Kajian Kitab Daniel dan Sejarah Penjajahan Jepang di
Indonesia dalam Perspektif Poskolonial
Pengalaman menjadi bangsa jajahan tentu menjadi sebuah luka yang sulit untuk dilupakan
oleh yang pernah mengalaminya. Apalagi kalau pengalaman itu diwariskan secara turun-
temurun dari generasi ke generasi. Tulisan ini kemudian akan mencoba untuk mengungkap
sebagian dari itu melalui pendekatan Poskolonial dengan cara menggali pengalaman bangsa
Yahudi sebagai bangsa jajahan yang digambarkan dengan “Tanduk Kecil” dalam Daniel 8.
Kitab Daniel yang menyimpan pengalaman Daniel sebagai jajahan bangsa Babel tapi juga
sebenarnya ditujukan untuk pembaca Yahudi yang sementara dalam penjajahan itu kemudian
didialogkan dengan pengalaman bangsa Indonesia yang pernah menjadi bangsa jajahan
Jepang. Dialog kedua konteks ini akan memperlihatkan bahwa memori penjajahan bisa
diartikan sebagai memori penderitaan.
Almarhum kakek saya, Alfred Andasia Pemberiang, dahulu sering bercerita
bagaimana ia dan keluarganya hidup di masa Penjajahan Jepang. Sewaktu mengalami
penjajahan itu, ia sudah memasuki masa pemuda sehingga masih teringat banyak
tentang masa tersebut. Ia juga pada waktu bercerita kepada saya, masih ingat beberapa
kata Bahasa Jepang karena memang ia menerima didikan dari kurikulum orang
Jepang. Tapi yang paling ia ingat adalah bagaimana orang Jepang begitu kejam
terhadap orang-orang yang ia kenal. Beberapa orang dari keluarga kami ada yang
dihukum mati, ada yang disiksa, ada pula yang hingga kini hilang entah kemana.
Perhatian dari perspektif poskolonial adalah hal-hal yang seperti ini. Ingatan-
ingatan mengenai penjajahan yang pernah dialami tentu berdampak bagaimana kita
sebagai orang Indonesia menjalani kehidupan. Seperti yang disampaikan oleh Rey
Chow sebagaimana dikutip Sugirtharajah mengartikan postcolonial dengan bertolak
dari ungkapan post di depannya yakni berjalan melampaui, setelah, dan catatan
tentang waktu yang tidak terjadi secara linear tetapi konstan, dicirikan oleh peristiwa-
peristiwa yang mungkin secara teknis sudah berakhir tetapi hanya bisa sepenuhnya
dimengerti dengan perhatian terhadap penghancuran yang sudah ditinggalkan di
belakang.1 Penghancuran itulah yang dialami oleh kakek saya dan masih saya warisi
sampai sekarang. Menariknya, penghancuran ini bukan sekedar diwariskan begitu saja
tapi diwariskan dalam bentuk simbol. Dengan demikian, simbol yang membentuk
kebudayaan menjadi juga bentuk perlawanan. Karena di dalam simbol-simbol itu
terkandung memori-memori penting yang turut membentuk kebudayaan dan
kehidupan di masa kini. Inilah yang coba diperlihatkan melalui artikel ini.
Kitab Daniel yang dalam bentuknya sekarang kita miliki sebenarnya juga ditulis
pertama-tama untuk orang-orang Yahudi yang hidup di bawah penjajahan Yunani
dalam hal ini di bawah pemerintahan Antiochus IV Epiphanes.2 Dalam pasal 8, si
pencerita dalam Kitab Daniel kemudian mempergunakan gambaran “Tanduk Kecil”
yang menurut banyak ahli adalah Antiochus IV Epiphanes tersebut. Gambaran yang
dijelaskan dalam bagian ini sebenarnya juga adalah gambaran bagaimana si pencerita
yang mungkin mewakili orang-orang Yehuda di masa itu melihat dan memahami
penjajah mereka yaitu Antiochus itu.
Dalam tulisan ini, saya memperhatikan konteks Politik dari teks Daniel 8 secara
khusus gambaran “Tanduk kecil” yang adalah Antiochus IV Ephipanes sebagai
penjajah bangsa Yahudi serta mendialogkannya dengan gambaran “Dai Nippon” yang
adalah Jepang sebagai penjajah Bangsa Indonesia. Kedua gambaran itu menjadi jalan
bagi saya untuk memperlihatkan bagaimana simbol-simbol yang dipakai
sesungguhnya menjadi alat pewaris memori penderitaan yang dialami oleh bangsa
jajahan, bahkan bisa dikatakan itu menjadi alat untuk membentuk kebudayaannya
sendiri. Untuk itu, pertama-tama saya memberikan sebuah penjelasan singkat
mengenai Kitab Daniel karena ini adalah sebuah karya Tafsir dari salah satu pasalnya.
Kemudian saya menjelaskan mengenai gambaran “Tanduk Kecil” sebagai sebuah
gambaran atas penjajah mereka setelah terlebih dahulu secara umum menjelaskan
keseluruhan pasal 8 yang menjadi pasal pokok dari tulisan ini. Setelah itu berdasarkan
data-data yang ada, saya menjelaskan mengenai gambaran Jepang di mata orang
Indonesia sebagai jajahan mereka. Lalu yang terakhir, saya akan mendialogkan kedua
gambaran mengenai Antiochus dan Jepang tadi.
1. Tentang Perspektif Poskolonial
Seperti dikatakan oleh Leela Gandhi, poskolonialisme sesungguhnya adalah
medan pertarungan berbagai disiplin ilmu dan teori.3 Karena memang analisis
poskolonial hadir sebagai sebuah kepedulian tapi yang memakai berbagai
perangkat demi mencapai tujuannya. Ia hadir sebagai upaya untuk mengkaji
bagaimana penjajahan pernah dan terus terjadi hingga kini. Yang menarik menurut
Gandhi adalah bagaimana poskolonialisme sebagai sebuah analisis, memakai
penggabungan antara teori-teori yang bertentangan seperti Marxisme dan
postrukturalisme. Walaupun demikian, wacana poskolonialisme pertama kali
diperkenalkan oleh orang-orang di dunia sastra.
R. S. Sugirtharajah juga ketika menjelaskan perbedaan kritik poskolonial dalam
studi Alkitab dengan kritik-kritik yang ada sebelumnya mengatakan, bahwa sementara
kritik-kritik tersebut berfokus pada sejarah, teologi dan dunia keagamaan dari teks
sedangkan kritik poskolonial justru lebih memperhatikan unsur politik, budaya dan
ekonomi dimana teks itu muncul, walaupun memang kedua-duanya memperhatikan
konteks darimana teks tersebut muncul.4 Homi Bhabha sebagai seorang tokoh analisis
poskolonial sebenarnya hadir sebagai sebuah kritik bagi para pendahulunya. Selama
ini atas rintisan dari Edward Said dan Frantz Fanon, analisis poskolonial sudah
berkembang pesat dan menjadi kaca mata analisis yang menggiurkan untuk dipakai
dalam mengkaji persoalan penindasan yang terjadi. Tapi Bhabha di sini
memperlihatkan, bahwa para pendahulunya terlalu dikotomis dalam memandang
hubungan antara penjajah dan yang terjajah.5 Bagi Bhabha, hubungan antara pihak-
pihak itu selalu ambigu bahwa hibrid. Perlawanan yang dilakukan oleh yang terjajah
terhadap si penjajah tidak selalu konfrontatif.. Hubungan penjajah dan yang terjajah
selalu ada dalam ambiguitas dan hibriditas.
Bhabha memahami poskolonialitas dalam kerangka "beyond". Kerangka
poskolonialitas selalu bersoal pada bagaimana seseorang menempatkan kebudayaan
tertentu. Bahkan hal itu bukan cuma soal penempatan bahkan sampai pada situasi
dimana kebudayaan itu terbentuk kembali. Dengan demikian situasi "beyond" itu
mensyaratkan kemampuan intersubjektif dan internasionalitas yang membuat
kategori-kategori dikotomis tidak mencukupi lagi. Inilah kenapa kategori perlawanan
yang dikotomis sudah tidak mencukupi lagi untuk menjelaskan bagaimana hubungan
Penjajah dan yang terjajah. Dalam menjelaskan bagaimana hubungan teori dan dunia
politik, Bhabha menyebutkan bahwa hibriditas adalah sebuah keniscayaan. Kondisi ini
disebabkan upaya untuk melihat realitas bukan semata-mata dari singularitas tapi juga
dari bagaimana posisi ras, lokasi institusi dan lingkup geopolitik, dll. yang
menentukan identitas di dunia modern. Yang penting sekarang menurut Bhabha
adalah bagaimana berpikir dengan melampaui narasi-narasi originalitas dan asal
muasal suatu subjek, tapi lebih dari pada itu yaitu berfokus pada bagaimana proses
pembentukan budaya-budaya yang berbeda. Maka bagi Bhabha, yang paling penting
adalah bagaimana pembentukan kebudayaan.6
2. Kitab Daniel
Kitab ini memiliki judul Daniel karena cerita dan penglihatan-penglihatan di
dalamnya berkisar pada pribadi yang bernama Daniel. Setengah bagian pertama dari
Kitab ini (Pas. 1-6) mengandung cerita tentang sekitar pengalaman Daniel dan teman-
temannya di hadapan Raja yang menunjuk Daniel sebagai orang ketiga. Setengah
bagian lagi mengandung penglihatan-penglihatan oleh Daniel yang ditulis dalam sudut
pandang orang pertama. Menurut W. Sibley Towner, Kitab Daniel mengandung
tulisan-tulisan dari beberapa penulis yang bekerja di waktu-waktu yang berbeda. Ini
menyangkut perbedaan mendasar tentang dua bagian buku ini yaitu bahwa kitab ini
ditulis dalam dua bahasa (Dan. 2:4b-7:28 ditulis dalam Bahasa Aram, sisanya dalam
Bahasa Ibrani). Menurutnya paling luas diterima adalah pandangan H. L. Ginsberg,
bahwa keseluruhan Kitab (kecuali Doa dalam 9:4b-20) ditulis dalam lingua franca
pada masa itu, Bahasa Aram dan bahwa 1:1-2:4a ditambah Pasal 8:12 kemudian
diterjemahkan ke dalam Bahasa Ibrani mungkin agar bagian Kitab itu bisa lebih
diterima oleh komunitas yang mensucikan Bahasa Ibrani. 7
Kitab ini kemudian biasanya dibagi dalam dua bagian, Daniel 1-6 biasanya
disebut dengan Daniel A, sedangkan Daniel 7-8 disebut sebagai Daniel B. Dari segi
isi, seluruh Kitab Daniel dapat dikatakan termasuk ke dalam sastra Apokaliptik, tetapi
Daniel B masih lebih apokaliptik daripada Daniel A. Bahkan mungkin dapat dikatakan
Daniel B merupakan sastra apokaliptik par excellence, oleh karena berulang kali
menyebutkan mengenai akhir sejarah, sedangkan Daniel A hanya menyebutkan
mengenai akhir dari zaman tertentu dalam sejarah.8
Kitab ini banyak dipersoalkan karena data-data sejarah yang berada dalam
isinya. Pertama, bagian awal yang menunjuk ke penyerangan Nebukadnezar ke
Yerusalem pada tahun ketiga dari Pemerintahan Yoyakim (609-598 SM), yaitu pada
tahun 606 SM (ay. 1) yang kalau menurut Yeremia 25:1 saja, Nebukadnezar naik tahta
nanti pada tahun keempat dari Pemerintahan Yoyakim pada tahun 605 (SM), belum
lagi dengan data-data yang lain. Kedua, disebutkan dalam Kitab ini, Belsazar menjadi
penerus dan anak dari Nebukadnezar (5:1). Tapi sebenarnya ia adalah anak dari
Nabonidus bukan Nebukadnezar. Menurut catatan sejarah, Nebukadnezar digantikan
oleh anaknya Amel-Marduk, yang memerintah sekitar dua tahun (562-560 SM).
Ketiga, kitab ini bercerita tentang Darius dari Mede, anak dari Ahasyweros (9:1), tapi
dalam rekaman sejarah tidak pernah disebut seorang Mede yang bernama Darius.
Data-data ini memang sulit untuk didamaikan dengan sejarah, tapi seperti dikatakan
oleh C. L. Seow bahwa nilai dari Kitab Daniel sebagai Kitab Suci bukanlah
tergantung pada ketepatan sejarah tapi pada kekuatan dari pesan teologisnya. Otoritas
dari kitab ini sebagai sebuah kitab suci terletak pada kekuatannya untuk menginspirasi
dan membentuk komunitas iman.9 Seperti dikatakan tadi, bahwa Kitab Daniel dalam
bentuknya sekarang tanpa diragukan lagi disusun selama masa pemerintahan dari
Antiochus Epiphanes.Walaupun ia dikirim ke Roma pada tahun 189 SM, karena
kekalahan ayahnya oleh orang-orang Roma, Antiochus kemudian naik jadi Raja pada
175 SM melalui serangkaian kebetulan.
3. Si Tanduk Kecil
Pada bagian ini saya lebih berfokus pada Tanduk Kecil tentang apa yang
dilakukan dan artinya sehingga apa yang di dapat dari situ nantinya akan didialogkan
dengan perlakuan orang Jepang terhadap orang Indonesia. Tanduk Kecil ini muncul di
dalam konteks penglihatan yang sedang dialami oleh Daniel di pinggir Sungai Ulai.
Di sana Daniel melihat ada dua binatang yang terlebih dahulu muncul yaitu domba
jantan dan kambing jantan. Domba tersebut dikalahkan oleh si kambing yang
kemudian memunculkan empat tanduk. Nah, tanduk kecil itu muncul dari salah satu
tanduk dari keempat tadi. Berdasarkan penafsiran dari malaikat Gabriel, Domba
Jantan itu melambangkan Kerajaan Media-Persia (ay. 20) sedangkan Domba Jantan
berarti Kerajaan Yunani (ay.21). Menurut E. G. Singgih, gambaran binatang-binatang
di dalam Pasal 7-8 berfungsi untuk menimbulkan secara dramatis kesadaran akan
situasi genting yang sedang dihadapi oleh Daniel dan teman-temannya di kerajaan
Babel dan Persia, seperti yang kita lihat dalam konteks cerita dari Daniel 7-12. Ia lalu
membanding gambaran-gambaran dalam kedua pasal itu, kalau di pasal 7 binatang-
binatang Khaos yang muncul digambarkan tanpa merujuk secara eksplisit pada
konteks historis. Penjelasannya pun menghindar dari memberi petunjuk yang jelas.
Namun, pada pasal 8 gambaran domba jantan dan kambing jantan secara eksplisit
dikaitkan dengan kerajaan Media-Persia dan Yunani (mulai dari Aleksander Agung
sampai kepada keturunan Seleukus).10
Para penafsir kebanyakan setuju bahwa Tanduk kecil itu melambangkan
Antiochus IV Epiphanes.11 Gambaran tersebut sebenarnya sudah pernah muncul pada
pasal 7, di mana itu muncul sebagai gambaran atas Antiochus Epiphanes juga.
Sekarang dikatakan bahwa si tanduk kecil itu muncul dari salah satu tanduk dari
keempat yang muncul dari Domba Jantan setelah tanduknya yang perkasa itu patah,
yang memilki kemungkinan bahwa ia muncul dari wilayah Seleukus. Mengapa
kemudian ia disebut kecil tidaklah jelas. Mungkin kata sifat itu berarti bahwa siapa
yang dimaksud dengan Tanduk Kecil itu ingin dibedakan dengan “tanduk yang besar”
(ay. 8), Alexander yang hebat. Antiochus memang kalau dibanding dengan si Perintis
Kekaisaran Yunani, memang tidak ada apa-apanya, ia hanya Tirani Lokal. Tetapi ia
tentu punya peranan penting dalam sejarah orang Yahudi sehingga ia kemudian
disebut bertambah besar bahkan sampai ke sorga (ay. 10)12. Pada awalnya dikatakan
dalam ayat 9 kalau Tanduk itu akan menjadi lebih besar sampai ke arah Selatan,
Timur, dan Tanah Permai. Ini melambangkan kegiatan-kegiatan militer dari
Antiochus, dimakan ia bergerak ke arah Timur Siria (I Mak. 3), upayanya melawan
Mesir (I Mak. 1), dan pelecehan yang dilakukannya di Yerusalem.13. John Collins
melihat dari sudut pandang lain mengenai penglihatan ini. Ia menyimpulkan, bahwa
sebenarnya tujuan dari tindakan-tindakan Tanduk Kecil itu adalah Bait Yerusalem,
dan itu bisa dilihat dari ayat-ayat sesudahnya yang sebagian besar menyangkut
penyerangan di Bait tersebut14. Sehingga bisa dilihat bahwa penggambaran Tanduk
Kecil ini memang berfokus pada penjajah bangsa Yahudi di masa itu.
Apa yang dilakukan oleh Antiochus kepada bangsa jajahannya bisa dilihat
dalam ayat-ayat selanjutnya yang memang ingin memberi penegasan tentang hal
tersebut terlebih khusus dalam ayat 11-12 tentang kesombongan Tanduk Kecil itu.
Dalam ayat 10-12 digambarkan bagaimana Tanduk Kecil itu bisa sampai mengganggu
ketentraman Sorga. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu ciri khas dari tulisan
apokaliptik adalah kesatuan antara sorga dan bumi. Maksudnya, apa yang terjadi di
sorga seperti dalam tulisan apokaliptik sebenarnya menggambarkan apa yang terjadi
di bumi. Ini dimulai menurut Seow, sebenarnya sejak ayat 9 dimana dikatakan Tanduk
Kecil itu menjadi sangat besar sampai ke Tanah Permai. Yerusalem yang disebut
Tanah Permai sebenarnya lebih menunjuk kepada Gunung Sion yang merupakan
Sanctuary Allah. Jadi, Antiochus berani-beraninya menantang Allah di tempatNya
yang kudus15. Yang seperti itu juga dilanjutkan dalam ayat 11 dimana Ia digambarkan
membesarkan diri terhadap Panglima bala tentara yang merujuk kepada Allah. Ayat
12 kurang jelas Menurut Norman Porteous, tapi berdasarkan ayat 13 kita dapat
menyimpulkan, bahwa yang dimaksud dalam ayat itu adalah suatu kebaktian diadakan
secara fasik menggantikan korban sehari-hari adalah sesuatu yang dilakukan untuk
mengotori atau melecehkan Altar16. Ini mempertegas apa yang dilakukan oleh
Antiochus terhadap unsur-unsur keagamaan orang-orang Yahudi. Dalam bagian ayat
12 selanjutnya dikatakan kebenaran dihempakan oleh si Tanduk Kecil itu sampai ke
bumi, yang kelihatannya ia menggambarkan kejatuhan dari kebenaran yang diyakini
oleh Penulis dan Pembaca Kitab Daniel. Collins pun berkata demikian bahwa
kebenaran yang dimaksud di sini bukanlah kebenaran yang abstrak tapi menunjuk
kepada Hukum dan Adat Istiadat Yahudi.17 Jadi, kita melihat disini, bahwa Antiochus
digambarkan menantang Allah dengan merusak unsur-unsur peribadatan, adat istiadat
serta hukum-hukum bangsa Yahudi. Penggambaran Antiochus tidak sampai di situ
saja karena pada ayat-ayat selanjutnya dalam pasal ini, Malaikat Gabriel sendiri juga
mengartikan Tanduk Kecil untuk Daniel.
Gabriel mengatakan setelah akhir kerajaan dari empat kerajaan hasil pecahan
Tanduk Besar, maka akan muncul Raja dengan muka garang dan pandai menipu.
Ungkapan muka garang juga muncul dalam Ul. 28:50 untuk menggambarkan negara
yang akan dikirim oleh Tuhan karena Israel telah melanggar perjanjian. Tapi menurut
Collins, dengan itu bukan berarti kita bisa mengatakan bahwa Antiochus bisa dilihat
sebagai sebuah kutuk yang diturunkan kepada Bangsa Yahudi karena melanggar
perjanjian. Cukuplah menurut dia, untuk kita mengatakan bahwa ungkapan “muka
garang” disini berarti bahwa Antiochus merupakan Raja yang dikirim untuk melawan
Israel. Sedangkan ungkapan “pandai menipu” itu sebenarnya secara literer berarti
“seseorang yang mengerti teka-teki”. Itu pada awalnya bermakna baik, tapi untuk
Antiochus dipakai makna negatif yang berarti “seseorang yang mampu bersepakat
dengan dua belah pihak”, jadi Antiochus digambarkan sebagai seseorang yang
melakukan kesepakatan dengan dua pihak yang bermusuhan untuk akhirnya dia
sendiri yang diuntungkan.18 Tanduk kecil tersebut kemudian dalam ayat selanjutnya
dikatakan bahwa kekuatannya akan menjadi hebat, tetapi tidak sekuat dahulu dan ia
akan mendatangkan kebinasaan yang mengerikan, dan apa yang dilakukannya akan
berhasil; orang-orang berkuasa akan dibinasakannya, juga orang kudus (ay. 24). Bagi
Towner, fokus utama dari tindakan dari si Tanduk Kecil itu adalah pelecehannya
terhadap ibadah dan altar Bait Allah, sehingga tindakan-tindakan dalam ayat 24 harus
dilihat dalam sudut itu19. Seowpun senada juga berpikir demikian, bahwa kita bisa
mengartikan ayat 24 dengan merujuk kepada penyerangan dan pengrusakan kepada
perkakas Bait Allah.20 Sedangkan “Orang-orang yang berkuasa” yang dibinasakan
oleh Antiochus menurut Collins bisa juga diartikan Pemangku Takhta Siria21. Jadi
selain motif keagamaan seperti dikatakan tadi, disini juga ada yang lain yaitu unsur
politik dimana proses perebutan kekuasaan terjadi didalamnya.
Ayat 25 mencatat bahwa Tanduk Kecil itu kemudian oleh karena akalnya
melakukan penipuan yang berhasil. Ini merujuk kepada tindakan-tindakan Antiochus
agar dapat merebut tahta. Lebih lanjut, si Tanduk Kecil itu kemudian katanya akan
“membesarkan dirinya dalam hatinya”, yang kalau dilihat dari ayat 11 ini merujuk
kepada kesombongan Antiochus yang semakin besar. Gambaran mengenai dirinya
berlanjut dengan “tak disangka-sangka banyak orang akan dibinasakannya”, yang
secara umum biasanya diartikan sebagai penyerangan tiba-tiba di Yerusalem seperti
dilaporkan dalam 1 Mak. 1:29-30. Sekali lagi muncul sikap Antiochus yang berani
menantang Allah dalam “ia akan bangkit melawan Raja segala raja”.22 Jadi, sampai di
sini kita sudah melihat bagaimana penulis Kitab Daniel menggambarkan Tanduk
Kecil alias Antiochus sebagai raja yang melecehkan ibadah dan Altar Bait Suci,
memperebutkan Kekuasaan dengan kerajaan lain, dan membunuh orang-orang
Yahudi.
4. Si Dai Nippon
Dalam bagian ini, saya akan menguraikan beberapa pengalaman mengenai
Penjajahan Jepang di Indonesia yang nanti akan saya dialogkan dengan Tanduk Kecil.
Saya memakai istilah Dai Nippon yang merupakan istilah dari propaganda
kekaisaran Jepang pada zaman perang dunia pertama dan kedua. Dai Nippon
merupakan istilah yang sangat populer di masa Perang Asia Timur Raya untuk
mengganti nama dari kekaisaran Jepang.23 Pada mulanya orang Indonesia umumnya
menyambut kedatangan Jepang dengan perasaan gembira. Jepang dianggap sebagai
pembebas dari penjajahan Belanda. Serdadu-serdadu Jepang itu menimbulkan rasa
kagum penduduk ketika mereka memasuki kota-kota tanpa mendapat perlawanan dari
pasukan Belanda. Faktor utama yang menimbulkan simpati rakyat terhadap Jepang
tentu saja kebencian mereka terhadap Belanda, baik akibat penderitaan yang lansung
mereka rasakan, maupun akibat perasaan kebangsaan. Kata “banzai” terucap
berulang-ulang dan keras dari mulut-mulut penduduk yang terbius ketika Tentara
Jepang datang yang berarti “selamat datang”. Di samping itu, terdapat pula faktor-
faktor lain seperti kepercayaan akan kebenaran ramalan Joyoboyo, propaganda Jepang
melalui siaran Radio, dan daya tarik barang-barang “made in Japan” yang murah
harganya sehingga terjangkau oleh daya beli masyarakat.24 Setelah berjalan satu dua
bulan rezim baru Jepang tiba-tiba mengubah kata banzai (hidup Jepang) dengan
bakero, mengganti bendera Merah Putih dengan bendera Hinomaru, dan mengganti
lagu Indonesia Raya dengan Kimigayo. Rezim baru ternyata malah makin mendorong
rakyat Indonesia ke jurang penderitaan yang melebihi penderitaan yang dialami di
bawah pejajahan Belanda. Pelecehan terhadap adat istiadat dan agama mayoritas
penduduk, pemerasan ekonomi, serta pengerahan tenaga secara paksa untuk
kepentingan perang, terjadi di masa itu.
Ini menarik sebab semua itu memicu protes pertama secara halus oleh Hatta
kepada penguasa pemerintahan militer di Jawa dengan nasihat agar orang-orang
Jepang menghentikan kebiasaan mereka menampar kepala orang Indonesia. Karena
bagi orang Indonesia kepala adalah bagian tubuh yang dianggap suci, dengan
melakukan hal itu sebenarnya orang Indonesia akan merasa terhina. Selain itu, ada
juga protes terhadap kewajiban melaksanakan seikeirei (membungkukkan badan ke
arah matahari terbit sebagai penghormatan kepada Kaisar Jepang) yang bertentangan
dengan ajaran Islam. Bagi penganut Islam, hanya Tuhan yang wajib disembah. Orang
boleh saja menyembah orang lain yang ada di depannya, tetapi bukan menyembah
orang yang tidak kelihatan.25
Ternyata selain pengalaman dari Kakek saya, masih ada juga pengalaman-
pengalaman yang lain. Tentara Peta misalnya merasakan benci yang semakin besar
kepada Jepang ketika lama-kelamaan mereka mulai merasakan betapa rendahnya
martabat mereka dalam pandangan orang-orang Jepang. Mereka harus memberi
hormat lebih dahulu kepada serdadu Jepang yang pangkatnya lebih rendah. Romusa
sebagai bentuk kerja rodi di zaman Jepang adalah pengalaman lain yang tak kalah
pahitnya. Orang-orang yang melaksanakan Romusa dipaksa melakukan pekerjaan
berat dari pagi sampai sore, hampir tanpa istirahat. Namun, makanan dan kesehatan
mereka tidak diperhatikan sehingga banyak jatuh sakit dan meninggal dunia. Bahkan
untuk menggantikan romusa laki-laki yang meninggal dunia, Jepang mengerahkan
romusa wanita. Merekapun mengalami penderitaan yang tidak kurang hebatnya
dengan penderitaan romusa laki-laki.
Pengalaman yang terjadi di Sumatera juga sama saja tapi tidak separah di Jawa,
harga-harga makanan dan keperluan rumah tangga terasa bedanya dengan masa
Belanda. Hampir semua bahan-bahan pokok disana harus diprioritaskan dahulu untuk
Jepang atas nama kepentingan perang Asia Timur Raya. Sementara itu, rakyat yang
mayoritas petani dianjurkan untuk tetap rajin bekerja di sawah dan ladang mereka.
Akan tetapi sebagian besar hasilnya harus diserahkan untuk keperluan perang Jepang.
Di Minang kebanyakan orang yang sudah terbiasa makan nasi tiga kali sehari atau
sekurang-kurangnya dua kali sehari, maka di masa pendudukan Jepang banyak yang
tidak pernah melihat nasi. Kalaupun ada, seringkali beras bercampur jagung dan
sering sudah berjamur. Selain makanan, bahan kain pun amat sulit ditemukan.
Akibatnya, banyak orang yang memakai bahan kain kasur atau kain gorden
pintunya diubah menjadi baju atau celana. Sumatera barat khususnya, kesulitan untuk
mendapatkan bahan pakaian, bahkan kain usang sekalipun, menyebabkan banyak
orang terpaksa memakai bahan karung goni atu kulit kayu tarok (sejenis pohon
tanaman tua yang tebal serat kulitnya) HAMKA, seorang sastrawan Minang yang
terkenal, setelah menyaksikan sendiri dan menangkap fenomena kekejaman Jepang
dan menuangkannya ke dalam bait-bait pantunnya berikut ini 26:
Beras yang putih untuk Jepang
Di kita jagung campur ubi
Banyak bicara kena lampang27
Kalau melawan dihukum mati
Di Kalimantan Barat sering terjadi perlakuan kasar serdadu Jepang terhadap
penduduk, seperti menjatuhkan hukuman jemur sampai pingsan terhadap orang yang
hanya melakukan kesalahan kecil. Kekejaman mereka semakin meningkat setelah
sekutu sejak permulaan tahun 1943 melancarkan serangan udara terhadap kedudukan
mereka. Orang-orang yang dicurigai oleh Jepang kemudian ditangkap bahkan ada
yang dihukum pancung depan umum.28
5. Dialog Tanduk Kecil dan Dai Nippon
Uraian di atas kiranya sudah memberi bahan yang cukup bagi kita untuk mulai
mendialogkan kedua gambaran Tanduk Kecil alias Antiochus IV Epiphanes dan Dai
Nippon alias Jepang. Banyak kesamaan yang terdapat pada bagaimana cara kedua
Penjajah ini memperlakukan bangsa jajahannya. Sebagaimana yang telah diuraikan
tadi mengenai Tanduk Kecil bahwa fokus dari tindakan-tindakan binatang itu terutama
merujuk kepada tindakan-tindakan Antiochus yang merusak unsur-unsur keagamaan
bangsa Yahudi. Perusakan itu seperti mengganggu Ibadah di Bait Allah dan pelecehan
terhadap perkakas-perkakas di dalamnya yang kemudian juga menjadi pelecehan
terhadap altar. Jika dilihat dari uraian mengenai sikap Jepang terhadap bangsa
Indonesia terutama yang ada hubungannya dengan unsur keagamaan ternyata ada juga
hal seperti itu. Sikap-sikap Jepang terhadap bangsa Indonesia terutama pada saat telah
beberapa lama menjajah Indonesia seperti dikatakan tadi banyak melecehkan agama-
agama yang dianut oleh rakyat. Saya tidak mendapat sikap Gereja terhadap hal ini tapi
yang paling bersoal tentang hal ini terutama adalah Islam. Kewajiban untuk
melakukan Seikeirei yaitu penghormatan ke arah Timur setiap hari dipandang tidak
cocok dengan Syariah karena bagi mereka menyembah kepada sesuatu yang tidak
kelihatan terlarang. Hal yang berhubungan dengan itu adalah pengrusakan adat
istiadat Yahudi yang diungkapkan dengan “kebenaran dihempaskan ke Bumi (ay. 12)”
sebenarnya juga dialami oleh bangsa Indonesia. Yang mungkin agak berbeda adalah
bagaimana orang Jepang merendahkan orang Indonesia seperti yang dikritik oleh
Mohammad Hatta tentang bagaimana orang Jepang sering memukul kepala orang
Indonesia. Ini adalah sikap merendahkan karena bagi orang Indonesia, kepala adalah
bagian tubuh yang suci.
Mengenai kekejaman yang dilakukan oleh si Tanduk Kecil dan Dai Nippon bisa
dilihat dari bagaimana Antiochus menyerang Yerusalem secara tiba-tiba banyak orang
dibunuh, ini diungkap dengan “tanpa disangka-sangka banyak orang akan
dibinasakannya (ay. 25)”. Sama dengan yang diceritakan oleh Kakek saya bagaimana
keluarga kami dibunuh dan orang-orang Indonesia yang lain dihukum mati berupa
pancung oleh orang Jepang. Belum lagi kalau dihitung dengan pembantaian tentara
Jepang terhadap Para Pemberontak yang sudah merasa muak dengan sikap Jepang.
Kalau Tanduk Kecil digambarkan sebagai yang akan membinasakan orang berkuasa
(ay. 24) sebagai merujuk kepada Antiochus yang berusaha berkuasa atas Siria sama
dengan Jepang yang berhasil membombardir Pearl Harbour milik Amerika Serikat
lalu berhasil mengusir Belanda yang menjajah Indonesia ratusan tahun. Perbedaan
antara kedua gambaran ini adalah bagaimana orang Jepang memperlakukan orang
Indonesia sehingga membawa kesengsaraan yang begitu besar. Yang ada dalam
gambaran Tanduk Kecil, hanya diberikan penekanan pada pelecehan di bidang
agama, ada juga politik tapi terutama soal agama sehingga persoalan-persoalan
kemanusiaan belum terlalu nampak di sini. Penderitaan bangsa Yahudi yang
dinampakkan khususnya dalam bagian ini adalah bagaimana mereka merasa terhina
ketika Antiochus berulang kali melecehkan identitas keagamaan mereka. Penderitaan-
penderitaan yang lain misalnya seperti yang dialami oleh bangsa Indonesia berupa
kerja paksa Romusa, penindasan ekonomi yang mengundang kelaparan tidak terlihat.
Istilah Dai Nippon dan Simbol Tanduk Kecil walaupun dalam beberapa hal
memiliki kesamaan terkait pengalaman penderitaan yang dialami sebagai bangsa
jajahan juga punya perbedaan yang mendasar. Simbol Tanduk Kecil boleh juga
dikatakan sebagai sebuah simbol sindiran bahwa Antiochus IV Ephiphanes ini
sesungguhnya adalah sosok kecil dan tidak terlalu berpengaruh dalam sejarah dunia.
Meskipun kecil tapi memiliki dampak yang besar bagi orang Yahudi terbukti dari
penderitaan yang dialami. Simbol Tanduk Kecil adalah bentukan dari orang-orang
yang terjajah. Istilah Dai Nippon berbeda karena pada awalnya adalah bentukan dari
para penjajah. Bahkan simbol tersebut merupakan alat propaganda dari Jepang.
Dengan demikian, walaupun memiliki kesamaan dalam hal penderitaan yang dialami,
tapi kedua simbol ini mempunyai asal muasal yang berbeda. Hal penting untuk dilihat
juga bahwa ada beberapa perbedaan dalam hal pengaruh kedua simbol ini dalam
pembentukan kebudayaan dari kaum terjajah. Bagi Yahudi, simbol ini menjadi salah
satu unsur penting karena termasuk dalam Sastra Apokaliptik. Jenis tulisan ini
menjadi unsur penting karena termasuk dalam salah satu korpus tulisan suci Hebrew
Bible. Berarti dalam hal ini, simbol penjajah ini sudah menjadi satu unsur
pembentukan kebudayaan dari orang Yahudi. Simbol Dai Nippon sendiri bukan
menjadi satu simbol yang terus diulang sampai sekarang. Simbol ini hanya menjadi
kenangan bagi orang-orang yang sudah pernah merasakan penjajahan Jepang.
Simbol Tanduk Kecil dalam hal ini membenarkan pandangan poskolonial bahwa
hubungan antara penjajah dan yang terjajah tidak selamanya selalu konfrontatif. Tapi
memori itu menjadi perlakuan para penjajah itu dipergunakan sedemikian rupa orang-
orang yang pernah terjajah untuk dirumuskan dalam simbol dan menjadi unsur
penting dalam kebudayaannya. Dengan demikian, ini juga menjadi perwujudan dari
mimicry atau peniruan yang terjadi dari yang terjajah terhadap penjajah. Yang terjajah
dalam hal ini Yahudi memakai memorinya tentang penjajah untuk dipergunakan
dalam kepentingan kebudayaannya sendiri seperti yang nampak dalam sastra
apokaliptik. Dengan demikian kelihatan bahwa memori penjajah itu bukan sekedar
untuk dikenang tapi juga membentuk jati diri dari yang terjajah.
Penelusuran analitik mengenai memori penjajahan yang dialami oleh orang
Yahudi melalui simbol Tanduk Kecil dan pengalaman sejarah Indonesia menuntun
pada bagaimana memori kedua konteks ini memiliki kesamaan dalam beberapa hal.
Kesan umumnya ialah memori penjajahan bisa selalu diartikan sebagai memori
penderitaan dan perlawanan. Walaupun begitu terdapat beberapa hal berbeda juga
yang perlu ditekankan terutama pada bagaimana simbol itu diwarisi untuk kemudian
menjadi unsur penting yang turut membentuk identitas kaum yang terjajah itu.





.jpg)





