya) dan pola
komunikasinya, namun secara konseptual proses ini berbeda di tingkat
psikologis individu yang lebih dari pada di tingkat struktural.21
Dari penjelasan tersebut, tergambar jelas adanya hubungan konseptual
antara unsur-unsur internal dan eksternal dalam situasi konflik sosial sebagai
faktor pendorong perubahan sosial suatu masyarakat. Kualitas hubungan antar
individu pada suatu komunitas masyarakat, telah memainkan peran penting dan
stategis dalam konteks hubungan antara konflik dengan perubahan sosial. Hal
ini menandai adanya hubungan erat antara berbagai dimensi sosial yang
terintegrasi dalam suatu komunitas masyarakat. Jika seluruh penjelasan diatas
tervisualisasi secara simultan, maka akan nampak sebagai berikut:
Latar Belakang Sejarah 1 Raja-Raja 12 1-19
Kitab Raja-raja merupakan kelanjutan sejarah yang tercatat dalam 1 dan 2
Samuel. Kitab-kitab ini secara selektif meliputi seluruh sejarah para raja Israel
dan Yahuda. Kitab 1 dan 2 Raja-raja diperkirakan tertulis secara lengkap dalam
dasawarsa 560-550 sM. Tujuan penulisan kitab ini adalah untuk menjelaskan
peristiwa perpecahan kerajaan serta keruntuhan kerajaan Israel dan Yahuda.22
Kitab 1 dan 2 Raja-raja merupakan bagian panjang dari teks-teks Deuteronomis
(DH) dan merupakan kitab penutup sejarah Deuteronomis (DH). 23 Teks-teks
Deuteronomis adalah teks-teks yang dianggap memiliki hubungan erat dengan
konteks pemerintahan raja-raja Israel pada periode waktu yang panjang, mulai
dari masa sebelum pembuangan sampai pada masa pembuangan.
Sebagai bagian yang integral dari gulungan besar kitab Raja-raja, sejarah
teks 1 Raja-raja 12:1-19 merupakan sejarah yang berhubungan erat dengan
penulisan teks-teks Deuteronomis (DH). Dikatakan demikian, karena secara
struktural teks 1 Raja-raja 12:1-19 berisikan keberlanjutan kisah tentang pola
kepemimpinan dinasti Daud dan konflik yang terjadi pada masa kerajaan Israel
Bersatu. Hal tersebut menjelaskan bahwa teks 1 Raja-raja 12:1-19 merupakan
teks yang berisikan latar belakang sejarah tradisi Deuteronomis dalam hubungan
dengan sejarah penguasa dan kerajaannya yang sangat penting bagi upaya
pembentukan identitas kebangsaan Israel.
Menurut Frank Moore Cross, terdapat dua struktur dan komposisi dasar
dari tradisi Deuteronomis (DH) yakni Dtr 1 dan Drt 2. Dtr 1 ditulis pada masa
reformasi raja Yosia atau masa sebelum pembuangan (640-609 sM) dalam
hubungan dengan upaya reformasinya. Dtr1 memiliki dua tema besar dalam
tulisannya yakni pertama, tema tentang “dosa Yerobeam” (1 Raj. 13:34) dan
kedua, tema tentang Daud sebagai hamba Allah dan Yerusalem sebagai kota
pilihan Allah (1 Raj. 11: 12-13, 2 Raj. 8: 19). Sedangkan Dtr 2 memiliki tema
tersendiri yang berhubungan dengan kondisi masa pembuangan sebagai dasar
alasan spiritual terjadinya kejatuhan Yerusalem dan dinasti Daud.24 Dua tema ini
mewarnai hampir seluruh later belakang sejarah penulisan teks-teks
Deuteronomis (DH).
Secara teoritis, kedudukan historis dari 1 Raja-raja 12:1-19 berada pada
posisi sebagai bagian yang integral dari alasan tentang terjadinya kehancuran
Yerusalem atas ketidaktaatan pada kehendak Yahweh. Latar belakang historis
ini menempatkan teks 1 Raja-raja 12:1-19 pada posisi yang strategis dalam
hubungan dengan kondisi masa pembuangan. Tulisan ini menekankan adanya
ketidakbenaran dan ketidakadilan pada pola pemerintahan raja-raja Yahuda
yang menyebabkan terjadinya keruntuhan kerajaan Israel Bersatu sebagai akibat
penghukuman Tuhan atas dinasti Daud. Kisah dalam 1 Raja-raja 12:1-19
berupaya untuk memberikan gambaran historis tentang alasan-alasan konseptual
ahartian)
89
dibalik perpecahan dan kejatuhan kerajaan Israel Bersatu. Tema inilah yang
hendak diangkat oleh sejarah Deuteronimis (DH) sebagai fondasi penting dalam
penulisan teks 1 Raja-raja 12:1-19. Dengan demikian pemahaman historis
terhadap 1 Raja-raja 12:1-19 harus dilihat dalam kerangka tema ini.
Israel dan Konflik Sosial Dalam 1 Raja-raja 12:1-19
Kisah tentang konflik sosial bangsa Israel yang tercatat dalam 1 Raja-raja
12:1-19, diawali dengan cerita sejarah pemerintahan raja Salomo sebagai
pengganti Daud. Dalam TANAK, Salomo dikenal sebagi sosok yang berhikmat.
Hikmat Salomo bukan sekadar kognitif, namun merambah hingga pada
kehidupan praksis.25 Namun konsep spritualitas semacam ini akan terlihat jelas
perbedaannya jika pola kepemimpinan Salomo ditelisik dari kisah 1 Raja-raja
12:1-19. Dalam catatan sejarah, pola kepemimpinan Salomo banyak didominasi
dengan upaya untuk melakukan pembangunan secara masif pada segala lini
kehidupan masyarakat dan negara. Hasrat pembangunan yang besar tersebut,
telah mendorong Salomo untuk mengembangkan suatu pola pendekatan
kekuasaan yang berbeda dengan Daud. Akibatnya terjadilah berbagai
pemberontakan sebagai bentuk perlawanan atas ketidaksukaan orang Utara
terhadap Salomo.
Perlawanan terhadap Salomo dan kekuasaannya dengan cepat mendapat
dukungan dari negara-negara asing seperti Mesir dan Aram. Sosok-sosok
pemimpin potensial yang memimpin perlawanan terhadap Salomo dan
kekuasaannya, seperti keturunan budak dari orang Edom (atau mungkin orang
Aram), dilindungi di Mesir sampai waktu yang tepat untuk melakukan
pemberontakan. 26 Salah satu contohnya adalah Yerobeam I. Pada masa
pemerintaham Salomo, Yerobeam I yang merupakan mantan kepala
atministrator kekuasaan Salomo di Efraim, melarikan diri ke Mesir dan
mendapat perlindungan di sana bersama pemberontak lainnya sebagai akibat
perlawanan terhadap kekuasaan Salomo.27
Kepemimpinan Salomo yang diduga bergaya otokratis, telah menimbulkan
dampak negatif bagi terbentuknya ikatan solidaritas mekanis suku-suku di
Palestina. Pola kepemimpinan demikian juga menimbulkan berbagai
kepincangan dalam segi kesejahtraan dan keadilan sosial bagi rakyatnya sendiri.
Kepincangan-kepincangan tersebut disebabkan karena adanya tuntutan
kebutuhan finansial yang besar untuk memenuhi pembiayaan logistik
pembangunan dan gaya hidup mewah penguasa. Tuntutan kebutuhan finansial
yang besar tersebut diduga harus diimbangi dengan kerja keras penduduk desa
tanpa mendapatkan pendapatan atau upah yang seimbang. Menurut Norman K.
Gottwald, kondisi diatas merupakan faktor tekanan sistem ekonomi dan politik
yang menindas dari kebijakan-kebijakan sistem pemerintahan pada masa itu.
28
Secara lebih terperinci, Robert B. Coote menyebutnya sebagai tindakan kerja
rodi dan pemungutan pajak tinggi (pajak mencekik leher) pada masyarakat desa
di Utara.29
Tindakan kerja rodi dan pemungutan pajak yang tinggi (pajak mencekik
leher) terhadap kaum tani tersebut disebabkan karena adanya pertumbuhan pesat
pada pusat kota-kota pemerintahan sehingga menjadi benteng-benteng kokoh
yang megah. Begitu pesatnya proses pembangunan tersebut, sehingga pernah
terdapat puluhan kota benteng di Israel. Selain program pembangunan kota-kota
benteng, terdapat pula program pembangunan istana raja dan Bait Allah sebagai
pusat kultus dengan jumlah dana dan pekerja yang sangat besar.
Menurut catatan sejarah, terdapat pula gudang-gudang besar yang
dibangun dengan tinggi, yang terdiri dari deretan ruang penyimpanan yang
panjang dan sempit dengan dinding tebal dan fondasi, telah ditemukan di
Yerikho, Lakhis, Megido, Bet-Semes dan mungkin T. Jemmeh serta T. BeitMirsim. Untuk pertama kalinya Israel memiliki kota-kota dengan tempat-tempat
suci yang menyertainya, tentara, istana, badan-badan pemerintahan dan
lumbung-lumbung yang amat besar. Pada masa pemerintahan saat itu, seorang
bernama Adoram memimpin kerja paksa untuk membangun kembali pertahanan
kota-kota di sepanjang rute perdagangan yang melewati kerajaan. Kota-kota
tersebut adalah Hazor, Magido, Gezer, Bet-Horon dan Baalath, bersama dengan
Tamar di Arabah. Kota-kota tersebut diperlengkapi sebagai gudang
penyimpanan bagi hasil bumi setempat dan pusat-pusat kandang kuda bagi
pasukan kereta tempur yang beroperasi dari tempat itu. Gerbang kota berbilik enam yang monumental di Hazar, Megido dan Gezer dibangun berdasarkan
denah yang seragam.30
Untuk membangun istana dan Bait Allah, Salomo dan pemerintahannya
diduga telah menghabiskan dana dan daya dalam jumlah yang besar. Kedua
bangunan tersebut terbuat dari banyak hiasan kayu cedar dan sejenis cemara
dengan ukiran yang sangat indah. Kedua bangunan tersebut juga dilapisi oleh
banyak emas, perak dan perunggu sehingga meninggalkan kesan yang sangat
mewah.
31 Proses pembangunan ini membutuhkan kayu yang banyak dari Tirus
dan sebagian besar emas dari Mesir yang mencapai lima ton. Istana raja sendiri
dilapisi dengan dua ratus lempeng besar dan tiga ratus lempeng kecil emas
murni. Akibatnya, Salomo harus mengirim ke Tirus sebanyak 100.000 gantang
gandum dan satu juta galon minyak zaitun tiap tahun, baik pada masa hujan
maupun tidak sebagai bayaran atas utang pembangunan tersebut. Salomo diduga
juga telah menyerahkan dua puluh kota dan desa di Galilea kepada raja Hiram.
Semua itu belumlah cukup untuk melunasi utang kepada Tirus.
32
Saat istana dan Bait Allah selesai dibangun, makanan dalam jumlah yang
sangat besar ditambah biaya pesta peresmian yang megah diduga harus
ditanggung oleh penduduk desa. Menurut catatan Coote, saat peresmian bait
Allah para imam menyembelih 22.000 lembu jantan dan 120.000 domba. Bait
Allah yang baru itu berarti daging bagi tiap orang, untuk satu hari. Derita akibat
tidak adanya lembu jantan untuk digunakan di desa-desa dan biaya yang lebih
besar untuk mendapatkan lembu jantan guna menggarap tanah sesudah itu, sulit
dibayangkan.33
Guna membangun benteng, istana, dan Bait Suci, para penguasa di istana
Salomo telah mempekerjakan tenaga kerja yang terdiri dari 30.000 pria dan
pemuda, 80.000 tukang batu dan 70.000 pemikul keranjang yang dilakukan
secara paksa. Petugas yang mengawasi pekerja ini berjumlah 3.300 orang.
Jumlah pekerja yang sedemikian banyaknya membutuhkan pasokan makanan
dan material dalam jumlah yang besar. Pasokan makanan dan material tersebut
berasal dari perbekalan negara atau mereka dipaksa membawa sendiri dari
rumah. Sedangkan untuk jenis pekerjaan yang membutuhkan ketrampilan
khusus, pihak istana telah menyewa pengrajin-pengrajin yang terampil dari kota-kota pelabuhan di Fenesia. Hal ini menggambarkan dengan jelas adanya
penggelontoran biaya dalam jumlah besar demi menyukseskan program
pembangunan para penguasa.
34
Penderitaan rakyat jelata juga bertambah dengan adanya pembebanan
biaya untuk konsumsi para pejabat dan pegawai di Yerusalem yang tafsir
berjumlah 1.700 orang dengan tambahan 4000 orang.35 Bahkan menurut catatan
TANAK sendiri, tiap hari, para penguasa di Istana raja dan keluarga mereka
mengkonsumsi tiga puluh karung tepung roti, enam puluh karung gandum, tiga
puluh ekor lembu jantan, seratus domba, dicampur dengan kijang dan unggas,
anggur serta minyak dalam jumlah yang tidak bisa dirincikan. 36 Pembiayaan
terhadap tingkat konsumsi yang tinggi tersebut diduga harus dipikul oleh
masyarakat desa sebagai sumber pendapatan istana raja.
Perubahan besar yang terjadi di Palestina pada masa kekuasaan Salomo
dengan adanya berbagai program pembangunan fisik yang masif, juga telah
mendorong dibentuknya kekuatan militer kerajaan yang besar, lengkap dengan
kuda dan keretanya serta pasukan-pasukan sewaan untuk menjaga keamanan
negara yang semakin maju dari berbagai sisi. Demi mendukung pembentukan
kekuatan militer yang besar tersebut, maka biaya yang harus dikeluarkan oleh
istana raja juga sungguh mencengangkan. Kereta tempurnya masing-masing
seharga 600 syikal; kuda yang terlatih 150 syikal. Tiap kereta membutuhkan tiga
ekor kuda, maka kereta beserta perangkat kudanya mencapai 1050 syikal.
Kemudian, masih ada lagi biaya tambahan: awak kereta, petugas perawatan,
senjata, suku cadang, perumahan bagi pegawai, tempat penginapan dan bengkel
reparasi, kandang kuda dan pakan kuda. Pembongkaran dan pelumasan dengan
minyak zaitun perlu sering dilakukan. Kuda-kuda membutuhkan latihan selama
berbulan-bulan, kemudian latihan dan perawatan kuda secara terus-menerus oleh
tenaga-tenaga terlatih. Kereta tempur Salomo berjumlah 1.400, kuda 4.000,
awak kereta dan tenaga pendukung sampai 12.000 orang – seluruhnya
bergantung pada bahan pangan yang ditanam oleh masyarakat desa.
37 Jadi untuk
kekuatan militer saja pihak istana harus mengeluarkan biaya yang sangat besar.
Pembiayaan tersebut sepenuhnya diduga bergantung pada hasil produksi
pertanian yang didapatkan dari kerja keras masyarakat desa di Utara.
o)
...( Santy Sahartian)
93
Tekanan sosial-ekonomi yang diakibatkan oleh adanya program
pembangunan fisik dan kekuatan militer dalam skala masif tersebut, diduga pada
akhirnya telah memunculkan berbagai reaksi perlawanan terhadap ketidakadilan
dan kesewenang-wenangan penguasa atas rakyatnya sendiri. Reaksi perlawanan
sporadis dari kaum tertindas terhadap Istana raja, diduga berlangsung selama
masa pemerintahan Salomo sampai pada masa pemerintahan Rehabeam. Mereka
melakukan perlawanan gerakan bawah tanah yang menentang perubahanperubahan yang menindas kaum tani dan rakyat jelata. Kaum ini dikenal dengan
nama kaum Rekhabi. Namun tindakan perlawanan dari kaum Rekhabi tersebut
selalu dianggap sebagai gerakan kaum pemberontak oleh para penguasa resmi
sehingga mereka harus mengalami berbagai diskriminasi dan penindasan.38
Munculnya berbagai peristiwa pemberontakan sebagai embrio perpecahan
kerajaan Israel Bersatu yang dimotori oleh kaum Rekhabi selama masa
pemerintahan Salomo, menemukan puncak momentumnya pada peristiwa yang
tercatat dalam 1 Raja-raja 12:1-19. Beban besar yang dipikul oleh masyarakat
Utara sebagai konsekuensi logis dari hasrat besar Istana raja dalam program
pembangunan fisik dan manusia, telah mendorong adanya kualisi masyarakat
Utara yang dipimpin oleh Yerobeam I untuk melakukan protes diplomasi dan
keberatan mendalam terhadap penerus tahta Salomo yakni raja Rehabeam saat
berkunjung ke Sikhem. Protes tersebut tersimpulkan dalam narasa kalimat 1
Raja-raja 12:4, “ayahmu telah memberatkan tanggunan kami, maka sekarang
ringankanlah pekerjaan yang sukar yang dibebankan ayahmu dan tanggungan
yang berat yang dipikulkannya kepada kami, supaya kami menjadi hambamu”.
Protes diplomasi koalisi rakyat Utara yang dipimpin oleh Yerobeam I
terhadap ketidakadilan dan berbagai bentuk eksploitasi yang dialami semasa
pergolakan politik dan proses pembangunan yang masif, ditanggap dingin oleh
raja Rehabeam dengan perkataan, “Ayahku telah memberatkan tanggungan
kamu, tetepi aku akan menambahkan tanggunganmu itu; ayahku telah
menghajar kamu dengan cambuk, tetapi aku akan menghajar kamu dengan
cambuk yang berduri besi” (1 Raj. 12:14).39 Tanggapan yang kurang bersahabat
ini, telah memunculkan reaksi kemarahan koalisi rakyat Utara terhadap pola
kepemimpinan dinasti Daud dengan menciptakan situasi konflik yang bersifat
destruktif. Tindaklanjut kemarahan kualisi rakyat Utara ditunjukan dengan
adanya upaya pengusiran paksa yang dilakukan terhadap Rehabeam dalam kisah
1 Raja-raja 12:18. Protes diplomasi yang seharusnya berakhir dengan proses
penyelesaian konflik secara kompromistis, akomonatif dan kolaboratif (win and
win solution) berubah menjadi konflik destruktif yang menghasilkan perpecahan
kerajaan sebagai akibat egosentrime penguasa (win and lose solution).
Kisah 1 Raja-raja 12:1-19 menggambarkan suatu proses konflik sosial
yang disebabkan oleh adanya berbagai ketimpangan sosial dan ketidakadilan
penguasa terhadap penderitaan rakyatnya. Peristiwa konflik yang terjadi di
Israel adalah konflik yang telah melibatkan adanya tiga unsur penting sebagai
bentuk akhir dari akumulasi berbagai faktor yang terjadi secara masif dalam
konteks masyarakat Utara. Tiga faktor tersebut yakni: pertama, faktor politik
yang berhubungan langsung dengan pola kepemimpinan penguasa yang diduga
cenderung mengutamakan kepentingan politik dan keuntungan ekonomi
dibandingkan kesejahtraan rakyatnya sendiri. Kondisi ini nampak jelas dalam
situasi ekploitasi dan ketidakadilan sosial yang dialami oleh suku-suku di Utara
seperti yang tercatat dalam kisah 1 Raja-raja 12:1-19. Kedua, faktor teknis
dimana terdapat seorang pemimpin dikalangan rakyat Utara yang berani tampil
dalam membela dan mendorong terjadinya perubahan sosial dikalangan rakyat
Utara. Yerobeam I yang telah mendapat dukungan dari berbagai pihak di Utara
akhirnya tampil sebagai sosok pemimpin karismatik yang berkontribusi penting
bagi terwujudnya revolusi Utara. Dukungan terhadap Yerobeam I tersebut, besar
manfaatnya bagi pembentukan legalitas kepemimpinan dan loyalitas kesukuan.
Kondisi tersebut disebabkan karena dalam tradisi suku-suku di Palestina seorang
imam atau hakim (local Hero) adalah pemimpin utama yang memiliki otoritas
dan kekuasaan melindungi anggota sukunya.40 Karenanya, mendapat dukungan
dari tokoh-tokoh penting di Utara adalah besar pengaruhnya bagi eksistesi
kepemimpin seorang Yerobeam I. Ketiga, faktor sosial dimana terjadinya suatu
ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang diduga telah menyebabkan
penderitaan fisik dan mental bagi penduduk Utara sebagai akibat terjadinya
berbagai tindakan esploitasi dan diskriminasi. Ketimpangan-ketimpangan sosial
yang terjadi saat itu, pada akhirnya menjadi faktor utama pendorong dan
pencetus terjadinya puncak konflik sosial yang bersifat destruktif antara
penguasa di Selatan dengan rakyat Utara dalam kisah 1 Raja-raja 12:1-19. etrus Yunianto)
...( Santy Sahartian)
95
Relevansi Kekinian Kisah Konflik 1 Raja-Raja 12:1-19
Konflik sosial merupakan hal mendasar dalam setiap proses perubahan
masyarakat. Secara teoritis, konflik sosial memainkan peran penting dalam
mendukung terbentuknya pola pergerakan masyarakat dinamis. Konflik sosial
perlu dimaknai sebagai suatu jalan atau sarana menuju perubahan masyarakat.41
Konflik sosial yang terjadi pada masyarakat dapat menghasilkan suatu model
konstruksi interaksi sosial yang bersifat unik. Konflik sosial dapat menghasilkan
pergerakan sosial yang mendukung munculnya kemajuan suatu masyarakat,
tetapi juga dapat menghasilkan ketidaksabilan sosial bahkan perpecahan dalam
hubungan horizontal masyarakat.
Dilihat dari konstruksi historis kisah 1 Raja-raja 12:1-19, terlihat jelas
adanya hubungan erat antara peristiwa konflik sosial dengan perpecahan
kerajaan Israel Bersatu yang terjadi pada tahun 931/930 sM. Perpecahan
kerajaan Israel Bersatu merupakan hasil dari suatu konflik panjang antara
penguasa dinasti Daud dengan suku-suku di Utara. Peristiwa perpecahan
kerajaan tersebut diduga merupakan hasil akumulasi dari berbagai faktor
pendorong konflik seperti penindasan, kesewenang-wenangan, eksploitasi dan
ketidakadilan sosial yang terjadi pada rakyat Israel Utara.
Melihat dan memahami faktor-faktor pendorong perpecahan kerajaan
Israel Bersatu seperti yang dicatat dalam kisah 1 Raja-raja 12:1-19, telah
memunculkan pengertian mendasar bahwa setiap perlakuan yang bermuatan
tindakan ketidakadilan sosial, penindasan, dan ekploitasi oleh penguasa terhadap
rakyatnya akan berujung kepada tindakan pemberontakan, konflik dan
perpecahan sosial masyarakat. Tindakan pemberontakan, konflik, dan
perpecahan seperti yang tercermin dalam kisah 1 Raja-raja 12:1-19 merupakan
bentuk konsekuensi logis dari proses komunikasi sosial yang buruk. Pemutusan
komunikasi sosial dan adanya sistem pemerintahan yang bersifat
otoritarianisme, telah menjadi akar persoalan terjadinya konflik karena
ketidakadilan, penindasan dan eksploitasi yang terjadi secara terus-menerus
terhadap rakyat kecil.
Belajar dari kisah terjadinya konflik sosial di Israel seperti yang tercatat
dalam kisah 1 Raja-raja 12:1-19, memunculkan suatu ide tentang konsep
penanganan konflik yang lebih adaptif dan ideal dalam konteks dinamika
perubahan masyarakat modern saat ini. Jika konflik dipahami sebagai situasi yang wajar dalam proses perubahan sosial, maka yang terpenting dari
penanganan konflik sosial agar tidak menimbulkan sifat yang destruktif bagi
masyarakat adalah pola pengelolaan konflik dan komunikasi sosial.
Pola pengelolaan konflik dan komunikasi sosial dalam konteks masyarakat
majemuk saat ini, harus didasarkan kepada hubungan komunikasi yang bersifat
egaliter dan manejeman konflik yang bersifat restitutif. Hal ini berarti
komunikasi antara pihak penguasa dan rakyat yang dipimpinnya harus berjalan
dalam koridor hukum dan etika sosial. Setiap penguasa maupun rakyat yang
dipimpinnya harus secara sadar mematuhi setiap unsur hukum positif yang
berlaku secara lagal pada suatu negara sambil mengedepankan komitmen dalam
menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia sebagai dasar penting dalam
setiap proses penegakan hukum. Sedangkan dalam upaya mewujudkan suatu
manejeman konflik yang bersifat restitutif, maka segala bentuk pengelolaan
konflik harus berujung kepada upaya menciptakan kondisi konflik yang bersifat
win and win solution, yang berarti suatu kondisi dimana pihak-pihak yang
berkonflik harus berupaya menciptakan proses dialog yang mengedepankan
sikap menjunjung tinggi nilai-nilai perdamaian dan rekonsiliasi sebagai modal
dasar kesatuan masyarakat. Dengan penerapan dua metode tersebut (komunikasi
yang bersifat egaliter dan manajemen konflik yang bersifat restitutif), maka
setiap peristiwa konflik yang terjadi pada konteks masyarakat modern dapat
tertata secara baik sehingga menghasilkan keluaran konflik yang bersifat
konstruktif bagi hubungan sosial antara individu dalam konteks masyarakat luas.
Kondisi masyarakat modern yang terbuka dan egalitar sebagai akibat dari
kemajuan pendidikan dan teknologi, juga tidak dapat terlepas dari fenomena
sosial berupa peristiwa konflik yang disebabkan oleh adanya ketidakadilan
sosial, eksploitasi, kesewenang-wenangan dan penindasan. Berbagai contoh
nyata peristiwa ketidakadilan sosial dan tindakan eksploitasi yang masih terjadi
pada masyarakat modern seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia, Human
Trafficking (perbudakan modern), kerja paksa dengan upah kerja yang rendah,
pembungkaman hak-hak demokrasi (lihat peristiwa sosial demokrasi di negara
Korea Utara saat ini), diskriminasi etinis dan ras, diskriminasi golongan dan
agama, kesenjangan ekonomi antara masyarakat sampai persoalan ekploitasi
sistem keuangan (pemberian utang dengan bunga yang tinggi oleh individu atau
lembanga keuangan tertentu), masih terus menjadi sumber konflik sosial
masyarakat yang terikat secara organik. Hal ini menandakan adanya berbagai
bentuk degradasi sosial yang berujung kepada peristiwa konflik dan perpecahan
masyarakat masa kini.
...( Santy Sahartian)
97
Berdasarkan kenyataan tersebut, perlu adanya perhatian serius dari
berbagai komponen sosial masyarakat dalam hal mencari dan mengupayakan
bentuk-bentuk penanganan konflik sosial yang bersifat adaptif terhadap
kemajuan, kesejahtraan sosial dan kemajemukan. Berbeda dengan model
resolusi konflik di Israel seperti yang tercatat dalam 1 Raja-raja 12:1-19,
resolusi konflik pada konteks masyarakat modern yang serba majemuk harus
meninggalkan pola-pola penanganan konflik yang bersifat win and lose solution.
Penanganan konflik masyarakat modern harus mengutamakan pendekatan sosial
yang berbentuk kompromi, kolaborasi dan penegakan hukum yang bersifat
restitutif dalam menciptakan suatu keluaran konflik yang konstruktif bagi
kemajuan masyarakat. Pada akhirnya, konsep di atas akan mendorong
terwujudnya prinsip-prinsip kesejahtraan bersama, keadilan, kemanusiaan dan
kesamaderajatan bagi seluruh warga masyarakat. 42 Tanpa pengelolaan yang
demikian, maka peristiwa konflik sosial yang terjadi pada konteks masyarakat
modern akan berakhir dengan kondisi win and lose solution (ikhtiar untuk
mengalahkan lawan konflik) seperti dalam kisah 1 Raja-raja 12:1-19.
Simpulan
Dari keseluruhan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa peristiwa
konflik sosial yang terjadi pada kisah 1 Raja-raja 12:1-19 adalah suatu puncak
peristiwa konflik yang diduga disebabkan oleh munculnya berbagai bentuk
tindakan ekploitasi, penindasan dan diskriminasi para penguasa terhadap
rakyatnya sendiri. Hal tersebut telah mengakibatkan adanya berbagai
ketimpangan sosial, ketidakadilan sosial dan kesewenang-wenangan yang
berujung kepada revolusi sosial sebagai tingkat terekstrim dari peristiwa konflik
sosial. Peristiwa konflik sosial seperti yang tercatat dalam 1 raja-raja 12:1-19
juga memberikan pembelajaran sosial terbaik dalam hal penanganan konflik
yang harus dilakukan dalam konteks masyarakat modern. Tindakan penanganan
konflik tersebut harus mencakup dua hal penting yakni pertama, upaya preventif
konflik berupa komunikasi yang bersifat egaliter dan kedua, manajemen konflik
yang bersifat restitutif (win and win solution).





.jpeg)





