TENTANG THIRD MILLENNIUM MINISTRIES
Didirikan pada tahun 1997, Third Millennium Ministries yaitu organisasi Kristen nirlaba
yang bertujuan memberikan:
Pendidikan Alkitab. Bagi Dunia. Secara cuma-cuma.
Tujuan kami yaitu menyediakan pendidikan Kristen secara cuma-cuma bagi ratusan ribu
gembala sidang dan pemimpin Kristen di seluruh dunia yang tidak dapat memperoleh
pelatihan yang memadai untuk pelayanan. Kami berupaya meraih sasaran ini dengan
menyediakan dan mendistribusikan secara global sebuah kurikulum seminari multimedia
yang unik dalam bahasa Inggirs, Arab, Mandarin, Rusia, dan Spanyol. Kurikulum kami
juga diterjemahkan kedalam belasan bahasa lain melalui mitra-mitra pelayanan kami.
Kurikulum ini terdiri dari tayangan video, bahan cetakan, dan bacaan internet. Kurikulum
dirancang untuk digunakan oleh sekolah-sekolah, kelompok-kelompok, maupun individu-
individu, baik secara daring maupun dalam komunitas-komunitas studi.
Selama tahun-tahun ini kami telah mengembangkan metode yang hemat biaya untuk
memproduksi pelajaran-pelajaran multimedia dengan konten dan kualitas terbaik, yang
telah berhasil meraih penghargaan. Penulis-penulis dan editor-editor kami yaitu para
pendidik yang telah mengenyam pendidikan teologis, penerjemah-penerjemah kami yaitu
native speaker dari tiap bahasa yang mahir di bidang teologi, dan pelajaran kami memuat
wawasan dari beratus-ratus guru besar seminari dan gembala-gembala sidang yang
dihormati dari seluruh dunia. Di samping itu, para perancang grafis kami, para ilustrator,
dan para produser, mengikuti standar produksi tertinggi dengan menggunakan sarana dan
teknik mutakhir yang canggih.
Untuk mencapai sasaran distribusi kami, Third Millennium membentuk kemitraan strategis
dengan gereja-gereja, seminari-seminari, sekolah-sekolah Alkitab, misionari-misionari,
radio-radio siaran Kristen, dan penyedia layanan televisi satelit, dan organisasi-organisasi
lain. Relasi ini telah menghasilkan distribusi pelajaran video yang tak terhitung banyaknya
kepada para pemimpin setempat, gembala-gembala dan murid-murid seminari di berbagai
negara. Situs internet kami juga berfungsi sebagai sarana distribusi dan menyediakan
materi tambahan untuk melengkapi pelajaran-pelajaran kami, termasuk materi terkait
bagaimana caranya memulai komunitas studi Anda sendiri.
Pengikut Kristus telah mengalami penganiayaan sepanjang sejarah. Tak terhitung
banyaknya orang Kristen yang dirampas harta bendanya, dipukuli, dipenjarakan, bahkan
mati sebagai martir. Dan dari beberapa laporan, pengikut-pengikut Kristus di zaman kita
ini mengalami penganiayaan yang lebih berat lagi.
Bagi kita yang tidak menderita secara ini, sulit membayangkan cobaan yang
dihadapi di saat mengalami penganiayaan. Orang-orang Kristen yang hidup dengan
damai dan aman sering berkompromi dalam iman mereka meskipun tidak mendapat
ancaman. Dapatkah Anda membayangkan bagaimana tergodanya Anda untuk
mengkompromikan kepercayaan Anda demi melindungi diri sendiri, suami atau istri
Anda, anak-anak dan sahabat-sahabat dekat Anda dari penderitaan? Bagaimana caranya
kita menguatkan hati sesama orang percaya yang berada dalam keadaan ini?
Tantangan inilah yang dihadapi penulis kitab Ibrani. Ia menulis kepada
sekelompok orang Kristen yang telah menderita di masa lampau dan kini terancam
penderitaan yang lebih berat lagi. Mereka telah bertahan dengan baik bertahun-tahun
yang lampau, namun penulis khawatir bahwa kini mereka akan berpaling dari Kristus
untuk menghindari penganiayaan lebih lanjut.
Ini yaitu pelajaran pertama dari seri Kitab Ibrani dan kami memberinya judul,
“Latar Belakang dan Tujuan kitab Ibrani.” Dalam pelajaran ini, kami akan
memperkenalkan sejumlah perspektif untuk menuntun kita memahami kitab yang
kompleks ini.
Kita akan meninjau latar belakang dan dalam dua cara.
Pertama, kita akan meninjau latar belakang kitab ini. Dan kedua, kita akan merangkum
tujuan utama penulisan kitab Ibrani. Mari kita mulai dengan menampilkan gambaran dari
beberapa isu yang menjadi latar belakang penting dari kitab Ibrani.
LATAR BELAKANG
Kita akan menelusuri latar belakang kitab Ibrani dengan mengamati tiga topik
yang saling berkaitan. Pertama, kita akan melihat pada penulisnya. Kemudian kita akan
menyelidiki kelompok pembaca mula-mula kitab ini. Terakhir, kita akan menyelidiki
waktu penulisannya. Mari kita bahas lebih dahulu penulis kitab Ibrani.
-2-
PENULIS
Sejakdahulu ada berbagai pandangan terkait penulis kitab Ibrani. Untuk tujuan
kita, kita akan membicarakan dua hal saja. Pertama, kita akan mendiskusikan identitas
penulisnya. Den kedua, kita akan membangun profil dari penulis dengan berfokus pada
beberapa ciri dari kitab yang ditulisnya. Kita akan mulai dengan menyelidiki identitas
sang penulis.
Identitas
Mengidentifikasi penulis kitab Ibrani tidak semudah mengidentifikasi penulis
kitab-kitab Perjanjian Baru yang lain, karena penulis kitab Ibrani tidak memperkenalkan
dirinya sendiri. Sejak zaman para Bapa Gereja, Clement dari Alexandria, yang hidup
sekitar 150 hingga 215 Masehi, dan Origen dari Alexandria, yang hidup sekitar tahun 185
hingga 254 Masehi, telah mengakui bahwa ada berbagai pendapat terkait penulis kitab
Ibrani. Pada awalnya, yang paling sering diperkirakan sebagai penulis yaitu rasul
Paulus, namun para pakar juga menyebutkan Barnabas, Lukas, Apolos, dan bahkan
Clement dari Roma.
Sekitar tahun 325 Masehi, sejarawan gereja Eusebius dalam tulisannya History of
the Church merujuk kepada pandangan Origen tentang penulis kitab Ibrani, dalam jilid 6,
bab 25, bagian 14. Kita membaca di sana:
namun tentang siapa yang menulis surat [Ibrani], Allah mengetahui
hal yang sebenarnya.
Komentar Origen mengindikasikan ketidakpastiannya, sama dengan banyak orang
di zamannya. Dan sebagian besar pakar biblika di zaman sekarang sependapat dengan
dia. Hanya Allah yang tahu dengan pasti siapa penulis kitab ini.
Sayangnya, karena ada banyak pertanyaan seputar kepenulisan dan karena
penyalahgunaan kitab Ibrani oleh beberapa kelompok bidat, sebagian orang di zaman
para Bapa gereja ragu-ragu untuk memasukkan kitab Ibrani dalam Kanon Perjanjian
Baru. Memang, pakar-pakar terkemuka seperti misalnya Clement dari Roma, yang
meninggal dunia sekitar tahun 99 Masehi, menganggap kitab Ibrani setara dengan kitab-
kitab Perjanjian Baru lainnya. Demikian pula Justin Martyr, yang hidup dari tahun 100
hingga 165 Masehi. namun kitab Ibrani dihilangkan dari Kanon Marcionite yang ditulis
sekitar tahun 144 Masehi, dan dari Kanon Muratorian yang ditulis sekitar tahun 170
Masehi. Namun, menjelang akhir zaman para Bapa gereja, sebagian besar penafsir yang
berpengaruh di gereja timur maupun barat, mengakui kitab Ibrani sebagai bagian dari
Kanon. Dan pada umumnya mereka sependapat bahwa rasul Paulus penulisnya.
Sepanjang abad-abad pertengahan, kebanyakan pakar-pakar terkemuka masih
mempercayai bahwa Paulus yang menulis kitab Ibrani. namun di zaman Reformasi, kaum
Reformed Protestan mempertanyakan berbagai tradisi gerejawi, antara lain pandangan
tradisional bahwa Paulus menulis kitab Ibrani. Martin Luther mengatakan Apolos yaitu
-3-
penulisnya. John Calvin bersikeras bahwa kitab itu tidak mungkin ditulis oleh Paulus,
namun ia tidak menyebutkan nama lain.
Sekarang, kebanyakan penafsir menolak pandangan bahwa Paulus penulisnya.
Kita akan melihat tiga alasan untuk pendirian ini. Pertama, telah dikatakan tadi, kitab ini
tanpa nama, sedangkan kebiasaan Paulus yaitu menyebutkan namanya dalam surat-
suratnya. Bahkan, dari 2 Tesalonika 2:2 terlihat bahwa Paulus sangat khawatir bahwa
pemalsuan telah menyebar memakai namanya. Jadi rasanya tidak mungkin ia tidak
memperkenalkan dirinya sendiri seandainya ia yang menulis kitab Ibrani.
Kedua, kitab Ibrani menekankan subjek-subjek yang tidak banyak dibahas,
bahkan jarang dijumpai, dalam surat-surat Paulus. Contohnya, penulis kitab Ibrani
menyinggung Melkisedek tiga kali. Ia membicarakan Kemah Suci Perjanjian Lama. Dan
ia memaparkan panjang lebar tentang Kristus sebagai Imam besar. Semua tema ini
membedakan kitab Ibrani dari kitab-kitab yang kita tahu ditulis oleh Paulus.
Ketiga, alasan paling kuat untuk meragukan kepenulisan Paulus ialah caranya
penulis kitab Ibrani memisahkan dirinya dari angkatan pertama pengikut Yesus.
Simaklah Ibrani 2:3 ini:
Keselamatan yang sebesar itu, yang mula-mula diberitakan oleh
Tuhan dan oleh mereka yang telah mendengarnya, kepada kita
dengan cara yang dapat dipercayai (Ibrani 2:3).
Perhatikan bahwa di sini penulis mengatakan, keselamatan “mula-mula
diberitakan oleh Tuhan” — dengan kata lain, oleh Yesus sendiri — dan “oleh mereka
yang telah mendengarnya, kepada kita.” Jadi, penulis dan para pembacanya mendengar
berita Injil dari orang-orang yang telah mendengarnya langsung dari Yesus. Pengakuan
penulis bahwa ia menerima iman Kristennya dari pemberitaan tangan kedua, bertolak
belakang dengan ayat-ayat seperti Galatia 1:1, 11 dan 12, dan 1 Korintus 11:23 yang
mencatat penegasan Paulus bahwa ia menerima berita Injil langsung dari Yesus.
Jawaban singkat atas pertanyaan, “Siapa penulis kitab Ibrani?”
yaitu , kami tidak tahu. Kita mempunyai beberapa petunjuk siapa
penulis itu. Sepanjang sejarah gereja ada banyak sekali jawaban atas
pertanyaan itu. Selama ratusan tahun gereja menyangka bahwa
Paulus penulisnya. Saya rasa bukan Paulus yang menulisnya karena
ada perbedaan di antara kitab Ibrani dan surat-surat Paulus.
Contohnya, Paulus selalu memperkenalkan dirinya sebelum
berbicara kepada para penerima suratnya. Kitab Ibrani tidak
melakukan hal itu. Beberapa tema dalam Ibrani, misalnya Kristus
sebagai Imam Besar, jarang disinggung dalam surat-surat Paulus.
Jadi, mungkin bukan Paulus penulisnya. Perkiraan lain yaitu
Barnabas atau Apolos, — Martin Luther berpendapat mungkin
penulisnya Apolos — atau Priskila. Namun, sejatinya kita tidak tahu.
Saya rasa kita hanya dapat mengatakan bahwa penulis Ibrani yaitu
seorang percaya angkatan kedua. Dalam pasal 2 ia merujuk kepada
mereka yang mendengar dari Kristus dan kemudian menyampaikan
-4-
apa yang telah mereka dengar dari Kristus, jadi sepertinya ia
menempatkan dirinya dalam angkatan kedua itu.
— Dr. Stephen E. Witmer
Kita telah meneliti penulis kitab Ibrani dan melihat bahwa identitas penulis tidak
diketahui. namun kita dapat membangun profil penulis itu.
Profil
Untuk menyingkat waktu, kita hanya akan menunjukkan dua ciri yang pasti dari
kehidupan penulis.
Orang Yahudi Helenis. Pertama, penulis kitab Ibrani yaitu seorang Yahudi
Helenis, yaitu orang Yahudi yang menganut kebudayaan Yunani. Kebanyakan pakar di
masa kini sependapat bahwa Paulus tidak menulis kitab Ibrani. Pada akhirnya, yang
terbaik yaitu menarik kesimpulan seperti Origen, bahwa hanya Allah yang tahu.
Kepenulisan kitab Ibrani telah diperdebatkan selama bertahun-tahun, namun ini tidak
menjadi halangan bagi kita untuk belajar sebanyak mungkin mengenai penulis dan
karakternya dari petunjuk-petunjuk yang kita temukan dalam tulisannya.
Kita dapat melihat dari tulisan ini bahwa penulis dan tulisannya dipengaruhi oleh
kebudayaan Yahudi dan Yunani. Warisan Yahudi yang kuat dari penulis terlihat dari
pengetahuannya tentang Perjanjian Lama. Ia mengutip Perjanjian Lama sedikitnya 31
kali dalam 13 pasalnya.
Terlihat juga bahwa penulis dibesarkan di bawah pengaruh Yunani yang kuat. Di
masa silam, para penafsir menunjuk pada kenyataan bahwa penulis memakai Septuaginta,
terjemahan bahasa Yunani dari Perjanjian Lama, sebagai bukti bahwa ia seorang Yahudi
Helenis. Namun, dalam paruh kedua abad ke-20, penelitian atas Gulungan Naskah Laut
Mati mengungkapkan bahwa kutipan yang awalnya dianggap berasal langsung dari
Septuaginta, ada kemungkinan berasal dari naskah-naskah Ibrani yang non-tradisional.
Karena itu, kita tidak dapat memastikan apakah penulis kitab Ibrani memakai
Septuaginta.
Kendati demikian, kita boleh yakin bahwa penulis Ibrani yaitu seorang Helenis.
Bahasa Yunaninya yang anggun merupakan bukti yang kuat dari didikan Helenisnya.
Dan kosakata serta gaya bahasanya merupakan bukti dari penguasaan bahasa yang baik,
bahkan melebihi tulisan Lukas.
Cendekiawan yang Antusias. Penulis kitab Ibrani bukan hanya seorang Yahudi
Helenis, namun kita juga bisa menambahkan kepada profil kita bahwa dia seorang
cendekiawan yang penuh antusiasme. Para penafsir umumnya sependapat bahwa penulis
yaitu seorang terpelajar. Argumen-argumen teologis di dalam kitab Ibrani lebih rumit
daripada kebanyakan argumen lain dalam Perjanjian Baru. Penulis bahkan mengingatkan
betapa pentingnya perenungan teologis yang mendalam dalam perikop seperti Ibrani
-5-
5:13-14 yaitu ketika ia mengatakan bahwa agar dapat membedakan yang baik dari yang
jahat, pengikut Kristus harus menjadi dewasa dalam pemahaman doktrinal.
Dari isi surat Ibrani, kita dapat menyimpulkan beberapa hal
mengenai penulisnya. Salah satunya ialah dia sangat cerdas. Ia
mengenal Septuaginta, terjemahan bahasa Yunani dari Perjanjian
Lama, dengan sangat baik. Ia tahu bagaimana caranya mengaitkan
teks tertentu sedemikian rupa agar dapat meyakinkan pembaca
Yahudi tradisional. Mungkin ia seorang penulis Yahudi Helenis,
mungkin pembacanya yaitu Yahudi Helenis. Yang saya maksud
dengan “Yahudi Helenis” yaitu orang Yahudi yang berbicara dalam
bahasa Yunani dan mungkin tinggal di luar negara Israel, namun
sangat setia kepada tradisi Yahudinya dan sangat memahami Kitab
Suci.
— Dr. Craig S. Keener
Meskipun penulis kitab Ibrani kita anggap sebagai cendekiawan, ia bukan seorang
terpelajar yang kaku dan memisahkan diri. Ia sangat antusias dalam hal iman Kristen.
Semangat dan pengabdiannya kepada sesama orang Kristen terlihat dalam tulisannya.
Simaklah bagaimana ia berempati dengan pembacanya dalam Ibrani 10:33-34:
Baik waktu kamu dijadikan tontonan oleh cercaan dan penderitaan,
maupun waktu kamu mengambil bagian dalam penderitaan mereka
yang diperlakukan sedemikian. Memang kamu telah turut
mengambil bagian dalam penderitaan orang-orang hukuman dan
ketika harta kamu dirampas, kamu menerima hal itu dengan
sukacita, sebab kamu tahu, bahwa kamu memiliki harta yang lebih
baik dan yang lebih menetap sifatnya (Ibrani 10:33-34).
Dengan cara yang sama, dalam 12:1-2 ia menunjukkan semangatnya bagi Kristus
ketika ia mengatakan:
Marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu
merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang
diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang
tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang
membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan
mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang
disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta
Allah (Ibrani 12:1-2).
Jika kita membaca perikop seperti ini dan yang senada, kita pasti menyadari
bahwa penulis ini bukan seorang terpelajar yang kaku. Ia bergairah dan penuh antusiasme
bagi pembacanya dan bagi Kristus. Jika kita tidak menangkap antusiasme ini, kita
kehilangan salah satu karakteristik yang paling menonjol dari kitab Ibrani.
-6-
Kita juga melihat dari tulisannya bahwa penulis ini sungguh-sungguh
prihatin tentang umat yang kepadanya ia menulis dan memberitakan
Injil. Ia khawatir karena mereka tampaknya apatis secara rohani,
karena itu ia berulang-ulang memperingatkan akan bahayanya jika
orang menjadi lemah atau letih, atau bahkan murtad. Jadi, dia
seorang teolog dan penafsir Kitab Suci yang hebat, dan dia mengenal
pembacanya dengan sangat baik, bahkan mengenal mereka secara
pribadi. Ia benar-benar menyayangi mereka dan berupaya sedapat-
dapatnya membekali mereka dalam perjalanan rohani mereka
dengan ajaran teologi serta penafsiran dan penerapan Kitab Suci.
— Dr. Eckhard Schnabel
Dalam diskusi kita tentang latar belakang kitab Ibrani, kita telah berfokus pada
topik siapa penulis kitab ini. Kini kita beranjak kepada topik kedua: pembaca mula-mula
kitab Ibrani.
PEMBACA MULA-MULA
Kitab Ibrani tidak menyebutkan dengan jelas siapa pembacanya, baik nama, kota
maupun wilayahnya. Namun, secara umum, kita yakin bahwa penulis menulis kepada
kalangan pembaca spesifik, yang dikenalnya secara pribadi. Dalam Ibrani 13:19-24,
penulis meyakinkan pembaca akan rencananya untuk mengunjungi mereka kembali. Ia
berbicara tentang Timotius, yang disebutnya “saudara kita,” dan ia juga menyebutkan
sekelompok orang dari Italia yang tampaknya dikenal oleh para pembacanya.
Kita akan meninjau lima faktor penting mengenai para pembaca mula-mula ini
yang perlu kita perhatikan.
Yahudi
Pertama, ada alasan kuat untuk menduga bahwa setidaknya sebagian besar dari
pembaca mula-mula yaitu orang Yahudi. Dari Ibrani 1:1 terlihat jelas:
Pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara
berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi
(Ibrani 1:1).
Di sini, penulis menyinggung tentang Allah yang menyatakan diri-Nya kepada
bangsa Israel dalam Perjanjian Lama. Perhatikan bahwa ia menyebut bangsa Israel di
masa Perjanjian Lama sebagai “nenek moyang kita” — kaum leluhur dari penulis dan
pembacanya.
-7-
Maka tidak heran bahwa sudah semenjak zaman Tertulian, yang hidup di antara
tahun 155 hingga 230 Masehi, judul tradisional dari kitab ini yaitu “Pros Hebraious,”
“Untuk orang-orang Ibrani.”
Helenis
Kedua, juga ada kemungkinan sebagian besar pembaca yaitu kaum Helenis. Isi
kitab Ibrani mengindikasikan bahwa pembaca mengenal ajaran teologis yang lebih lazim
dikenal kalangan Yahudi yang bermukim di luar Palestina ketimbang kalangan Yahudi
yang lebih tradisional di dalam Palestina.
Beberapa penafsir telah berupaya menentukan di wilayah mana di luar Palestina
para pembaca ini tinggal. Kenyataan bahwa surat pertama Clement dari Roma merujuk
kepada kitab ini sekitar tahun 95 Masehi, mendorong beberapa orang untuk mengatakan
bahwa para pembaca ini tinggal di Roma. Ibrani 13:24 dikutip untuk mendukung
pandangan ini karena di sini disinggung tentang “saudara-saudara di Italia.” Gagasan ini
menarik, namun kita hanya dapat yakin bahwa pembaca mula-mula kitab ini sebagian
besar yaitu orang-orang Yahudi Helenis yang bermukim di luar Palestina.
Tidak Dewasa
Ketiga, pembaca mula-mula kitab Ibrani belum dewasa. Dengarkan bagaimana
penulis mendeskripsikan mereka dalam Ibrani 5:12:
Sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya
menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok
dari penyataan Allah (Ibrani 5:12).
Perhatikan bahwa para pembaca ini sudah cukup lama menjadi orang percaya
sehingga penulis mengatakan “kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya
menjadi pengajar.” Mereka seharusnya sudah mencapai banyak kemajuan dalam hal
doktrin. Namun seperti dikatakan penulis, mereka “masih perlu lagi diajarkan asas-asas
pokok dari penyataan Allah.”
Hal yang menarik di sini ialah, meskipun para pembaca ini secara teologis belum
dewasa, kitab Ibrani berisi beberapa pengajaran teologis yang paling kompleks dan
mendalam di seluruh Perjanjian Baru. Bagaimana ciri-ciri kitab ini bisa cocok dengan
ketidakdewasaan pembacanya? Cara terbaik untuk memahami situasi ini yaitu dengan
mengingat bahwa jemaat Kristen mula-mula menganut suatu praktik yang lazim
diterapkan di rumah ibadat Yahudi di abad pertama.
Kita melihat dari ayat-ayat seperti Lukas 4:16, Kisah Para Rasul 13:15, dan 1
Timotius 4:13 bahwa para kepala rumah ibadat dan pemimpin jemaat Kristen memimpin
pembacaan dan pemaparan Kitab Suci kepada jemaat mereka. Jadi, penulis kitab Ibrani
menulis beberapa ajaran teologis yang paling kompleks dalam Perjanjian Baru karena ia
mengharapkan para pemimpin jemaat mengajarkan kitab ini kepada jemaat mereka.
-8-
Dalam Ibrani 5:11, penulis menegur pembacanya karena mereka “lamban dalam hal
mendengarkan.” Jadi mungkin sebagian besar pembaca mula-mula secara teologis belum
dewasa karena mereka tidak menghormati pemimpin-peminpin mereka seperti
seharusnya.
Asumsi ini diteguhkan dalam Ibrani 13:17 ketika penulis berkata kepada
pembacanya:
Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka,
sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang
harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan
melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal
itu tidak akan membawa keuntungan bagimu (Ibrani 13:17).
Penganiayaan
Keempat, pembaca mula-mula kitab Ibrani mengalami penganiayaan. Dalam abad
pertama Masehi dikenal dua masa penganiayaan atas orang Kristen yang mungkin
berdampak pada pembaca mula-mula kitab Ibrani, atau setidaknya berdampak secara
tidak langsung. Di tahun 49 Masehi, Kaisar Roma Claudius mengusir orang-orang
Yahudi dari kota Roma. Dan sekitar tahun 64 Masehi, Kaisar Nero menganiaya orang-
orang Kristen di Roma.
Ketika kita membaca kitab Ibrani, jelas bahwa para pembaca mula-mula sudah
pernah mengalami penganiayaan di masa lalu, beberapa dari mereka sedang menderita
pada saat itu, dan penulis mengatakan bahwa di masa mendatang, lebih banyak dari
mereka yang akan menderita, bahkan mungkin menderita lebih berat.
Dalam Ibrani 10:32-35, penulis berbicara tentang penderitaan yang telah dialami
oleh setidaknya sebagian dari pembacanya di masa lalu:
Ingatlah akan masa yang lalu. Sesudah kamu menerima terang, kamu
banyak menderita oleh karena kamu bertahan dalam perjuangan
yang berat … Sebab itu janganlah kamu melepaskan kepercayaanmu,
karena besar upah yang menantinya (Ibrani 10:32-35).
Di sini kita melihat penulis memuji pembacanya karena mereka kuat ketika
dianiaya di “masa yang lalu sesudah [mereka] menerima terang.” Ia juga menasihati
mereka supaya “jangan melepaskan kepercayaan [mereka].” Istilah bahasa Yunani yang
diterjemahkan “kepercayaan” di sini ialah parrēsia, yang dalam banyak konteks berarti
“keberanian,” atau “tidak takut” di hadapan penguasa. Pilihan kata ini menunjukkan
bahwa pembaca sedang mengalami penganiayaan dari pihak penguasa atau dari rakyat,
dan mereka tergoda untuk kehilangan keberanian.
Dalam 13:3 penulis juga merujuk secara langsung kepada penganiayaan pada
masa itu ketika ia mengatakan:
-9-
Ingatlah akan orang-orang hukuman, karena kamu sendiri juga
yaitu orang-orang hukuman. Dan ingatlah akan orang-orang yang
diperlakukan sewenang-wenang, karena kamu sendiri juga masih
hidup di dunia ini (Ibrani 13:3).
Kita lihat dari ayat ini bahwa penulis menasihati pembacanya untuk “[meng]ingat
… orang-orang hukuman, karena [mereka] sendiri juga yaitu orang-orang hukuman.”
Dan untuk mengingat “orang-orang yang diperlakukan sewenang-wenang, karena
[mereka] sendiri juga masih hidup di dunia ini.” Jelaslah bahwa tidak semua
penganiayaan yang dialami pembacanya itu terjadi di masa lampau.
Di samping penganiayaan di masa lampau dan di masa itu, penulis mengingatkan
dalam 12:3-4 bahwa pembacanya menghadapi ancaman penganiayaan yang lebih berat di
masa mendatang. Dengarkan nasihat ini:
Ingatlah selalu akan [Kristus], yang tekun menanggung bantahan
yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa,
supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa. Dalam
pergumulan kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan
darah (Ibrani 12:3-4).
Perikop ini menunjukkan bahwa penulis memperkirakan akan ada lebih banyak
penganiayaan yang dialami pembacanya, dan ia sangat mengkhawatirkan hal ini.
Pembaca mula-mula kitab Ibrani menghadapi beberapa masalah…
penulis mengatakan dalam pasal 10 bahwa mereka telah mengalami
berbagai bentuk penderitaan; beberapa dari mereka kehilangan
harta benda, beberapa dipenjarakan, mereka mengalami cercaan dan
cemoohan. Dan ia terus mendesak pembacanya agar bersedia
menanggung kehinaan Kristus dan dikucilkan dari perkemahan. Ini
yaitu istilah Perjanjian Lama, namun mungkin maksudnya yaitu
dikucilkan dari rumah ibadat, dan jika mereka pergi ke Yerusalem,
dikucilkan dari Bait Allah, yang saya yakin masih berdiri ketika surat
ini ditulis. Jadi itulah bentuk penganiayaan yang mereka alami. Ia
mengatakan dalam pasal 12 bahwa penderitaan mereka belum begitu
parah hingga mencucurkan darah, namun ia menyadari betapa
perlunya mereka diyakinkan bahwa mereka telah dibebaskan dari
ketakutan akan maut, oleh kemenangan Yesus Kristus, seperti yang
dikatakannya dalam pasal 2. Jadi, ada kemungkinan bahwa
penganiayaan yang lebih hebat dan lebih kejam akan segera terjadi.
— Dr. Dennis E. Johnson
-10-
Hampir Murtad
Kelima, ketika para pembaca kitab Ibrani mengalami penganiayaan, sedikitnya
beberapa dari mereka hampir murtad. Mereka bukan hanya kehilangan semangat atau
lemah karena penderitaan, mereka juga rentan meninggalkan Kristus. Dalam Ibrani
10:26-27 kita membaca peringatan ini:
Jika kita sengaja berbuat dosa, sesudah memperoleh pengetahuan
tentang kebenaran, maka tidak ada lagi korban untuk menghapus
dosa itu. namun yang ada ialah kematian yang mengerikan akan
penghakiman dan api yang dahsyat yang akan menghanguskan
semua orang durhaka (Ibrani 10:26-27).
Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud penulis bukanlah pelanggaran atau dosa-
dosa kecil. Ia memperingatkan pembacanya dengan keras karena bagi mereka yang
meninggalkan Kristus, “tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu.” Jika mereka
menolak iman Kristen, seperti yang hendak dilakukan beberapa orang pembaca, ini
membuktikan bahwa mereka tidak pernah memiliki iman yang menyelamatkan. Jadi, bagi
mereka hanya ada “kematian yang mengerikan akan penghakiman dan api yang dahsyat”
yang disediakan bagi “semua orang durhaka.”
Dalam pelajaran berikut akan kami jelaskan, bahwa ayat ini dan ayat-ayat lain
yang senada tidak menyiratkan bahwa orang percaya yang sejati dapat kehilangan
keselamatan mereka. Sebaliknya, ayat ini merujuk kepada mereka yang mengaku
beriman dan mengalami banyak berkat, namun tanpa kelahiran kembali dan pembenaran.
Jelas bahwa ada diantara pembaca mula-mula kitab Ibrani yang tergoda untuk
meninggalkan iman mereka.
Setelah menyelidiki latar belakang kitab Ibrani dengan membahas tentang penulis
dan pembaca mula-mula, kini kita akan beranjak kepada topik ketiga: waktu penulisan
kitab Ibrani.
WAKTU
Meskipun waktu yang tepat tidak diketahui, waktu paling awal dan paling akhir
penulisan kitab ini dapat ditetapkan dengan cukup jelas. Kita akan melihat lebih dahulu
pada perkiraan waktu paling awal kitab ini, atau terminus a quo, dan kemudian pada
perkiraan waktu paling akhir, atau terminus ad quem. Penetapan kedua waktu ini cukup
meyakinkan berdasarkan bukti Kitab Suci dan bukti historis.
Ibrani 13:23 memberi indikasi kuat mengenai waktu paling awal kitab ini. Dalam
ayat ini penulis menulis:
Ketahuilah, bahwa Timotius, saudara kita, telah dibebaskan. Segera
sesudah ia datang, aku akan mengunjungi kamu bersama-sama
dengan dia (Ibrani 13:23 - NIV).
-11-
Di sini kita melihat bahwa “Timotius telah dibebaskan” dari penjara baru-baru ini.
Kita tidak mendengar tentang pemenjaraan Timotius di bagian mana pun dalam
Perjanjian Baru. Bahkan, dalam surat Timotius yang kedua, surat Paulus yang terakhir
yang ditulis menjelang kematiannya, Timotius bebas untuk melakukan perjalanan dan
mengantarkan kebutuhan Paulus. Namun, ayat ini mengatakan bahwa pada waktu kitab
Ibrani ditulis, Timotius telah dipenjarakan dan dibebaskan. Jadi, kitab Ibrani pasti ditulis
setelah kematian Paulus, yaitu sekitar tahun 65 Masehi.
Kemungkinan waktu paling akhir penulisan yaitu sekitar tahun 95 Masehi,
sebelum Clement dari Roma merujuk kepada kitab Ibrani dalam suratnya, 1 Clement.
Selain itu, banyak penafsir mengamati bahwa, dalam Ibrani 5:1-3, penulis
menggunakan kata kerja masa kini untuk mendeskripsikan kewajiban persembahan
korban oleh imam besar. Hal ini penting karena di semua bagian lain dari suratnya
penulis selalu menggunakan kata kerja Yunani untuk masa lampau ketika merujuk
kepada peristiwa-peristiwa di masa lampau. Jadi, ada kemungkinan tugas-tugas imamat
ini masih berlangsung ketika surat Ibrani ditulis.
Di samping itu, dalam 8:13 penulis mendesak pembacanya supaya jangan kembali
kepada praktik persembahan korban yang “tua dan usang” yang ditetapkan oleh kovenan
Allah dengan Musa. Ia menjelaskan bahwa dalam terang kovenan baru, praktik-praktik
lama ini “telah dekat kepada kemusnahannya.” Kita tahu bahwa tugas-tugas imam besar,
dan seluruh tata cara persembahan korban oleh imam-imam Lewi, berakhir pada tahun 70
Masehi ketika pasukan Roma menghancurkan Yerusalem dan Bait Suci. Jadi,
berdasarkan bukti-bukti ini diperkirakan bahwa kurun waktu penulisan surat Ibrani
yaitu setelah kematian Paulus sekitar tahun 65 Masehi dan sebelum penghancuran Bait
Suci di tahun 70 Masehi.
Dalam pelajaran tentang latar belakang dan tujuan kitab Ibrani, kita telah
meninjau beberapa aspek dari latar belakangnya. Sekarang kita akan membahas sasaran
atau tujuan utama kitab ini. Mengapa kitab Ibrani ditulis?
TUJUAN
Dapat kita katakan bahwa kitab yang begitu panjang dan kompleks seperti kitab
Ibrani, niscaya ditulis dengan banyak tujuan dalam benak penulis. namun untuk pelajaran
ini, kita lebih tertarik untuk merangkum tujuan utamanya. Setiap bagian kitab ini
mempunyai penekanan masing-masing, dan kita akan menelusuri penekanan ini dalam
pelajaran kita berikutnya. Sekarang kita hanya akan melihat bagaimana kitab ini secara
keseluruhan dimaksudkan untuk mempengaruhi wawasan, perilaku dan emosi pembaca
mula-mula.
Para penafsir merangkum tujuan utama kitab Ibrani dalam berbagai cara. namun
untuk pelajaran ini, tujuan mula-mula kitab ini kami deskripsikan sebagai berikut:
Penulis kitab Ibrani menulis untuk menasihati pembacanya agar
menolak ajaran Yahudi setempat dan tetap setia kepada Yesus.
-12-
Deskripsi tujuan ini menolong kita untuk mengenali pokok-pokok pikiran dalam
kitab Ibrani.
Seperti telah dikemukakan, penulis kitab Ibrani menulis untuk menasihati para
pembacanya. Perkataan penulis dalam 13:22 menunjukkan ciri-ciri suratnya:
Aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, supaya kata-kata nasihat
ini kamu sambut dengan rela hati (Ibrani 13:22).
Perhatikanlah bahwa di sini penulis “menasihatkan” pembacanya untuk menerima
suratnya sebagai “kata-kata nasihat.” Kata-kata “aku menasihatkan” di sini berasal dari
kata kerja Yunani parakaleō, bentuk kata kerja dari kata benda Yunani yang
diterjemahkan “nasihat” dalam kalimat yang sama.
Istilah nasihat menyiratkan arti “memerintahkan untuk berpihak kepada
pembicara” atau “mengajak orang untuk menerima pandangan pembicara.” Ekspresi yang
sama digunakan untuk mendeskripsikan seruan persuasif Yohanes Pembaptis yang
mendesak supaya orang bertobat dalam Lukas 3:18.
Menariknya, frasa “kata-kata nasihat” ini juga muncul dalam Kisah Para Rasul
13:15 ketika para pejabat rumah ibadat di Pisidia, Antiokhia, mempersilakan Paulus dan
rekan-rekannya untuk menyampaikan “pesan untuk membangun dan menghibur" seusai
pembacaan Kitab Suci. Kemungkinan besar istilah “kata-kata nasihat” — atau “pesan
untuk membangun” ini yaitu istilah teknis di abad pertama untuk apa yang kita sebut
khotbah di masa kini.
Dalam 13:22 penulis menyebut tulisannya sebagai kata-kata nasihat,
dan ini berarti surat Ibrani yaitu nasihat; seperti khotbah.
Kefasihan berbicara sebenarnya merupakan sarana untuk mengajak
pembacanya supaya setia dalam komitmen mereka kepada Yesus
sebagai Anak Allah, Tuhan dan Juruselamat mereka. Jadi, retorika
dalam surat Ibrani, atau khotbah Ibrani, memberi peluang pada
penulis untuk menguraikan topik-topik secara mendetail, untuk
mengeksegese Kitab Suci Yahudi — maksudnya, menafsirkan Kitab
Suci Yahudi sedemikian rupa sehingga jelas artinya — dan kemudian
menyampaikannya secara tegas sehingga pembaca mengerti dengan
jelas apa yang penulis ingin mereka lakukan. Ia ingin mereka
berpegang teguh pada keselamatan yang ditawarkan Kristus kepada
mereka, yang ditawarkan Allah di dalam Kristus.
— Dr. Fredrick Long
Setiap surat dalam Perjanjian Baru berisi nasihat kepada pembacanya. namun
kitab Ibrani berbeda dari surat-surat Perjanjian Baru lainnya karena intensitas nasihat-
nasihatnya.
Untuk menyelidiki tujuan penulis, mari kita amati dengan lebih saksama
intensitas nasihat-nasihat yang begitu menyolok dalam kitab ini. Kemudian, kita akan
-13-
meneliti sasaran nasihat-nasihat ini, bagaimana penulis berharap pembacanya akan
berespon. Mari kita lihat lebih dahulu intensitas nasihat penulis kepada pembacanya.
INTENSITAS NASIHAT
Untuk menjelaskan apa yang kami maksud dengan intensitas nasihat penulis, kita
akan melihat pada dua pokok: pertama, frekuensi nasihat dalam kitab ini, dan kedua, gaya
retorik penulis yang berkaitan dengan nasihatnya. Mari kita mulai dengan meneliti
frekuensi nasihatnya.
Frekuensi
Frekuensi nasihat penulis menolong kita untuk memahami betapa mendesaknya
pesan yang disampaikannya. Nasihat-nasihat ini ada kalanya tersirat secara tidak
langsung, namun sedikitnya 30 kali ditemukan nasihat yang eksplisit. Sering kali, penulis
menggunakan apa yang oleh ahli-ahli tatabahasa Yunani dinamakan “hortatory
subjunctive,” yaitu bentuk pengandaian kata kerja yang bersifat menasihati. Bentuk-
bentuk kata kerja ini mendesak atau mengimbau dan sering kali diterjemahkan “marilah
kita” atau “baiklah kita” melakukan ini atau itu. Contohnya, dalam 4:14, 16, kita
membaca dua nasihat seperti itu:
Baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita… Sebab itu
marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih
karunia (Ibrani 4:14, 16).
Penulis juga menasihati pembacanya dengan menggunakan kata kerja perintah,
yang sering kita terjemahkan sebagai perintah langsung. Contohnya, dalam 12:12-16, kita
membaca rangkaian nasihat ini:
Kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah; dan
luruskanlah jalan bagi kakimu … Berusahalah hidup damai dengan
semua orang dan kejarlah kekudusan … Jagalah supaya jangan ada
seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan
tumbuh akar yang pahit … Janganlah ada orang yang menjadi cabul
atau yang mempunyai nafsu yang rendah seperti Esau (Ibrani 12:12-
16).
Salah satu alasan mengapa penting untuk mengingat betapa seringnya penulis
secara langsung menasihati pembacanya, yaitu karena perenungan teologis yang
kompleks dari kitab ini sering kali mengaburkan tujuan penulis. Ia tidak hanya sekadar
menyampaikan doktrin teologis kepada pembacanya. Ia mengajar mereka dengan maksud
membujuk mereka untuk mengubah perilaku dan tindakan mereka. Karena itulah ia
-14-
menyebut suratnya “kata-kata nasihat.” Jika kita tidak memperhatikan unsur mendesak
ini, kita akan kehilangan sebuah dimensi penting dari kitab Ibrani.
Kita telah melihat bagaimana intensitas nasihat penulis tercermin dalam seringnya
ia menasihati pembacanya. Sekarang mari kita lihat bagaimana gaya retorik penulis juga
mengungkapkan kerinduannya untuk menasihati pembacanya.
Gaya Retorik
Kitab Ibrani sering dikatakan sebagai tulisan yang sangat retorik. Artinya tulisan
ini menggunakan banyak bentuk sastra abad pertama yang diasosiasikan dengan argumen
yang persuasif atau perdebatan yang mendesak. Banyak bentuk retorik seperti ini didapati
dalam kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya, namun jauh lebih banyak lagi di dalam kitab
Ibrani.
Kitab Ibrani mungkin merupakan contoh terbaik dalam Perjanjian
Baru dari seorang penulis yang memiliki kecakapan sastra dan
ketrampilan retorika yang tinggi, dan itu sangat membantu dia
mencapai tujuannya. Ia berusaha menunjukkan keunggulan Kristus
dan kovenan baru atas kovenan lama, dan ia melakukannya antara
lain dengan menyampaikan argumen sastra yang sangat kuat dan
meyakinkan. Dan ia menggunakan berbagai macam bentuk
struktural untuk mencapai tujuan itu… Jadi, tulisannya tersusun
dengan indah, menggunakan retorika untuk menarik minat
pembacanya, dan meyakinkan mereka agar menerima argumennya.
— Dr. Mark L. Strauss
Salah satu bentuk retorika, yang dinamakan synkrisis dalam bahasa Yunani,
yaitu perbandingan mendetail di antara dua hal atau lebih yang bertujuan meyakinkan
pembaca untuk menerima pandangan si pembicara. Contohnya, synkrisis muncul di
Ibrani 7:11-28. Di sini, penulis menegaskan bahwa Yesus yaitu imam dan raja seperti
Melkisedek, seorang imam sekaligus raja yang dicatat dalam kitab Kejadian. Penulis
kitab Ibrani tidak hanya sekadar mengutarakan keyakinannya, ia memaparkan kepada
pembacanya delapan titik perbandingan yang meyakinkan di antara Melkisedek dan
Kristus, yaitu orang tua mereka, garis silsilah, kelahiran, kematian, jabatan, perbuatan,
kedudukan dan pencapaian mereka. Perbandingan mendetail ini dimaksudkan untuk
menghapus setiap keraguan tentang pernyataan bahwa Yesus yaitu Imam Besar dan raja
yang agung.
Satu bentuk retorika lain dalam kitab Ibrani dikenal sebagai exempla. Exempla
yaitu daftar sederetan ilustrasi atau contoh yang bertujuan membangun argumentasi
yang meyakinkan untuk sudut pandang tertentu. Teknik kefasihan oratoris ini terlihat
dalam daftar pahlawan iman yang setia dalam Ibrani 11. Di sini penulis menyebutkan
nama-nama: Habel, Henokh, Nuh, Abraham, Sara, Ishak, Yakub, Yusuf, Musa, umat
Israel, Rahab, Gideon, Barak, Samson, Yefta, Daud, Samuel dan para nabi. Daftar
-15-
panjang ini dimaksudkan untuk meyakinkan pembaca bahwa hamba-hamba Allah harus
tetap setia meskipun mengalami penganiayaan.
Bentuk retorika ketiga yang digunakan penulis dikenal dengan istilah Ibrani qol
wahomer. Istilah ini sangat dikenal di dalam tradisi Yunani-Romawi maupun tradisi
Talmud dan dapat diterjemahkan “ringan sampai berat,” “kecil sampai besar,” atau
“sederhana hingga rumit.” Argumentasi seperti ini diawali dengan satu pernyataan dasar
sederhana yang tidak diperbantahkan oleh pembaca. Kemudian penulis menggiring
kepada kesimpulan yang lebih kompleks yang tadinya diragukan oleh pembaca, namun
kini mereka dapat menerimanya dengan lebih mudah. Singkatnya, argumentasi ini
mengatakan bahwa karena pernyataan dasar yang sederhana itu benar, maka niscaya
kesimpulan yang lebih sulit itu juga benar. Simaklah bagaimana bentuk retorika ini
terlihat dalam Ibrani 10:28-29:
Orang yang menolak hukum Musa, ia dihukum mati tanpa belas
kasihan atas keterangan dua atau tiga orang saksi. Betapa lebih
beratnya hukuman yang harus dijatuhkan atas dia, yang menginjak-
injak Anak Allah? (Ibrani 10:28-29).
Di sini penulis mulai dengan sebuah pernyataan dasar yang dipahami pembaca:
hukuman bagi orang yang menolak hukum Musa yaitu hukuman mati. Kemudian ia
mendesak pembacanya lebih lanjut dengan mengatakan “betapa lebih beratnya hukuman
yang harus dijatuhkan atas dia, yang menginjak-injak” seorang yang lebih besar daripada
Musa — “Anak Allah.”
Contoh-contoh ini menolong kita melihat urgensi dari tujuan penulis. Ia yakin
pembacanya menghadapi situasi yang gawat dan sudah waktunya mereka mengambil
keputusan yang teramat sulit. Maka ia berusaha sekuat-kuatnya untuk mendesak dan
mendorong mereka agar membuat pilihan yang benar.
Telah kita lihat bagaimana tujuan penulis dikuatkan oleh intensitas nasihatnya,
maka kini kita beranjak kepada bagian kedua: tujuan nasihat.
TUJUAN NASIHAT
Telah kita lihat tadi bahwa tujuan utama kitab Ibrani dapat didefinisikan sebagai
berikut:
Penulis kitab Ibrani menulis untuk menasihati pembacanya agar
menolak ajaran Yahudi setempat dan tetap setia kepada Yesus.
Menurut definisi ini, nasihat penulis mempunyai tujuan ganda. Ia ingin
pembacanya menolak ajaran Yahudi setempat dan ia juga ingin mereka tetap setia kepada
Yesus sebagai Mesias. Mari kita perhatikan bagaimana penulis mendesak pembacanya
untuk menolak ajaran Yahudi setempat.
-16-
Menolak Ajaran Setempat
Kita tahu pembaca kitab Ibrani telah menderita penganiayaan dan penganiayaan
ini mendorong mereka untuk murtad. namun pencobaan ini tidak seperti yangkita
bayangkan. Tampaknya ketika surat Ibrani ditulis, orang Kristen dapat menghindari
penganiayaan jika mereka menolak kepercayaan Kristen mereka dan menyamakan diri
dengan komunitas Yahudi setempat.
Di abad pertama, orang Yahudi sering diwajibkan membayar pajak khusus, dan
ada kalanya mereka menderita penganiayaan. Namun sering kali, komunitas Yahudi di
Kekaisaran Roma dapat mengamalkan iman mereka dengan leluasa. Orang Kristen pun
leluasa pada awalnya, karena mereka dianggap sama dengan Yudaisme. namun seiring
bergulirnya waktu, identifikasi orang Kristen sebagai sekte Yahudi mulai menghilang.
Bahkan, dalam kitab Kisah Para Rasul tercatat bahwa di zaman Paulus pun, rumah-rumah
ibadat Yahudi menolak pengikut Kristus dan mendesak pihak berwajib setempat untuk
menindas mereka. Kemungkinan besar situasi seperti inilah yang dialami pembaca mula-
mula kitab Ibrani. Dan penderitaan mereka yang berkepanjangan membuat mereka
tergoda untuk menerima ajaran komunitas Yahudi setempat, yang bertentangan dengan
iman Kristen.
Menariknya, penulis kitab Ibrani tidak membicarakan pokok-pokok persoalan
yang lazimnya diasosiasikan dengan kemunafikan dan legalisme Yahudi. Betapa pun
pentingnya, hal-hal ini bukan merupakan pembahasan utama dalam kitab Ibrani.
Sebaliknya, penulis terutama membahas kepercayaan dan praktik yang keliru,
teristimewa yang berkembang dalam komunitas Yahudi di luar ajaran konvensional
Yudaisme di Palestina. Simaklah kata-kata penulis dalam Ibrani 13:9:
Janganlah kamu disesatkan oleh berbagai-bagai ajaran asing. Sebab
yang baik ialah, bahwa hati kamu diperkuat dengan kasih karunia
dan bukan dengan pelbagai makanan yang tidak memberi faedah
kepada mereka yang menuruti aturan-aturan makanan macam itu
(Ibrani 13:9).
Dalam ayat ini, penulis membandingkan “diperkuat dengan kasih karunia” dengan
diperkuat “dengan pelbagai makanan.” Fokus khusus ini terkesan akrab di telinga. namun
perhatikanlah bahwa ini hanya satu contoh dari apa yang dinamakannya “berbagai-bagai
ajaran asing.” Dengan kata lain, ajaran asing atau tidak lazim, yang diajarkan oleh
komunitas Yahudi setempat. Jadi, apakah “ajaran asing” yang cenderung diikuti pembaca
ini?
Di paruh kedua abad lalu, sejumlah wawasan yang bermanfaat terkait pertanyaan
ini menjadi jelas dengan ditemukannya Gulungan Naskah Laut Mati di Qumran.
Kumpulan naskah yang sudah lama sekali hilang ini mencakup naskah Perjanjian Lama,
dan juga tulisan ekstra-biblika, yang merupakan ajaran khas komunitas Yahudi yang
bermukim di sekitar Laut Mati, yang tidak mempunyai hak pilih. Gulungan ini antara lain
memuat kitab-kitab The Rule of the Community, The Damascus Covenant, War Scroll,
The Midrash on Melchizedek, dan juga beberapa bagian dari 1 Enoch yang dinamakan
“The Book of the Watchers” dan “The Book of Dreams”. Kitab-kitab ini memuat
-17-
sejumlah pengajaran yang senada dengan pokok-pokok teologis yang dipaparkan dalam
kitab Ibrani.
Penting untuk diingat bahwa ajaran-ajaran ini bukan eksklusif dari komunitas ini
saja. Kelompok Yahudi yang lain di wilayah Mediterania juga menganut pandangan
serupa. Bahkan, kitab Efesus dan Kolose membicarakan masalah-masalah serupa yang
terjadi di lokasi mereka. namun kita akan lebih memahami banyak nasihat kitab Ibrani
yang melawan kepercayaan Yahudi setempat jika kita mengamati beberapa pokok serupa
yang didapati dalam kitab Ibrani maupun dalam kitab-kitab yang ditemukan di Qumran.
Gulungan Naskah Laut Mati yaitu naskah-naskah yang sangat
menarik yang ditemukan di gurun Qumran, dan tulisan ini yaitu
karya sekte Yahudi radikal yang menganggap diri mereka
bertentangan dengan ajaran konvensional Yahudi, teristimewa
tentang Bait Suci. Para pengikut sekte di Qumran ini menganggap
diri mereka sebagai bait suci yang baru di bawah kovenan baru, ini
agak mirip dengan kitab Ibrani. Namun, juga ada banyak perbedaan,
karena kelompok Qumran ingin menghidupkan kembali beberapa
aspek ritual kovenan lama, dan bukan membiarkannya menjadi
usang dan tak terpakai seperti dikatakan penulis kitab Ibrani.
— Dr. Sean McDonough
Untuk pelajaran ini, kita hanya akan menyinggung secara singkat empat topik
yang terdapat dalam kitab Ibrani dan juga dalam naskah Qumran.
Makanan Ritual. Pertama, kita telah melihat bahwa dalam Ibrani 13:9, penulis
menentang memakan makanan yang digunakan dalam ritual keagamaan.
Banyak praktik keagamaan di Qumran dideskripsikan dalam kitab berjudul
The Rule of the Community. Antara lain, komunitas Qumran secara teratur mengadakan
perjamuan makan bersama di mana mereka makan makanan khusus yang telah disucikan.
Ajaran Dasar. Kedua, berbagai ajaran dasar yang dibahas dalam kitab Ibrani juga
ditemukan dalam naskah Qumran.
Contohnya, dalam Ibrani 6:1-2, penulis menyebutkan pertobatan, kepercayaan,
upacara pembasuhan (atau baptisan), penumpangan tangan, kebangkitan orang mati dan
hukuman kekal. Menariknya, The Rule of the Community dan War Scroll di Qumran
menaruh perhatian besar pada topik ini dan subjek-subjek serupa dalam cara yang
berbeda dari ajaran konvensional Yudaisme di Palestina.
Malaikat. Ketiga, literatur Qumran menolong kita memahami fokus pada
malaikat di dalam kitab Ibrani. Sejumlah ayat kitab Ibrani berbicara tentang kepercayaan
kepada malaikat. Fokus ini yaitu tanggapan atas kepercayaan yang serupa dengan ajaran
dalam kitab-kitab seperti The Rule of the Community, The Damascus Covenant, dan War
Scroll, dan juga beberapa bagian dari 1 Enoch yang dinamakan “The Book of the
Watchers” dan “The Book of Dreams.” Kitab-kitab ini menyanjung kuasa malaikat-
malaikat yang baik dan jahat, peran mereka sebagai utusan penyataan ilahi, dan
-18-
pengaruhnya atas manusia yang lebih rendah dari mereka. Tampaknya, pembaca mula-
mula kitab Ibrani tertarik pada ajaran seperti ini.
Melkisedek. Keempat, naskah Qumran membantu kita memahami mengapa
penulis kitab Ibrani sangat tertarik pada tokoh Perjanjian Lama Melkisedek.
Sejak dahulu para penafsir mengalami kesulitan dalam menjelaskan mengapa
perbandingan di antara Melkisedek dan Yesus begitu penting bagi penulis. namun satu
naskah yang ditemukan di Qumran, yang dinamakan 11QMelchizedek atau The Midrash
on Melchizedek, mengajarkan ajaran palsu bahwa Melkisedek yaitu sosok surgawi yang
akan muncul di akhir zaman untuk memproklamirkan Hari Pendamaian dan
melaksanakan pendamaian akhir bagi umat Allah. Kelihatannya, pembaca mula-mula
kitab Ibrani cenderung mempercayai ajaran ini atau ajaran palsu serupa.
Mengenali ajaran palsu yang marak di kalangan komunitas Yahudi ini membantu
kita memahami mengapa penulis kitab Ibrani menasihati pembacanya untuk menolak
ajaran ini dan tetap setia kepada Yesus.
Ada beberapa kesejajaran yang menarik di antara ajaran dalam
Gulungan Naskah Laut Mati dan ajaran dalam kitab Ibrani.
Mungkin yang paling signifikan yaitu , kedua komunitas ini
menyadari, atau meyakini, bahwa mereka hidup di zaman akhir,
bahwa keselamatan akhir dari Allah akan segera terlaksana. Bedanya
dalam Ibrani kita melihat keselamatan Allah telah tiba, sedangkan di
Gulungan Naskah Laut Mati, mereka mengharapkan hal ini bisa
terjadi setiap saat. namun perbandingan yang paling menarik di
antara kedua kitab ini yaitu peran sosok Melkisedek. Penulis kitab
Ibrani mengutarakan teologi Melkisedek, karena imamat agung
Yesus tidak menurut peraturan Harun, tidak sesuai tradisi Perjanjian
Lama, melainkan menurut peraturan Melkisedek. Kita lihat
Melkisedek yaitu imam besar yang sah, yang menyongsong
Abraham dalam kitab Kejadian — dan karena itu, penulis membuat
perbandingan dengan Melkisedek. Nah, di antara Gulungan Naskah
Laut Mati, ada satu kitab — dikenal sebagai 11Q Melchizedek karena
kitab ini ditemukan dalam gua nomor 11 — yang menggambarkan
Melkisedek sebagai sosok surgawi yang hebat, yang mulia, seperti
Mesias, yang membawa keselamatan. Perbandingan ini menarik
sebab dalam kitab Ibrani Melkisedek yaitu gambaran Kristus,
sedangkan dalam Gulungan Naskah Laut Mati ia menjadi sosok
mesias. Karena itu para cendekiawan mempertanyakan hubungan
antara sosok Melkisedek dalam kitab Ibrani dan Melkisedek yang
ditampilkan dalam Gulungan Naskah Laut Mati. Perbandingan yang
menarik.
— Dr. Mark L. Strauss
-19-
Tujuan nasihat kitab Ibrani bukan hanya mendesak pembaca untuk menolak
ajaran Yahudi setempat. Yang lebih penting, penulis ingin mereka tetap setia kepada
Yesus sebagai Mesias.
Tetap Setia kepada Yesus
Untuk mencapai tujuannya mengajak pembaca agar setia melayani Yesus, penulis
surat Ibrani menyusun nasihatnya dalam lima bagian utama. Kita akan meneliti setiap
bagian ini secara rinci dalam pelajaran kita berikutnya. Sekarang kita hanya akan
merangkum inti setiap bagian.
Dalam Ibrani 1:1–2:18, penulis mengajak pembacanya untuk meneguhkan
keunggulan Kristus atas penyataan-penyataan malaikat.
Telah kita singgung tadi bahwa kitab Ibrani memperingatkan terhadap
kepercayaan palsu tentang malaikat. Sejumlah tulisan Yahudi sering menyanjung
malaikat sebagai makhluk mulia yang besar kuasanya, yang membawa penyataan ilahi
kepada manusia. Penghormatan bagi malaikat ini menimbulkan tantangan besar bagi
pengikut Kristus. Yesus terdiri dari daging dan darah. Bagaimana mungkin orang lebih
mengikuti apa yang dikatakan-Nya ketimbang penyataan malaikat? Penulis menanggapi
ajaran Yahudi setempat ini dengan menunjukkan dari Perjanjian Lama, dan dari
kehidupan Yesus, kematian-Nya, kebangkitan-Nya, kenaikan-Nya ke surga, dan
kedatangan-Nya kembali dalam kemuliaan, bahwa Dia lebih tinggi dari malaikat.
Bagian utama kedua, dalam Ibrani 3:1–4:13, menunjukkan bahwa Yesus memiliki
otoritas lebih besar daripada Musa.
Semua orang mengetahui bahwa pengikut Yesus tidak melaksanakan ritual
pengorbanan yang telah Allah tetapkan melalui Musa. Komunitas Yahudi setempat
mendesak orang Kristen untuk kembali kepada Musa dan cara-caranya. Penulis
menanggapi dengan meneguhkan bahwa Musa yaitu hamba Allah yang setia. namun
Yesus lebih besar lagi sebab Ia yaitu Anak Allah dan raja.
Setelah berbicara tentang malaikat dan Musa, penulis kembali kepada imamat
Melkisedek dalam Ibrani 4:14–7:28.
Dalam bagian ini penulis menegaskan bahwa Yesus yaitu Imam Rajani yang
tertinggi menurut peraturan Melkisedek. Rupa-rupanya komunitas Yahudi setempat
menghendaki para pembaca mula-mula menolak Yesus sebagai Mesias oleh karena
kepercayaan mereka tentang tampilnya Melkisedek sebagai imam besar rajani yang
agung di akhir zaman. Penulis menanggapi dengan menunjukkan bahwa Yesus yaitu
Imam Besar Rajani yang sejati, yang datang di akhir zaman untuk mengadakan
pendamaian kekal bagi dosa.
Dalam Ibrani 8:1–11:40, penulis menjelaskan keunggulan kovenan baru dalam
Yesus.
Ajaran komunitas Yahudi setempat meragukan keyakinan orang Kristen bahwa
Yesus telah datang untuk menjadi pengantara kovenan baru yang dijanjikan oleh
Yeremia. namun penulis Ibrani menekankan bahwa Yesus benar-benar yaitu pengantara
kovenan baru.
-20-
Dalam bagian utama terakhir, Ibrani 12:1–13:25, kitab Ibrani memaparkan
sejumlah cara yang diperlukan pembaca untuk mempraktikkan iman dan ketekunan.
Bagian ini terdiri dari rentetan panjang nasihat, disertai penjelasan untuk nasihat-
nasihat tersebut. Mengingat banyaknya tantangan terhadap iman mereka dari komunitas
Yahudi setempat dan lain-lain, penulis menulis untuk menguatkan dan menyemangati
pembacanya. Ia menasihati mereka agar tetap setia kepada Yesus sebagai Mesias dengan
mengingatkan mereka akan janji-janji dan berkat Allah di dalam Yesus.
Melalui nasihat-nasihatnya, penulis surat Ibrani mendorong
pembacanya untuk bertekun. Sebagian dari bahasanya lemah lembut,
memohon, membesarkan hati, namun sebagian lagi, terus terang,
sangat menakutkan. Ini dimulai dari awal, Ibrani 2 — “Jika orang-
orang kudus zaman Perjanjian Lama saja murtad, betapa lebih
berbahayanya jika kita, ahli-ahli waris dari kovenan baru, yang
mengenal Tuhan Yesus, menyia-nyiakan keselamatan yang sebesar
itu, yang telah disediakan bagi kita?” Dan jenis argumentasi kuat
seperti ini, “Jika begini, terlebih lagi begitu,” muncul berulang kali
dalam kitab ini. Dan ada dua perikop yang sering dirujuk sebagai
“perikop kemurtadan” dalam Ibrani 6 dan Ibrani 10 yang
memperingatkan akan bahayanya bagi mereka yang telah mengaku
percaya kepada Kristus — dan kelihatannya mengikut Dia untuk
sementara waktu — tapi kemudian murtad. Jadi, dalam kisah
Perjanjian Lama di bagian akhir Ibrani 3, penulis mengatakan,
jangan seperti orang-orang kudus Perjanjian Lama yang dibebaskan
dari Mesir dan lepas dari perbudakan namun tidak masuk ke Tanah
Perjanjian karena mereka tidak teguh berpegang pada imannya.
Mereka murtad di padang gurun. Satu generasi dibinasakan
seluruhnya. Inilah kesejajaran pastoral yang menunjukkan bahwa
caranya memberi semangat bukan sekadar lunak atau lembut, ada
kehangatan dan dorongan, dan penekanan pada kemuliaan Kristus
supaya orang tertarik kepada-Nya. namun juga ada ancaman dan
peringatan bahwa ini hal yang serius dan tidak main-main.
— Dr. D. A. Carson
KESIMPULAN
Dalam pelajaran tentang latar belakang dan tujuan kitab Ibrani, kita telah meneliti
latar belakang kitab Ibrani, termasuk penulisnya, pembacanya dan waktu penulisan. Kita
juga telah berfokus pada sasaran awal kitab Ibrani dengan menyelidiki bagaimana penulis
menulis surat ini untuk menasihati pembacanya agar berpaling dari ajaran Yahudi
setempat dan meneguhkan kembali kesetiaan mereka kepada Yesus sebagai Mesias.





.jpg)





