Tampilkan postingan dengan label Yudaisme Studi Agama 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Yudaisme Studi Agama 2. Tampilkan semua postingan

Yudaisme Studi Agama 2

 


dak adikodrati yaitu  prerogratif yang 

tidak dapat menghilangkan kuasa Tuhan atas manusia 

dan alam semesta. Mengapa kemudian sejumlah tindakan 

yang menyalahi dan berseberangan dengan tata kosmos 

itu tersadari sebagai dosa-dosa? Apakah perbuatan dosa 

Yudaisme kemudian memisahkan manusia dengan Tuhan-

nya? Bagaimana dosa-dosa menjelma sebagai aspektual 

pertobatan? 

Penanggung dosa dalam Yudaisme dapat berupa 

pelbagai tingkatan. Tingkatan dosa dari kecil, sedang 

dan besar ini  mempunyai satu kata kunci yang 

sama untuk menuju pertobatan dan penyembuhan atas 

perbuatan dosa. Manusia mengalami penderitaan dalam 

sejarah panjang Yudaisme ternyata merupakan kandungan 

sudut pandang transendensi. Ia yaitu  syarat utama untuk 

48 • 

:


kemudian pertobatan dan pemaafan diterima oleh Yahweh. 

Mitos penderitaan dengan demikian yaitu  pengalaman 

transendensi bukan semata beban derita lahiriah. Secara 

esoterik, dosa menghubungkan seperti doa-doa, antara 

pendosa dan posisi asimetris Yahweh atas manusia Yahudi. 

Pengampunan sebagai harapan semua pendosa, dapat 

terwadahi dalam kasih dan kuasa Tuhan dengan reservasi 

sikap kesungguhan dan penyesalan. Ketulusan yaitu  

aspektual pendosa yang wajib dilakukan demi harapan 

pemenuhan pertobatan manusia Yahudi.

Pengalaman pertobatan Yudaisme yaitu  konsep 

yang sekali lagi menunjukkan keunikan sudut pandang. 

Apabila kuasa Tuhan dipercaya oleh Yudaisme sebagai 

penghambaan total dalam pelbagai ritual dan doa, namun 

dalam konteks pendosa, justru sebagian kecil berada 

di ranah adikodrati. Yang lebih besar dalam dosa dan 

pertobatan yaitu  peran manusia yang jujur dengan 

suara nuraninya. Selain melalui Rahmat transendensi, 

para pendosa perlu lebih menerapkan pembaharuan 

hidup. Pengalaman mendosa dengan tindakan, pikiran 

dan perbuatan dosa, bagi sementara Yudaisme, menuju 

pada permohonan maaf dan tobat yaitu  upaya berdamai 

dengan kuasa Tuhan. 

Bagi para pendosa, jalan-jalan permaafan trans-

cendental merupakan tujuan utama. Pada hari Pertobatan, 

perintah-perintah untuk mengeyahkan anasir kejahatan 

menjadi seruan yang dengan mudah terdengar termasuk 

dalam perayaan Tahun Baru. Retrospeksi Yudaisme dengan 

penyesalan yang tulus yaitu  penanda tahun-tahun penuh 

49

:


perbuatan dosa baik yang dilakukan secara sadar maupun 

sebaliknya. Bagi Yahweh, keselamatan atas para pendosa 

berintikan permohonan pemaafan disertai dengan 

perasaan penyesalan mendalam. Yudaisme dengan kasih 

adikodrati mampu bertahan dengan riwayat sakralitas 

penderitaan sebagai bagian tak terpisahkan dari pertobatan 

atas perbuatan-perbuatan dosa. 

Mitos penderitaan Yudaisme sebagai bagian per-

tobatan, sebenarnya dapat pula terbaca dari pengalaman-

pengalaman agama lainnya. Bagaimana jalan keselamatan 

agama-agama seringkali terawali dengan pengakuan dosa 

dan pertobatan. Konsep Nirvana dalam Buddha yaitu  

akhir dari penderitaan dan kesusahan, sebagaimana janji-

janji Tuhan akan pemaafan dan Kasih. Bentuk netralisasi 

tindakan dosa yang diperbuat oleh manusia dengan 

demikian yaitu  wujud keterbatasan manusia di hadapan 

adikodrati. 

Pengalaman penganut Yudaisme, selain pada 

kegembiraan pada peristiwa kelahiran, sirkumsisi/khitan 

Yahudi dan pernikahan, menunjukkan secara emotif pada 

episode kematian. De Lange menggarisbawahi peristiwa 

berduka sebagai pengalaman beragama distingtif. Pada satu 

sisi, seperti pengalaman agama-agama lainnya, Yudaisme 

melihat momen kematian serta pengalaman pemakaman 

sebagai ciri khusus ajaran, namun terdapat pula kesamaan 

dengan apa yang menjadi contoh aspek emotif agama 

lain. Yudaisme berbeda dalam persoalan kremasi, berupa 

pembakaran orang yang telah meninggal dunia menjadi 

abu. Ortodoksi menolak pengabuan, sementara konservatif 

50 • 

:


dan sekte Reformasi sama sekali tidak keberatan. Selain 

perabuan, pengalaman upacara kematian Yudaisme 

selanjutnya sama dengan Kristen dalam hal pemulasaraan 

dan peti jenazah. Perbedaan pengalaman ritus kematian 

Yudaisme dengan Kristen yaitu  ketiadaan kosmetik bagi 

yang telah meninggal dunia. Adapun ciri khas perkabungan 

Yudaisme yaitu  pengalaman sakral menaburkan lembaran 

kitab suci usang serta menyertakan sejumlah kecil tanah 

dari Tempat Suci di peti jenazah.54 Aspek perbandingan 

pengalaman pemakaman Yudaisme mengisyaratkan 

sejumlah pengamatan pengalaman pemakaman agama-

agama yang menemukan titik temu seperti pada 

penghormatan dan doa-doa, di sisi lain penekanan ciri khas 

seperti pada nisan, tanah dan potongan kitab suci menjadi 

penanda khas Yudaisme. 

Perasaan bersalah yaitu  salah satu konsep emotif. 

Pelanggaran pada hukum Tuhan menjadi penyebab 

kesadaran atas penghukuman dari adikodrati. Pada 

sebagian pendosa akan merelasikan perbuatan-perbuatan 

kejahatan dengan sejumlah malapetaka yang menimpa 

manusia. Penghindaran pada dosa-dosa yaitu  jalan 

keselamatan agama-agama. Sebagaimana tidak mungkin 

apabila manusia sepenuhnya jauh dari perbuatan dosa, 

kesalehan orang yang taat agama merupakan jalan 

penyingkiran dosa-dosa. Sifat mekanistis penghapusan 

dosa menyertai harapan Yudaisme untuk dengan tulus 

membaca dan mendengarkan teks-teks agama. Sarana 

rohaniah lainnya dapat mengatasi problem bersalah 



dan dosa dengan aspek pemaknaan mendalam atas jalan 

kuasa adikodrati. Atas kuasa Tuhan jua lah, anugerah 

pengampunan dan penilaian pertobatan manusia dapat 

menjadi pedoman utama. Pengalaman beragama tidak 

dapat melepaskan diri dari konsep kuasa Tuhan, mitos, 

keselamatan, doa dan dosa.

C. Dimensi Naratif-Mitos 

Agama-agama secara umum, terkandung di 

dalamnya cerita-cerita, kisah-kisah, baik yang berupa 

pertama, kisah berkenaan dengan yang Kuasa atau yang 

Transenden dalam pelbagai bentuk maupun kedua, kisah 

yang termasuk ranah mitos. Yang terakhir disebutkan, 

kisah-kisah mitos, dapat berisikan sejarah sekuler yang 

dipakai sebagai pandangan dunia penganutnya seperti 

nasionalisme. Dalam tataran tertentu, irisan yang sakral 

dan yang profan dapat membentuk pelbagai narasi dan 

mitos keagamaan. 

Dalam konteks agama Yahudi, maka kisah-kisah 

Israel kuno yang ditemukan dalam “Hebrew Bible” 

termasuk dalam contoh ranah mitos. Kisah selanjutnya 

seperti momen narasi Akedah dimana Ibrahim dalam 

melaksanaan perintah pengorbanan kemudian melakukan 

dialog dengan Isaac, yang kemudian menyertai tindakan 

mitos pengorbanan dalam sudut pandang narasi 

Yudaisme55 Mitos, dalam konteks studi agama, bukanlah 

mitos dalam makna “false stories”. Namun mitos dimaksud 



dalam sudut pandang ini yaitu  mitos dalam makna netral 

yang merujuk pada kisah sakral atau yang mengandung 

sigifikansi keTuhanan tanpa bermaksud bahwa mitos 

itu benar ataukah salah.56 Contoh mitos Yahudi yaitu  

mitos yang terkait dengan penggambaran gunung, dengan 

bagian puncaknya merujuk pada persemayaman Dewa-

Dewa maupun Dewa sebagai pusat dunia—seperti halnya 

Gunung Sinai atau Mount Zion di Israel.57 Mitos keberadaan 

adikodrati kemudian berkenaan dengan ritual. Salah 

satunya yaitu  ritual kurban yang menggabungkan kuasa 

adikodati hadir dalam sang pengkorban dan korban. Oleh 

penyelenggara ritual, konsep sakral kemudian mengubah 

dimensi material korban menjadi penghantaran menuju 

yang religius. Mitos kemudian terkait pula dengan kesucian. 

Tampaknya cukup menarik untuk mengerjakan konsep 

mitos kesucian ini. Ia dapat menjelaskan posisi asimetris 

manusia dengan yang adikodrati, namun pada saat yang 

sama mempertimbangkan pula aspek kesatuan dengan 

transendensi. Meskipun bersifat temporer, persinggahan 

pada yang kudus ini yaitu  jembatan antara yang adikodrati 

dengan profanitas. 

Dalam konteks mitos ini, diperlukan pula apa yang 

disebut sebagai teori interpretasi atau Hermeneutika. 

Dalam ranah studi Yahudi, apa yang disampaikan oleh 

Martin Buber (1878-1965), tentang relasi “perjumpaan 

antara I-Thou” merupakan bentuk-bentuk penjelasan 

tentang relasi manusia dengan Tuhan: suatu relasi Kasih. 


Sementara Smart mempercayai bahwa mitos, lebih 

merupakan salah satu penggalan keberadaan Tuhan, 

karena mitos itu berkenaan dengan dunia lahiriah yang 

dicapai melalui kuasa-kuasa spiritual dan kekuatan yang 

menakjubkan; namun mitos juga dapat didekati secara 

objektif, seolah-olah merupakan objek dan peristiwa-

peristiwa dan bukanlah tentang makna yang dirujuk mitos 

itu sendiri.58 Selanjutnya mitos yaitu  bagian penting dari 

pendekatan antropologi.

Selain Antropologi sebagai salah satu pendekatan 

studi agama yang dapat menjelaskan mitos, perspektif 

fenomenologis dapat pula mendedah pelbagai pandangan 

atas pemerian agama, seperti William Cantwell Smith yang 

menerangkan kehati-hatian dalam studi fenomenologi.59 

Fenomena agama terkait dengan pemahaman atasnya 

sebagai sebuah satu keseluruhan. Kajian agama dengan 

demikian cukup bervariasi dan kompleks. Peringatan 

Smith yaitu  penggunaan abstraksi konseptual tentang 

studi agama yang bersifat reduktif karena menggunakan 

sudut pandang peneliti atas agama sesuai pemahaman 

peneliti. Keseimbangan antara sudut pandang insider serta 

tujuan studi ilmiah yaitu  solusi atas problem peneliti 

memakai sudut pandangnya sendiri tentang agama. Hal ini 

kemudian menggugah Smith untuk perlunya membedakan 

antara kategori agama dari sudut pandang penganutnya 


:


dibandingkan dengan agama menurut sudut pandang 

peneliti yang seolah-olah terpahami oleh penganut 

agama yang dijadikan subyek penelitian. Kenyataan 

kajian menunjukkan fakta bahwa apa yang dipandang 

sebagai praktek keagamaan menurut kacamata peneliti, 

sesungguhnya bukan lah kategori pemeluk agama karena 

klasifikasi dan kategori agama menurut pemeluknya 

memakai sudut pandang yang tidak sama. Clifford Geertz 

dan Edward Said mengingatkan satu prinsip penting 

dalam penelitian fenomenologi ini berupa pemahaman 

atas fenomena aktual. Cara untuk memperoleh keunikan 

satu fenomena yaitu  dengan pertemuan langsung dengan 

subyek penelitian. Setelah pertemuan itu, baru kemudian 

dapat dilakukan sejumlah klasifikasi atas fenomena 

agama. Prasangka peneliti seringkali terjadi secara tidak 

sadar sehingga sedapat mungkin dihilangkan dengan 

dekonstruksi diskursus budayanya sendiri. 

Aspek selanjutnya dalam pemahaman fenomenologi 

agama yaitu  tidak adanya status pengetahuan yang terlepas 

dari sudut pandang filosofis. Argumen fenomenologi, 

menurut Derrida bukan lagi objektifitas dan bebas nilai, 

namun terbuka pada subyek interpretatif. Pengetahuan 

bersifat relatif dan unik sehingga metode fenomenologis 

tidak akan pernah menemukan kata akhir. Adapun Lyotard 

lebih memaknai keragaman relatif sebagai metanarasi. 

Solusi Lyotard cukup menarik pada kajian fenomeonogis 

yaitu dengan memperhatikan “let the naratives of others 

speak for themselves” yang memungkinkan produksi 

pengetahuan baru. Berkaca dari pengalaman Nabi Nichiren 

dalam diskursus Buddhisme, ia tetap merupakan aspektual 

55

:


fenomenogis walaupun konteks Buddhisme mengajukan 

keberatan, maka mitos-mitos Yudaisme misalnya bersifat 

relatif yang berarti merujuk pada sudut pandang yang 

mempercayainya. Relativisme suatu gejala fenomenologis 

memberikan ciri pendekatan fenomenologi agama walau-

pun mengandung pula kritik atas sifat relatif ini . 

Sejauh pengamatan kita pada pendekatan fenomenologis 

agama, data yang valid bukan pemikiran. Apa yang tampak 

pada data yaitu  aspek pokok dalam fenomenologi agama. 

Konstruksi pengetahuan sesungguhnya yaitu  deskripsi 

dan analisis data, bukan rekayasa pikiran. Pendekatan 

fenomenologi agama mampu memberikan aspek empati 

dan mencatat hakikat obyek kajian sebagaimana secara 

langsung ia menampakkan diri dalam kesadaran yang 

teramati. 

Lebih lanjut tentang mitos, menurut Mariasusai 

Dhavamony, mitos memberikan ciri-ciri khusus selaku 

pembeda dengan cerita atau kisah yang lainnya, yakni 

dalam hal kesakralan dan kaitan yang erat dengan 

ritus keagamaan. Mitos, dengan demikian hidup dalam 

masyarakat dan memiliki makna yang digunakan sebagai 

media untuk mempengaruhi masyarakat secara langsung 

dan telah mengubah kondisi manusia sehingga keadaannya 

seperti sekarang. Dongeng dan legenda tidak mengubah 

kondisi manusia sedemikian seperti mitos. Mitos teramat 

penting untuk masyarakat untuk mengetahui bagaimana 

keadaan itu berubah, dan membuat kembali susunan asli 

dari sesuatu hal ketika tahap demi tahap mulai merosot, 

atau membuatnya tampak lagi ketika mulai menghilang. 

Setiap mitos tentu memiliki isi literer karena selalu 

56 • 

:


berbentuk narasi. Mitos, dengan demikian, yaitu  cerita 

sejati mengenai kejadian-kejadian yang bisa dirasa telah 

turut membentuk dunia dan hakikat tindakan moral, serta 

menentukan hubungan ritual antara manusia dengan 

penciptanya, atau dengan kuasa-kuasa yang ada.60 Mitos 

agama Yahudi dapat ditelusuri dari mitos mengenai 

para Dewa dan makhluk adikodrati. Pendefinisian mitos 

ini cukup dekat dengan bagaimana Spiro memahami 

kepercayaan dan religi sebagai “an institution consisting 

of culturally patterned interaction with culturally 

postulated superhuman beings.”61 Pola tradisi setiap 

agama bermuatan interaksi intens dengan wujud Yang 

Adikodrati. Walaupun kemudian relasi manusia dengan 

agama menjadi perdebatan kalangan pendedah sejarah 

awal munculnya agama, seperti Emile Durkheim dengan 

kesakralan masyarakat, namun pemujaan dan rujukan 

atas mitos menjadi penanda kesadaran masyarakat 

tentang keberadaan yang melebihi kuasa manusia. Mitos 

selanjutnya dipakai untuk menyingkapkan bagaimana 

Yang Suci melihatkan kekuatannya. Dengan mengisahkan 

mitos, orang tidak hanya mempelajari sesuatu, melainkan 

menjadi sesuatu. Dengan dikisahkannya lagi mitos, mitos 

menyatakan kekuatan yang suci.62 Kuasa suci yang muncul 

dari mitos, menambah justifikasi relasi manusia dengan 

sesuatu kuasa di luar kuasa manusia, seperti pemahaman 


Spiro pada aspek religi.63 Relasi manusia dengan kuasa 

Adiluhung ini dapat merujuk pula pemaparan Mircea 

Eliade tentang konsep sakral. Eliade mempercayai 

apa yang didedahkan R. Otto tentang kekaguman dan 

ketakutan manusia atas kuasa di luar dirinya. Apa yang 

menjadi kepercayaaan yang kuat di antara peneliti jejak 

agama, tidak saja muncul dan terjadi dalam masyarakat 

arkhais atau kuno namun dapat pula masyarakat beragama 

plural pada masa kekinian dan modern.64 Kerapkali pada 

masyarakat sekuler Barat, mitos-mitos menurut Eliade 

tergambarkan dan menjadi pengalaman karya imajinasi 

serta mimpi-mimpi. Dalam beberapa kasus, mitos sendiri 

merupakan tindakan ritual, berupa penceritaan mitos 

sebagai suatu kultus yang mendalam, dengan dilaksanakan 

melalui sesuatu yang diutarakan, suatu peristiwa lisan 

yang terjadi dalam lingkungan masyarakat yang hidup.65 

Pemerian fenomenologi agama dengan demikian tidak 

saja berkenaan dengan mitos-mitos, namun dapat pula 

menegaskan persoalan obyek agama berupa yang sakral 

dan yang profan, konsep ketuhanan, ritual sebagai tindakan 

simbolis, ritus inisiasi, upacara kurban, mediasi dan orang 

istimewa, doa dan meditasi, mistisisme serta keselamatan.

Dalam pembahasan dimensi agama-agama Yahudi 

yang kerapkali terkait-berkelindan antar dimensi, salah 

satu bentuk mitos Yahudi, yang disampaikan mengandung 


:


elemen keberulangan yaitu  Yahudi bangsa Penyeberang, 

“the Chosen People”/bangsa yang terpilih serta mitos 

penderitaan Yahudi. Mitos Yahudi sebagaimana tercermin 

pula dalam contoh narasi yang berulang dalam Kuil 

Jerusalem bagian Barat, di mana dianggap sebagai aspek 

tersakral untuk bangsa Yahudi. Dalam dimensi naratifnya, 

berdoa di Sisi Dinding Barat—yang dahulu pernah 

dihancurkan, dipercayai mampu menyatukan manusia 

Yahudi dengan penderitaan nenek moyang terdahulu yang 

masih ada di sekitar serta dedikasinya terhadap Tuhan.66 

Doa dalam sudut pandang fenomenologis dapat kita kaitkan 

dengan pengalaman Yudaisme yang mendedah persoalan 

pengabdan kepada yang adikodrati. Pengabdian internal 

kepada yang adikodrati inilah yang menunjukkan ciri doa 

Yudaisme.

Perbuatan mendoa yaitu  perkara intensi atau 

tujuan. Doa Yudaisme merujuk pada mutu tujuan bukan 

pada panjang atau pendeknya doa-doa. Ambil bagian dalam 

Tuhan yaitu  aspektual terpenting dalam mendoa. Puji-

pujian pada Tuhan bukanlah untuk memaksa kehendak 

manusia kepadaNya, namun lebih pada persembahan 

terimakasih dan membina relasi yang baik tanpa 

mensyaratkan keterkabulan doa-doa. Namun ia kembali 

pada konsep pembukaan hati pada Tuhan, kasih dan 

jawabanNya. 


:


Berdoa bagi Yudaisme yaitu  aspek penting lebih 

daripada kurban dan perbuatan baik lainnya. Menurut 

Dhavamony, terjadi proses perpindahan jatidiri manusia 

Yahudi sebagai pusat kepada Tuhan dalam bentuk hubungan 

nyata dengan Tuhan. Keyakinan Yudaisme pada doa 

yaitu  penjagaan Tuhan atas manusia, bimbingan Tuhan 

dan perhatianNya. Relasi manusia yang berdoa dengan 

Tuhan yaitu  seperti berbicara dengan seorang sahabat. 

Liturgi Mazmur dan Siddur yaitu  sumber doa-doa yang 

menghubungkan manusia Yahudi dengan Tuhan. Salah satu 

ciri pendoa Yudaisme yaitu  pengakuan transendensi dan 

kesadaran adikodrati itu memperkuat jawaban atas doa-

doa. 

Mitos menurut Bell, bukan fokus pada bagaimana 

secara komplit mitos ini  teramati, namun lebih 

kepada pendapat Pierre Bourdieu tentang kritik pada 

subjektifitas yang menutup kemungkinan penafsiran lain 

karena sesungguhnya prinsip mitos erat dengan “socially 

informed body.”67 Dengan kata lain, Bourdieu ingin 

mengupas keberadaan mitos dan ritual sebagai strategi 

praktek memakai kategori kultur dan tradisi secara terus 

menerus dalam kerangka pemenuhan situasi nyata.

Selanjutnya, dengan nada yang sama, Smart 

memberikan penekanan pada aspek naratif dan mitos ini 

pada cara menghubungkan dimensi pengalaman, yang tidak 

saja diwujudkan dalam bentuk ritualistik, namun dapat pula 

terekspresikan dalam narasi sakral dan mitos itu. Smart 



menegaskan kembali bahwa dimensi naratif dan mitos 

merupakan aspek kisah dalam agama. Dalam agama-agama 

secara umum, jamak ditemukan cerita yang cukup penting, 

beberapa diantaranya historis, beberapa misterius tentang 

awal dunia, akhir dunia, pahlawan dan orang Suci, pendiri 

agama maupun tentang pengembaraan para Dewa. Cerita-

cerita ini  terkadang disebut sebagai mitos-mitos.68 

Mitos kebangkitan kembali menunjukkan penafsiran 

beragam. Kisah manusia setelah kematian memunculkan 

debat apakah kebangkitan kembali berwujud tubuh 

ataukah ruh. Mitos ini berdasar pada kisah Talmud tentang 

orang-orang beriman. Kontradiksi penafsiran umumnya 

membedakan sekte- sekte ortodoks, konservatif, reformasi 

dan liberal. Namun mitos kebangkitan kembali yang 

mengingatkan orang yang masih hidup atas penghambaan 

pada Tuhan, hampir semua sekte tidak mempercayai 

kehidupan kembali jasad-jasad manusia. Mereka meyakini 

pandangan bahwa ruh yaitu  yang dimaksud dalam mitos 

resurrection. Selain kebangkitan kembali, para penganut 

Kabbalistik mengimani terjadinya mitos reinkarnasi, 

yang disebut-sebut menjelaskan penderitaan bayi yang 

baru saja terlahir di dunia. Asumsi mitos, seperti sekte 

Hasidim percayai, terletak pada perbuatan dosa yang 

dilakukan pada episode eksistensi sebelumnya. Perbedaan 

cara pandang atas mitos kebangkitan kembali dan mitos 

reinkarnasi, menurut de Lange, menandai peran kitab 

suci dalam Yudaisme sudah tidak lagi menjadi isu sentral 



dan absolut sebagaimana yang telah selama ini mereka 

yakini.69 Konsep-konsep yang teramati dari mitos, me-

mungkin kan kajian agama-agama berkelindan dengan 

persoalan kesakralan dalam latar penggalan keberadaan 

relasi manusia dengan Tuhan. Seperti mitos juru selamat, 

mitos orang pilihan Tuhan atau the chosen people, mitos 

nasionalisme, mitos penderitaan, mitos kebangkitan 

kembali atau resurrection dan mitos reinkarnasi, penilaian 

atas mitos tidak bertumpu pada benar atau salah, namun 

lebih pada segmen interpretasi mitos. 

Pluralitas pemaknaan atas mitos kemudian me-

misahkan pendapat sekaligus menandai pranata dan 

sistem kepercayaan serta norma-norma. Kemajemukan 

pandangan pada mitos merupakan catatan penting dalam 

ranah penelusuran pengalaman beragama Yudaisme. 

Kesepakatan Yudaisme atas mitos, sebagaimana musykil 

pula terdapat pada pengalaman religiositas agama-agama 

lainnya, bukan tidak mungkin terjadi. Pengalaman Yudaisme 

terkungkung dalam pelbagai segmen marjinalisasi dan 

diskriminasi, seperti komunitas Yahudi di Eropa Timur, 

menguatkan mitos penderitaan lebih dari yang selama ini 

masyarakat beragama kuatkan dalam memori kolektif. 

Mitos penderitaan, melalui internalisasi liturgi sejak 

pelbagai momen perbudakan di Mesir, pengembaraan 

dengan spirit religiositas yang bersifat diasporik, serta 

pengalaman keagamaan kekinian sejak abad ke-15 yang 

menandai pengusiran kaum Yahudi di Eropa sampai dengan 


konstruksi mitos nasionalisme di abad ke-20, berkaitan 

erat dengan mitos lainnya. Mitos the chosen people dapat 

mewujud spirit kehidupan beragama berintikan keyakinan 

kuat untuk bertahan atas ujian-ujian yang mereka alami 

sepanjang sejarah agama terpanjang pada agama-agama 

ini. Keber tahanan Yudaisme terlihat pada pertalian 

antara mitos penderitaan dengan mitos sebagai orang-

orang terpilih di mata Tuhan. Klaim orang-orang terpilih 

ini kemudian menunjukkan pula satu keyakinan penting 

sekaligus penagihan kaum Yahudi pada janji-janji Tuhan. 

Sebagaimana diketahui pada pembacaan sejarah 

agama Yudaisme, kaum Yahudi mempertanyakan dimana 

eksistensi kuasa Tuhan ketika mereka terjerembab dalam 

berbagai macam penderitaan dan persekusi. Rasionalitas 

penghambaan memunculkan mitos penderitaan yang 

berterima di kalangan kaum pengkaji liturgi Yudaisme. 

Janji Tuhan kemudian bermuara pada mitos the chosen 

people dan mitos tanah terjanji atau the Promised Land. 

Mitos tanah yang Tuhan janjikan kepada kaum 

Yahudi, seperti termaktub dalam liturgi Yudaisme, tidak 

serta merta berwujud pada interpretasi tunggal. Kaum 

Yahudi yang percaya jargon back to Zion, tanah di Palestina 

yang diklaim sebagai mitos nasionalisme abad ke -20, 

tentu sama sekali berbeda pandangan dengan sementara 

interpretasi yang terbaca dari pengalaman keagamaan 

kelompok sekte Naturei Karta. Kelompok Naturei Karta 

memiliki klaim bahwa mitos tanah terjanji atau the 

promised land, yaitu  penggalan restu Tuhan bagi kaum 

Yahudi yang mendiami wilayah di segenap penjuru bumi. 

63

:


Bumi kuasa Tuhan yaitu  kepercayaan kelompok Naturei 

Karta sehingga mereka menolak dan menyampaikan 

pandangan kritis yang keras pada isu mitos back to Zion. 

Ideologi politik cum liturgi yang dikenalkan Theodore 

Herzl seorang jurnalis media di Eropa ini, berperan sebagai 

penopang mitos nasionalisme sebagai kecenderungan ke 

arah mitos sekuler, tidak menarik perhatian sekte Naturei 

Karta. Mereka meyakini bahwa penggalan sakralitas 

keberadaan Tuhan dapat berupa tinggal di luar tanah Israel. 

Dengan demikian mereka menolak tegas paham Zionisme.70 

Pandangan Naturei Karta berseberangan dengan klaim 

kawasan Kanaan sebagai lokus mitos tanah terjanji yang 

menjadi klaim eksklusif sementara penganut Yudaisme. 

Melalui perbandingan pemaknaan mitos yang muncul dari 

pelbagai kalangan penganut agama dalam bentuk sekte-

sekte, para peminat kajian Yudaisme dapat melakukan 

pembacaan pengalaman keberagamaan Yudaisme secara 

mendalam dan serius. 

Cerita/kisah dalam agama seringkali terintegrasi 

dengan dimensi agama yang lain seperti tercermin 

dari dimensi ritual. Sebagai contoh yaitu  Upacara 

“Passover” Yahudi, dimana upacara itu memperingati 

peristiwa eksodus Yahudi dari Mesir. Upacara itu juga 

menghubungkan penderitaan-penderitaan yang dialami 

Yahudi serta relasinya dengan Tuhan Yahudi, yang dapat 

memberikan gambaran ketika umat Yahudi terbebas dari 



perbudakan di Mesir Kuno. Pada saat Yahudi mengadakan 

perjamuan dalam upacara itu, cerita-cerita Yahudi disimak 

dan diruntut kembali, sehingga dapat dikatakan bahwa 

antara cerita/kisah dan ritual itu sendiri, dalam kasus 

ini, melebur menjadi satu momen pengkhidmatan.71 

Mitos penderitaan merupakan aspek vital penopang 

keberlangsungan hidup beragama atau survival Yudaisme. 

Kemampuan Yudaisme mempertahankan kelangsungan 

kehidupan beragama dalam lintasan sejarah agama yang 

panjang dapat selanjutnya menunjukkan peluang kajian 

berupa nilai, world view dan sikap serta perilaku Yudaisme 

dalam bentuk empirik maupun melalui beragam produk 

Cultural Studies. 

Catatan mitos Yudaisme membuka ruang kajian 

antar konsep. Konsep penderitaan sebagai contoh, ternyata 

tidak berdiri sendiri. Namun ruang cukup terbuka berisikan 

konsep lainnya seperti mitos the chosen people, mitos the 

promised land, mitos nasionalisme dan seterusnya. Contoh 

kajian mitos ini menandakan studi agama sesungguhnya 

dapat menyediakan wahana studi interdisipliner. Relasi 

antar disiplin terlihat bagaimana konsep penderitaan yang 

khas liturgi itu berhubungan dengan konsep sosiologi, 

antro pologi, komunikasi dan psikologi. Keterkaitan psi-

kologi sosial keagamaan berupa resistensi maupun sebalik-

nya penerimaan (akseptensi) atas klaim mitos.

Klaim mitos nasionalisme Yudaisme setidaknya 

me ngantarkan pada titik temunya dengan pengalaman 


kebangkitan agama di Asia. Dalam konteks pasca Kolonial-

isme, mitos kembali ke Zion oleh Herzl kemudian 

menguatkan sejarah bangsa dan agama yang sebelumnya 

tidak mempunyai bentuk sebuah negara. Pada pertengahan 

decade 1940–1950, mitos nasionalisme menyatukan 

pelbagai aspirasi di tengah perdebatan dan keberatan di 

tanah dan negara Israel. Sementara pengamat mencatat 

kegagalan Eropa dalam mengusung keterbukaan dan 

pluralism budaya dan agama. Namun residu Yudaisme 

dalam kacamata Eropa ini membulatkan otoritas Inggris 

melapangkan jalan menuju lahirnya sebuah entitas negara. 

Dalam pandangan pengamat agama decade 1960an, India 

juga menyimpan mitos nasionalisme sebagai ekses budaya 

Eropa. Radhakhrisnan mencermati betul bahwa revivalisme 

Hinduisme yaitu  respon pada propaganda Eropa dalam 

bentuk kekristenan. “The impact of the Western culture 

on Asian society is the basis of Asian nationalism as 

well as of Asian solidarity. The Hindu religious revival is 

partly the revolt against Christian mission propaganda.”72 

Kedua konteks di Israel pada Yudaisme dan India dengan 

Hinduisme ini barangkali merupakan asumsi bangsa-

bangsa pasa perang Dunia ke-2 untuk menjelaskan 

komunitas dan identitas yang jelas. 

Upaya reinterpretasi dari kitab suci dalam sebuah 

pandangan batu yang relative baru dan berterima dengan 

kebutuhan masyarakat beragama, yaitu  titik awal kon-

solidasi dalam bentukan nasionalisme yang sedang berjalan 

ini . Baik ortodoksi maupun ortopraksi tampaknya 



bercampur di persoalan mitos nasionalisme. Di satu sisi 

pembacaan pada tanah yang terjanji di kitab suci untuk 

Yahudi yaitu  domain Ortodoks, namun format sekuler 

negara bangsa Yahudi menjadi perjuangan bagi kelompok 

agama ini yang menyatukan aliran yang religious semata 

maupun yang bercampur dengan paham sekuler.

Baik Hinduisme dan Yudaisme pasca perang Dunia 

ke-2, menghadapi aspirasi pembentukan negara sebagai 

spirit jaman pasca Kolonialisme di mana negara-negara di 

Asia dan Afrika memperoleh kemerdekaaannya. Keduanya 

yaitu  ekses tata kelola pluralitas dalam kacamata Eropa 

yang oleh sementara pihak justru menimbulan persoalan-

persoalan baru, seperti konflik Israel-negara Kawasan 

dan Palestina maupun Hindhu dengan minoritas Muslim 

dan Kristen di India. Kegetiran perjalanan menuju proses 

pembentukan negara dari klaim agama tampaknya mem-

buka ruang untuk penghargaan bagi yang setuju/kaum pro 

maupun sebaliknya. 

Mitos nasionalisme berkelindan dengan pengalam-

an-pengalaman panjang dengan pelbagai unsur seperti 

kemerdekaan menikmati kemurnian agama maupun 

faktor gospel dan sosial ekonomi. Namun mitos sebuah 

bangsa sehingga menjadi konstruk negara Amerika dapat 

ditelusuri dari sejarah pemukiman di New England, Pantai 

Timur. Kecemasan atas persekusi agama yang terjadi di 

Inggris telah mendorong pengamat seperti David Cressy 

mencatat pengaruh puritanisme agama sebagai salah satu 

faktor yang mirip dengan pencarian mitos nasionalisme 

67

:


Yahudi di Kanaan.73 Pengaruh para pendeta yang menyertai 

para pendatang di tanah impian cukup signifikan dengan 

adagium yang sma digenggam oleh pemeluk Yudiasme 

yakni the chosen people. Rupa-rupanya liturgi Protestan 

dan Yudaisme bersitumpu pada rujukan perjanjian Lama 

sehingga mitos yang muncul dapat memberikan contoh 

aspek perbandingan dengan catatan lokus dan ruang waktu 

yang tidak sama. Terlebih abad ke-17 yaitu  abad agama 

yang memuat dinamika kritik pada otoritas ortodoksi 

agama dominan. Tak jarang para pendeta meyakinkan 

orang biasa untuk semangat agama yang menyala-nyala 

di samping harapan penghidupan yang lebih menjanjikan 

daripada tanah kelahiran mereka. 

Pengamalan pembentukan mitos sebagai sebuah 

nation/bangsa, pada contoh Yahudi, India dan Amerika 

menunjukkan keterkaitan doktrin ajaran agama dan 

klaim nya dengan praksis sosial, kelompok beragama 

dan visi agama. Pertanyaan yang muncul yaitu  bagai-

mana nasib sekelompok individu yang membentuk 

rasa sepenanggungan di masa-masa kritis dan di masa 

depan? Respon dari pertanyaan ini  dapat saja tidak 

seragam, namun hal yang hampir dapat dipastikan yaitu  

meninggalkan debat ortodoksi demi meraih upaya-upaya 

yang patut dilakukan untuk memenuhi visi mitos sebagai 

sebuah tatanan bangsa. 

Dalam perjalanan konstruk mitos bangsa itu, mula-

mula terdapat perjumpaan adaptif dengan komunitas 



setempat. Namun Yudiasme memiliki keberuntungan 

atas Kolonialisme Inggris yang menduduki wilayah 

Palestina pasca Perang Dunia ke-2. Blessing in disguise ini 

sebetulnya tidak hanya bagi kaum Yahudi pendatang baru 

ini, namun juga bagi pihak Kolonial Inggris. Pekerjaan 

rumah atas pandangan Eropa yang masih memegang 

kukuh Eurosentrisme melapangkan jalan secara politik 

untuk pendudukan Yahudi di tanah Palestina. Inggris telah 

mencoba mengusulkan bangsa Yahudi ini ditempatkan 

di daerah Koloni Inggris di Afrika dan Amerika Selatan, 

namun gagal. Tampaknya pengaruh Herzl mempercepat 

pencapaian mitos nasionalisme Yudaisme dengan topangan 

ideologi sekuler cum mitos the promised land bagi the 

chosen people. Seperti mitos nasionalisme di Amerika 

maupun India, triangulasi otoritas colonial Inggris cukup 

jelas teramati. 

Seperti literatur tentang sejarah agama-agama di 

Eropa abad ke 15, di tengah berkecamuknya ingatan kolektif 

perang agama Eropa yang mengenaskan. Cara pandang 

Eropa yang rasional tidak mampu menyediakan ruang 

kesadaran bagi yang lain termasuk komunitas Yahudi, jauh 

sebelum Hitler mempunyai pendirian yang sama pada abad 

ke 20. Maka berbondong-bondong kaum Yahudi berpindah 

ke Eropa Timur. Namun persekusi kepada Yahudi tidak 

selesai karena program Polgrom di Rusia memaksa mereka 

meninggalkan Eropa Timur menuju pelbagai destinasi 

termasuk menuju dunia Baru Amerika.

Dalam kasus Holocaust, kita dapat menelusuri pen-

jelasan persistensi tindakan sosial yang diduga meng-

69

:


gunakan rasionalisasi untuk mereduksi makna dan nilai 

bersama. Zygmunt Bauman mengatakan bahwa upaya 

pendekatan sosiologis diperlukan untuk mendedah sisi 

modernitas.74 Bauman meyakini bahwa Holocaust yaitu  

pertanyaan tentang perihal psikologi tersembunyi pada 

masyarakat modern. Rasionalisasi pemusnahan fisik kaum 

Yahudi oleh Hitler, bukan lah dilakukan dengan serta merta 

namun bertahap karena tercipta kendala dalam upaya 

menyingkirkan Yahudi dari Jerman. Ironisnya, menurut 

Bauman, solusi akhir eksterminasi fisik Yahudi ini  

dilakukan tanpa merujuk pada pedoman yang jelas seperti 

apa melakukannya. Pada penjelasan historis sesudahnya 

seperti dapat ditelusuri melalui penggambaran kamp 

konsentrasi di sekitar Jerman Raya, pelaku eksterminasi 

fisik Yahudi itu justru yaitu  orang-orang Yahudi dengan 

komando dari jauh oleh otoritas Hitler. Dengan demikian 

para penghuni kamp konsentrasi di Auswich misalnya, 

tidak mengetahui siapa sesungguhnya yang mengeksekusi 

pada penghuni Kamp. Rupa-rupanya para otoritas telah 

mengatur situasi di Kamp dengan memasukkan kaum 

Yahudi Eropa dengan latar Bahasa yang beragam. Maka 

orang Yahudi Polandia, Austria, Jerman & beberapa negara 

Eropa Timur lainnya tidak dapat saling berkomunikasi 

antara satu dengan lainnya. 

Analisa Weberian pada birokrasi modern me-

munculkan analisis pada solusi ‘endlosung’ bagi kaum Yahudi 

di Jerman Raya. Kekuasaan yang ada memperhitungkan 

secara cermat pembagian kerja dalam pemusnahan massal 


Yahudi tergantung pada kebiasaan dan keterampilan, cara 

terbaik dan tepat, jalur komando dan jalur komunikasi 

sehingga ‘keahlian dan kebiasaan’ yaitu  ciri utama proses 

birokrasi masa kelam itu. Tidak ada hambatan moral dan 

etika dalam kerangka mewujudkan rasionalisasi. Bauman 

ingin menegaskan birokrasi berbasis efisiensi bersifat buta 

pada etika. Yang menjadi kritik yaitu  koordinasi rasional 

yang mempermudah jalan individu untuk mencapai tujuan-

tujuannya. 

Secara umum, pengalaman persekusi Yudaisme, me-

nguatkan solidaritas mekanistis, seperti Emile Durkheim 

sampaikan, mengulang-ulang keberadaan komunitas 

homogen sebagai simpul utama kohesi antar kelompok 

Yudaisme. Tidak hanya tercatat pada pengalaman eksodus 

Yahudi Eropa, namun rasa solidaritas berdasar etnis 

dan agama memperteguh ikatan-ikatan primordial di 

tengah upaya keras kelompok Yahudi untuk bertahan. 

Konsep pemertahanan atau survival, sesungguhnya dapat 

menjadi ciri khusus pengalaman keagaman Yudaisme. 

Namun seperti sejarah Yudaisme dalam memperjuangkan 

mitos nasionalismenya, solidaritas Yudaisme kemudian 

mengalami pergeseran. Perubahan geografis, daerah asal 

Yudaisme yang berbeda memungkinkan mereka berbagi 

keterampilan sosial yang dibutuhkan untuk bertahan. 

Selain Bauman, persoalan Holocaust mendapat 

perhatian dari Emmanuel Levinas.75 Sebagai pemeluk 

Yudaisme yang ketat, ia mengungkapkan filsafat Yahudi 



berupa permenungan kembali tentang kemurahan hati 

moral transkomunal. Dunia yang terus merosot dengan 

mengabaikan moralitas dan etika, membutuhkan kesadaran 

atas ancaman mendasar pada kemurahan hati. Levinas 

mengatakan perlunya penghilangan ideologi dominasi, 

dengan mengenalkan dua kategori pertemuan dengan 

realitas yang liyan. Idenya berupa proses transendensi 

egoisme melalui (1) pertemuan ‘wajah ke wajah’ serta 

(2) pertemuan yang ‘melampaui wajah’. Konsep tetangga 

dan keluarga yaitu  inti mengapa dominasi otoritas perlu 

dihubungkan dengan kerapuhan-kerapuhan. Ia yaitu  

bentuk-bentuk kualitas relasi yang cenderung merelatifkan 

dan menundukkan hasrat politik secara umum atau tujuan-

tujuan kepentingan tertentu. Tawarannya yaitu  sumber 

makna di dalam hidup yang jauh lebih dalam dari sekedar 

kepentingan belaka berupa konsep ‘keluarga’ secara luas 

yang berfungsi sebagai pusat alternatif moralitas. Yudaisme 

sebagai bagian dari subyek liyan dalam pandangan Eropa 

maupun pandangan lokus lainnya yang beragam, dapat 

mengambil peran antar wajah seperti pandangan Levinas. 

Namun kendala yang muncul ternyata yaitu  bagaimana 

batasan moralitas itu ditegakkan dan dipraktekkan. 

Mitos nasionalisme berdasar pada resonansi Herzl 

pada pengalaman Yahudi Eropa, sebetulnya tidak terwujud 

secara serta merta. Lahir di era Victoria Inggris, Israel 

Zangwill berpidato di Carnegie Hall, New York tahun 

1923.76 Ia mempercayai pandangan yang kritis pada mitos 



Zion bahwa sesungguhnya dari segi politik telah musnah. 

Pengikut Herzl tidak mampu melakukan tindakan nyata 

menduduki Palestina untuk merintis cita-cita mendirikan 

negara. Zangwill mengecam pemimpin Zionisme dengan 

menekankan perlunya pergeseran paradigma untuk 

mendirikan negara di manapun di belahan dunia ini, tidak 

kemudian melaksanakan pengusiran orang-orang Arab 

dari Palestina. Ia kemudian mendapat teguran keras dari 

Samuel Untermyer, Louis Marshall dan pemimpin Yahudi 

lainnya. 

Mitos dan pengalaman keagamaan dapat pula me na-

warkan bentuk-bentuk demokratisasi. Proses memahami 

pendirian gagasan satu kelompok atau sekte keagamaan 

yang berbeda dengan sikap kelompok lainnya yaitu  poin 

berharga. Apabila satu kelompok agama menyadari bentuk-

bentuk pengalaman beragama yang tidak tunggal, tentu 

dapat membentuk tata nilai baru. Tata pikir keagamaan 

plural dapat mendewasakan psikologi sosial keagamaan 

tatkala menghadapi konflik, perpecahan, ketidaksetujuan 

dan oposisi gagasan. Pondasi pluralitas menjadi sentral 

mengingat konflik secara umum maupun perbedaan 

pendapat dan penafsiran antar pemeluk keyakinan 

tidak hanya terjadi dalam konteks antar agama, namun 

dapat teramati dengan jelas pada segmen intra agama 

seperti bermacam perbedaan pandangan Yudaisme pada 

pengalaman religi dan mitos.

Pengalaman keragaman religi atau Andrew Shanks 

menyebutnya sebagai agama konvensional yakni agama yang 

terbentuk oleh teologi konvensional, mengurai aspektual 

73

:


lain berupa meditasi dalam konteks berkebalikan dengan 

agama konvensional.77 Sebagai warga dari sebuah otoritas 

negara, Yudaime dapat memakai pandangan Shanks untuk 

adaptasi dan partisipasi aktif. Alih-alih mempersoalkan 

sejarah perkembangan agama, para nabi dan pemimpin 

agama, Shanks menawarkan cara pandang berbeda dalam 

mengurai perbedaan-perbedaan agama dan strategi 

identitas. Ia yaitu  formasi agama sipil yang menekankan 

narasi pada teologi sipil yang tidak meninggalkan teologi 

konvensional melainkan mempertimbangkan sintesa 

identitas kelas, identitas nasional dan identitas ras. 

Aspek terpenting yaitu  bagaimana aspektual sipil ini 

mengandung implikasi moralitas dan posisi para penganut 

agama di hadapan Tuhan. 

Rekonsiliasi yaitu  kata kunci yang dapat 

menenteramkan komunitas beragama yang tidak mudah 

begitu saja melupakan ekses ketegangan dan konflik yang 

selalu saja muncul. Menarik untuk mencermati sub specie 

aeternitatis, sebuah konteks potensial mengungkapkan 

memori traumatik, seperti mitos penderitaan Yudaisme, 

dengan langkah partisipatif. Praktek keagamaan eksklusif 

tidak dapat membawa bentuk kesadaran rekonsiliatif 

mengingat pertimbangan ortodoksi yang kokoh. Fokus 

perhatian tawaran Shanks bukan pada keberhasilan 

lembagai-lembaga konvensional melalui legitimasi, 

namun lebih pada tuntutan pemenuhan pemulihan ekses 

traumatik.


Realitas nalar agama sipil, menurut Shanks, 

merupakan modal solidaritas baru melampaui batasan 

doktrinal yang masing-masing individu dan kelompok. 

Tambahan lagi ruang sipil ini melibatkan kaum yang 

dekat dengan agama atau pun yang sebaliknya. Shanks 

lebih lanjut menyebut hierologi. Ia yaitu  kajian kesucian 

yang mengandung langkah pertanyaan teologis dibiarkan 

terkurung, yang membuka keterlibatan semua tradisi 

agama. Dengan cara ini, teologi konvensional tidak sedang 

dalam situasi konfliktual dengan tawaran Shanks. Agak 

berbeda dengan definisi Bellah dan Rousseau, Shanks lebih 

menitikberatkan pada aspek penyembuhan memori menuju 

kesadaran diri masyarakat sipil. Yudaisme dalam konteks 

ini telah mempraktekkan bentuk-bentuk latihan utamanya 

selain menyangkut entitas agama lainnya, namun lebih 

merujuk sesungguhnya pada konstruksi within religious 

groups, yakni antar kelompok beragama Yudaisme. 

Ritual, narasi keagamaan dan mitos berdasarkan 

pengalaman beragama yang tidak tunggal tentu menyisakan 

sejumlah pertanyaan. Bagaimanakah kemudian pemeluk 

agama yang meyakini ortodoksi keagamaan menjadi 

fragmentasi agama yang mengandung klaim dan ekslusivitas 

beragama. Apakah doktrinal agama telah mengalami 

pergeseran hanya sebagai wilayah kaum elit dan pemuka 

agama saja, sedangkan kesenjangan yang muncul antara 

pelbagai pandangan keagamaan bagi sementara kalangan 

yaitu  jurang pemisah yang cukup dalam. Ataukah dengan 

kata lain, doktrin agama memerlukan sentuhan sudut 

pandang lain seperti pendekatan sosiologis, antropologis, 

feminis, fenomenologis dan filosofis. 

75

:


D. Dimensi Doktrinal-Filosofis 

Dimensi agama berikutnya yaitu  berupa doktrin 

dan aspek filsafat agama Yahudi. Di dalam doktrin Yahudi, 

teramat terdapat pandangan umum tentang adanya ke sung-

guhan dalam pemertahanan monoteisme. Dalam persoalan 

kewahyuan, umat Yahudi berbeda dengan budaya Kristen. 

Sementara klaim Kristen telah menyepakati Messiah dalam 

eksistensi Yesus, umat Yahudi menanti-nanti datangnya 

pemimpin masa depan/juru selamat atau “Mashiah”. 

Namun seperti tertulis dalam sejumlah literatur, pengertian 

Mesiah Yudaisme menunjukkan beberapa persamaan dan 

keberatan atas sejumlah klaim pemaknaan dalam tubuh 

agama Yahudi.

Selanjutnya, doktrin tentang penderitaan Yahudi 

masih merupakan keberlangsungan yang dibutuhkan yang 

berwujud semacam dedikasi khusus dari komunitas Yahudi. 

Yahudi mempercayai bahwa Perjanjian Lama dapat pula 

disertai dengan penafsiran yang luas terhadap Talmud dan 

seluruh gagasan dalam Taurat Lisan.78 Seperti pemaparan 

keterkaitan doktrinal dengan aspek religi lainnya, orto-

doksi monoteisme misalnya memicu sejumlah catatan dan 

beberapa kontradiksi menurut pengkaji Yudaisme.

Tentang monoteisme Yahudi terhadap YHWH, 

Yahweh, kemudian dikenal pula dengan sebutan Yehovah 

terdapat pelbagai pluralitas pendapat. Dengan beberapa 

sumber rujukan, konsistensi Yahudi terhadap monoteisme 



pun dapat saja ditelusuri dalam aspek paradoksal. Disatu 

sisi, seperti di sinyalir oleh A. Mukti Ali, bangsa Yahudi 

mempunyai kekuatan terhadap pensucian mutlak kepada 

Tuhan, namun di sisi lain, dalam beberapa literatur, 

ditemukan pula bahwa orang Yahudi juga menyembah 

binatang, tiap kabilah mempunyai tuhan (eloh) sendiri serta 

membawa patung-patung.79 Transisi keyakinan pemeluk 

Yudaisme antara yang Adikodrati dengan perwujudan 

makhluk dan benda sepertinya masih menyimpan 

persoalan tatkala atribusi keilahian seperti halnya juga 

pada kekristenan, merambah pertanyaan-pertanyaan 

eskatologis dan mileniarisme. 

Dalam konteks doktrinal, Yahudi meyakini “Yahweh”, 

sebagai nama utama Tuhan dalam bahasa Ibrani, sedangkan 

“Mashiah”, merupakan “Yang ditunggu-tunggu” ataupun 

Raja masa depan yang akan mendirikan sebuah masa baru 

di Israel. Nama Israel itu sendiri merujuk pada konsep ruang 

atau tanah di mana aspirasi Yahudi difokuskan. Yahudi 

percaya pada “Mitzvah” (jamak: Mitzvot) berupa Perintah 

Tuhan, berjumlah utamanya 10; seluruhnya berjumlah 

613, sedangkan “Talmud” merupakan teks utama tradisi 

Yahudi, dalam bahasa Aramaik, yang berwujud dua bentuk, 

yaitu bentuk Babilonia dan Palestina. Bentuk Babilonia 

yaitu  kumpulan pedoman etis dan hukum bagi segenap 

Yahudi Orthodox. 80 Dengan pelbagai persoalan ambiguitas 



ketuhanan, catatan penting untuk segmen ini yaitu  

penanda aturan hukum dan nilai-nilai etika keagamaan. 

Selain itu, De Lange menyebutkan konsep juru selamat ini 

secara khusus dalam buku pengantar Yudaisme dengan 

tajuk bringing the Messiah.81 Konsep Messiah seperti dapat 

konsep religi Yudaisme lainnya merujuk pada perbedaan 

pendapat di antara Rabbi terkait masa kemunculan, apa 

yang dicita-citakan, fokus visi dan siapa Messiah itu. 

Dalam konsep doktrin Yahudi, Yahweh sangat 

memperhatikan Israel dan kesucianNya yaitu  sumber 

kekuatan keberanian dan kepercayaan Israel. Pengalaman 

akan imanensiNya menyebabkan kekaguman. Kedekatan 

kepada yang menakutkan ini sekaligus merupakan 

sumber keberanian Israel: “Bangsa besar manakah yang 

mempunyai Tuhan yang demikian dekat kepadanya seperti 

Tuhan kita, setiap kita memanggil kepadaNya.82 Terdapat 

relasi resiprokal namun paradoksal pada saat yang sama 

ketika Yudaisme memposisikan Tuhannya. Pertanyaan 

berulang atas intervensi Tuhan saat kaum Yahudi berada di 

titik nadir mengalami sejarah panjang penderitaan, tentu 

berbanding terbalik dengan asumsi liturgi bahwa mereka 

yaitu  orang-orang pilihan Tuhan dan memiliki klaim 

kedekatan atau afinitas antara makhluk dengan Tuhan. 

Dimensi doktrinal mengandung beberapa fungsi 

untuk membantu pencerminan dan stimulasi terhadap 

Modern Transformations (

visi yang cerah tentang dunia ini. Yahudi menolak doktrin 

keTuhanan Kaisar Romawi, misalnya, yang berdampak 

pada penganiayaan terhadap Yahudi. Penolakan Yahudi ini 

merupakan tanda dari kepercayaan Yahudi yang kuat dalam 

doktrin satu Tuhan dalam monoteisme. Selanjutnya perlu 

menjadi catatan untuk signifikasi melihat struktur doktrin 

dengan berpijak pada fungsi-fungsinya. Pertama, fungsi 

mengatur tatanan tradisi dalam bentuk pengalaman agama 

dan mitos, sedangkan fungsi kedua, merujuk pada fungsi 

penjelas cara-cara simbol keagamaan itu melampaui acuan 

pada simbol yang lebih utama dan universal. Ketiga, berisi 

fungsi penghubung tradisi-tradisi terhadap perubahan 

dalam pengetahuan, dan keempat, berfungsi sebagai 

stimulasi visi dari dunia. Adapun fungsi berikutnya yang 

kelima, yaitu  fungsi mendefinisikan komunitas.83 Sekte 

Yudaisme yang tidak tunggal dalam memaknai mitos-mitos, 

terkait pula dengan dimensi doktrin ini. Pada kepercayaan 

mitos reinkarnasi, sekte Hasidim dan aliran Kabbalistik 

menunjukkan aspek identitas lebih sebagai ‘communitas’ 

menurut Turner84, sebagai definisi komunitas khasnya 

dan pada saat yang sama mencoba menyampaikan bentuk 

komunikasi perubahan-perubahan. 

Dalam penjabaran dimensi doktrinal Yahudi ini, 

seperti yang dipaparkan Smart, doktrin-doktrin agama 

merupakan suatu upaya untuk memberikan sistem, 



kejelasan dan kuasa pengetahuan terhadap apa yang di-

wahyukan melalui bahasa mitologi dan simbolik yang ada 

dalam ritual dan keyakinan agama. Agama-agama dunia 

sebenarnya berhutang budi pada beberapa kuasa nyata 

dalam hal keberhasilan menyajikan sejumlah gambaran 

realitas, yang dilakukan lewat sistem doktrinal yang 

koheren.85 Smart memberi contoh doktrin tentang manusia.

Pendekatan filosofis dalam studi agama yang cukup 

menarik yaitu  bagaimana metafisika mendedahkan 

persoalan dasar tentang kehidupan, eksistensi dan aspektual 

being. Rob Fisher menyebutkan bahwa pertanyaan tentang 

siapa manusia itu berkisar pada apakah diri sebagai 

tubuh material itu terkait dengan eksistensial yang sama 

dibanndingkan dengan berlalunya waktu.86 Apa saja yang 

membuat seorang manusia mengenggam hal yang sama 

walaupun waktu telah berlalu. Aspek filosofis terkait erat 

dengan sisi keseluruhan yang meliputi persoalan ontologi, 

kosmologi dan humanity. 

Persoalan subjektivitas manusia, status manusia dan 

kelompoknya merupakan wilayah kajian humanities dalam 

perspektif filsafat. Studi eksistensial tentang being yaitu  

ranah kajian ontologi, sedangkan kosmologi merupakan 

argumen tentang asal dan tujuan dunia serta dampak ilmu 

pengetahuan. Pertanyaan siapa manusia Yahudi berkenaan 

dengan pelbagai pandangan subjektif. Kajian humanities 


cum kosmologi berlangsung terus menerus selama proses 

eksistensial manusia mendapatkan pertanyaan baik dari 

dalam diri kelompok maupun aspek luar kelompok. Aspek 

kosmologi melahirkan pemikiran rasionalitas manusia 

modern yang akan menjawab bagaimana kehidupan 

modernitas itu ditandai dan konsekuensinya pada manusia 

dan agama. Yudaisme berada pada tiga titik filsafati ini 

dalam pelbagai konsep seperti siapa orang Yahudi itu 

sendiri. Apakah rasionalitas manusia Yahudi berdampak 

pada keutuhan atau sebaliknya menyisakan keterpisahan-

keterpisahan berupa alienasi. Doktrin rasionalitas Kantian 

yang dipakai Weber berupa manusia otonom setidaknya 

dapat dipakai sebagai penjelas mengapa tujuan manusia 

tidak saja dalam pemenuhan tujuan ekonominya, namun 

terkait pula dengan nilai-nilai sosial budaya manusia 

modern. Bagaimana agama dan kepercayaan merujuk 

pada relasi afinitasnya dengan tindakan sosial manusia 

berupa nilai dan etika. Sementara pendapat mengatakan 

terdapat dilema manusia modern seperti tergambar dalam 

pencarian identitas Yahudi yang tidak berkesudahan. Dalam 

lintasan sejarah Yudaisme, rasionalitas diperlukan untuk 

strategi bertahan untuk eksistensial kehidupannya, namun 

di sisi lain ia memerlukan keterpisahan dengan dimensi 

sakralitas. Afinitas kesakralan akan menuntun arah menuju 

margin dan diskriminasi. Walaupun telah berulang-ulang 

mitos penderitaan manusia Yahudi ditautkan dengan 

yang adikodrati, sementara tafsir Yudaisme mengatakan 

mitos itu telah lampau dan memerlukan tafsir baru. 

Maka reformasi dan perubahan dalam tubuh Yudaisme 

tidak terelakkan. Untuk menjadi otonom dan berdaya, 

81

:


rasionalitas Yudaisme bersifat standar ganda, seperti 

tengarai Weberian, yang tidak lain yaitu  upaya menjaga 

kesinambungan eksistensialnya sebagai pemeluk agama.

Pandangan Marxis sama sekali berseberangan 

de ng an penilaian Weber atas manusia. Bagi Marx, 

agama yaitu  lokus peredam kegelisahan perjuangan 

kelas. Dalam sudut pandang ini, perspektif Marxis dapat 

pula menunjukkan aspek Yudaisme sebagai margin. Ia 

yaitu  bentuk protes bahwa sesungguhnya manusia bisa 

membebaskan dirinya dengan potensi yang ada. Dalam 

konteks ini, perspektif Marxis memberikan harapan dan 

wawasan atas Yudaisme menjadi manifestasi eksistensial 

sistem kepercayaan manusia. Tradisi kebebasan Yudaisme 

dapat menjadi salah satu konsep penting. Ia mampu 

menjembatani potensi dan tantangan realitas sosial 

keagamaan yang tak jarang menciptakan margin menuju 

keterbukaan konsep diri dan persaudaraan antar manusia. 

Namun filsafat humanisme Marxis ini tentu perlu ditelaah 

lebih lanjut secara mendalam dan penuh kehati-hatian 

terkait kritik Marx sendiri pada modernitas dan kapitalnya 

serta alienasi. 

Doktrin tentang manusia Yahudi, menurut Smart, 

tidak dapat dilepaskan dari latar bangsa Yahudi yang 

merupakan unit organis berkenaan dengan Tuhan. Manusia 

Yahudi menyembah Tuhan merupakan wujud keseharian 

di mana hal ini berhubungan dengan takdir bangsa 

Israel. Setelah masa penderitaan yang panjang, manusia 

Yahudi berharap banyak pada formulasi sebuah bangsa, 

yaitu bangsa Israel yang penuh keberkahan. Dan harapan 

82 • 

:


manusia Yahudi ini berkenaan dengan kemungkinan bangsa 

Israel dapat memberikan pengaruh pada dunia.87 Dari 

segmen ini, kita bisa mengambil mitos penderitaan sebagai 

penjelas harapan pemeluk Yudaisme pada kelangsungan 

eksistensial. Di sisi lain ia mengungkap potensi kesetaraan 

untuk patut diperjuangkan sebagai sesama yang memiliki 

hak kebebasan, sementara paradoksnya yaitu  Yudaisme 

mengalami alienasi dan keretakan.

Doktrin manusia Yahudi dapat merujuk pada definisi 

etnisitas dan kedua, pada komunitas pemeluk agama. Mitos 

penderitaan sebagai manusia Yahudi dapat menjadi pemicu 

pencarian identitas etnis, agama ataupun campuran antara 

etnis dan agama. Takdir sebagai bangsa pilihan Tuhan me-

ngandung pengertian otentisitas terkait pertanyaan siapa 

sebenarnya manusia Yahudi itu. Bagaimana ortodoksi darah 

matrilineal Yahudi dari pihak ibu kemudian mengalami 

kontestasi ketika terjadi keturunan dengan konsep yang 

sama sekali berbeda dengan doktrin matrilineal. Seorang 

Yahudi dari bapak Yahudi namun bukan dari Ibu berdarah 

Yahudi, tentu dapat memunculkan gejala-gejala keretakan 

atas keturunan otentik. Kemungkinan kedua yaitu  darah 

Yahudi dari keturunan Ibu Yahudi misalnya telah terpenuhi, 

namun pengaturan definisi komunitas menjadi kompleks 

ketika darah Yahudi beragama non Yudaisme. Setidaknya 

dimensi filosofis mampu mengaitkan problem kompleks 

otentisitas Yudaisme dengan pendekatan Smart atas 

Yahudi sebagai manusia. Sementara pada segmen Yahudi 

sebagai religi, sejumlah justifikasi literatur menunjukkan 


pola keberagamaan yang tidak monolitik. 

Manusia Yahudi menjadi terjerat dalam alienasi 

ketika tidak mampu melepaskan diri dari ketergantungan 

pada penyembahan hasil produksi manusia sendiri. Hal 

ini tertera jelas dalam Perjanjian Lama di mana pemujaan 

berhala hasil ciptaan manusia. Manusia berttansformasi 

menjadi komoditas atau barang. Ketundukan pada 

berhala-berhala ini yang membuat manusia terjebak 

dalam kebekuan. Perjanjian Lama menyebutnya sebagai 

“mata yang mereka miliki tidak melihat, telinganya tidak 

mendengar”. Afinitas pada berhala itu yang mendorong 

manusia tidak dapat menjadi dirinya sendiri. Berhala 

itu tidak saja berupa komoditas namun dapat berwujud 

negara, patung, orang dan kepemilikan.88 Keberatan 

sementara Yudaisme pada konsep negara Zionis, misalnya 

oleh kelompok Naturei Karta, yaitu  penjelasan filosofis 

mengapa berhala negara kemudian menjadi persoalan 

kedirian Yahudi sendiri. Seperti halnya kelompok agama 

lainnya, Yudaisme menemui keretakan-keretakan sebagai 

dampak aspek filosofis yang tidak sama. 

E. Dimensi Hukum-Etis

Penjelasan tentang dimensi berikutnya dalam 

agama Yahudi, yaitu dimensi hukum dan etis, dapat digali 

dari pernyataan bahwa baik dimensi naratif dan doktrin 

dapat mempengaruhi nilai-nilai sebuah tradisi dengan 

memberikan landasan tentang bentuk “pandangan dunia” 


dan mempersoalkan pertanyaan tentang liberasi yang 

tertinggi. Hukum-hukum yang berintikan tradisi dan bagian 

tradisi, selanjutnya dapat disebut dengan dimensi etis 

suatu agama. Di dalam agama Yahudi, dimensi hukum tidak 

hanya pada 10 perintah Tuhan saja, namun meliputi pula 

sebuah kumpulan yang terdiri dari lebih 600 aturan-aturan 

yang disampaikan oleh Tuhan kepada komunitas Yahudi. 

Segenap Hukum ini atau disebut sebagai Taurat, merupakan 

kerangka dalam kehidupan, utamanya untuk kaum Yahudi 

Ortodoks. Kesemuanya itu termasuk pula dalam bagian 

dari dimensi ritual, karena, sebagai contohnya, ketetapan 

untuk mengikuti hukum Sabbat sebagai hari istirahat, pun 

berkenaan dengan pelaksanaan praktek-praktek suci dan 

ritual tertentu, seperti datang ke Sinagog dan menjaga 

kesucian.89 Catatan keterkaitan antara hukum, ritual dan 

kongregasi dapat memberikan ruang penelitian lebih 

lanjut. 

Konteks doktrin Yudaisme dengan klaim perjanjian 

Lama pada buku ini yaitu  dalam ranah studi agama 

seperti yang pemeluk Yudaisme klam dan percaya. Tentu 

doktrin agama-agama Samawi – seperti Islam, Nasrani dan 

Yahudi memiliki sejumlah klaim normatif sendiri-sendiri. 

Alkitab, dalam pandangan Yudaisme, yaitu  Perjanjian 

Lama dengan 3 pembagian, berupa Taurat, Nevi’im (Asfar 

al-Anbiya) dan Kitab-kitab Hikmah. Bagian pertama 

Taurat terdiri dari: Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan 

dan Ulangan, selanjutnya bagian kedua berupa Nevi’im 


terdiri dari Nabi-nabi Awal (Nevi’im Rishonim) dan Nabi-

nabi Akhir (Nevi’im Aharonim). Yang terakhir, kitab-kitab 

Hikmah terdiri dari Mazmur Dawud, Amsal Sulaiman, 

Kidung Agung, Ester, Ayub, Ezra, Rut, Nehemia, Daniel, 

Ratapan, Tawarikh dan Pengkhotbah. Sementara bagian 

al-Kitab menurut Kristen, merujuk Perjanjian Lama dan 

Perjanjian Baru. Perjanjian Baru menurut doktrin Kristen 

terdiri dari Injil dengan pembagian Injil Matius, Injil Lukas, 

Kisah Para Rasul, Injil Markus dan Injil Yohanes. Menurut 

rohaniawan Ahli Kitab, kitab Taurat dan Injil disebut-sebut 

sebagai ‘al-Kitab’ yang memuat lembaran-lembaran Tuhan 

dengan klaim tulisan yang disusun oleh para orang suci. 

Klaim sumber alkitab ini  yaitu  Ruh Kudus. Kitab ini 

seperti dipaparkan sebelumnya yaitu  muatan Perjanjian 

Lama dan Perjanjian Baru dengan 66 jumlah safr, yang 

terbagi 39 di Perjanjian Lama dan 27 ada di Perjanjian 

Baru. Keseluruhan jumlah pasal 1.189 surah dan 31.175 

ayat. Jumlah kata di dalamnya yaitu  810.697. 

Deskripsi Perjanjian Lama yang memuat Taurat 

mendapat tanggapan berbeda dengan yang diyakini 

penganut Yudaisme. Sejarah Kitab suci menerangkan bah-

wa klaim Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) tentang bagian 

pertamanya berupa Perjanjian Lama untuk membedakan 

kitab Perjanjian Baru (Injil), sesungguhnya yaitu  pe-

ninggalan bangsa penentang dengan sandaran yang tidak 

kuat. Klaim mereka yaitu  berdasar pada ingatan yang 

berkurang seiring dengan berlalunya waktu. Edmond 

Jacob menduga terdapat kemungkinan Riwayat Perjanjian 

Lama ini tidak sesuai seperti pada saat periode Musa 

86 • 

:


dan nenek moyang terdahulu.90 Taurat dengan demikian 

dalam pandangan Jacob, merupakan periwayatan bersifat 

mendekati kejadian dalam konteks historis. Para periwayat 

kemudian mencoba-hubungkan kejadian dalam alkitab 

dengan imbuhan riwayat. 

Dengan demikian, umat Yahudi, dalam dimensi 

etisnya, diharapkan untuk selalu menjaga dan melaksanakan 

kedisiplinan tinggi terhadap 10 Perintah Tuhan dan aturan 

lainnya seperti yang ditekankan oleh para Rabbi. Dalam hal 

ini, Bell menekankan aspek kesadaran diri, kompleksitas 

serta estetis. Walaupun terdapat kemungkinan pemahaman 

konsep beragama yang kompleks namun rujukan doktrinal 

tetap menjadi salah satu perhatian di tengah sejarah pe-

maknaan agama yang bersifat acuh tak acuh pada dimensi 

doktrin.91 Sebagai contohnya yaitu  larangan, ber sumber 

dari pengambil hukum Yahudi yang terdiri dari para Rabbi, 

90 Taurat yang diklaim Yudaisme dan beredar dewasa 

ini, dalam pandangan al-Maghlouth, bukan kitab yang 

diturunkan pada Nabi Musa AS dan tidak diturunkan 

verbatim dari langit. Kitab Taurat Yudaisme ini yaitu  tulisan 

para pendeta, rohaniawan dan juru tulis selama beribu-ribu 

tahun. Taurat Musa yang asli, menurut Hasan Zaza, telah 

hilang dari bangsa Yahudi. Teks yang ditulis Ezra (disebut 

kaum Muslimin sebagai Uzair), berbeda sama sekali 

dengan wahyu yang diturunkan kepada Musa AS. Konsep 

perbandingan antara versi Yudaisme dengan pandangan 

Islam merupakan aspek penjelas klaim liturgi dengan sudut 

pandang pluralitas klaim antar pemeluk agama yang tidak 

monolitik. Studi Agama membantu menjelaskan perbedaan 

klaim ini  untuk mengetahui bagaimana agama-agama 

mempercayai liturgi dengan syarat pembacaan historis-

komparatif. Sami bin Abdullah al-Maghlouth, Atlas Agama-

Agama 


utamanya pada masa awal abad Pertengahan, untuk tidak 

melakukan poligami. Praktek penolakan pada poligami 

atas fenomena pemeluk Yudaisme beristri lebih dari dua 

cukup massif terjadi. Situasi ini berlangsung nyata dalam 

konteks masyarakat walaupun secara substansial praktek 

menolak poligami itu berlawanan dengan Hebrew Bible.92 

Perkembangan masyarakat yang terjadi nyata dalam ke-

hidupan sehari-hari apabila teramati secara seksama 

memunculkan paradoks manusia dengan pedoman nilai 

dan doktrinal agama. Salah satu sisi etis agama mengatakan 

bahwa aspek kesadaran diri atas kompleksitas pemaknaan 

menjadi persoalan utama dan dapat membantu pemahaman 

kompleksitas tafsir doktrin agama. 

Contoh perbedaan hukum kosher menjelaskan me-

ngapa sementara literatur menyebut posisi ajaran agama 

Yudaisme yang cenderung menjadi marjinal. Dalam per-

helatan konggregasi Yahudi, suguhan sea food serta 

crustacea atau pelbagai udang-udangan, membelah komu-

nitas keagamaan dalam beberapa pandangan. Ortodoksi 

Yudaisme sama sekali berkeberatan atas hukum yang 

sudah termaktub di liturgi itu, hampir sama seperti kaum 

konservatif mempunyai pendirian tegud pada ajaran 

agama. Namun konsep kosher menurut kalangan liberal 

dan reformasi bukan lah seperti aspek normative agama. 

Komplesitas konsep kosher yang bermuara pada keretakan 

kelompok menjadi cerminan pemeluk Yudaisme biasa 

untuk mengingat kembali penuturan Bell dan Bourdieu 



atas realitas kebutuhan masyarakat. Pluralitas komunitas 

beragama Yudaisme mengundang pemeluk Yudaisme 

kebanyakan untuk lebih cenderung pada konsep kesadaran 

diri. Ruang dan waktu berbeda serta tafsir atasnya me-

mercikkan gambaran praktek sosial keagamaan, seperti 

penjelasan De Lange, utamanya ketika kebutuhan normatif 

berseberangan dengan kebutuhan praksis di masyarakat. 

Faktor ortodoksi yang diperayai sementara kelompok 

Yudaisme perlu pula memperhatikan konsep ortopraksis, 

dimana agama menjadi berakar dan menjadi tali yang 

meneguhkan definisi komunitas, konteks sosial, faktor 

budaya lokal serta lanskap religio-geografis. 

Berikutnya, persoalan perundang-undangan Yahudi 

seringkali dikaitkan dengan Musa sebagai yang pertama-

tama menggariskan kekuasaan perundang-undangan bagi 

kaum Yahudi. Musa, menurut Hosmer, yaitu  orang yang 

meletakkan dasar-dasar perundangan-perundangan dalam 

Taurat, kemudian dijadikan referensi undang-undangnya, 

sebagaimana ia menjadi fondasi pembangunan kerajaan 

Yahudi. Sedangkan Weech mengatakan bahwa Musa yaitu  

pemimpin kaum Bani Israil, di samping ia menjadi penyuluh 

jalan kepada syariat dan pencipta undang-undangnya.93 

Seiring berjalannya waktu yang mencatat sejarah agama, 

jauhnya jarak dan tafsir religi menunjukkan kebutuhan 

doktrin agama menjadi wilayah para Kahin dan Rabbi. 

Selain memenuhi tuntutan kebutuhan pemeluk Yudaisme 

yang terus menerus mengalami perubahan, terdapat 

inisiasi para pengkaji agama dan liturgi ini  untuk 


menyusun pedoman beragama. 

Menurut pandangan Shalaby, sebagaimana pen-

dapat Al-Maghlouth, dengan memakai sudut pandang kom-

parasinya dengan Islam, sifir-sifir94 dengan nama Taurat, 

bukanlah merupakan wahyu yang diturunkan kepada Musa, 

bukan pula tulisan atau karangannya, tetapi merupakan 

buah tulisan dari para penulis belakangan. Seperti halnya 

hukum selain sepuluh wasiat itu, yakni hukum perundang-

undangan atau syariat Yahudi yang merupakan buatan dari 

Kahin-kahin dan Rahib-Rahib dari kaum Lawi, yaitu anak 

cucu Levy yang mengaku mempunyai hak untuk menyusun 

hukum-hukum bagi kaum Ibrani.95 Pendapat Shalaby ini 

dapat menjadi ilustrasi cara-cara kajian komparatif hukum 

Yahudi berdasar pada gagasan-gagasan para Muslimin dan 

Barat.96 Aspek-aspek lainnya mencakup pembagian faktor 

pertalian dengan agama dan kepercayaan serta faktor adat 

istiadat dan upacara-upacara yang semuanya terangkum 

dalam sepuluh wasiat merupakan contoh kajian hukum 

Yahudi yang mendalam. Termasuk pembahasan aspek ini 

yaitu  hukum-hukum mana yang tercakup dalam faktor 

pertama dan kedua di atas. 

Selanjutnya pandangan tentang Taurat memang 

kerap kali diatribusikan kepada para penganut Yahudi 

94 Sifir yaitu nama lain perjanjian lama, sedangkan sebutan

ilmiah untuk sifir yakni, The Old Testament (Perjanjian

Lama).



Ortodoks. Dalam pandangan Dan Cohn-Sherbok, penganut 

Ortodoks justru tidak bertempat tinggal di komunitas 

Yahudi terbesar di dunia, yaitu Amerika. Namun kaum 

Konservatif dan Reformasi lebih mengikuti adat kebiasaan 

dari Taurat dan liturgi-liturginya.97 Selanjutnya, Sherbok 

menjabarkan Taurat dan relasinya dengan contoh spekulasi 

para Rabbi terhadap Tuhan serta agama Yahudi, dalam 

pemaparan yang penyusun kutip utuh sebagai berikut: 

“Torah is the Hebrew word for “law.” In Judaism it is used 

to refer to the Pentateuch, but in its broader sense it can 

also include the whole body of Written and Oral Law, or the 

entire Jewish way of life. Torah covers every detail—foods 

that are permitted, proper clothing, conduct towards fellow 

Jews, dealings with all human beings, the role of women, 

the duties of parents and children, the festivals which 

must be celebrated, and the fasts that must be observed. 

Nonetheless, the sages made an important distinction 

between the revelation of the Pentateuch and that of the 

rest of Scripture. The Pentateuch is thought to have been 

given directly by God to Moses and it is thus held in the 

most reverence. It is written by hand on a long scroll, rolled 

and kept in the ark, the central focal point of the synagogue. 

When it is removed from the ark, the congregation stands 

and it is treated with utmost reverence. 

The text is divided into 54 portions and every week one 

section is read aloud. Its importance in Jewish life cannot 

be overestimated. In the words of the liturgy, “It is the tree 

of life to those who grasp it and those who hold it are truly 

happy…”.

Altogether there are 613 commandments in the Pentateuch 

and these have been explained and interpreted in the vast 


Catatan menarik dari kedekatan sekte konservatif 

dan reformasi dengan Taurat yaitu  mengapa kemudian 

terjadi fenomena ketidakpedulian pada agama sebagai 

identitas pribadi. Sementara keturunan darah Yahudi 

mengaku tidak mempunyai afiliasi dengan agama apa 

pun. Apakah kemudian pendefinisan kelompok tidak lagi 

mendasarkan penilaian dan deskripsi utamanya hanya 

pada faktor agama dengan menjadi soal selain agama 

sebagai subtitusi. Beberapa tesis melihat aspek etnis 

lebih cenderung menguat, walaupun tetap ada persoalan 



diskkriminasi dan prasangka. Sama seperti mengapa 

kemudian kecenderungan rasionalitas ilmu pengetahuan 

menjadi tesis utama literatur sejarah Pendidikan Yudaisme. 

Mengenai persoalan maupun contoh perkara lainnya 

yang dibatasi oleh perundang-undangan Yahudi, yaitu  

perundang-undangan sosial dalam Talmud serta yang 

menunjukkan perundang-undangan politik yang penting, 

seperti termaktub dalam gagasan justifikasi Zionisme. 

Per kara lainnya menyangkut sikap Yahudi terhadap per-

empuan, penghambaan, pengakuan, pandangan hal waris, 

riba serta larangan dalam persoalan perkawinan. Dari 

contoh-contoh perkara ini , maka dalam kerangka 

studi agama, perkara Yahudi ini  dapat saja diteliti 

dengan komparatif acuan-acuan perundang-undangan yang 

ditemukan dalam agama lain.99 Praktek kesetaraan per-

empuan yang menjadi fokus perjuangan clergi perempuan 

di Sinagog Beit Daniel yaitu  sebagai model pembahasan 

akademis mengapa sementara kelompok berkeberatan. 

Kelompok pengusung kesetaraan gender mungkin lebih 

mendasarkan argumentasi mereka pada aspek kebutuhan 

riil masyarakat beragama. 

Mengenai Talmud, teks Yahudi ini terdiri dari jilid-jilid 

besar sehingga sebagai referensi, teks ini tidak ditemukan 

di rumah-rumah keluarga Yahudi seperti halnya Taurat dan 

buku doa-doa. Terlebih teks Talmud ditulis dalam bahasa 

Ibrani dan Aramaik, dengan gaya bahasa rumit dan khas. 

Sebagai praktek, tidak banyak orang Yahudi, bahkan yang 


mampu membaca “Bible Hebrew” dapat secara mudah 

membacanya tanpa pelatihan intensif lanjutan. Otoritas 

pembacaan dengan demikian merupakan domain para 

sarjana dan Rabbi Yahudi, serta tidak benar-benar dapat 

diakses untuk publik umat Yahudi.100 Contoh kasus praktek 

ritual di Sinagog Beit Daniel sebenarnya yaitu  respon 

atas ortodoksi para Rabbi Yahudi. Otoritas pembacaan 

liturgi dapat saja telah mengalami pergeseran sebagai 

ekses Pendidikan agama dan liturgi. Namun keberhasilan 

pendidikan dengan membuka ruang keterlibatan perempu-

an menjadi dilema bagi sementara klaim ortodoksi yang 

telah menyejarah. 

Pelbagai persoalan doktrinal dapat kemudian terkait 

dengan pendekatan teologis …. 

Sumber teologi Yudaisme selain Talmud, berasaskan 

pada penyampaian para pemuka agama atau Rabbi dalam 

bentuk Shekinah. Konsep ini mempertemukan kepatuhan 

kepada Tuhan bersama-sama dengan spekulasi filosofis 

berupa kesempurnaan dan perbedaannya dengan manusia. 

Dalam pandangan pemuka agama, dua wajah Tuhan sebagai 

penghukum dan penyayang bukan merupakan kontradiksi, 

namun lebih cenderung terpahami sebagai sebuah 

100 Penjelasan lanjutan tentang Talmud dan 6 (enam) traktat-

traktat Talmud dari First Order (“Zeraim”/“Seeds”); 

Second Order (“Moed”/“Set Feasts”); Third Order 

(“Nashim”/“Women”); Fourth Order (“Nezikin”/“Damages”); 

Fifth Order (“Kodashim”/“Holy Things”) serta terakhir Sixth 

Order (“Tohorot”/“Purities”), berdasar pada terjemah Herbert 

Danby, sarjana Anglikan, terbit di Oxford pada tahun 1933, 


:


kesimbangan. Selain Shekinah, Midrash merupakan salah 

satu sumber hukum dalam bentuk pembacaan kembali 

Kitab suci sebagai sebuah dokumen kontemporer. Baik 

Talmud dan Midrash, keduanya berisi ketundukan kepada 

Tuhan dalam bentuk yang tidak sistematis. 

Selanjutnya, tatkala hukum Yudaisme menyapa 

kebutuhan para pengkaji liturgi dan bersifat populer, 

sumber teologi Yudaisme ini  yaitu  Sulkhan Aruh 

(SA) atau the Spread Table. Ia yaitu  bentuk terkini dari 

format praktek Yahudi yakni Halakhah, bersumber dari 

Taurat dan Talmud. Sulkhan Aruh (SA) cukup luas berterima 

sehingga bernilai otoritatif. Sifat lainnya yaitu  bentuk 

penyederhanaan Halakhah yang mampu menjangkau 

persoalan aktual sesuai jaman. SA merupakan produk 

kompilasi Joseph Caro (1488–1575) yang pertamakali 

terbit pada 1565. Caro berasal dari Spanyol kemudian 

menetap di kota Safed, sekarang terletak di sebelah utara 

Israel. SA kemudian mulai populer di kalangan Sephardim 

dan Ashkenazi, dua di antara sekte Yudaisme paling 

utama. Caro membagi hukum menjadi 4 bagian. Pertama, 

Jalan Hidup (Orah Hayyim), yang berintikan kewajiban 

peribadatan sehari-hari, termasuk sembahyang dan doa 

serta penghormatan pada hari Sabbath dan hari suci lainnya. 

Kedua, Guru Pengetahuan (Yoreh Deah), menekankan 

tata cara konsumsi makanan dan ritualnya. Ketiga, Batu 

Pertolongan (Even-ha-Ezer), memuat peraturan status 

pribadi, pernikahan dan perceraian serta terakhir, Hosyen 

Mispat berisi hukum sipil. Dengan sejarah ratusan tahun, 

SA bukan termasuk kategori referensi liturgi utama 

sehingga masih memerlukan rujukan lainnya bagi pengkaji 

95

:


liturgi Yudaisme. Penekanan SA terlihat paling kuat pada 

Sekte Ortodoks.101 Dua pembaca SA paling representatif 

yaitu  Israel Kohen, lebih dikenal sebagai Hafets Hayyim 

(1838–1933) dan Abraham Karelitz (1878–1953). Mereka 

mengungkap kebutuhan liturgi tidak hanya fokus pada 

perintah dan larangan, namun cenderung mengarah 

pada aspek moral, kesempurnaan spiritual dan pedoman 

kehidupan beragama. 

Liturgi Yudaisme selain mengacu pada Taurat, dapat 

berupa rujukan doktrin Yudaisme pada kitab-kitab non-

Kanonik seperti yang sudah dijelaskan di atas tentang 

Talmud dan Lampiran Talmud. Namun terdapat pula kitab 

Apokrif atau non-kanonik berupa Misyna (Taurat Lisan) 

dan lampiran Misyna (Gemara). 102 Penjelasan Taurat Lisan 

atau Misyna dapat ditelusuri sebagai sekumpulan aturan 

Yahudi yang menyebar dari mulut ke mulut. Kebanyakan 

penganut Yudaisme menganggap Misyna sebagai sumber 

referensi doktrin Yudaisme setelah Taurat. Kitab ini 

berbahasa Ibrani kuno dengan pengaruh Bahasa lainnya 

sezaman, ditambah lagi dengan Bahasa Aram sehingga 

susunan bahasanya