Tampilkan postingan dengan label Kitab Ibrani. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kitab Ibrani. Tampilkan semua postingan

Kitab Ibrani



TENTANG THIRD MILLENNIUM MINISTRIES 

Didirikan pada tahun 1997, Third Millennium Ministries yaitu  organisasi Kristen nirlaba 

yang bertujuan memberikan: 

Pendidikan Alkitab. Bagi Dunia. Secara cuma-cuma. 

Tujuan kami yaitu  menyediakan pendidikan Kristen secara cuma-cuma bagi ratusan ribu 

gembala sidang dan pemimpin Kristen di seluruh dunia yang tidak dapat memperoleh 

pelatihan yang memadai untuk pelayanan. Kami berupaya meraih sasaran ini dengan 

menyediakan dan mendistribusikan secara global sebuah kurikulum seminari multimedia 

yang unik dalam bahasa Inggirs, Arab, Mandarin, Rusia, dan Spanyol. Kurikulum kami 

juga diterjemahkan kedalam belasan bahasa lain melalui mitra-mitra pelayanan kami. 

Kurikulum ini terdiri dari tayangan video, bahan cetakan, dan bacaan internet. Kurikulum 

dirancang untuk digunakan oleh sekolah-sekolah, kelompok-kelompok, maupun individu-

individu, baik secara daring maupun dalam komunitas-komunitas studi.  

Selama tahun-tahun ini kami telah mengembangkan metode yang hemat biaya untuk 

memproduksi pelajaran-pelajaran multimedia dengan konten dan kualitas terbaik, yang 

telah berhasil meraih penghargaan. Penulis-penulis dan editor-editor kami yaitu  para 

pendidik yang telah mengenyam pendidikan teologis, penerjemah-penerjemah kami yaitu  

native speaker dari tiap bahasa yang mahir di bidang teologi, dan pelajaran kami memuat 

wawasan dari beratus-ratus guru besar seminari dan gembala-gembala sidang yang 

dihormati dari seluruh dunia. Di samping itu, para perancang grafis kami, para ilustrator, 

dan para produser, mengikuti standar produksi tertinggi dengan menggunakan sarana dan 

teknik mutakhir yang canggih.  

Untuk mencapai sasaran distribusi kami, Third Millennium membentuk kemitraan strategis 

dengan gereja-gereja, seminari-seminari, sekolah-sekolah Alkitab, misionari-misionari, 

radio-radio siaran Kristen, dan penyedia layanan televisi satelit, dan organisasi-organisasi 

lain. Relasi ini telah menghasilkan distribusi pelajaran video yang tak terhitung banyaknya 

kepada para pemimpin setempat, gembala-gembala dan murid-murid seminari di berbagai 

negara. Situs internet kami juga berfungsi sebagai sarana distribusi dan menyediakan 

materi tambahan untuk melengkapi pelajaran-pelajaran kami, termasuk materi terkait 

bagaimana caranya memulai komunitas studi Anda sendiri.  


 

Pengikut Kristus telah mengalami penganiayaan sepanjang sejarah. Tak terhitung 

banyaknya orang Kristen yang dirampas harta bendanya, dipukuli, dipenjarakan, bahkan 

mati sebagai martir. Dan dari beberapa laporan, pengikut-pengikut Kristus di zaman kita 

ini mengalami penganiayaan yang lebih berat lagi.  

 Bagi kita yang tidak menderita secara ini, sulit membayangkan cobaan yang 

dihadapi di saat mengalami penganiayaan. Orang-orang Kristen yang hidup dengan 

damai dan aman sering berkompromi dalam iman mereka meskipun tidak mendapat 

ancaman. Dapatkah Anda membayangkan bagaimana tergodanya Anda untuk 

mengkompromikan kepercayaan Anda demi melindungi diri sendiri, suami atau istri 

Anda, anak-anak dan sahabat-sahabat dekat Anda dari penderitaan? Bagaimana caranya 

kita menguatkan hati sesama orang percaya yang berada dalam keadaan ini? 

Tantangan inilah yang dihadapi penulis kitab Ibrani. Ia menulis kepada 

sekelompok orang Kristen yang telah menderita di masa lampau dan kini terancam 

penderitaan yang lebih berat lagi. Mereka telah bertahan dengan baik bertahun-tahun 

yang lampau, namun  penulis khawatir bahwa kini mereka akan berpaling dari Kristus 

untuk menghindari penganiayaan lebih lanjut. 

Ini yaitu  pelajaran pertama dari seri Kitab Ibrani dan kami memberinya judul, 

“Latar Belakang dan Tujuan kitab Ibrani.” Dalam pelajaran ini, kami akan 

memperkenalkan sejumlah perspektif untuk menuntun kita memahami kitab yang 

kompleks ini.  

Kita akan meninjau latar belakang dan dalam dua cara. 

Pertama, kita akan meninjau latar belakang kitab ini. Dan kedua, kita akan merangkum 

tujuan utama penulisan kitab Ibrani. Mari kita mulai dengan menampilkan gambaran dari 

beberapa isu yang menjadi latar belakang penting dari kitab Ibrani.  

  

 

 

 

LATAR BELAKANG 

 

Kita akan menelusuri latar belakang kitab Ibrani dengan mengamati tiga topik 

yang saling berkaitan. Pertama, kita akan melihat pada penulisnya. Kemudian kita akan 

menyelidiki kelompok pembaca mula-mula kitab ini. Terakhir, kita akan menyelidiki 

waktu penulisannya. Mari kita bahas lebih dahulu penulis kitab Ibrani.  

 

 

 

-2- 

 


PENULIS  

 

Sejakdahulu ada berbagai pandangan terkait penulis kitab Ibrani. Untuk tujuan 

kita, kita akan membicarakan dua hal saja. Pertama, kita akan mendiskusikan identitas 

penulisnya. Den kedua, kita akan membangun profil dari penulis dengan berfokus pada 

beberapa ciri dari kitab yang ditulisnya. Kita akan mulai dengan menyelidiki identitas 

sang penulis. 

 

  

Identitas 

 

Mengidentifikasi penulis kitab Ibrani tidak semudah mengidentifikasi penulis 

kitab-kitab Perjanjian Baru yang lain, karena penulis kitab Ibrani tidak memperkenalkan 

dirinya sendiri. Sejak zaman para Bapa Gereja, Clement dari Alexandria, yang hidup 

sekitar 150 hingga 215 Masehi, dan Origen dari Alexandria, yang hidup sekitar tahun 185 

hingga 254 Masehi, telah mengakui bahwa ada berbagai pendapat terkait penulis kitab 

Ibrani. Pada awalnya, yang paling sering diperkirakan sebagai penulis yaitu  rasul 

Paulus, namun  para pakar juga menyebutkan Barnabas, Lukas, Apolos, dan bahkan 

Clement dari Roma.  

Sekitar tahun 325 Masehi, sejarawan gereja Eusebius dalam tulisannya History of 

the Church merujuk kepada pandangan Origen tentang penulis kitab Ibrani, dalam jilid 6, 

bab 25, bagian 14. Kita membaca di sana:  

 

namun  tentang siapa yang menulis surat [Ibrani], Allah mengetahui 

hal yang sebenarnya. 

  

Komentar Origen mengindikasikan ketidakpastiannya, sama dengan banyak orang 

di zamannya. Dan sebagian besar pakar biblika di zaman sekarang sependapat dengan 

dia. Hanya Allah yang tahu dengan pasti siapa penulis kitab ini. 

Sayangnya, karena ada banyak pertanyaan seputar kepenulisan dan karena 

penyalahgunaan kitab Ibrani oleh beberapa kelompok bidat, sebagian orang di zaman 

para Bapa gereja ragu-ragu untuk memasukkan kitab Ibrani dalam Kanon Perjanjian 

Baru. Memang, pakar-pakar terkemuka seperti misalnya Clement dari Roma, yang 

meninggal dunia sekitar tahun 99 Masehi, menganggap kitab Ibrani setara dengan kitab-

kitab Perjanjian Baru lainnya. Demikian pula Justin Martyr, yang hidup dari tahun 100 

hingga 165 Masehi. namun  kitab Ibrani dihilangkan dari Kanon Marcionite yang ditulis 

sekitar tahun 144 Masehi, dan dari Kanon Muratorian yang ditulis sekitar tahun 170 

Masehi. Namun, menjelang akhir zaman para Bapa gereja, sebagian besar penafsir yang 

berpengaruh di gereja timur maupun barat, mengakui kitab Ibrani sebagai bagian dari 

Kanon. Dan pada umumnya mereka sependapat bahwa rasul Paulus penulisnya.  

Sepanjang abad-abad pertengahan, kebanyakan pakar-pakar terkemuka masih 

mempercayai bahwa Paulus yang menulis kitab Ibrani. namun  di zaman Reformasi, kaum 

Reformed Protestan mempertanyakan berbagai tradisi gerejawi, antara lain pandangan 

tradisional bahwa Paulus menulis kitab Ibrani. Martin Luther mengatakan Apolos yaitu  

 

   

 

 

-3- 

 


penulisnya. John Calvin bersikeras bahwa kitab itu tidak mungkin ditulis oleh Paulus, 

namun  ia tidak menyebutkan nama lain.  

Sekarang, kebanyakan penafsir menolak pandangan bahwa Paulus penulisnya. 

Kita akan melihat tiga alasan untuk pendirian ini. Pertama, telah dikatakan tadi, kitab ini 

tanpa nama, sedangkan kebiasaan Paulus yaitu  menyebutkan namanya dalam surat-

suratnya. Bahkan, dari 2 Tesalonika 2:2 terlihat bahwa Paulus sangat khawatir bahwa 

pemalsuan telah menyebar memakai namanya. Jadi rasanya tidak mungkin ia tidak 

memperkenalkan dirinya sendiri seandainya ia yang menulis kitab Ibrani.  

Kedua, kitab Ibrani menekankan subjek-subjek yang tidak banyak dibahas, 

bahkan jarang dijumpai, dalam surat-surat Paulus. Contohnya, penulis kitab Ibrani 

menyinggung Melkisedek tiga kali. Ia membicarakan Kemah Suci Perjanjian Lama. Dan 

ia memaparkan panjang lebar tentang Kristus sebagai Imam besar. Semua tema ini 

membedakan kitab Ibrani dari kitab-kitab yang kita tahu ditulis oleh Paulus. 

Ketiga, alasan paling kuat untuk meragukan kepenulisan Paulus ialah caranya 

penulis kitab Ibrani memisahkan dirinya dari angkatan pertama pengikut Yesus. 

Simaklah Ibrani 2:3 ini:   

 

Keselamatan yang sebesar itu, yang mula-mula diberitakan oleh 

Tuhan dan oleh mereka yang telah mendengarnya, kepada kita 

dengan cara yang dapat dipercayai (Ibrani 2:3). 

 

Perhatikan bahwa di sini penulis mengatakan, keselamatan “mula-mula 

diberitakan oleh Tuhan” — dengan kata lain, oleh Yesus sendiri — dan “oleh mereka 

yang telah mendengarnya, kepada kita.” Jadi, penulis dan para pembacanya mendengar 

berita Injil dari orang-orang yang telah mendengarnya langsung dari Yesus. Pengakuan 

penulis bahwa ia menerima iman Kristennya dari pemberitaan tangan kedua, bertolak 

belakang dengan ayat-ayat seperti Galatia 1:1, 11 dan 12, dan 1 Korintus 11:23 yang 

mencatat penegasan Paulus bahwa ia menerima berita Injil langsung dari Yesus.  

 

Jawaban singkat atas pertanyaan, “Siapa penulis kitab Ibrani?” 

yaitu , kami tidak tahu. Kita mempunyai beberapa petunjuk siapa 

penulis itu. Sepanjang sejarah gereja ada banyak sekali jawaban atas 

pertanyaan itu. Selama ratusan tahun gereja menyangka bahwa 

Paulus penulisnya. Saya rasa bukan Paulus yang menulisnya karena 

ada perbedaan di antara kitab Ibrani dan surat-surat Paulus. 

Contohnya, Paulus selalu memperkenalkan dirinya sebelum 

berbicara kepada para penerima suratnya. Kitab Ibrani tidak 

melakukan hal itu. Beberapa tema dalam Ibrani, misalnya Kristus 

sebagai Imam Besar, jarang disinggung dalam surat-surat Paulus. 

Jadi, mungkin bukan Paulus penulisnya. Perkiraan lain yaitu  

Barnabas atau Apolos, — Martin Luther berpendapat mungkin 

penulisnya Apolos — atau Priskila. Namun, sejatinya kita tidak tahu. 

Saya rasa kita hanya dapat mengatakan bahwa penulis Ibrani yaitu  

seorang percaya angkatan kedua. Dalam pasal 2 ia merujuk kepada 

mereka yang mendengar dari Kristus dan kemudian menyampaikan 

 

   

 

 

-4- 

 


apa yang telah mereka dengar dari Kristus, jadi sepertinya ia 

menempatkan dirinya dalam angkatan kedua itu.      

 

— Dr. Stephen E. Witmer  

 

Kita telah meneliti penulis kitab Ibrani dan melihat bahwa identitas penulis tidak 

diketahui. namun  kita dapat membangun profil penulis itu. 

 

 

Profil 

 

Untuk menyingkat waktu, kita hanya akan menunjukkan dua ciri yang pasti dari 

kehidupan penulis.  

 

Orang Yahudi Helenis. Pertama, penulis kitab Ibrani yaitu  seorang Yahudi 

Helenis, yaitu orang Yahudi yang menganut kebudayaan Yunani. Kebanyakan pakar di 

masa kini sependapat bahwa Paulus tidak menulis kitab Ibrani. Pada  akhirnya, yang 

terbaik yaitu  menarik kesimpulan seperti Origen, bahwa hanya Allah yang tahu. 

Kepenulisan kitab Ibrani telah diperdebatkan selama bertahun-tahun, namun  ini tidak 

menjadi halangan bagi kita untuk belajar sebanyak mungkin mengenai penulis dan 

karakternya dari petunjuk-petunjuk yang kita temukan dalam tulisannya. 

Kita dapat melihat dari tulisan ini bahwa penulis dan tulisannya dipengaruhi oleh 

kebudayaan Yahudi dan Yunani. Warisan Yahudi yang kuat dari penulis terlihat dari 

pengetahuannya tentang Perjanjian Lama. Ia mengutip Perjanjian Lama sedikitnya 31 

kali dalam 13 pasalnya.   

 Terlihat juga bahwa penulis dibesarkan di bawah pengaruh Yunani yang kuat. Di 

masa silam, para penafsir menunjuk pada kenyataan bahwa penulis memakai Septuaginta, 

terjemahan bahasa Yunani dari Perjanjian Lama, sebagai bukti bahwa ia seorang Yahudi 

Helenis. Namun, dalam paruh kedua abad ke-20, penelitian atas Gulungan Naskah Laut 

Mati mengungkapkan bahwa kutipan yang awalnya dianggap berasal langsung dari 

Septuaginta, ada kemungkinan berasal dari naskah-naskah Ibrani yang non-tradisional. 

Karena itu, kita tidak dapat memastikan apakah penulis kitab Ibrani memakai 

Septuaginta.  

Kendati demikian, kita boleh yakin bahwa penulis Ibrani yaitu  seorang Helenis. 

Bahasa Yunaninya yang anggun merupakan bukti yang kuat dari didikan Helenisnya. 

Dan kosakata serta gaya bahasanya merupakan bukti dari penguasaan bahasa yang baik, 

bahkan melebihi tulisan Lukas.   

 

Cendekiawan yang Antusias. Penulis kitab Ibrani bukan hanya seorang Yahudi 

Helenis, namun  kita juga bisa menambahkan kepada profil kita bahwa dia seorang 

cendekiawan yang penuh antusiasme. Para penafsir umumnya sependapat bahwa penulis 

yaitu  seorang terpelajar. Argumen-argumen teologis di dalam kitab Ibrani lebih rumit 

daripada kebanyakan argumen lain dalam Perjanjian Baru. Penulis bahkan mengingatkan 

betapa pentingnya perenungan teologis yang mendalam dalam perikop seperti Ibrani 

 

   

 

 

-5- 

 


5:13-14 yaitu ketika ia mengatakan bahwa agar dapat membedakan yang baik dari yang 

jahat, pengikut Kristus harus menjadi dewasa dalam pemahaman doktrinal.  

 

Dari isi surat Ibrani, kita dapat menyimpulkan beberapa hal 

mengenai penulisnya. Salah satunya ialah dia sangat cerdas. Ia 

mengenal Septuaginta, terjemahan bahasa Yunani dari Perjanjian 

Lama, dengan sangat baik. Ia tahu bagaimana caranya mengaitkan 

teks tertentu sedemikian rupa agar dapat meyakinkan pembaca 

Yahudi tradisional. Mungkin ia seorang penulis Yahudi Helenis, 

mungkin pembacanya yaitu  Yahudi Helenis. Yang saya maksud 

dengan “Yahudi Helenis” yaitu  orang Yahudi yang berbicara dalam 

bahasa Yunani dan mungkin tinggal di luar negara Israel, namun  

sangat setia kepada tradisi Yahudinya dan sangat memahami Kitab 

Suci.  

 

— Dr. Craig S. Keener  

 

Meskipun penulis kitab Ibrani kita anggap sebagai cendekiawan, ia bukan seorang 

terpelajar yang kaku dan memisahkan diri. Ia sangat antusias dalam hal iman Kristen. 

Semangat dan pengabdiannya kepada sesama orang Kristen terlihat dalam tulisannya.  

Simaklah bagaimana ia berempati dengan pembacanya dalam Ibrani 10:33-34: 

 

Baik waktu kamu dijadikan tontonan oleh cercaan dan penderitaan, 

maupun waktu kamu mengambil bagian dalam penderitaan mereka 

yang diperlakukan sedemikian. Memang kamu telah turut 

mengambil bagian dalam penderitaan orang-orang hukuman dan 

ketika harta kamu dirampas, kamu menerima hal itu dengan 

sukacita, sebab kamu tahu, bahwa kamu memiliki harta yang lebih 

baik dan yang lebih menetap sifatnya (Ibrani 10:33-34). 

 

Dengan cara yang sama, dalam 12:1-2 ia menunjukkan semangatnya bagi Kristus 

ketika ia mengatakan:  

 

Marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu 

merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang 

diwajibkan bagi kita. Marilah kita melakukannya dengan mata yang 

tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang 

membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan 

mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang 

disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta 

Allah (Ibrani 12:1-2).  

 

Jika kita membaca perikop seperti ini dan yang senada, kita pasti menyadari 

bahwa penulis ini bukan seorang terpelajar yang kaku. Ia bergairah dan penuh antusiasme 

bagi pembacanya dan bagi Kristus. Jika kita tidak menangkap antusiasme ini, kita 

kehilangan salah satu karakteristik yang paling menonjol dari kitab Ibrani. 

 

   

 

 

-6- 

 


 

Kita juga melihat dari tulisannya bahwa penulis ini sungguh-sungguh 

prihatin tentang umat yang kepadanya ia menulis dan memberitakan 

Injil. Ia khawatir karena mereka tampaknya apatis secara rohani, 

karena itu ia berulang-ulang memperingatkan akan bahayanya jika 

orang menjadi lemah atau letih, atau bahkan murtad. Jadi, dia 

seorang teolog dan penafsir Kitab Suci yang hebat, dan dia mengenal 

pembacanya dengan sangat baik, bahkan mengenal mereka secara 

pribadi. Ia benar-benar menyayangi mereka dan berupaya sedapat-

dapatnya membekali mereka dalam perjalanan rohani mereka 

dengan ajaran teologi serta penafsiran dan penerapan Kitab Suci.  

 

— Dr. Eckhard Schnabel  

 

Dalam diskusi kita tentang latar belakang kitab Ibrani, kita telah berfokus pada 

topik siapa penulis kitab ini. Kini kita beranjak kepada topik kedua: pembaca mula-mula 

kitab Ibrani.  

 

 

PEMBACA MULA-MULA 

 

Kitab Ibrani tidak menyebutkan dengan jelas siapa pembacanya, baik nama, kota 

maupun wilayahnya. Namun, secara umum, kita yakin bahwa penulis menulis kepada 

kalangan pembaca spesifik, yang dikenalnya secara pribadi. Dalam Ibrani 13:19-24, 

penulis meyakinkan pembaca akan rencananya untuk mengunjungi mereka kembali. Ia 

berbicara tentang Timotius, yang disebutnya “saudara kita,” dan ia juga menyebutkan 

sekelompok orang dari Italia yang tampaknya dikenal oleh para pembacanya. 

Kita akan meninjau lima faktor penting mengenai para pembaca mula-mula ini 

yang perlu kita perhatikan.   

 

   

Yahudi 

 

Pertama, ada alasan kuat untuk menduga bahwa setidaknya sebagian besar dari 

pembaca mula-mula yaitu  orang Yahudi. Dari Ibrani 1:1 terlihat jelas:  

 

Pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara 

berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi 

(Ibrani 1:1). 

 

Di sini, penulis menyinggung tentang Allah yang menyatakan diri-Nya kepada 

bangsa Israel dalam Perjanjian Lama. Perhatikan bahwa ia menyebut bangsa Israel di 

masa Perjanjian Lama sebagai “nenek moyang kita” — kaum leluhur dari penulis dan 

pembacanya. 

 

   

 

 

-7- 

 


Maka tidak heran bahwa sudah semenjak zaman Tertulian, yang hidup di antara 

tahun 155 hingga 230 Masehi, judul tradisional dari kitab ini yaitu  “Pros Hebraious,” 

“Untuk orang-orang Ibrani.” 

 

 

Helenis  

 

Kedua, juga ada kemungkinan sebagian besar pembaca yaitu  kaum Helenis. Isi 

kitab Ibrani mengindikasikan bahwa pembaca mengenal ajaran teologis yang lebih lazim 

dikenal kalangan Yahudi yang bermukim di luar Palestina ketimbang kalangan Yahudi 

yang lebih tradisional di dalam Palestina.  

Beberapa penafsir telah berupaya menentukan di wilayah mana di luar Palestina 

para pembaca ini tinggal. Kenyataan bahwa surat pertama Clement dari Roma merujuk 

kepada kitab ini sekitar tahun 95 Masehi, mendorong beberapa orang untuk mengatakan 

bahwa para pembaca ini tinggal di Roma. Ibrani 13:24 dikutip untuk mendukung 

pandangan ini karena di sini disinggung tentang “saudara-saudara di Italia.” Gagasan ini 

menarik, namun  kita hanya dapat yakin bahwa pembaca mula-mula kitab ini sebagian 

besar yaitu  orang-orang Yahudi Helenis yang bermukim di luar Palestina.       

 

 

Tidak Dewasa 

 

Ketiga, pembaca mula-mula kitab Ibrani belum dewasa. Dengarkan bagaimana 

penulis mendeskripsikan mereka dalam Ibrani 5:12: 

 

Sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya 

menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok 

dari penyataan Allah (Ibrani 5:12). 

 

Perhatikan bahwa para pembaca ini sudah cukup lama menjadi orang percaya 

sehingga penulis mengatakan “kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya 

menjadi pengajar.” Mereka seharusnya sudah mencapai banyak kemajuan dalam hal 

doktrin. Namun seperti dikatakan penulis, mereka “masih perlu lagi diajarkan asas-asas 

pokok dari penyataan Allah.”  

Hal yang menarik di sini ialah, meskipun para pembaca ini secara teologis belum 

dewasa, kitab Ibrani berisi beberapa pengajaran teologis yang paling kompleks dan 

mendalam di seluruh Perjanjian Baru. Bagaimana ciri-ciri kitab ini bisa cocok dengan 

ketidakdewasaan pembacanya? Cara terbaik untuk memahami situasi ini yaitu  dengan 

mengingat bahwa jemaat Kristen mula-mula menganut suatu praktik yang lazim 

diterapkan di rumah ibadat Yahudi di abad pertama.  

Kita melihat dari ayat-ayat seperti Lukas 4:16, Kisah Para Rasul 13:15, dan 1 

Timotius 4:13 bahwa para kepala rumah ibadat dan pemimpin jemaat Kristen memimpin 

pembacaan dan pemaparan Kitab Suci kepada jemaat mereka. Jadi, penulis kitab Ibrani 

menulis beberapa ajaran teologis yang paling kompleks dalam Perjanjian Baru karena ia 

mengharapkan para pemimpin jemaat mengajarkan kitab ini kepada jemaat mereka. 

 

   

 

 

-8- 

 


Dalam Ibrani 5:11, penulis menegur pembacanya karena mereka “lamban dalam hal 

mendengarkan.” Jadi mungkin sebagian besar pembaca mula-mula secara teologis belum 

dewasa karena mereka tidak menghormati pemimpin-peminpin mereka seperti 

seharusnya. 

Asumsi ini diteguhkan dalam Ibrani 13:17 ketika penulis berkata kepada 

pembacanya: 

 

Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, 

sebab mereka berjaga-jaga atas jiwamu, sebagai orang-orang yang 

harus bertanggung jawab atasnya. Dengan jalan itu mereka akan 

melakukannya dengan gembira, bukan dengan keluh kesah, sebab hal 

itu tidak akan membawa keuntungan bagimu (Ibrani 13:17). 

 

 

Penganiayaan 

 

Keempat, pembaca mula-mula kitab Ibrani mengalami penganiayaan. Dalam abad 

pertama Masehi dikenal dua masa penganiayaan atas orang Kristen yang mungkin 

berdampak pada pembaca mula-mula kitab Ibrani, atau setidaknya berdampak secara 

tidak langsung. Di tahun 49 Masehi, Kaisar Roma Claudius mengusir orang-orang 

Yahudi dari kota Roma. Dan sekitar tahun 64 Masehi, Kaisar Nero menganiaya orang-

orang Kristen di Roma.  

Ketika kita membaca kitab Ibrani, jelas bahwa para pembaca mula-mula sudah 

pernah mengalami penganiayaan di masa lalu, beberapa dari mereka sedang menderita 

pada saat itu, dan penulis mengatakan bahwa di masa mendatang, lebih banyak dari 

mereka yang akan menderita, bahkan mungkin menderita lebih berat.  

Dalam Ibrani 10:32-35, penulis berbicara tentang penderitaan yang telah dialami 

oleh setidaknya sebagian dari pembacanya di masa lalu:  

 

Ingatlah akan masa yang lalu. Sesudah kamu menerima terang, kamu 

banyak menderita oleh karena kamu bertahan dalam perjuangan 

yang berat … Sebab itu janganlah kamu melepaskan kepercayaanmu, 

karena besar upah yang menantinya (Ibrani 10:32-35). 

 

Di sini kita melihat penulis memuji pembacanya karena mereka kuat ketika 

dianiaya di “masa yang lalu sesudah [mereka] menerima terang.” Ia juga menasihati 

mereka supaya “jangan melepaskan kepercayaan [mereka].” Istilah bahasa Yunani yang 

diterjemahkan “kepercayaan” di sini ialah parrēsia, yang dalam banyak konteks berarti 

“keberanian,” atau “tidak takut” di hadapan penguasa. Pilihan kata ini menunjukkan 

bahwa pembaca sedang mengalami penganiayaan dari pihak penguasa atau dari rakyat, 

dan mereka tergoda untuk kehilangan keberanian. 

Dalam 13:3 penulis juga merujuk secara langsung kepada penganiayaan pada 

masa itu ketika ia mengatakan:   

 


 

 

-9- 

 


Ingatlah akan orang-orang hukuman, karena kamu sendiri juga 

yaitu  orang-orang hukuman. Dan ingatlah akan orang-orang yang 

diperlakukan sewenang-wenang, karena kamu sendiri juga masih 

hidup di dunia ini (Ibrani 13:3).  

 

Kita lihat dari ayat ini bahwa penulis menasihati pembacanya untuk “[meng]ingat 

… orang-orang hukuman, karena [mereka] sendiri juga yaitu  orang-orang hukuman.”  

Dan untuk mengingat “orang-orang yang diperlakukan sewenang-wenang, karena 

[mereka] sendiri juga masih hidup di dunia ini.” Jelaslah bahwa tidak semua 

penganiayaan yang dialami pembacanya itu terjadi di masa lampau.  

Di samping penganiayaan di masa lampau dan di masa itu, penulis mengingatkan 

dalam 12:3-4 bahwa pembacanya menghadapi ancaman penganiayaan yang lebih berat di 

masa mendatang. Dengarkan nasihat ini:  

 

Ingatlah selalu akan [Kristus], yang tekun menanggung bantahan 

yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, 

supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa. Dalam 

pergumulan kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan 

darah (Ibrani 12:3-4). 

 

Perikop ini menunjukkan bahwa penulis memperkirakan akan ada lebih banyak 

penganiayaan yang dialami pembacanya, dan ia sangat mengkhawatirkan hal ini.   

 

Pembaca mula-mula kitab Ibrani menghadapi beberapa masalah… 

penulis mengatakan dalam pasal 10 bahwa mereka telah mengalami 

berbagai bentuk penderitaan; beberapa dari mereka kehilangan 

harta benda, beberapa dipenjarakan, mereka mengalami cercaan dan 

cemoohan. Dan ia terus mendesak pembacanya agar bersedia 

menanggung kehinaan Kristus dan dikucilkan dari perkemahan. Ini 

yaitu  istilah Perjanjian Lama, namun  mungkin maksudnya yaitu  

dikucilkan dari rumah ibadat, dan jika mereka pergi ke Yerusalem, 

dikucilkan dari Bait Allah, yang saya yakin masih berdiri ketika surat 

ini ditulis. Jadi itulah bentuk penganiayaan yang mereka alami. Ia 

mengatakan dalam pasal 12 bahwa penderitaan mereka belum begitu 

parah hingga mencucurkan darah, namun ia menyadari betapa 

perlunya mereka diyakinkan bahwa mereka telah dibebaskan dari 

ketakutan akan maut, oleh kemenangan Yesus Kristus, seperti yang 

dikatakannya dalam pasal 2. Jadi, ada kemungkinan bahwa 

penganiayaan yang lebih hebat dan lebih kejam akan segera terjadi.    

 

— Dr. Dennis E. Johnson 

 

 

  

 

   

 

 

-10- 

 


Hampir Murtad 

 

Kelima, ketika para pembaca kitab Ibrani mengalami penganiayaan, sedikitnya 

beberapa dari mereka hampir murtad. Mereka bukan hanya kehilangan semangat atau 

lemah karena penderitaan, mereka juga rentan meninggalkan Kristus. Dalam Ibrani 

10:26-27 kita membaca peringatan ini:  

 

Jika kita sengaja berbuat dosa, sesudah memperoleh pengetahuan 

tentang kebenaran, maka tidak ada lagi korban untuk menghapus 

dosa itu. namun  yang ada ialah kematian yang mengerikan akan 

penghakiman dan api yang dahsyat yang akan menghanguskan 

semua orang durhaka (Ibrani 10:26-27).  

 

Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud penulis bukanlah pelanggaran atau dosa-

dosa kecil. Ia memperingatkan pembacanya dengan keras karena bagi mereka yang 

meninggalkan Kristus, “tidak ada lagi korban untuk menghapus dosa itu.” Jika mereka 

menolak iman Kristen, seperti yang hendak dilakukan beberapa orang pembaca, ini 

membuktikan bahwa mereka tidak pernah memiliki iman yang menyelamatkan. Jadi, bagi 

mereka hanya ada “kematian yang mengerikan akan penghakiman dan api yang dahsyat” 

yang disediakan bagi “semua orang durhaka.” 

Dalam pelajaran berikut akan kami jelaskan, bahwa ayat ini dan ayat-ayat lain 

yang senada tidak menyiratkan bahwa orang percaya yang sejati dapat kehilangan 

keselamatan mereka. Sebaliknya, ayat ini merujuk kepada mereka yang mengaku 

beriman dan mengalami banyak berkat, namun  tanpa kelahiran kembali dan pembenaran. 

Jelas bahwa ada diantara pembaca mula-mula kitab Ibrani yang tergoda untuk 

meninggalkan iman mereka.  

Setelah menyelidiki latar belakang kitab Ibrani dengan membahas tentang penulis 

dan pembaca mula-mula, kini kita akan beranjak kepada topik ketiga: waktu penulisan 

kitab Ibrani. 

 

 

WAKTU   

 

Meskipun waktu yang tepat tidak diketahui, waktu paling awal dan paling akhir 

penulisan kitab ini dapat ditetapkan dengan cukup jelas. Kita akan melihat lebih dahulu 

pada perkiraan waktu paling awal kitab ini, atau terminus a quo, dan kemudian pada 

perkiraan waktu paling akhir, atau terminus ad quem. Penetapan kedua waktu ini cukup 

meyakinkan berdasarkan bukti Kitab Suci dan bukti historis.  

Ibrani 13:23 memberi indikasi kuat mengenai waktu paling awal kitab ini. Dalam 

ayat ini penulis menulis: 

 

Ketahuilah, bahwa Timotius, saudara kita, telah dibebaskan. Segera 

sesudah ia datang, aku akan mengunjungi kamu bersama-sama 

dengan dia (Ibrani 13:23 - NIV).  

 

 

   

 

 

-11- 

 


Di sini kita melihat bahwa “Timotius telah dibebaskan” dari penjara baru-baru ini. 

Kita tidak mendengar tentang pemenjaraan Timotius di bagian mana pun dalam 

Perjanjian Baru. Bahkan, dalam surat Timotius yang kedua, surat Paulus yang terakhir 

yang ditulis menjelang kematiannya, Timotius bebas untuk melakukan perjalanan dan 

mengantarkan kebutuhan Paulus. Namun, ayat ini mengatakan bahwa pada waktu kitab 

Ibrani ditulis, Timotius telah dipenjarakan dan dibebaskan. Jadi, kitab Ibrani pasti ditulis 

setelah kematian Paulus, yaitu sekitar tahun 65 Masehi.  

Kemungkinan waktu paling akhir penulisan yaitu  sekitar tahun 95 Masehi, 

sebelum Clement dari Roma merujuk kepada kitab Ibrani dalam suratnya, 1 Clement. 

Selain itu, banyak penafsir mengamati bahwa, dalam Ibrani 5:1-3, penulis 

menggunakan kata kerja masa kini untuk mendeskripsikan kewajiban persembahan 

korban oleh imam besar. Hal ini penting karena di semua bagian lain dari suratnya 

penulis selalu menggunakan kata kerja Yunani untuk masa lampau ketika merujuk 

kepada peristiwa-peristiwa di masa lampau. Jadi, ada kemungkinan tugas-tugas imamat 

ini masih berlangsung ketika surat Ibrani ditulis.  

Di samping itu, dalam 8:13 penulis mendesak pembacanya supaya jangan kembali 

kepada praktik persembahan korban yang “tua dan usang” yang ditetapkan oleh kovenan 

Allah dengan Musa. Ia menjelaskan bahwa dalam terang kovenan baru, praktik-praktik 

lama ini “telah dekat kepada kemusnahannya.” Kita tahu bahwa tugas-tugas imam besar, 

dan seluruh tata cara persembahan korban oleh imam-imam Lewi, berakhir pada tahun 70 

Masehi ketika pasukan Roma menghancurkan Yerusalem dan Bait Suci. Jadi, 

berdasarkan bukti-bukti ini diperkirakan bahwa kurun waktu penulisan surat Ibrani 

yaitu  setelah kematian Paulus sekitar tahun 65 Masehi dan sebelum penghancuran Bait 

Suci di tahun 70 Masehi.  

Dalam pelajaran tentang latar belakang dan tujuan kitab Ibrani, kita telah 

meninjau beberapa aspek dari latar belakangnya. Sekarang kita akan membahas sasaran 

atau tujuan utama kitab ini. Mengapa kitab Ibrani ditulis?  

 

 

 

TUJUAN  

 

Dapat kita katakan bahwa kitab yang begitu panjang dan kompleks seperti kitab 

Ibrani, niscaya ditulis dengan banyak tujuan dalam benak penulis. namun  untuk pelajaran 

ini, kita lebih tertarik untuk merangkum tujuan utamanya. Setiap bagian kitab ini 

mempunyai penekanan masing-masing, dan kita akan menelusuri penekanan ini dalam 

pelajaran kita berikutnya. Sekarang kita hanya akan melihat bagaimana kitab ini secara 

keseluruhan dimaksudkan untuk mempengaruhi wawasan, perilaku dan emosi pembaca 

mula-mula.  

Para penafsir merangkum tujuan utama kitab Ibrani dalam berbagai cara. namun  

untuk pelajaran ini, tujuan mula-mula kitab ini kami deskripsikan sebagai berikut:   

 

Penulis kitab Ibrani menulis untuk menasihati pembacanya agar 

menolak ajaran Yahudi setempat dan tetap setia kepada Yesus.  

 


 

-12- 

 


Deskripsi tujuan ini menolong kita untuk mengenali pokok-pokok pikiran dalam 

kitab Ibrani.  

Seperti telah dikemukakan, penulis kitab Ibrani menulis untuk menasihati para 

pembacanya. Perkataan penulis dalam 13:22 menunjukkan ciri-ciri suratnya:  

 

Aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, supaya kata-kata nasihat 

ini kamu sambut dengan rela hati (Ibrani 13:22).  

 

Perhatikanlah bahwa di sini penulis “menasihatkan” pembacanya untuk menerima 

suratnya sebagai “kata-kata nasihat.” Kata-kata “aku menasihatkan” di sini berasal dari 

kata kerja Yunani parakaleō, bentuk kata kerja dari kata benda Yunani yang 

diterjemahkan “nasihat” dalam kalimat yang sama. 

Istilah nasihat menyiratkan arti “memerintahkan untuk berpihak kepada 

pembicara” atau “mengajak orang untuk menerima pandangan pembicara.” Ekspresi yang 

sama digunakan untuk mendeskripsikan seruan persuasif Yohanes Pembaptis yang 

mendesak supaya orang bertobat dalam Lukas 3:18.  

Menariknya, frasa “kata-kata nasihat” ini juga muncul dalam Kisah Para Rasul 

13:15 ketika para pejabat rumah ibadat di Pisidia, Antiokhia, mempersilakan Paulus dan 

rekan-rekannya untuk menyampaikan “pesan untuk membangun dan menghibur" seusai 

pembacaan Kitab Suci. Kemungkinan besar istilah “kata-kata nasihat” — atau “pesan 

untuk membangun” ini yaitu  istilah teknis di abad pertama untuk apa yang kita sebut 

khotbah di masa kini.  

 

Dalam 13:22 penulis menyebut tulisannya sebagai kata-kata nasihat, 

dan ini berarti surat Ibrani yaitu  nasihat; seperti khotbah. 

Kefasihan berbicara sebenarnya merupakan sarana untuk mengajak 

pembacanya supaya setia dalam komitmen mereka kepada Yesus 

sebagai Anak Allah, Tuhan dan Juruselamat mereka. Jadi, retorika 

dalam surat Ibrani, atau khotbah Ibrani, memberi peluang pada 

penulis untuk menguraikan topik-topik secara mendetail, untuk 

mengeksegese Kitab Suci Yahudi — maksudnya, menafsirkan Kitab 

Suci Yahudi sedemikian rupa sehingga jelas artinya — dan kemudian 

menyampaikannya secara tegas sehingga pembaca mengerti dengan 

jelas apa yang penulis ingin mereka lakukan. Ia ingin mereka 

berpegang teguh pada keselamatan yang ditawarkan Kristus kepada 

mereka, yang ditawarkan Allah di dalam Kristus.    

 

— Dr. Fredrick Long 

 

Setiap surat dalam Perjanjian Baru berisi nasihat kepada pembacanya. namun  

kitab Ibrani berbeda dari surat-surat Perjanjian Baru lainnya karena intensitas nasihat-

nasihatnya. 

Untuk menyelidiki tujuan penulis, mari kita amati dengan lebih saksama 

intensitas nasihat-nasihat yang begitu menyolok dalam kitab ini. Kemudian, kita akan 

 

   

 

 

-13- 

 


meneliti sasaran nasihat-nasihat ini, bagaimana penulis berharap pembacanya akan 

berespon. Mari kita lihat lebih dahulu intensitas nasihat penulis kepada pembacanya. 

  

 

INTENSITAS NASIHAT 

 

Untuk menjelaskan apa yang kami maksud dengan intensitas nasihat penulis, kita 

akan melihat pada dua pokok: pertama, frekuensi nasihat dalam kitab ini, dan kedua, gaya 

retorik penulis yang berkaitan dengan nasihatnya. Mari kita mulai dengan meneliti 

frekuensi nasihatnya.  

 

 

Frekuensi  

 

Frekuensi nasihat penulis menolong kita untuk memahami betapa mendesaknya 

pesan yang disampaikannya. Nasihat-nasihat ini ada kalanya tersirat secara tidak 

langsung, namun  sedikitnya 30 kali ditemukan nasihat yang eksplisit. Sering kali, penulis 

menggunakan apa yang oleh ahli-ahli tatabahasa Yunani dinamakan “hortatory 

subjunctive,” yaitu bentuk pengandaian kata kerja yang bersifat menasihati. Bentuk-

bentuk kata kerja ini mendesak atau mengimbau dan sering kali diterjemahkan “marilah 

kita” atau “baiklah kita” melakukan ini atau itu. Contohnya, dalam 4:14, 16, kita 

membaca dua nasihat seperti itu:  

 

Baiklah kita teguh berpegang pada pengakuan iman kita… Sebab itu 

marilah kita dengan penuh keberanian menghampiri takhta kasih 

karunia (Ibrani 4:14, 16). 

 

Penulis juga menasihati pembacanya dengan menggunakan kata kerja perintah, 

yang sering kita terjemahkan sebagai perintah langsung. Contohnya, dalam 12:12-16, kita 

membaca rangkaian nasihat ini:  

 

Kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah; dan 

luruskanlah jalan bagi kakimu … Berusahalah hidup damai dengan 

semua orang dan kejarlah kekudusan … Jagalah supaya jangan ada 

seorangpun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan 

tumbuh akar yang pahit … Janganlah ada orang yang menjadi cabul 

atau yang mempunyai nafsu yang rendah seperti Esau (Ibrani 12:12-

16).  

 

Salah satu alasan mengapa penting untuk mengingat betapa seringnya penulis 

secara langsung menasihati pembacanya, yaitu  karena perenungan teologis yang 

kompleks dari kitab ini sering kali mengaburkan tujuan penulis. Ia tidak hanya sekadar 

menyampaikan doktrin teologis kepada pembacanya. Ia mengajar mereka dengan maksud 

membujuk mereka untuk mengubah perilaku dan tindakan mereka. Karena itulah ia 

 

   

 

 

-14- 

 


menyebut suratnya “kata-kata nasihat.” Jika kita tidak memperhatikan unsur mendesak 

ini, kita akan kehilangan sebuah dimensi penting dari kitab Ibrani.  

Kita telah melihat bagaimana intensitas nasihat penulis tercermin dalam seringnya 

ia menasihati pembacanya. Sekarang mari kita lihat bagaimana gaya retorik penulis juga 

mengungkapkan kerinduannya untuk menasihati pembacanya.  

 

 

Gaya Retorik 

 

Kitab Ibrani sering dikatakan sebagai tulisan yang sangat retorik. Artinya tulisan 

ini menggunakan banyak bentuk sastra abad pertama yang diasosiasikan dengan argumen 

yang persuasif atau perdebatan yang mendesak. Banyak bentuk retorik seperti ini didapati 

dalam kitab-kitab Perjanjian Baru lainnya, namun  jauh lebih banyak lagi di dalam kitab 

Ibrani.  

 

Kitab Ibrani mungkin merupakan contoh terbaik dalam Perjanjian 

Baru dari seorang penulis yang memiliki kecakapan sastra dan 

ketrampilan retorika yang tinggi, dan itu sangat membantu dia 

mencapai tujuannya. Ia berusaha menunjukkan keunggulan Kristus 

dan kovenan baru atas kovenan lama, dan ia melakukannya antara 

lain dengan menyampaikan argumen sastra yang sangat kuat dan 

meyakinkan. Dan ia menggunakan berbagai macam bentuk 

struktural untuk mencapai tujuan itu… Jadi, tulisannya tersusun 

dengan indah, menggunakan retorika untuk menarik minat 

pembacanya, dan meyakinkan mereka agar menerima argumennya.  

 

— Dr. Mark L. Strauss  

 

Salah satu bentuk retorika, yang dinamakan synkrisis dalam bahasa Yunani, 

yaitu  perbandingan mendetail di antara dua hal atau lebih yang bertujuan meyakinkan 

pembaca untuk menerima pandangan si pembicara. Contohnya, synkrisis muncul di 

Ibrani 7:11-28. Di sini, penulis menegaskan bahwa Yesus yaitu  imam dan raja seperti 

Melkisedek, seorang imam sekaligus raja yang dicatat dalam kitab Kejadian. Penulis 

kitab Ibrani tidak hanya sekadar mengutarakan keyakinannya, ia memaparkan kepada 

pembacanya delapan titik perbandingan yang meyakinkan di antara Melkisedek dan 

Kristus, yaitu orang tua mereka, garis silsilah, kelahiran, kematian, jabatan, perbuatan, 

kedudukan dan pencapaian mereka. Perbandingan mendetail ini dimaksudkan untuk 

menghapus setiap keraguan tentang pernyataan bahwa Yesus yaitu  Imam Besar dan raja 

yang agung.  

Satu bentuk retorika lain dalam kitab Ibrani dikenal sebagai exempla. Exempla 

yaitu  daftar sederetan ilustrasi atau contoh yang bertujuan membangun argumentasi 

yang meyakinkan untuk sudut pandang tertentu. Teknik kefasihan oratoris ini terlihat 

dalam daftar pahlawan iman yang setia dalam Ibrani 11. Di sini penulis menyebutkan 

nama-nama: Habel, Henokh, Nuh, Abraham, Sara, Ishak, Yakub, Yusuf, Musa, umat 

Israel, Rahab, Gideon, Barak, Samson, Yefta, Daud, Samuel dan para nabi. Daftar 

 

   

 

 

-15- 

 


panjang ini dimaksudkan untuk meyakinkan pembaca bahwa hamba-hamba Allah harus 

tetap setia meskipun mengalami penganiayaan.  

Bentuk retorika ketiga yang digunakan penulis dikenal dengan istilah Ibrani qol 

wahomer. Istilah ini sangat dikenal di dalam tradisi Yunani-Romawi maupun tradisi 

Talmud dan dapat diterjemahkan “ringan sampai berat,” “kecil sampai besar,” atau 

“sederhana hingga rumit.” Argumentasi seperti ini diawali dengan satu pernyataan dasar 

sederhana yang tidak diperbantahkan oleh pembaca. Kemudian penulis menggiring 

kepada kesimpulan yang lebih kompleks yang tadinya diragukan oleh pembaca, namun  

kini mereka dapat menerimanya dengan lebih mudah. Singkatnya, argumentasi ini 

mengatakan bahwa karena pernyataan dasar yang sederhana itu benar, maka niscaya 

kesimpulan yang lebih sulit itu juga benar. Simaklah bagaimana bentuk retorika ini 

terlihat dalam Ibrani 10:28-29: 

 

Orang yang menolak hukum Musa, ia dihukum mati tanpa belas 

kasihan atas keterangan dua atau tiga orang saksi. Betapa lebih 

beratnya hukuman yang harus dijatuhkan atas dia, yang menginjak-

injak Anak Allah? (Ibrani 10:28-29). 

 

Di sini penulis mulai dengan sebuah pernyataan dasar yang dipahami pembaca: 

hukuman bagi orang yang menolak hukum Musa yaitu  hukuman mati. Kemudian ia 

mendesak pembacanya lebih lanjut dengan mengatakan “betapa lebih beratnya hukuman 

yang harus dijatuhkan atas dia, yang menginjak-injak” seorang yang lebih besar daripada 

Musa — “Anak Allah.” 

Contoh-contoh ini menolong kita melihat urgensi dari tujuan penulis. Ia yakin 

pembacanya menghadapi situasi yang gawat dan sudah waktunya mereka mengambil 

keputusan yang teramat sulit. Maka ia berusaha sekuat-kuatnya untuk mendesak dan 

mendorong mereka agar membuat pilihan yang benar.  

 Telah kita lihat bagaimana tujuan penulis dikuatkan oleh intensitas nasihatnya, 

maka kini kita beranjak kepada bagian kedua: tujuan nasihat.   

 

 

TUJUAN NASIHAT 

 

Telah kita lihat tadi bahwa tujuan utama kitab Ibrani dapat didefinisikan sebagai 

berikut:  

 

Penulis kitab Ibrani menulis untuk menasihati pembacanya agar 

menolak ajaran Yahudi setempat dan tetap setia kepada Yesus.   

 

Menurut definisi ini, nasihat penulis mempunyai tujuan ganda. Ia ingin 

pembacanya menolak ajaran Yahudi setempat dan ia juga ingin mereka tetap setia kepada 

Yesus sebagai Mesias. Mari kita perhatikan bagaimana penulis mendesak pembacanya 

untuk menolak ajaran Yahudi setempat.  

  

 

 

   

 

 

-16- 

 


Menolak Ajaran Setempat 

 

Kita tahu pembaca kitab Ibrani telah menderita penganiayaan dan penganiayaan 

ini mendorong mereka untuk murtad. namun  pencobaan ini tidak seperti yangkita 

bayangkan. Tampaknya ketika surat Ibrani ditulis, orang Kristen dapat menghindari 

penganiayaan jika mereka menolak kepercayaan Kristen mereka dan menyamakan diri 

dengan komunitas Yahudi setempat.  

Di abad pertama, orang Yahudi sering diwajibkan membayar pajak khusus, dan 

ada kalanya mereka menderita penganiayaan. Namun sering kali, komunitas Yahudi di 

Kekaisaran Roma dapat mengamalkan iman mereka dengan leluasa. Orang Kristen pun 

leluasa pada awalnya, karena mereka dianggap sama dengan Yudaisme. namun  seiring 

bergulirnya waktu, identifikasi orang Kristen sebagai sekte Yahudi mulai menghilang. 

Bahkan, dalam kitab Kisah Para Rasul tercatat bahwa di zaman Paulus pun, rumah-rumah 

ibadat Yahudi menolak pengikut Kristus dan mendesak pihak berwajib setempat untuk 

menindas mereka. Kemungkinan besar situasi seperti inilah yang dialami pembaca mula-

mula kitab Ibrani. Dan penderitaan mereka yang berkepanjangan membuat mereka 

tergoda untuk menerima ajaran komunitas Yahudi setempat, yang bertentangan dengan 

iman Kristen.  

Menariknya, penulis kitab Ibrani tidak membicarakan pokok-pokok persoalan 

yang lazimnya diasosiasikan dengan kemunafikan dan legalisme Yahudi. Betapa pun 

pentingnya, hal-hal ini bukan merupakan pembahasan utama dalam kitab Ibrani. 

Sebaliknya, penulis terutama membahas kepercayaan dan praktik yang keliru, 

teristimewa yang berkembang dalam komunitas Yahudi di luar ajaran konvensional 

Yudaisme di Palestina. Simaklah kata-kata penulis dalam Ibrani 13:9: 

 

Janganlah kamu disesatkan oleh berbagai-bagai ajaran asing. Sebab 

yang baik ialah, bahwa hati kamu diperkuat dengan kasih karunia 

dan bukan dengan pelbagai makanan yang tidak memberi faedah 

kepada mereka yang menuruti aturan-aturan makanan macam itu 

(Ibrani 13:9).  

 

Dalam ayat ini, penulis membandingkan “diperkuat dengan kasih karunia” dengan 

diperkuat “dengan pelbagai makanan.” Fokus khusus ini terkesan akrab di telinga. namun  

perhatikanlah bahwa ini hanya satu contoh dari apa yang dinamakannya “berbagai-bagai 

ajaran asing.” Dengan kata lain, ajaran asing atau tidak lazim, yang diajarkan oleh 

komunitas Yahudi setempat. Jadi, apakah “ajaran asing” yang cenderung diikuti pembaca 

ini?  

Di paruh kedua abad lalu, sejumlah wawasan yang bermanfaat terkait pertanyaan 

ini menjadi jelas dengan ditemukannya Gulungan Naskah Laut Mati di Qumran. 

Kumpulan naskah yang sudah lama sekali hilang ini mencakup naskah Perjanjian Lama, 

dan juga tulisan ekstra-biblika, yang merupakan ajaran khas komunitas Yahudi yang 

bermukim di sekitar Laut Mati, yang tidak mempunyai hak pilih. Gulungan ini antara lain 

memuat kitab-kitab The Rule of the Community, The Damascus Covenant, War Scroll, 

The Midrash on Melchizedek, dan juga beberapa bagian dari 1 Enoch yang dinamakan 

“The Book of the Watchers” dan “The Book of Dreams”. Kitab-kitab ini memuat 

 

   

 

 

-17- 

 


sejumlah pengajaran yang senada dengan pokok-pokok teologis yang dipaparkan dalam 

kitab Ibrani.  

Penting untuk diingat bahwa ajaran-ajaran ini bukan eksklusif dari komunitas ini 

saja. Kelompok Yahudi yang lain di wilayah Mediterania juga menganut pandangan 

serupa. Bahkan, kitab Efesus dan Kolose membicarakan masalah-masalah serupa yang 

terjadi di lokasi mereka. namun  kita akan lebih memahami banyak nasihat kitab Ibrani 

yang melawan kepercayaan Yahudi setempat jika kita mengamati beberapa pokok serupa 

yang didapati dalam kitab Ibrani maupun dalam kitab-kitab yang ditemukan di Qumran.  

 

Gulungan Naskah Laut Mati yaitu  naskah-naskah yang sangat 

menarik yang ditemukan di gurun Qumran, dan tulisan ini yaitu  

karya sekte Yahudi radikal yang menganggap diri mereka 

bertentangan dengan ajaran konvensional Yahudi, teristimewa 

tentang Bait Suci. Para pengikut sekte di Qumran ini menganggap 

diri mereka sebagai bait suci yang baru di bawah kovenan baru, ini 

agak mirip dengan kitab Ibrani. Namun, juga ada banyak perbedaan, 

karena kelompok Qumran ingin menghidupkan kembali beberapa 

aspek ritual kovenan lama, dan bukan membiarkannya menjadi 

usang dan tak terpakai seperti dikatakan penulis kitab Ibrani.    

 

— Dr. Sean McDonough  

 

Untuk pelajaran ini, kita hanya akan menyinggung secara singkat empat topik 

yang terdapat dalam kitab Ibrani dan juga dalam naskah Qumran.  

 

Makanan Ritual. Pertama, kita telah melihat bahwa dalam Ibrani 13:9, penulis 

menentang memakan makanan yang digunakan dalam ritual keagamaan.  

Banyak praktik keagamaan di Qumran dideskripsikan dalam kitab berjudul 

The Rule of the Community. Antara lain, komunitas Qumran secara teratur mengadakan 

perjamuan makan bersama di mana mereka makan makanan khusus yang telah disucikan.  

 

Ajaran Dasar. Kedua, berbagai ajaran dasar yang dibahas dalam kitab Ibrani juga 

ditemukan dalam naskah Qumran. 

Contohnya, dalam Ibrani 6:1-2, penulis menyebutkan pertobatan, kepercayaan, 

upacara pembasuhan (atau baptisan), penumpangan tangan, kebangkitan orang mati dan 

hukuman kekal. Menariknya, The Rule of the Community dan War Scroll di Qumran 

menaruh perhatian besar pada topik ini dan subjek-subjek serupa dalam cara yang 

berbeda dari ajaran konvensional Yudaisme di Palestina.  

 

Malaikat. Ketiga, literatur Qumran menolong kita memahami fokus pada 

malaikat di dalam kitab Ibrani. Sejumlah ayat kitab Ibrani berbicara tentang kepercayaan 

kepada malaikat. Fokus ini yaitu  tanggapan atas kepercayaan yang serupa dengan ajaran 

dalam kitab-kitab seperti The Rule of the Community, The Damascus Covenant, dan War 

Scroll, dan juga beberapa bagian dari 1 Enoch yang dinamakan “The Book of the 

Watchers” dan “The Book of Dreams.” Kitab-kitab ini menyanjung kuasa malaikat-

malaikat yang baik dan jahat, peran mereka sebagai utusan penyataan ilahi, dan 

 

   

 

 

-18- 

 


pengaruhnya atas manusia yang lebih rendah dari mereka. Tampaknya, pembaca mula-

mula kitab Ibrani tertarik pada ajaran seperti ini. 

 

Melkisedek. Keempat, naskah Qumran membantu kita memahami mengapa 

penulis kitab Ibrani sangat tertarik pada tokoh Perjanjian Lama Melkisedek.  

Sejak dahulu para penafsir mengalami kesulitan dalam menjelaskan mengapa 

perbandingan di antara Melkisedek dan Yesus begitu penting bagi penulis. namun  satu 

naskah yang ditemukan di Qumran, yang dinamakan 11QMelchizedek atau The Midrash 

on Melchizedek, mengajarkan ajaran palsu bahwa Melkisedek yaitu  sosok surgawi yang 

akan muncul di akhir zaman untuk memproklamirkan Hari Pendamaian dan 

melaksanakan pendamaian akhir bagi umat Allah. Kelihatannya, pembaca mula-mula 

kitab Ibrani cenderung mempercayai ajaran ini atau ajaran palsu serupa.  

Mengenali ajaran palsu yang marak di kalangan komunitas Yahudi ini membantu 

kita memahami mengapa penulis kitab Ibrani menasihati pembacanya untuk menolak 

ajaran ini dan tetap setia kepada Yesus.  

 

Ada beberapa kesejajaran yang menarik di antara ajaran dalam 

Gulungan Naskah Laut Mati dan ajaran dalam kitab Ibrani. 

Mungkin yang paling signifikan yaitu , kedua komunitas ini 

menyadari, atau meyakini, bahwa mereka hidup di zaman akhir, 

bahwa keselamatan akhir dari Allah akan segera terlaksana. Bedanya 

dalam Ibrani kita melihat keselamatan Allah telah tiba, sedangkan di 

Gulungan Naskah Laut Mati, mereka mengharapkan hal ini bisa 

terjadi setiap saat. namun  perbandingan yang paling menarik di 

antara kedua kitab ini yaitu  peran sosok Melkisedek. Penulis kitab 

Ibrani mengutarakan teologi Melkisedek, karena imamat agung 

Yesus tidak menurut peraturan Harun, tidak sesuai tradisi Perjanjian 

Lama, melainkan menurut peraturan Melkisedek. Kita lihat 

Melkisedek yaitu  imam besar yang sah, yang menyongsong 

Abraham dalam kitab Kejadian — dan karena itu, penulis membuat 

perbandingan dengan Melkisedek. Nah, di antara Gulungan Naskah 

Laut Mati, ada satu kitab — dikenal sebagai 11Q Melchizedek karena 

kitab ini ditemukan dalam gua nomor 11 — yang menggambarkan 

Melkisedek sebagai sosok surgawi yang hebat, yang mulia, seperti 

Mesias, yang membawa keselamatan. Perbandingan ini menarik 

sebab dalam kitab Ibrani Melkisedek yaitu  gambaran Kristus, 

sedangkan dalam Gulungan Naskah Laut Mati ia menjadi sosok 

mesias. Karena itu para cendekiawan mempertanyakan hubungan 

antara sosok Melkisedek dalam kitab Ibrani dan Melkisedek yang 

ditampilkan dalam Gulungan Naskah Laut Mati. Perbandingan yang 

menarik.  

 

— Dr. Mark L. Strauss 

  

 

   

 

 

-19- 

 


Tujuan nasihat kitab Ibrani bukan hanya mendesak pembaca untuk menolak 

ajaran Yahudi setempat. Yang lebih penting, penulis ingin mereka tetap setia kepada 

Yesus sebagai Mesias.  

 

 

Tetap Setia kepada Yesus  

 

Untuk mencapai tujuannya mengajak pembaca agar setia melayani Yesus, penulis 

surat Ibrani menyusun nasihatnya dalam lima bagian utama. Kita akan meneliti setiap 

bagian ini secara rinci dalam pelajaran kita berikutnya. Sekarang kita hanya akan 

merangkum inti setiap bagian.  

Dalam Ibrani 1:1–2:18, penulis mengajak pembacanya untuk meneguhkan 

keunggulan Kristus atas penyataan-penyataan malaikat. 

Telah kita singgung tadi bahwa kitab Ibrani memperingatkan terhadap 

kepercayaan palsu tentang malaikat. Sejumlah tulisan Yahudi sering menyanjung 

malaikat sebagai makhluk mulia yang besar kuasanya, yang membawa penyataan ilahi 

kepada manusia. Penghormatan bagi malaikat ini menimbulkan tantangan besar bagi 

pengikut Kristus. Yesus terdiri dari daging dan darah. Bagaimana mungkin orang lebih 

mengikuti apa yang dikatakan-Nya ketimbang penyataan malaikat? Penulis menanggapi 

ajaran Yahudi setempat ini dengan menunjukkan dari Perjanjian Lama, dan dari 

kehidupan Yesus, kematian-Nya, kebangkitan-Nya, kenaikan-Nya ke surga, dan 

kedatangan-Nya kembali dalam kemuliaan, bahwa Dia lebih tinggi dari malaikat.  

Bagian utama kedua, dalam Ibrani 3:1–4:13, menunjukkan bahwa Yesus memiliki 

otoritas lebih besar daripada Musa.  

Semua orang mengetahui bahwa pengikut Yesus tidak melaksanakan ritual 

pengorbanan yang telah Allah tetapkan melalui Musa. Komunitas Yahudi setempat 

mendesak orang Kristen untuk kembali kepada Musa dan cara-caranya. Penulis 

menanggapi dengan meneguhkan bahwa Musa yaitu  hamba Allah yang setia. namun  

Yesus lebih besar lagi sebab Ia yaitu  Anak Allah dan raja.  

 Setelah berbicara tentang malaikat dan Musa, penulis kembali kepada imamat 

Melkisedek dalam Ibrani 4:14–7:28. 

Dalam bagian ini penulis menegaskan bahwa Yesus yaitu  Imam Rajani yang 

tertinggi menurut peraturan Melkisedek. Rupa-rupanya komunitas Yahudi setempat 

menghendaki para pembaca mula-mula menolak Yesus sebagai Mesias oleh karena 

kepercayaan mereka tentang tampilnya Melkisedek sebagai imam besar rajani yang 

agung di akhir zaman. Penulis menanggapi dengan menunjukkan bahwa Yesus yaitu  

Imam Besar Rajani yang sejati, yang datang di akhir zaman untuk mengadakan 

pendamaian kekal bagi dosa.  

Dalam Ibrani 8:1–11:40, penulis menjelaskan keunggulan kovenan baru dalam 

Yesus.  

Ajaran komunitas Yahudi setempat meragukan keyakinan orang Kristen bahwa 

Yesus telah datang untuk menjadi pengantara kovenan baru yang dijanjikan oleh 

Yeremia. namun  penulis Ibrani menekankan bahwa Yesus benar-benar yaitu  pengantara 

kovenan baru. 

 

   

 

 

-20- 

 


Dalam bagian utama terakhir, Ibrani 12:1–13:25, kitab Ibrani memaparkan 

sejumlah cara yang diperlukan pembaca untuk mempraktikkan iman dan ketekunan. 

Bagian ini terdiri dari rentetan panjang nasihat, disertai penjelasan untuk nasihat-

nasihat tersebut. Mengingat banyaknya tantangan terhadap iman mereka dari komunitas 

Yahudi setempat dan lain-lain, penulis menulis untuk menguatkan dan menyemangati 

pembacanya. Ia menasihati mereka agar tetap setia kepada Yesus sebagai Mesias dengan 

mengingatkan mereka akan janji-janji dan berkat Allah di dalam Yesus.  

 

Melalui nasihat-nasihatnya, penulis surat Ibrani mendorong 

pembacanya untuk bertekun. Sebagian dari bahasanya lemah lembut, 

memohon, membesarkan hati, namun  sebagian lagi, terus terang, 

sangat menakutkan. Ini dimulai dari awal, Ibrani 2 — “Jika orang-

orang kudus zaman Perjanjian Lama saja murtad, betapa lebih 

berbahayanya jika kita, ahli-ahli waris dari kovenan baru, yang 

mengenal Tuhan Yesus, menyia-nyiakan keselamatan yang sebesar 

itu, yang telah disediakan bagi kita?” Dan jenis argumentasi kuat 

seperti ini, “Jika begini, terlebih lagi begitu,” muncul berulang kali 

dalam kitab ini. Dan ada dua perikop yang sering dirujuk sebagai 

“perikop kemurtadan” dalam Ibrani 6 dan Ibrani 10 yang 

memperingatkan akan bahayanya bagi mereka yang telah mengaku 

percaya kepada Kristus — dan kelihatannya mengikut Dia untuk 

sementara waktu — tapi kemudian murtad. Jadi, dalam kisah 

Perjanjian Lama di bagian akhir Ibrani 3, penulis mengatakan, 

jangan seperti orang-orang kudus Perjanjian Lama yang dibebaskan 

dari Mesir dan lepas dari perbudakan namun tidak masuk ke Tanah 

Perjanjian karena mereka tidak teguh berpegang pada imannya. 

Mereka murtad di padang gurun. Satu generasi dibinasakan 

seluruhnya. Inilah kesejajaran pastoral yang menunjukkan bahwa 

caranya memberi semangat bukan sekadar lunak atau lembut, ada 

kehangatan dan dorongan, dan penekanan pada kemuliaan Kristus 

supaya orang tertarik kepada-Nya. namun  juga ada ancaman dan 

peringatan bahwa ini hal yang serius dan tidak main-main.    

 

— Dr. D. A. Carson 

 

 

 

KESIMPULAN 

  

Dalam pelajaran tentang latar belakang dan tujuan kitab Ibrani, kita telah meneliti 

latar belakang kitab Ibrani, termasuk penulisnya, pembacanya dan waktu penulisan. Kita 

juga telah berfokus pada sasaran awal kitab Ibrani dengan menyelidiki bagaimana penulis 

menulis surat ini untuk menasihati pembacanya agar berpaling dari ajaran Yahudi 

setempat dan meneguhkan kembali kesetiaan mereka kepada Yesus sebagai Mesias.