Tampilkan postingan dengan label Yudaisme Studi Agama 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Yudaisme Studi Agama 3. Tampilkan semua postingan

Yudaisme Studi Agama 3

 


menjadi versi Bahasa Aram. Adapun 

6 bagian Misyna yaitu  Zeraim, Moed, Nasyim, Nezikin, 

Qadasyim dan Tohorot. 

Misyna yang memuat tidak saja peribadatan sem-

bahyang dan doa wajib lengkap dengan berkat-berkatnya, 

namun juga aturan pengelolaan pertanian dengan hukum 



agama pada tanah dan pengaturannya yang disebutkan 

dalam Zeraim, bagian Misyna atau Taurat Lisan pertama. 

Selanjutnya pedoman tentang hari-hari raya dan hari suci 

termaktub dalam Moed. Upacara dan urusan pengaturan 

perayaan Yudaisme disebutkan untuk pelaksanaan ritual 

dan praktek pemujaan pada yang Adikodrati. Pelbagai 

aturan pada perempuan, termasuk pernikahan, perceraian, 

pengkhianatan pasangan suami istri, kewajiban dan hak 

suami istri serta warisan, wasiat, nadzar dan sumpah 

menjadi bagian penting di bab Nasyim, sedangkan 

pedoman pencederaan dan hukum mahkamah terkait 

perdata dan pidana dan penjelasan hukumnya dipaparkan 

di Bab Nezikin. Baik Qadasyim dan Tohorot, dua bab 

terakhir Misyna, merupakan ketentuan dan pedoman 

perihal suci dan kesucian. Dalam Qadasyim, ketentuan 

hukum berkisar pada ritus korban, hewan sembelihan, 

buah persembahan untuk kuil dan syarat-syaratnya serta 

upacara persembahan yang terkait akidaah dan hukumnya. 

Pembahasan bagaimana penjagaan kesucian menjadi topik 

utama bab Tohorot. Ia berisi hukum bersuci pada badan, 

pakaian, pelbagai perkakas serta perbedaan suci dengan 

najis, termasuk di dalamnya pedoman kosher atau kehalalan 

minuman dan makanan. Adapun Lampiran Gemara (ke-

sempurnaan atau penyempurnaan) yaitu  analisis para 

Rabbi berisi komentar, kesimpulan dan diskusi tantang 

Misyna, terbagi menjadi komentar Gemara Babylonia dan 

Gemara Yerusalem, disebut sesuai nama lokasi analisis 

pada Misyna itu dilaksanakan oleh para pemuka agama.

Dimensi doktrin Yudaisme merupakan salah satu 

klaim dokumen yang panjang. Teks-teks pilihan dari klaim 

97

:


Perjanjian Lama Yudaisme dapat memberikan contoh kajian 

tentang sistem baru bagi dunia di Kitab Kejadian. Teks kitab 

Bilangan dapat menjelaskan penghitungan pertama bagi 

Bani Israel, sedangkan kitab Hakim menyediakan sejarah 

Bani Israel di Kanaan. Salah satu konsep selanjutnya yang 

menarik yaitu  bagaimana menjelaskan situasi suku 

bangsa di tanah Kan’an sebelum kemunculan Bani Israel. 

Menurut Ulangan: 7:1 dalam Perjanjian Lama menyebutkan 

7 bangsa berbeda yakni Het, Girgasi, Amri, Kan’an, Feris, 

Hewi dan Yebus. Bangsa ini  mendiami kota-kota 

yang didirikan oleh bangsa Palestina yakni: Gaza, Asqelon, 

Ekron dan Crat. Selain itu, bangsa lain seperti Edom, Moab, 

Ammon dan Amaliqah yaitu  penduduk di sekitar Kawasan 

ini . Penamaan Bangsa dan kota-kota ini  cukup 

penting untuk observasi lokus yang dirujuk di sejumlah 

teks di Perjanjian Lama. 

Eksplorasi konsep Yudaisme sebagai salah satu 

metode mempelajari aspektual agama Yahudi merupakan 

titik awal para peminat kajian menentukan preferensi atau 

minat kajian yang mendalam. Tanpa konsep partikuler yang 

menjadi fokus kajian, agak merepotkan untuk membaca 

sejumlah besar aspek doktrin Yudaisme. Tentu lebih 

menarik dan tidak terlalu sulit apabila pembacaan konsep 

Yudaisme lebih menekankan pada tafsir pemaknaan yang 

tidak sama pada persoalan kehalalan, kepemimpinan 

perempuan, ortodoksi, pemuka agama, otoritas keagamaan, 

emansipasi, klaim liturgi, gerakan Mistisisme, Pembaruan, 

Penderitaan, Tanah Terjanji dan Bangsa Pilihan Tuhan. 

 

98 • 

:


F. Dimensi Institusional-Sosial 

Ninian Smart memberikan definisi dimensi 

institusional dengan menjelaskan bahwa kebanyakan 

agama menciptakan pranata-pranata khusus dengan 

maksud melangsungkan praktek dan pesan agama. Pranata 

ini dapat saja berbentuk dalam pelbagai gereja, maupun 

dalam konteks sosial yang lebih luas, terdapat lembaga 

pemuka agama seperti para Rabbi dalam Yahudi dan para 

Mullah dalam Islam. Terlebih lagi, dalam hubungannya 

dengan konteks sosial pula, setiap agama melakukan 

penetrasi dalam beberapa tingkat atau tahapan di dalam 

masyarakat itu sendiri. Sifat bentuk-bentuk penetrasi sosial 

pada agama itu, tentu memberikan pengaruh-pengaruh 

pada kelompok yang beragam.103 Aspek ini menandai 

perspektif sosiologi beragama dalam kajian religi.

Pandangan Sosiologis dalam kerangka studi agama 

menyebut beberapa ciri perspektif tentang masyarakat 

ini. Studi tentang kolektifitas manusia dalam kelompok- 

kelompok ini mengarah pula pada perhatian dan 

ketertarikan pada pranata religi. Apabila pengkaji studi 

agama cermati dari karya-karya Comte, Durkheim, Marx 

dan Weber, kerapkali muncul referensi wacanaa teologis 

maupun perilaku keagamaan dan sistem kepercayaan.

:


yang marjinal khususnya di Kawasan Eropa dan Amerika 

Utara pada pertengahan abad 20. Studi sosial pada agama 

dengan demikian berada di wilayah pinggir dalam konteks 

kajian. Namun gejala dan kecenderungan marjinalitas 

studi kemasyarakatan ini berbalik sama sekali dengan 

sebelumnya tatkala telah datang era akhir modernitas 

atau sering disebut sebagai pascamodernitas. Fokus agama 

menjadi isu sosiologi yang signfikan kembali utamanya 

berdasar pada pengamatan masa kebangkitan kembali 

atau resurgence dengan tingkat yang berbeda-beda pada 

fenomena agama di konteks global. Yang terjadi kemudian 

yaitu  topik-topik sosiologi berwujud pada ketertarikan 

pokok bahasan ekologi, penubuhan, gerakan sosial, 

globalisasi, nasionalisme dan pascamodernitas.

Konsep-konsep Teologi dalam sudut pandang 

Durkheim, Marx dan Weber telah berlalu sebagaimana 

Comte berpendirian kukuh bahwa sosiologi telah me-

nempati posisi teologi pada masyarakat modern. Baik 

Durkheim dan Marx misalnya, lebih mendasarkan argumen 

mereka tentang agama pada produk sosial itu sendiri. 

Namun Antonio Gramsci sebagai penerus langkah Marxis 

menggunakan argumen agama sebagai aspek interaksionis. 

Gramsci melihat agama sebagai sumber daya budaya yang 

seringkali dibutuhkan oleh kelompok revolusioner, kaum 

reformis maupun pendukung status quo. Agama dengan 

demikian menjadi sumber pembangkit perubahan sosial 

sebagaimana pula sebagai sumber kelekatan sosial.

Pranata kepemimpinan dalam Yudaisme, seperti 

riset Perlman, merupakan contoh justifikasi aspektual 

100 • 

:


agama sebagai aspek yang dipinjam untuk reformasi 

sosial keagamaan di antara aliran Yudaisme. Perjuangan 

emansipasi perempuan yaitu  perspektif Marxis yang 

kemudian dikembangkan oleh Gramsci untuk menyuarakan 

aspirasi yang terpendam. Agama dalam hal ini yaitu  

progenitor yang berkesesuaian dengan visi kaum reformis 

yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan. 

Pandangan Weberian lebih menguatkan dinamika 

agama dengan pointer ekonomi sebagai pokok per-

masalahan masyarakat modern. Masyarakat Yudaisme 

menurut sudut pandang Weber, tidak akan terlalu banyak 

mendapatkan generator atau dorongan motivasi ekonomi, 

apabila mengikuti jalan mistisisme seperti Kabbalah. Namun 

akses langsung kepada yang Transenden sebagai klaim 

kaum Kabbalah yaitu  bentuk penggunaan agama sebagai 

bentuk penjelasan yang lain atas ortodoksi Yudaisme. 

Perkara Nubuat menjadi relatif di antara kaum Yahudi 

mengingat klaim keberlangsungan wahyu dipercaya oleh 

kaum Kabbalistik ini. Pandangan pada pranata kelompok 

keagamaan seperti Kabbalah yaitu  model penjelasan 

konsep keagamaan Yudaisme dikaitkan dengan penjabaran 

teori-teori sosial yang relevan. 

Selain teoretikus Durkheim, Marx dan Weber dan ke-

ber langsungan Marxis dengan Gramsci, pendekatan sosial 

pada agama juga berhutang budi pada kategori Bryan 

Wilson pada fungsionalisme agama. Wilson membagi 

dua kategori fungsi manifes dan laten. Aspek manifes 

agama terletak salah satunya pada konsep keselamatan/

salvation. Takdir keselamatan ini berupa peribadatan dan 

101

:


ketundukan kepada yang Transenden. Pada masyarakat 

industri dan latar perkotaan, fungsi manifes agama menurut 

Wilson ini kerapkali tampak nyata. Pengalaman Pantekosta 

yang diamati Wilson, mengandung partikularitas. Namun 

esensi manifes dalam agama-agama yaitu  sumbangan 

berharga Wilson pada studi agama. Selain keselamatan, 

konsep manifes agama dapat terjumpai pada yang tak 

ter jelaskan/the unexplained. Kuatnya rasionalisme 

dan ilmu pengetahuan menyisakan pertanyaan tentang 

kekuatan supranatural termasuk makhluk tak kasat mata. 

Pengalaman keagamaan kelompok Yudaisme menunjukkan 

manifestasi agama untuk kelangsungan hidup keagamaan 

dengan penekanan keselamatan pada mitos penderitaan 

dan bangsa pilihan Tuhan. Kejadian supraempirik kelompok 

Kabbalah yaitu  contoh bagaimana agama bersifat 

fungsional. Fungsionalisme Yudaisme cukup menarik 

untuk eksplorasi konsep dan penjelasan teoretisasi studi 

agama dan sosial keagamaan. 

Sebagai contoh pranata selanjutnya yaitu  tentang 

keluarga. Masyarakat Yahudi dirumuskan dalam pondasi 

dasar berupa dua unit utama, yakni keluarga dan komunitas 

atau masyarakat. Walaupun dalam konteks kekinian, 

konsep keluarga bagi Yahudi mengalami pergeseran-

pergeseran pada tingkat interpretasi individual, namun 

pranata keluarga, menurut penganut Yahudi, merupakan 

aspek vital dalam perayaan Passover, misalnya. Tengoklah 

jikalau umat Yahudi memperhatikan hierarki keluarga 

secara fungsional. Anggota keluarga inti yaitu ayah, ibu dan 

putra-putri Yahudi mengemban tugas terkait ritual Yahudi 

tertentu. Pada petang hari Sabbat, misalnya, perempuanlah 

102 • 

:


yang menyalakan pelita, sedangkan suaminya membaca 

kidung doa Sabbat (Kiddush). Pada momen lain seperti 

perayaan perjamuan Passover, putra atau putri terkecil 

usianya yang hadir, didaulat untuk membaca doa the Four 

Questions (mah nishtanah).105 Hal ini yang kemudian 

disebut-disebut sebagai paralelisme pranata keluarga ini 

dengan konsep pembagian kerja Durkheim. Di sisi lain, 

cara pandang fungsionalisme menurut Malinowski juga 

penting karena ia mencoba menjelaskan stereotyping 

Barat pada praktek keagamaan.106 Kenyamanan dalam 

ritual Yudaisme yang mampu menyatukan nilai keluarga 

menurut Malinowski bertemu dengan prinsip Durkheim 

tentang ikatan religi sebagai perekat kelompok beragama. 

Dalam pandangan teroritis, masyarakat beragama 

secara umum, tak dapat melepaskan diri dari aspek 

kelompok, karena kejanggalan menjadi muncul tatkala 

individu “per se” mengekspesikan keagamaannya. Sekali-

pun mungkin pada awalnya agama merupakan urusan 

perseorangan, namun dalam setiap agama dapat dipastikan 

terdapat adanya kebersamaan dalam beragama. Dalam 

tiap persekutuan agama, terdapat dua macam hubungan, 

yakni, pertama, hubungan vertikal yang merupakan 

hubungan kolektif dan individual para anggotanya dengan 

Tuhan, dan, kedua, hubungan horizontal antar para 

anggota persekutuan satu dengan lainnya. Hubungan yang 


pertama paling utama, sedangkan hubungan kedua bersifat 

sekunder. 107 Dalam konteks pranata politis-sosial, pelbagai 

organisasi masonry dan perkumpulan rotary, disebut-

sebut dalam kerangka Yahudi, telah lama mengadakan 

hubungan kolektif antar anggota komunitas Yahudi untuk 

tujuan-tujuan tertentu.108 Selanjutnya pranata Yudaisme 

membahas deskripsi konsep keluarga dan rites of passage 

(ritus kehidupan).

Konsep keluarga Yudaisme dapat terlihat tatkala 

pasca perayaan Hanukkah (dedikasi). Mereka menandai 

ritus Shevat atau Tu Bi-Shevat dengan menanam te-

tum bu han dan memakan buah-buahan.109 Konsep 

peraya an keluarga Yudaisme ini utamanya berlaku bagi 

mereka yang berasal dari tanah Israel. Perayaan lainnya 

walaupun termasuk kategori tidak utama, namun Purim 

di bulan Februari atau Maret setiap tahunnya ini yaitu  

tema perayaannya menjadi satu perhatian utama. 

Ritual keluarga Purim ini menegaskan pengingat pada 

persekusi. Ia bermula dengan puasa kemudian berbuka 

sembari memberikan hadiah dan persembahan melalui 

107 Kajian lebih lanjut tentang aspek-aspek penting masyarakat 

agama, pemahaman diri, hubungan antar anggota, ukuran 

masyarakat agama, integrasi dalam masyarakat agama, 

struktur masyarakat agama, otoritas, serta semangat masya-

rakat agama, hubungana dengan dunia luar dan solidaritas 

keagamaan, selanjutnya dapat dilihat dalam Djam’annuri, 

Ilmu Perbandingan Agama: Pengertian dan Objek Kajian 

(Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta, 1998), hlm. 81- 96.



penghaturan makanan kepada teman dan tetangga. Namun 

fokus tradisi keluarga ini yaitu  kebolehan minum-minum 

kemudian berparade dalam karnaval. Sepintas lalu seperti 

kontras bahwa sukacita perayaan yaitu  peringatan atas 

persekusi. Kontras berikutnya yaitu  pembolehan keluar 

dari ajaran agama untuk tidak memakai baju yang tidak 

peruntukan gendernya. Topeng wajah berwarna-warni 

menandai semaraknya peringatan konsep penderitaan itu 

dengan ciri mengudap ‘Haman’s pockets’, kue pastri yang 

diisi dengan pelbagai macam biji-bijian. 

Konsep keluarga dan perayaan yang menyertainya 

dapat menjadi deskripsi konsep societalisasi. Bryan Wilson 

menjelaskan konsep dengan menekankan pada pergeseran 

cara pandang dengan latar masyarakat beragama di era 

modern dan sebelumnya.110 Tidak hanya konsep keluarga 

dan ritus, namun pandangan pada liturgi serta ortopraksis 

berupa keadilan dan kesetaraan gender, yaitu  objek 

studi yang dapat dijelaskan dengan tesis Wilson. Penanda 

perubahan masyarakat beragama sebelum era modern 

biasanya terdiri dari sekumpulan kecil masyarakat yang 

dapat berjumpa sehari-hari, sama sekali berbeda dengan 

perilaku anonim masyarakat modern. Proses sosial dan 

pranata sosial masyarakat modern berskala bukan lagi 

lokal dan personal, namun merambah pranata en masse. 

Fakta sosial ini berujung pada perubahan mendasar pada 

problem identitas individu maupun kelompok keagamaan 

khususnya pada titik fokus bentuk- bentuk kehidupan yang 



terkait dengan agama dan religi. Sama seperti masyarakat 

sebelum modernitas, Wilson mencatat aspek dapat 

dipercaya atau trust dan fidelity/kesetiaan sebagai aspek 

penting dalam tatanan sosial dan pemaknannya. Loyalitas 

pada kebajikan religious bukan perkara yang dianggap 

sambil lalu belaka atau dikesampingkan. Relasi dan peran 

di dalam pranata keluarga misalnya mendasarkan pondasi 

nilai-nilai lebih kepada aspektual religi. 

Tesis Wilson melanjutkan diskontinuitas nilai. 

Masyakat modern tidak lagi merujuk sepenuhnya pada nilai 

primordial dan personal yang membutuhkan seperangkat 

penyerta dan justifikasi agama, namun cenderung 

mempercayai bagaimana peran-peran sosial bersumber 

pada asumsi sekuleristik, berisi penawaran – permintaan, 

regulasi birokratis, kontrak serta teknis. Dengan penuh 

kehati-hatian, masyarakat modern dalam kacamata Wilson 

lebih terpaku pada wilayah non agama serta tidak terlalu 

menganggap penting tata peran sosial yang rumit.

Nilai yang muncul dari proses societalisasi yaitu  

individuasi. Aspek berbasis individualisme ini kemudian 

mendorong arah pemisahan urusan agama dengan urusan 

profan. Pijakan rasionalitas manusia modern membuka 

arah cara-cara dan strategi pencapaian manusia yang kuasa 

menentukan arah berpikir untuk pemenuhan aspektual 

ekonomi sosialnya. Determinasi manusia rasional men-

ciptakan celah kesenjangan antara justifikasi agama yang 

dianggap sebagai ancaman otonomi manusia modern. 

Perspektif manusia dengan cara pandang Eropa sentris ini 

bukan tanpa kritisisme. 

106 • 

:


Manusia modern berada pada persimpangan jalan 

ketika berhadapan dengan asas religi dan di sisi lainnya 

dengan ekspresi otonomi. Jalan individuasi, seperti tesis 

Wilson mungkin berlaku pada eksposisi cara pandang 

Eropa. Namun menjelang dan setelah pergantian 

millennium memasuki abad ke-21, pandangan manusia 

otonom kemudian bertemu dengan konsep alienasi Marx 

dan Durkheim. Keterpinggiran kebutuhan religi sebagai 

ekses upaya individuasi manusia modern menuju capaian 

otonomi kemudian merebak dan menguatkan kembali 

kebutuhan dan persoalan atas agama. Demikian pula 

pranata keluarga tidak lagi menghadapi tesis Wilson yang 

mencatat relasi hitam-putih atas nilai- nilai tradisional 

dibandingkan dengan modernitas. Penganut Yudaisme 

menginsyafi bentuk reformasi agama sebagai salah satu 

solusi. Agama kemudian berubah fungsi dasar menjadi 

komoditas dan dekat dengan ekonomi-politik agama. 

Pranata keluarga Yudaisme bukan lagi merasakan 

ekses proses modern dan pengelolaan manusia yang 

menjalankan ideologi otonomnya, namun lebih jauh dari 

itu dapat menjelaskan konsep kesadaran diri dengan 

memulai lentur pada perbedaan praktik agama dan 

kepercayaan atas tradisi-tradisi agama. Ekstensi momen 

Sabbath sekarang menjadi justifikasi kebaruan dengan 

memberikan tafsir lebih luas tidak hanya terkungkung 

dalam pranata agama. Masyarakat Yudaisme sebagai 

bagian arus modernitas meyakini aspek Pendidikan secara 

serius dengan mendirikan kelompok diskusi dan ilmu 

pengetahuan, sebagian lagi memulai asrama Pendidikan 

khusus untuk memperkuat nilai-nilai yang tetap dan nilai-

107

:


nilai yang bergeser. Sejumlah literatur menyebutkan era 

kebangkitan intelektual Yahudi di mana para generasi 

penerus tidak secara sadar menjalankan perintah agama 

dengan cara-cara ejawantah profan seperti keseriusan 

dalam dunia Pustaka, pengembangan pengetahuan dan 

penemuan ilmu-ilmu serta inovasi teknologi. Sebagian fakta 

pengetahuan di era milenial ini merupakan sumbangsih 

pranata Pendidikan Yudaisme, dalam terapan teknologi 

digital dan media sosial misalnya. 

Institusi paling kentara berupa keluarga ini kemudian 

melakukan pelbagai pilihan sebagaimana tawaran gagasan 

Yudaisme pada Sekte Ortodoks, Konservatif dan Liberal-

Reformatif. Sebagian menjadi tidak terlalu terikat pada 

aspek doktrin dan ritual tradisional, namun yang lain justru 

melalukan adaptasi, akulturasi dan inkulturasi dengan 

aspek kontinuitas jaman dan ruang ekspresi keagamaan. 

Tesis Turner dapat dipinjam sebagai penjelas mengapa 

kemudian agama dan dinamika penafsirannya menjadi 

menguat. Turner menyebutnya sebagai resakralisasi.111 

Ia yaitu  bentuk negosiasi dengan pranata kewargaan 

sebagai bagian dari kaum beriman yang tinggal di bawah 

otoritas negara dan dalam kaitannya dengan posisi umat 

beragama sebagai komunitas minoritas beragama. 

Rites of Passage Yudaisme berkisar pada momen 

sukacita dan perkabungan. Lokus sebenarnya perayaan 

ritus kehidupan ini yaitu  di tempat ibadah seperti 

Sinagog dan melibatkan komunitas luas, namun fokus 



utamanya berada di tingkat keluarga. Penggambaran ini 

terlihat pada konsep rumah bagi Yudaisme sebagai aspek 

vital terkait bagian dari ritus kehidupan perkawinan. 

Rumah dan keluarga yaitu  amanat wajib berdasarkan 

kitab suci Yudaisme seperti dalam Genesis 1: 28, yang 

mengisyaratkan pentingnya keluarga untuk membina 

hubungan positif dan meneruskan keturunan. Namun 

pranata ini juga menawarkan konsep kebahagiaan, kasih 

sayang dan harmoni. 

Kecenderungan pertemuan praktek Yudaisme 

dengan dunia modern dan Kristen kemudian membentuk 

prosesi pernikahan dalam rangka membina keluarga 

di dalam lingkungan Sinagog. Di hadapan para Rabbi, 

kedua pasangan terberkati oleh pemuka agama dengan 

persaksian pranata keluarga, tetangga dan teman. 

Dibandingkan dengan praktek sebelumnya dalam tradisi 

Yudaisme, pernikahan tidak harus secara resmi di hadapan 

para pemuka agama seperti di Sinagog, namun dapat secara 

luas di tempat-tempat di luar ruang ibadah. Rumah yaitu  

lokus prosesi pernikahan sebelum kemudian belakangan 

perkembangan dengan pengaruh kekristenan menggeser 

pernikahan di altar tempat peribadatan. Terdapat huppah, 

semacam kanopi sekaligus kata huppa berarti pernikahan 

yang berdiri di rumah mempelai penganut Yudaisme. 

Pranata pernikahan Yudaisme bagi kalangan Ortodoks 

berarti kesediaan untuk bersaksi di hadapan pemuka 

agama untuk ketubah, semacam dokumen pernikahan. 

Selain kesediaan persaksian pernikahan dengan tempat 

dan tanggal nikah, dokumen berisi jumlah uang yang wajib 

109

:


terbayar apabila terjadi perceraian. Kesanggupan ini tentu 

untuk menandai kesakralan pernikahan dan prakteknya 

dalam pembentukan pranata keluarga. Kata-kata verbatim 

dalam dokumen ketubah berisi janji suci “Saya berjanji 

sepenuhnya dengan dasar iman bahwa saya akan menjadi 

suami yang menghargai dan membahagianmu. Akan 

selalu upaya bersungguh-sungguh bekerja untuk menjaga 

dan mendukungmu. Sesuai kemampuan akan berjanji 

memenuhi apa yang menjadi kebutuhanmu sebagaimana 

seorang suami Yahudi wajib laksanakan.” Dalam praktek 

keagamaan di era modern, kalangan liberal-reformasi lebih 

memilih kesepakatan resiprokal yang menandai kesetaraan 

gender. Kelak dalam praktek-praktek religi, cara pandang 

dan perspektif, kaum Reformis berciri khas kelenturan 

atas doktrin, tradisi dan ritual tradisional Yudaisme. 

Tanpa ketubah, secara legal formal pasangan Yudaisme 

tidak mendapatkan syarat penting untuk hidup bersama 

pasangannya membina mahlihai perkawinan. 

Pranata pernikahan Yudiasme memberikan pen-

jelasan kepada pengkaji agama tentang relasi pernikahan 

dengan praktek-ritual yang menyertainya. Bagi kedua 

mempelai, berpuasa sampai berakhirnya prosesi nikah 

merupakan anjuran ajaran agama. Terlebih ketika momen 

doa-doa, secara khusyuk pengantin menyampaikan 

pengakuan atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Sebentuk 

kittel berupa tali-temali yang kelak akan dipakai saat 

tradisi Passover sampai kemudian menyertai saat kematian 

tiba menjadi persembahan pengantin. Ia menjadi tanda 

mengingat ritus kehidupan yang berakhir pada kematian. 

110 • 

:


Adapun Joachim Wach menyebut dua hal penting 

dalam hubungan individu-persekutuan agama ini. Pertama, 

pada dasarnya hakekat, kedalaman, ketahanan dan bentuk 

persekutuan keagamaan akan banyak bergantung pada 

cara para anggotanya menghayati hubungan mereka 

dengan Realitas Mutlak serta pada cara mereka mengalami 

persekutuan, membayangkan dan mempraktekkannya 

dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, dalam tiap-tiap 

persekutuan keagamaan, akan memperlihatkan diri sebagai 

sebuah mikrokosmos yang memiliki hukum, pandangan, 

sikap dan suasana kehidupan tersendiri. Djam’annuri 

menuliskan sifat-sifat agamis persekutuan keagamaan yang 

terlihat dalam berbagai kelompok kultus seperti “kahal” 

dalam agama Yahudi, ummah dalam Islam maupun samgha 

dalam Buddha.112

Pranata, sebagaimana ditemukan dalam agama 

Yahudi dalam paparan di atas, ditegaskan aspek definifnya 

sebagai suatu sistem norma khusus. Deksripsi pranata 

dalam wilayah pendekatan sosiologis lebih menekankan 

pada bagaimana pengaruh pranata agama pada masyarakat. 

Dengan mengamati pranata, maka kecenderungan 

penurunan relasional pranata atau sebaliknya peningkatan 

afinitas pranata dengan masyarakat beragama dapat 

teramati.


suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan 

masyarakat.114 Dalam dataran yang lebih kongkrit, pranata 

diuraikan dalam berbagai organisasi sosial yang memenuhi 

kebutuhan manusia. Menurut Dadang Kahmad, setiap hari 

manusia selalu melaksanakan interaksi antar sesama dalam 

rangka hidup bermasyarakat. Hubungan antara individu 

itu adakalanya berpedoman pada pola-pola hubungan 

yang resmi dan ada kalanya juga berpedoman pada pola-

pola yang tidak resmi. Sistem wahana yang memungkinkan 

warga masyarakat itu melakukan interaksi dengan pola-

pola resmi, dalam bahasa ilmu sosial disebut pranata 

(institution).

Kahmad selanjutnya mencatat bahwa pranata sosial 

yang berhubungan dengan kehidupan beragama dari 

suatu masyarakat tertentu meliputi segala pemenuhan 

kebutuhan anggota masyarakat ini  dalam mengabdi 

kepada Tuhan. Dalam konteks kajian studi agama, bentuk-

bentuk pranata dalam hubungannya dengan kehidupan 

beragama masyarakat dapat berupa ibadah, pendidikan 

agama, hukum agama, partai, ekonomi berbasis agama, 

keluarga, kehidupan sosial, pertahanan, ilmu pengetahuan, 

kesusastraan serta kesenian terkait agama tertentu.

:


maka dalam dimensi institusional, penggolongan pelbagai 

dimensi keagamaan menjadi terkait satu dimensi dengan 

lainnya, seperti halnya dengan ditemukan golongan Yahudi 

Parisi, yang menurut sebagian pengamat, lebih merupakan 

partai politik, ketimbang golongan atau mazhab.116 Dalam 

lintasan sejarah Yudaisme, kelembagaan Yahudi dapat 

dipastikan merujuk pada definisi ‘communitas’ menurut 

Victor Turner. Kelompok agama Parisi sebagai contoh 

yaitu  klaim relasional pemeluk Yudaisme yang berada 

di antara definisi ‘infinite’ dan ‘finite’ dalam pengalaman 

umat beragama. Komunitas pada definisi di luar Turner 

bukan lah definisi ‘communitas’. Ia lebih kepada margin 

yang memisahkan kelompok agama Parisi dari sekte 

atau golongan Yudaisme lainnya. Penanda atas Yudaisme 

menurut Parisi dengan demikian menghubungkan realitas 

sosial dan politik dengan aspektual klaim agama, sehingga 

persoalan politik dalam konteks Parisi sebenarnya bukan 

saja menunjukkan partisipasi dan aktivisme politik semata, 

namun terkait pula dengan atau dekat dengan klaim religi. 

Namun pandangan yang lebih umum pada Parisi lebih 

menunjukkan afiliasi kepartaian yang kentara. 

Dengan melihat dimensi pranata (institusional) serta 

sosial yang cukup luas cakupannya, maka beberapa aspek 

dari agama Yahudi yang dipraktekkan dan dianggap sebagai 

bentuk pranata dalam kehidupan masyarakat Yahudi dapat 

dikembangkan kemungkinan riset keagamaannya. Maksud 

utama dari ikhtisar studi agama Yahudi ini, yaitu  dapat 

sedekat-dekatnya menyediakan wahana referensi yang 


berfungsi sebagai stimulasi gagasan riset dengan berpijak 

pada peta konten agama Yahudi berupa konsep-konsep 

melalui pemakaian perspektif tipologi dimensi-dimensi 

agama. 

Dimensi ritual-praktek, emosional, etis, doktrinal, 

filosofis, hukum, material dan sosial bukan bertujuan 

untuk mengkaji semua aspek dimensi secara bersamaan. 

Namun pemerian aspektual agama seperti Glock and Stark, 

Ninian Smart dan sebagainya, lebih ditujukan pada fokus 

pembacaan konsep-konsep. Pemilihan konsep kemudian 

diikuti dengan kasus dan konteks merupakan cara kerja 

akademik yang ditawarkan dalam buku ini. Dengan 

demikian, pandangan Yudaisme yang dibayangkan akan 

membahas semua aspektual atau disiplin dalam satu karya 

ilmiah, tentu merupakan cara pandang distortif dan keliru. 

Latihan menuliskan konsep berlatar pembacaan literatur 

intensif yaitu  ‘outcome’ argumen buku ini.

Pendekatan studi agama yang multidisipliner – 

psikologis, sosiologis, teologis, fenomenologis, antro polo-

gis, feminis dan filosofis merupakan aspek berharga pada 

riset studi agama Yahudi. Peter Connolly misalnya, selain 

Peter Antes, dapat menjadi sumber acuan payung teoretis 

dan praktek agama karena sifatnya yang mewadahi teori-

teori. Pendekatan lebih dekat dengan terma paradigma 

dan perspektif, walaupun sementara pengkaji studi agama 

menganggap teori yaitu  pendekatan pula. Secara umum, 

akademia melihat konsep sebagai bagian dari konstruksi 

teoretis, sedangkan teori yaitu  bagian dari pendekatan 

studi agama. 

114 • 

:


Dalam aspek pranata kesenian, sebagai ilustrasi, 

penggambaran tentang “Akedah” (momen dialog antara 

Tuhan, Abraham dan pengorbanan pada Isaac, dalam ayat 

Akedah, Genesis. 22: 3), dapat saja ditemukan persamaan 

dan perbedaan antara tradisi teks dengan seni figuratif. 

Perbedaan penggambaran momen “Akedah”, sekaligus 

menandai spektrum arti atau makna berbeda yang jauh 

lebih ditolerir dan bersifat luas dalam Yahudi, dari pada 

misalnya dibandingkan dengan penafsiran Kristen, 

ditemukan ketika seni lukis tentang momen “Akedah” 

teramati di tempat keagamaan daan sinagog di dalam 

tanah Israel (Beit Alpha) ataukah di luar Israel atau 

diaspora (Dura Europos). Dengan memakai perbedaan 

pranata kesenian ini, maka peminat kajian agama Yahudi 

dapat melacak bagaimana setiap seniman yang terlibat 

dalam karyanya, sesungguhnya yaitu  penafsir-penafsir 

konsep agama, seperti terlihat dalam konteks konsep 

“Akedah”.117 Kacamata Yudaisme menunjukkan petanda 

berbeda dengan relasi ritus korban antara Ibrahim dan 

Isaac, dengan petanda Ibrahim dan Ismail dalam sudut 

pandang Islam. Komparasi figur dan tokoh yang muncul 

dalam periwayatan agama-agama, seperti klaim Yudaisme 

117 Tradisi teks menunjukkan, bahwa Isaac bersedia dengan 

patuh dalam konteks pengorbanan oleh Abraham, dalam 

wujud usia dewasa, sementara para seniman baik di 

Israel maupun di luar negeri itu (Dura Europos), lebih 

menggambarkan Isaac sebagai seorang bocah. Hal ini tentu 

yaitu  pengaruh aspek artistik serta budaya yang tidak sama. 

Lebih lanjut tentang gambar “Akedah” secara lebih detail, 

dapat dilihat dalam kontribusi Edward Kessler, “Judaism” 

dalam John F.A. Sawyer, The Backwell Companion to the 

Bible and Culture, (Malden: Blackwell, 2006), hlm. 119-134.

115

:


dan Islam yang tidak sama, menjadi justifikasi momen 

‘Akedah’ yang distingtif dan unik dalam studi agama 

Yudaisme. Dalam studi agama Yudaisme, para seniman 

setara dengan penafsir agama dengan penggambaran Isaac 

pada gambaran figur bocah, tidak seperti periwayatan 

teks Yudaisme yang merujuk pada Isaac dewasa, lagi-lagi 

menunjukkan dinamisasi studi Yudaisme tidak saja dari 

sudut pandang pelbagai disiplin tentang manusia, bangsa 

dan agama, namun dari interpretasi seni. Kesenjangan yang 

terjadi antara gambar para seniman dengan gambaran 

teks, menjelaskan keleluasaan tafsir atas agama serta 

menjadi penunjuk identitas sekte Yudaisme. Namun pada 

titik lainnya, terdapat keberatan klaim tafsir semacam 

yang dilakukan secara reformatif oleh para seniman dalam 

penggambaran konsep Akedah Yudaisme. Pelanggaran pada 

liturgi agama semacam tafsir para seniman itu meskipun 

menjadi petanda sementara kelompok Yudaisme, tetap 

tidak akan diterima oleh kaum penjaga Ortodoksi, yang 

bergabung dalam sekte Ortodoks Yudaisme. 

G. Dimensi Material

Pembahasan dimensi agama berupa institusional 

maupun sosial, seperti telah dipaparkan sebelumnya, 

mewujud dalam pelbagai ragam dimensi material. Bentuk 

dimensi material agama berupa bangunan-bangunan, 

karya-karya seni serta kreasi-kreasi lainnya, termasuk ikon-

ikon ritual. Ekspresi material agama ini kerapkali bersifat 

elaboratif, bergerak, penting bagi penganut-penganutnya 

dalam rangka pendekatan kepada Tuhan. Wujud material 

116 • 

:


agama yang juga penting yaitu  bentang alam di dunia yang 

dianggap terkandung makna dan menjadi keberadaan yang 

penuh dengan kesucian, seperti Sungai Gangga, Gunung 

Fuji maupun Gunung Sinai dalam konteks agama Yahudi. 

Seringkali “landmark” ini , tentu saja, digabungkan 

dengan kreasi manusia yang lebih kentara, seperti kota suci 

Yerusalem.118 Pendekatan interdisipliner dapat menjadi 

salah satu aspek kunci pemahaman dimensi material ini 

mulai aspektual ritual, mitos, emotif, sosial dan etis. 

Pendekatan multidisiplin ini menjadi penting 

seperti contoh lokus suci berikut. Dalam ilustrasi mengenai 

Gunung Sinai, A. Mukti Ali mengaitkan tempat ini dengan 

proses evolusi agama Yahudi. Gunung Sinai yaitu  tempat 

tinggal Yahweh (nama Tuhan Yahudi), yang dianggap sejak 

purbakala merupakan Tuhan suku Madyan. Di gunung Sinai 

pula, Yahudi mempercayai bahwa wahyu yang turun itu 

kemudian berbentuk, dan Israillah yang memilih Yahweh 

sebagai Tuhannya, dan bukan Yahweh yang memilih 

Israil.119 Mitos Sinai dengan demikian bukan bersifat 

otonom atau berdiri sendiri. Ia berkenaan pula dengan 

aspek relasional mitos Sinai dengan doktrinal dan hukum 

selain konsep konfrontasi manusia dengan Tuhan. Dengan 

kata lain, pendekatan Teologis dalam studi agama, menurut 

Frank Whaling, dapat dipakai sebagai penjelas pelbagai 

momen tradisi keagamaan terkait dengan iman dan 


tujuannya, komunitas beragama, ritual, etika, sosial, mitos 

dan kitab suci, estetis dan spiritualitas.120 Dalam bahasa 

Smart, di Gunung Horeb atau Sinai ini, yaitu  tempat di 

mana konfrontasi terjadi antara orang-orang Israel dengan 

Tuhan yang baru, yaitu Yahweh, di mana pakta-pakta 

atau “covenant” disepakati oleh orang Israel dan Yahweh, 

dengan mediasi kedua belah pihak. Setelah itu, Yahweh 

menyampaikan the Ten Commandments kepada Moses 

sebagai dasar kode etika Yahudi.121 Dalam sudut pandang 

studi agama Yudaisme, klaim doktrin kepada Moses dapat 

berkelindan dengan periwayatan Musa dalam doktrin Islam. 

Namun terma Moses atau Musa dalam Yudaisme dan Islam 

bukan sama sekali menunjukkan persamaan. Moses dalam 

Yudaisme yaitu  klaim belakangan yang berbeda dengan 

klaim Musa dengan kitab Taurat yang lampau. Pendekatan 

teologis mengisyaratkan tiga posisi sudut pandang agama 

terhadap lainnya. Pertama, ia bersikap eksklusif dengan 

tidak melihat adanya doktrin keselamatan di luar agama. 

Kedua inklusif yang mengakui eksistensial umat beragama 

lain namun tidak partisipatif lebih lanjut dalam persoalan 

praksis sosial agama. Sedangkan terakhir menunjuk pada 

sikap pluralis yang membuka diri pada kerjasama aktif 

antar pemeluk agama berbeda dengan pada saat yang sama 

bersikukuh pada agama yang diyakini dan dipeluknya. 

Dalam kasus klaim Moses pada Yudaisme, apresiasi tetap 

kita sampaikan berdasar pada perbedaan periwayatan 



dan doktrin dengan Islam. Teologi Islam pluralis agaknya 

lebih menjadi titik tekan berupa kesejajaran praksis teologi 

untuk kemanusiaan di tengah pelbagai klaim doktrinal 

yang sudah pasti tidak dapat ditemukan. Apa yang diyakini 

eksklusif bagi sementara umat beragama justru menjadi 

penanda teologi diskontinuitas yang mandeg. Dengan 

tantangan klaim ortodoksi, sebenarnya ranah studi agama 

lebih menyediakan ruang-ruang pertemuan agama-agama. 

Bukan berarti doktrin setiap agama tidak perlu dipelajari 

dan tidak berharga, justru pengetahuan studi agama 

mumpuni mampu menjelaskan duduk perkara doktrin 

agama yang majemuk. Kesadaran atas perbedaan doktrinal 

agama bukan menjadi penghalang pertemuan agama-

agama, sebaliknya dapat memupuk penghayatan pluralitas 

dalam kerjasama antara agama-agama. 

Dimensi materiil agama Yahudi ini, secara artistik, 

merujuk pada ornamen, piranti dan tata letak bangunan 

keagamaan. Adapun tempat-tempat utama yang menun-

jukkan ornamentasi serta penggunaan cara-cara materiil 

untuk tujuan keagamaan ini , berada pada wujud 

dekorasi dalam sinagog-sinagog serta manuskrip-

manuskrip keagamaan. Secara historis, tempat ibadah 

Yahudi, utamanya Sinagog yang didirikan pertama-tama, 

dapat dilacak beragam mosaik yang menggambarkan 

“the Ark of the Covenant”; maupun bentuk “Menorah”, 

yakni tempat lilin bercabang tujuh; atau bentuk motif 

cabang-cabang pohon Palem dan pohon lemon; serta 

lambing-lambang zodiak. “the Ark”/kotak besar berisikan 

lembaran-lembaran Taurat dalam bentuk gulungan, me-

rupakan titik pusat liturgi utama di dalam Sinagog, 

119

:


yang di dalamnya tersimpan bahan-bahan materiil yang 

banyak ornament dekoratifnya. Dalam tata letak dan 

bangun sebuah Sinagog, dulunya bangunan Sinagog tidak 

dirancang-bangun ruang khusus untuk perempuan, namun 

dalam perkembangan selanjutnya, terdapat tempat dan 

ruang khusus untuk kaum perempuan di dalam Sinagog.122 

Temuan Ninian Smart pada transformasi ruang di Sinagog 

untuk perempuan contoh model konsep Yudaisme 

dengan pendekatan Feminis. David Bouchier menegaskan 

pandangan Feminis sebagai segala bentuk pandangan yang 

berpihak pada keberatan atas diskriminasi sosial, personal 

dan ekonomi pada perempuan berlatar pada perbedaan 

jenis kelamin. Pandangan Feminis dengan demikian 

bukan lah sudut pandang perempuan semata namun 

melibatkan pula pandangan laki-laki yang bersimpati 

pada keterpinggiran perempuan. Kritik Feminis bertumpu 

pada konsep patriarki yakni kuasa dan dominasi laki-laki 

yang terlembagakan atas perempuan, subjek laki-laki dan 

dunia. Morgan menyebutkan seksisme sebagai serangkaian 

kepercayaan yang memelihara dan menguatkan supremasi 

laki-laki. Dalam kasus riset Perlman, hampir sama dengan 

kasus ruang perempuan pada tata rancang dan bangunan 

Sinagog, menjadi bentuk contoh penulisan konsep ruang 

dan otoritas kepemimpinan dalam teori Feminis.

:


pengkaji studi Yudaisme dapat menelusuri data serta 

konsep Feminis melalui cara-cara seperti contoh Perlman 

dan Morgan yang fokus pada konsep partikular Yudaisme. 

Secara khusus, beberapa karya ilmiah studi agama 

Yahudi memperkenalkan deskripsi seni keagamaan Yahudi 

dan desain bangunan Sinagog. Termasuk didalamnya yaitu  

peralatan dari logam, berupa objek ritual seperti mezuzah 

(kotak kecil berisi potongan tertentu dari Kitab Yahudi), 

ditempatkan di pintu rumah. Bahannya selain logam, dapat 

pula berupa kayu, kaca dan plastik dengan ragam desain 

tersendiri. Sebagai salah satu piranti perayaan Sabbat, 

kebanyakan keluarga Yahudi memiliki satu set cawan 

anggur dan tempat lilin, dengan variasi bahan dan desain. 

Sementara bangunan Sinagog, dengan variasi-variasi 

arsitektur yang khas dipengaruhi oleh situasi zaman, 

mulai dari gaya Gotik atau gaya klasik, dengan beberapa 

diantaranya terbuat dari kayu pada masa-masa abad 

Pertengahan. Sinagog yang dalam bahasa Ibrani disebut 

“Bet Ha Knesset” atau rumah majelis, sesungguhnya lebih 

menunjukkan fungsi sejarah sosialnya daripada perihal 

signifikasi spiritualnya. 124 Realitas tarik menarik sakralitas 

Yudaisme menjadi arah sosial atau spiritual. Ketegangan 

antara keduanya tidak kemudian memutus sama sekali 

dengan transendensi. Pada beberapa analisa sejarah 

Yudaisme, aspek praktek keagamaan Yahudi menjadi tidak 

hanya berfokus pada partisipasi ritual keagamaan dan 



upacara semata, namun merambah pula pada keanggotaan 

pada persekutuan agama. Isu Yudaisme berikutnya 

menyasar pula mengapa pada konteks modern, generasi 

lebih muda pada kelompok Yahudi terbebani keterikatan 

dengan pengaruh agama pada kehidupan sosial. 

Afinitas Yudaisme pada sakralitas dengan demikian 

mengandung aspek reservatif. Ia dekat apabila situasi sosial 

Yahudi memungkinkan, namun afinitas berubah menjadi 

penjagaan jarak apabila situasi pengalaman Yudaisme 

tidak menguntungkan. Seperti riset Perlman, debat 

otoritas keagamaan di Sinagog Beit Daniel menjelaskan 

penurunan otoritas tradisional. Namun pertanyaan masih 

tetap terbentang tentang pelbagai kemungkinan privatisasi 

sistem kepercayaan. Pengalaman Yahudi di Eropa dan 

Amerika yang distingtif berkenaan dengan sejarah, proses 

dan hasil yang ingin dicapai dalam menjaga jarak dan sudut 

pandang sistem kepercayaan Yudaisme. 



BANGSA YAHUDI DALAM 

PERSPEKTIF SOSIOLOGIS-

ANTROPOLOGIS: PENGALAMAN 

HISTORIS YAHUDI EROPA

Yahudi Eropa mengalami momen yang menjadi 

salah satu contoh terbesar kekejaman, di 

mana pembantaian orang-orang Yahudi 

Eropa oleh Hitler, sebenarnya pada tingkat-tingkat 

tertentu diakibatkan oleh perbedaan agama. Kejadian itu 

menjelaskan secara jelas bahwa gagasan eksklusivisme 

yang mempunyai andil besar dalam pembentukan tradisi-

tradisi agama, dapat saja menorehkan sejarah kelam dalam 

lintasan kehidupan umat manusia. Tentu saja, banyak dari 

pembunuhan dan pembantaian, telah dilakukan untuk 

tujuan lain daripada alasan keagamaan. Tidak mudah 

untuk kemudian membedakan perlakuan non-agama di 

dalam kekerasan yang dihubungkan dengan kekerasan, 

124 • 

:


yang telah terjadi sepanjang waktu yang lalu.125 Bab 

tentang pengalaman manusia beragama ini yaitu  salah 

satu deskripsi Yudaisme paling penting. Eropa dengan 

etnosentrisme Barat menunjukkan konsep keberagamaan 

eksklusif pada sejarah agama-agama. Aspek modernitas 

a la Eropa mendasarkan diri pada struktur superioritas 

ras. Persoalan muncul ketika klaim modernitas Eropa 

sentris itu berkenaan dengan kelompok agama lain seperti 

Muslim, Protestan dan penganut Yudaisme. Pada tataran 

tertentu ‘communitas’ menurut Turner menjadi pelekat 

kaum marjinal beragama.126 Dalam kasus Yahudi, ia tidak 

saja terkait dengan agama belaka namun menyangkut pula 

ekses persoalan etnisitas. 

Agama seringkali berperan sebagai ujung tombak, 

mata pedang yang tajam, taji penggerak, simbol benteng 

solidaritas yang diperlukan manusia, di kala mereka 

berhadapan satu sama lain untuk membunuh atau untuk 

kematian, tanpa melihat apakah itu masalah agama itu 

sendiri atau agama yang mencakup kepentingan duniawi, 

yang berhubungan dengan masalah keamanan, kedudukan 

atau kekuasaan. Dalam konteks historis, pada pertengahan 

abad ke-18, kelompok perkampungan Yahudi Eropa berada 

dalam keputus-asaan mendalam, disebabkan perampasan 

kebebasan bergembira dari sekte Hasidik. Dalam konteks 

ini, apabila ditilik dalam zaman kita sendiri, pengertian 


gaya-abad Pencerahan gagal menghasilkan perdamaian 

yang bertahan di antara manusia.127 Paradoks Pencerahan 

Eropa kemudian dapat menjadi salah satu fokus kajian 

Yudaisme kontemporer. Pertanyaannya dapat saja menjadi 

bagaimana petanda Yudaisme dewasa ini terwujud dalam 

perspektif pranata Eropa? 

Bagian penjelasan pengalaman Yudaisme di Eropa 

merupakan penggalan eksperiensial ‘communitas’ 

margin. Kerangka masyarakat beragama dalam konteks 

margin ini kemudian membutuhkan konsep ‘communitas’ 

Victor Turner. Situasi Yudaisme dalam konteks marjin 

di pengalaman Eropa tidak melepas semua keterkaitan 

manusia Yahudi dengan transendentalisme Yudaisme. Ia 

lebih pada relasi yang menurut Turner melibatkan relasi 

dalam antara identitas yang ‘definite’ dan ‘indefinite’. 

Tanda kutip dalam ‘indifinite’, ‘definite’ dan ‘communitas’ 

sengaja tidak kita terjemahkan dalam Bahasa Indonesia 

mengingat petanda yang berbeda. Ketika komunitas 

yaitu  penerjemahan ‘communitas’ Turner, maka ia 

kehilangan penanda penting berupa keterhubungan antara 

manusia dengan yang adikodrati, sesuatu yang absen pada 

definisi komunitas secara umum. Turner mempercayai 

bahwa pengalaman Yudaisme di Eropa selalu melibatkan 

sisi margin atau pinggir. Ia tidak berada pada pusat 

kesadaran Eropa, namun pada saat yang sama berwujud 

pada pemertahanan eksistensial yang berbeda dengan 

struktur. ‘Communitas’ Yudaisme dengan demikian yaitu  

127 Harold R. Isaacs, Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis: 

Identitas Kelompok Dan Perubahan Politik (Jakarta: Yayasan 

Obor Indonesia, 1993), hlm. 219.

126 • 

:


ciri utama pengalaman beragama pemeluk Yahudi yang 

memberikan jarak pada struktur dan ditempatkan pada 

sudut pandang kewaktuan yang lampau. Namun jarak 

pada stuktur kesadaran Eropa dapat mengungkap pelbagai 

adat kebiasaan, custom, hukum dan bahasa kolektif. 

Struktur kolektif ini membentuk Yudaisme dengan situasi 

margin dengan tetap memegang prinsip ‘communitas’ di 

pengalaman Eropa. 

Dalam perspektif historis, pada pertengahan abad 

ke-18, yakni masa pencerahan dan munculnya toleransi 

agama serta paham liberal, kaum Yahudi di Eropa Barat 

memperoleh dasar untuk mencapai emansipasi serta 

mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dengan warga 

negara di mana mereka tinggal menetap. Umat Yahudi 

berkurang perhatian dan keyakinannya terhadap agama 

Yahudi dan tradisi, namun lebih banyak berasimilasi dengan 

kebudayaan Barat. Sementara kalangan menganggap 

bahwa hal ini merupakan ancaman terhadap agama 

Yahudi, maka muncul seorang Yahudi, Mendelssohn, yang 

lebih menonjolkan aspek universalitas agama Yahudi dan 

spiritualnya. Dengan didukung dengan pengikut fanatiknya, 

upaya menentang dalam pemujaan dan pengagungan 

budaya Barat dilakukan utamanya di Berlin dan Prusia.128 

Posisi Mendelssohn memandang Barat dan Yudaisme dapat 

menjadi salah satu kajian menarik terkait modernitas. 

Dalam modernitas, konsep rasionalitas Yudaisme dapat 

terlacak. Ia tidak stabil. Turner menyebutnya sebagai 



penjelas konsep ‘communitas’ dengan ciri marjinal.129 

Latar marjinalitas Yudaisme lebih cenderung meneguhkan 

aspek otonomi manusia. Yudaisme kemudian akan berada 

di persimpangan jalan ketika manusia dan pemeluk Yahudi 

harus memilih rasionalitas atas sakralitas. 

Sejalan dengan posisionalitas terhadap Barat itu, 

generasi muda Yahudi merasa lebih lega dan optimis karena 

memperoleh kesempatan intelektual dan kebebasan 

sosial. Terdapat gerakan “Haskalah” atau pencerahan, 

di mana asimilasi total menjadi titik fokus gerakan 

termasuk dalam bidang agama. Namun, sementara lainnya 

tetap mempertahankan keyakinan Yahudinya, dengan 

tetap mempertahankan status warga negara di mana 

mereka berdiam menetap. Dalam bidang intelektual di 

universitas, melakukan penelitian sejarah Yahudi, dengan 

hasil karya ilmiah mengenai masalah keyahudian. Yahudi 

lainnya karena alasan agama, mengumpulkan dana untuk 

memperoleh kembali tanah Palestina, yakni tanah air yang 

dijanjikan Tuhan.

Selanjutnya pada awal abad ke-19, Daya menjabarkan 

bahwa jargon “kembali ke Palestina” merebak di kalangan 

Kristen dan Yahudi. Moses Hess menulis buku berbahasa 

Jerman berjudul Rom und Jerusalem, terbit tahun 1862, 

berisikan keyakinan bahwa cita-cita yang terkandung 

dalam sejarah Yahudi akan dapat terwujud dengan tanah 

air sendiri yang berdasar sejarah. Buku ini  kemudian 

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1918 



dengan pengaruh yang cukup besar, walaupun buku 

ini  tipis saja.130 

Dalam kasus selain Yahudi di Jerman, kasus lainnya 

yakni orang-orang Yahudi Sovyet. Rezim dan masyarakat 

Rusia pada umumnya, menekan kelompok Yahudi sebagai 

kelompok bangsa maupun kelompok agama. Mereka 

dipaksa mundur ke dalam ke-Yahudi-an karena tidak saja 

persoalan asal-usul, namun karena anti-Semitisme (anti 

Yahudi) yang masih tumbuh dan melekat dari rezim dan 

masyarakat Rusia kala itu. Dari semua bangsa-bangsa yang 

terdapat di Uni Sovyet masa itu, kelompok Yahudi lah yang 

paling tidak mungkin menggunakan kesempatan yang 

sangat terbatas untuk memelihara kebudayaan bangsa 

Yahudi. Walaupun demikian, orang-orang Yahudi banyak 

pula yang secara demonstratif berkumpul memenuhi 

Sinagog yang terbuka untuk ibadat Yahudi pada hari-hari 

besar keagamaan. Pada proses selanjutnya dengan resiko 

pribadi, mulai bermunculan permohonan emigrasi untuk 

menggabungkan diri dengan rekan-rekan Yahudi di Israel 

atau di negara-negara lain di luar negeri.131 Seperti sikap 

anti-semitisme Eropa pada umumnya yang dapat ditelusuri 

sampai sekarang, marjinalisasi di pelbagai penjuru dunia, 

termasuk Rusia dan Amerika, secara factual menunjukkan 

aspektual teologis, sosiologis, politik, antropologi, psikologi 

dan fenomenologis sebagai perspektif saling berkait erat. 


Sikap prasangka berdasar pada struktur kognitif merupakan 

ranah psikologi umat beragama yang kompleks. Seperti 

Victor Turner yang mengarah pada konsep ‘communitas’, 

sebuah relasi non rasional namun eksistensial, ia berakar 

kemudian pada sejumlah contoh krisis kehidupan. Dalam 

life crisis, seringkali kelompok beragama berada pada 

struktur dan peran yang sesungguhnya menjadi pengalaman 

sehari-hari selama ini. Kelompok marjinal membentuk 

pelepasan tekanan psikologis pada tautan pengalaman-

pengalaman fenonemologis seperti munculnya mitos 

penderitaan, bangsa terpilih, keselamatan dan tanah 

terjanji yang mendapat justifikasinya dari perspektif 

teologis. Teologi berupa pemahaman manusia Yudaisme 

atas takdir Transenden itu bagi sementara kelompok, 

akan mendekatkan lebih kuat pada liturgi, sementara 

lainnya melepaskan dengan sadar dan terpaksa atas kaitan 

sakralitas baik sementara maupun temporer. 

Pertautan sejumlah praktik sosial keagamaan 

berupa marjinalisasi Yudaisme yaitu  model kajian 

studi agama yang interdisiplin. Kajian agama ini berbeda 

dengan kecenderungan kajian dengan fokus hanya 

membahas aspektual teologis misalnya dengan cara 

parsial. Ketidakutuhan cara pandang pada studi agama 

akan menghadapi sejumlah persoalan praksis, tatkala 

masyarakat beragama menghadapi pelbagai persoalan 

krisis kehidupan dari eksistensi manusia, pandangan 

gender, pemanfaatan teknologi dan etika agama, lingkungan 

hidup, kemiskinan, literasi Pendidikan, budaya perdamaian 

dan komunikasi konstruktif. Dengan keberpihakan studi 

agama pada persoalan ortopraksis, maka ortodoksi agama 

130 • 

:


mampu memberikan kontribusi nyata dalam persoalan 

realitas keagamaan. 

Argumen Ninian Smart tentang aspektual agama yang 

beraneka rupa serta kolaborasi gagasan Connolly tentang 

pelbagai pendekatan agama yang diperlukan sebagai 

pandangan formal pada kajian, yaitu  sumbangan berharga 

yang dapat dipakai untuk mengantarkan studi agama pada 

kovergensi kajian ortodoksi dan ortopraksi. Kemungkinan 

studi agama merambah aspek antar disiplin seperti 

psikologi, fenomenologi, teologi, feminisme, sosiologi dan 

antropologi menjadi cukup besar dan menjanjikan. Data-

data dan pemerolehan data dengan demikian tidak hanya 

berkutat pada teks liturgi klasik semata, namun meruang 

dan menyapa relasi doktrinal dengan praktek keagamaan 

dinamis. Ia tidak sibuk mengurusi sisi justifikasi normatif 

Transenden melalui kajian parsial, namun lebih membuka 

ruang kebebasan atas repons studi agama pada pelbagai 

persoalan krisis kehidupan manusia dan agama. 

Beberapa fakultas dan program studi dalam uni ver-

sitas yang membuka kajian studi agama, telah melakukan 

serangkaian tugas dan kewajiban akademik memberi 

‘terjemah’ paradigma interkoneksi dan cara pandang 

integrasi pelbagai bidang akademik, tanpa meminggirkan 

satu keilmuan atas preferensi keilmuan lainnya. Sejumlah 

riset studi agama yang telah terbit pada pelbagai publi-

kasi ilmiah hanya memuat pandangan–pandangan inter-

disipliner. Riset Perlman pada ritual masa remaja–Bat 

Mizwah di Sinagog Reformasi memberikan bukti bahwa 

ritualisasi tidak otonom namun mengundang aspek ritual 

131

:


itu dengan politik kepemimpinan dalam studi otoritas 

Yudaisme. Kekayaan studi semacam yang dilakukan 

Perlman setidaknya cukup menarik dari sisi cara kerja 

penelitian agama dengan memperhatikan beberapa pointer 

sebagai berikut.

Pertama, kajian studi agama merupakan wilayah 

kajian yang luas. Keluasan ranah studi agama, termasuk 

dinamika Yudaisme, dapat dilakukan dengan tidak me-

lakukan reduksi keseluruhan nilai agama dengan melalui 

analisis konsep. Konsep berciri abstrak dan bersifat 

general sudah menjadi perhatian awal ketika melakukan 

pembacaan sejumlah literatur untuk menentukan konsep. 

Pilihan konsep ini bukan tataran umum, namun dapat 

menitikberatkan pada aspek spesifik dan partikularitas. 

Konsep Feminis misalnya telah cukup fokus dibandingkan 

dengan konsep pendekatan studi agama yang masih umum. 

Namun dalam teori Feminis kita mengenal aspek kesetaraan 

gender atau emansipasi. Pilihan konsep partikular pada 

perjuangan emansipasi perempuan Yudaisme misalnya 

dapat menjadi contoh kongkrit penentuan konsep Yuda-

isme. Konsep marjinalisasi Yudaisme misalnya apabila 

kemudian dilakukan pembacaan lebih lanjut sesuai minat 

kajian, maka akan mengantarkan pada anti-semitisme. 

Anti-semitisme sebagai konsep yang menggambarkan 

sentimen kebencian kepada masyarakat dan agama Yahudi 

kemudian perlu ditindaklanjuti dengan beberapa langkah 

berikutnya.

Pemilihan konsep Yudaisme telah merujuk pada par-

ti kularitas. Kita ambil contoh konsep mitos tanah ter janji 

132 • 

:


misalnya, di samping konsep marjinalisasi, diskriminasi dan 

anti-semitisme, untuk menyebut beberapa contoh konsep 

yang dapat dipilih setelah membaca sejumlah literatur 

Yudaisme, yaitu  salah satu konsep penting Yudaisme 

yang dapat kita telaah pada sejumlah kasus. Kasus yaitu  

langkah lanjutan setelah menentukan konsep. Kasus 

klaim tanah Israel, diaspora Yahudi di pelbagai penjuru 

dunia yaitu  kasus yang muncul dari konsep mitos tanah 

terjanji. Keterhubungan konsep dengan kasus dengan 

demikian bersifat dinamis dan eklektis. Seringkali proses 

relasi konsep dan kasus ini diklaim merupakan langkah 

sulit. Anggapan kesukaran dalam menentukan konsep dan 

kemudian diikuti dengan observasi sejumlah kasus dapat 

terjawab dengan intensitas dan fokus membaca literatur. 

Problematika sementara klaim kesukaran menentukan 

konsep dan kasus sebenarnya yaitu  problem literasi. 

Dalam konteks ini, tulisan yang sedang kita cermati bersama 

ini yaitu  salah satu upaya mendekatkan kita semua pada 

kebutuhan langkah akademik yang dapat memberikan 

sumbangsih riset studi agama yang lebih menjanjikan dan 

bermanfaat untuk kemanusiaan. 

Kemudian setelah penentuan konsep dengan pilihan 

kasus, maka langkah berikutnya berupa penulisan konteks. 

Sejumlah fenomena academia yang tercermin pada konsep 

serta serangkaian kasus dalam fakta sosial keagamaan, 

dapat peneliti telaah dengan konteks tertentu misalnya 

dalam konteks pluralitas tafsir ortodoksi Yudaisme, Multi-

kulturalisme pada Sekte Yudaisme, impian masyarakat 

diaspora beragama dan politik etnisitas. Konteks dalam hal 

ini dapat memberikan aspek pemahaman yang memayungi 

133

:


analisis konseptual dan kasuistik. Penentuan konteks 

seringkali memperoleh panduan dari tema-tema, topik-

topik dan fokus kajian serta konsentrasi filosofis, sosial, 

budaya, psikologis dan teologis. 

Ketiga langkah dasar berupa konsep, kasus dan 

konteks merupakan jembatan akademia yang membantu 

penulisan karya ilmiah studi agama. Tanpa pembacaan 

intensif pada literatur peminatan sejumlah lebih dari 

beberapa judul dan sudut pandang, upaya memulai proses 

penelitian tidak memungkinkan dan mencukupi. Dengan 

demikian tiga langkah berupa konsep, kasus dan konteks 

yaitu  proses siklus. Konsep baru dapat muncul dari 

konteks-konteks yang terbuka. Pada penentuan konteks 

tertentu, peta konteks lainnya akan tergambar. Gambaran 

konteks lainnya ini yang kemudian mendorong pembacaan 

lanjutan sehingga menyuguhkan konsep lain yang baru dan 

menarik. Sejumlah kasus kemudian menanti pembacaan 

mendalam dan peneliti memilih salah satu atau beberapa 

kasus sebagai justifikasi dan data analisis konseptual. 

Bagaiamana memandang teori dalam tiga langkah 

dasar konsep, kasus dan konteks? Konsep dalah abstraksi 

sejumlah ide, gagasan dan konstruksi teoretis. Singkatnya, 

konsep berada di dalam bangunan teoretis. Suatu teori 

dapat memunculkan beberapa konsep. Kita ambil contoh 

teori ritual Yudaisme. Teori ritual akan memunculkan 

konsep Transendensi, ‘communitas’, interpretasi, aturan, 

pedoman dan fungsi, sekte dan makna. Di antara sejumlah 

konsep dalam teori ritual Yudaisme, kita kemudian 

menentukan interpretasi ritual Yudaisme sebagai pilihan. 

134 • 

:


Konsep interpretasi ritual dapat kita temukan dalam 

contoh riset Perlman yang menegaskan reformasi Yudaisme 

sebagai konteks.132 Kasus di Sinagog Beit Daniel tentang 

penggunaan media sosial untuk perjuangan kesetaraan 

gender dapat memberikan contoh langsung bagaimana 

posisi teoretis. Teori ritual Yudaisme bersifat patriarki. 

Dominasi gender ini akan terlihat pada kasus-kasus seperti 

kasus emansipasi di Sinagog Beit Daniel yang mengusung 

paham perubahan dan reformasi keagamaan Yudaisme. 

Mari kita kembali pada pembacaan kasus historis. 

Pada dekade 1970-an, beberapa puluh ribu orang-orang 

Yahudi Sovyet meninggalkan negerinya menuju Israel, 

termasuk anggota-anggota sekte Yahudi tradisional asli di 

Georgia. Yang lainnya yaitu  sejumlah Yahudi yang telah 

asimilasi dan beberapa menempati tingkatan jabatan 

keagamaan Yahudi. Hal yang tidak begitu mengherankan 

yaitu  ketika sementara orang Yahudi ini  ditanyai, 

apakah mereka memeluk agama Yahudi, jawaban dari 

mereka yaitu  sebagai penganut ateis. Dengan ilustrasi 

historis ini, maka dapat diambil aspek penting bahwa 

seperti tercermin dalam jawaban itu, maka kasus agama 

dan identitas kelompok orang-orang Yahudi merupakan 

perkara rumit dan berlawanan azas dari semuanya. Salah 

satu pemicunya yaitu  identitas Yahudi sebagai klausul 

agama, yakni penganut agama Yahudi, sementara di sisi 

lainnya terdapat identitas lain Yahudi, yakni sebagai suatu 



penunjuk identitas sebuah bangsa.133 Catatan penting 

Yahudi sebagai etnis dan agama ini kemudian menjadi 

peluang studi agama Yudaisme yang menarik karena sifat 

interkoneksi antar aspektual masyarakat. Ninian Smart 

memberikan dimensi agama sebagai salah satu piranti 

pengamatan pada sisi antar perspektif mulai dari doktrin, 

ritual, sosial, etis, politik sampai kelembagaan dan pranata 

Yudaisme melalui cultural studies.134 Dengan aplikasi salah 

satu dan keterkaitan antar dimensi agama, model kajian 

studi agama interdisipliner dapat menemukan jalan terang. 

Persoalan yang muncul di sini yaitu  bagaimana 

memisahkan antara percampuran antara sejarah, agama 

dan kebangsaan sebagai identitas kelompok orang-

orang Yahudi. Perihal pertanyaan seperti apakah entitas 

Yahudi itu, sebenarnya sulit untuk dimulai dan akan 

menjadi penjelasan tulisan tanpa jaminan akhir yang 

pasti. Menjadi semacam teka-teki yang tak terjawab 

ketika apakah persoalan Yahudi itu tetap berada di pusat 

keberadaan Yahudi di Israel—dimana kebangsaan Yahudi 

telah mendapatkan kembali kehidupan politik sendiri di 

bawah naungan Israeli, kebangsaan negara Israel. Ataukah 

menjadi Yahudi yaitu  dimanapun di dunia Yahudi tetap 

dapat tinggal dengan konsekuensi menjadi warga negara 

dari negara lain itu.


mungkin salah satu yang unik, hampir mirip seperti 

pen carian negara untuk bangsa Kurdi, namun dengan 

pembeda pada faktor agama yang melekat menyertainya. 

Sementara Barthes menyebutkan mitos selalu dimaknai 

sebagai postulat imobilitas alam dengan klaim pemaknaan. 

Bagi kaum tertindas, konteks mitos yaitu  transformasi, 

namun sebaliknya kaum penindas mempunyai tujuan 

pelanggengan.136 Penanda/signified Yahudi yang dipikirkan 

oleh sementara kalangan Yahudi tidak selalu monolitik, 

sementara petanda/signifier Yahudi menjadi seolah-olah 

formulasi statis sebagai identitas. Mitos dalam pandangan 

Barthes ini, mungkin berbeda dengan mitos dalam kerangka 

studi agama-agama, namun mitos ini cukup penting dalam 

meneruskan atau menjeda pesan identitas Yahudi terkait 

dengan pelbagai ideologi, sejarah peradaban dan politik 

agama yang dinamis. 

Persoalan Yahudi ini berkisar pula pada tidak 

adanya konsensus atau kejelasan, apakah orang Yahudi 

itu memang asli Yahudi karena dilahirkan dari ibu Yahudi, 

seperti yang dipercayai oleh Yahudi Ortodoks, ataukah 

karena kepercayaannya dalam keyakinan agama Yahudi 

yang disahkan undang-undang. Dalam sejarah bangsa dan 

masyarakat Yahudi terdapat hal yang menjadi milik bersama 

atas dasar keyakinan – yang secara kontradiktif, banyak 

yang mempercayainya maupun tidak mempercayainya. 

Pertanyaan-pertanyaan ini  muncul dan selalu muncul 

kembali di dalam semua keserba-ragaman yang ada pada 

Obor Indonesia, 1993).


kehidupan orang-orang Yahudi. Deskripsi pengalaman 

Yahudi terkait dengan aspek agama dan kebangsaan Yahudi 

ini, bukanlah bertujuan memperoleh jawaban yang selalu 

tetap, namun untuk mencerminkan secara singkat tentang 

peranan aspek nasionalitas/kebangsaan Yahudi untuk 

menyusun identitas kelompok orang-orang Yahudi.137 

Dengan sejumlah penanda Yahudi yang kompleks anatar 

darah, agama dan warga negara, maka Barthes menyebut ini 

sebagai klaim yang terjadi di mana-mana sesuai postulasi 

mitologi yang melingkupinya.138 Seperti sebelumnya sudah 

dijelaskan, pergeseran klaim mitologi Yudaisme ini  

menentukan relasi inter maupun intra Yudaisme masing-

masing dengan klaim mitos yang tidak seragam.

Isaacs lebih lanjut menekankan bahwa dalam 

persoalan masyarakat Yahudi, perihal kebangsaan yaitu  

bagian dari teka-teki identitas Yahudi selama kurang lebih 

dua ratus tahun lamanya di Eropa Barat. Sementara untuk 

kurun waktu 1500 tahun sebelum itu, orang-orang Yahudi, 

setelah kehilangan Israel, berada dalam keadaan bubar, 

menolak asimilasi, tetap bertahan hidup dalam kelangkaan, 

gagal menghilang, dan tetap sebagai orang Yahudi dengan 

tinggal di mana-mana sebagai orang-orang yang hidup 

terpisah. Mereka dipisahkan dari kekejaman, kebengisan 

dunia dari orang-orang bukan keturunan Yahudi secara 

terus menerus. Utamanya yaitu  entitas dunia Kristen, 



karena keras kepala untuk memelihara kepercayaan dan 

keterpisahan mereka sendiri.139 Pertemuan Yudaisme 

dengan sejarah Eropa bukan merupakan konstruk multi kul-

turalisme yang cair. Ia menjadi entitas liyan. Sesuatu yang 

patut diperhitungkan untuk ditempatkan dalam konteks 

marjinal. Situasi masyarakat Eropa dengan ingatan kolektif 

membingungkan dan memperihatinkan bagi komunitas 

Yahudi, membulatkan sementara komunitas untuk mencari 

kehidupan beragama yang lebih menjanjikan daripada 

pengalaman masa lalu.140 Benturan Yahudi di Eropa begitu 

keras justru ironis dengan upaya kontinuitas dampak 

pencerahan Eropa. 

Perihal pemertahanan Yahudi ini , ia yaitu  

sebentuk keyakinan diperteguh oleh tradisi kependetaan 

Yahudi yang disusun dalam Talmud serta perbaikan dari 

karya dan penafsiran undang-undang, dimana orang-orang 

Yahudi meyakini bahwa Tuhan memberi mereka posisi 

sebagai contoh bagi seluruh dunia. Namun di sisi lain, dunia 

mengembangkan versinya sendiri tentang hukum Tuhan 

dan membiarkan orang-orang Yahudi dan versi mereka 

di luar batas mereka, yang tertutup pada perkampungan 

Yahudi. Kadang-kadang mentolerir keterpisahan mereka, 

atau biasanya justru, mengorbankan mereka untuk versi 

dunia itu.


hal ini menjadi salah satu ciri utama selain standar-ganda 

dalam praktek keyakinan internal Yudaisme.142 Pandangan 

Weber cukup memberikan penjelasan, khususnya dalam 

orientasi etika dan masyarakat di luar Yudaisme, yang 

menuntut penelitian penuh kehati-hatian terkait klaim 

Yudaisme ini. Dengan perkataan lain, agama dapat 

asimilatif pada tataran internal dan eksternal Yudaisme, 

namun ia juga menunjukkan inkonsistensi dengan etika 

diskontinuitas Yudaisme seperti yang menjadi pengamatan 

dan catatan Max Weber. Dengan ciri khas Yudaisme yang 

ambigu itu kemudian justru menjadi menarik untuk 

memperbincangkan tarik-menarik antara kutub esoterik 

dan eksoterik agama Yudaisme.

Pada masa sesudah revolusi Perancis, dengan nosi 

emansipasi dari perkampungan Yahudi itu, orang-orang 

Yahudi mulai mendapatkan kebangsaan Eropa Barat. 

Mereka menerimanya dengan mengorbankan identitas 

mereka sebagai Yahudi. Orang-orang non Yahudi yang 

bukan keturunan Yahudi, yakni kaum liberal, menekankan 

emansipasi bangsa Yahudi dengan melihat hal itu sebagai 

suatu jalan bagi orang-orang Yahudi untuk melepaskan 

status Yahudi mereka, yaitu, untuk melepaskan apa saja 

yang menyebabkan mereka ditolak di mana-mana. Dengan 

demikian, mereka bisa menjadi bagian dari dunia modern 

di dalam era baru, yang secara nalar, menjadi mungkin, 

namun sebagai sebuah bangsa, pasti, akan menggantikan 

titas Kelompok Dan Perubahan Politik (Jakarta: Yayasan 

Obor Indonesia, 1993), hlm. 251.



agama mereka. Untuk maksud ini, “Orang- orang Yahudi 

sebagai Bangsa” – ungkapan umum zaman itu — harus ikut 

serta. Hal ini merupakan prinsip yang diproklamirkan pada 

tahun 1789 oleh pejuang hak-hak azasi Perancis untuk 

orang-orang Yahudi, Clermont-Tonnerre: “Untuk orang-

orang Yahudi sebagai individu, semuanya: untuk orang-

orang Yahudi sebagai bangsa, tidak ada.”143 Pemertahanan 

kelangsungan kehidupan komunitas Yahudi yaitu  di atas 

segalanya, termasuk negosiasi dan adaptasi bangsa dan 

agama. Terdapat anomie terpendam, seperti penuturan 

Durkheim, yang berasal dari ketidakpastian konsep diri 

Yahudi.144 Pada satu sisi ingin mempertahankan kolektifitas 

Yahudi secara utuh, namun rangkaian sejarah membuktikan 

sebaliknya. Pertemuan Yahudi dengan kelompok agama 

lainnya di Eropa yaitu  bentuk-bentuk keresahan dan 

ketidakstabilan. Selain pemertahanan hidup, ranah hak 

asasi merupakan bentuk negosiasi lainnya. Keinginan untuk 

menguatkan Yahudi secara kolektif menemui pelbagai 

pendapat di kalangan pengamat Eropa. 

Banyak orang-orang Yahudi yang siap menerima 

tawaran ini dan akhirnya melepaskan beban yang telah 

mereka tanggung selama berabad-abad, untuk keluar dari 

isolasi dan kurungan kelompok keagamaan yang membuat 

tidak berdaya itu, dan bergabung dengan umat manusia 

yang mengetahui kebenaran dalam perjalanan menuju 



dunia yang lebih baik. Sehubungan dengan perubahan 

itu, banyak orang-orang Yahudi yang memilih untuk 

menghilang di dalam pembauran massa non-Yahudi. Namun 

banyak pula yang bergembira menjadi warga dari dunia di 

luar perkampungan Yahudi dengan menjadi warga dalam 

“bangsa” yang baru yag sedang bangkit tetapi, dalam waktu 

yang sama tidak ada keinginan untuk melepaskan keyakinan 

mereka.145 Penggambaran identitas yang tidak menentu ini 

yang kemudian menciptakan pelbagai pandangan berbeda 

terkait Yudaisme oleh para penganutnya sendiri. Yahudi 

masa pencarian identitas ini seperti kesulitan mencari 

bentuk totemisme.146 Aspektual eksternal yang keras dan 

diskriminatif menciptakan pandangan afinitas dengan 

dokrin Yahudi yang tidak sama dengan ortodoksi yang 

terus menerus mengalami perubahan menuju pembaruan. 

Isaacs selanjutnya menggambarkan bahwa apa yang 

dilakukan oleh orang-orang Yahudi itu mengubah tradisi 

lama mereka menjadi kebutuhan baru yang lebih modern, 

beberapa di antara mereka menjadi pemeluk Yudaisme 

aliran baru, suatu bentuk reformasi agama Yahudi yang 

didirikan untuk tujuan itu, sementara yang lain, memilih 

jalan yang lebih sederhana untuk menempatkan status 

Yahudi mereka di bawah identitas baru mereka sebagai 

bangsa Eropa. Orang-orang Yahudi ini hidup dengan 

memilih cara semacam itu, utamanya oleh yang berada di 



Eropa bagian Barat, selama sisa abad ke-19, dengan berbagai 

pola keterpisahan, penolakan, sindiran dan pengorbanan 

yang terus menerus. Beberapa penilaian penyimpangannya 

beragam, seperti yang diilustrasikan oleh gambaran Gustav 

Mahler:” seperti seorang Bohemia di antara orang-orang 

Austria, sebagai seorang Austria di antara orang-orang 

Jerman, sebagai orang Yahudi di dunia, dia selalu berada 

di luar dan terpisah.” Atau deskripsi lain dari tulisan 

Heine: ”orang-orang ingkar kepada Yahudi, Yahudi ingkar 

kepada Jerman, dan Jerman ingkar kepada Perancis … dan 

yang paling sering, seorang asing ingkar kepada dirinya 

sendiri.”147 Problem ketercerabutan dari akar definisi 

diri yaitu  problem kompleks manusia modern di mana-

mana. Durkheim menyebutkan solidaritas homogen tidak 

dapat lagi dipertahankan.148 Alienasi Durkhemian dapat 

menjadi salah satu penanda bagaimana norma-norma 

sosial menjadi absurditas dan memunculkan fakta berupa 

kekosongan perekat masyarakat. 

Dengan deskripsi di atas, agaknya seperti yang 

disampaikan Isaacs, abad Pencerahan tidak mencapai 

tangga keberhasilan untuk memanusiakan Eropa, namun 

sebaliknya justru menjadi subjek dari keberhasilan 

nasionalismenya sendiri. Dengan demikian, emansipasi 

masa itu, tidak mengemansipasikan orang-orang yang 

seharusnya diemansipasikan. Anti-Semitisme bertumbuh 


subur sebagaimana kejahatan di bawah sinaran nalar 

dan ilmu Pengetahuan, demikian pula dengan bayangan 

kepercayaan dan doktrin atau seperti takhayul dan dogma. 

Maka sementara kalangan meyakini bahwa seandainya 

Abad Pencerahan itu berhasil, maka tidak akan ada 

Zionisme.149

Selanjutnya, gema emansipasi dari perkampungan 

Yahudi serta akibat ambiguitas kehidupan orang-orang 

Yahudi di Eropa bagian Barat, tidak pernah meluas ke Eropa 

bagian Timur, di mana pengaruh Abad Pertengahan masih 

terus berlangsung sampai pada abad ke-19. Menjelang akhir 

abad ke-19, eskalasi penganiayaan terhadap Yahudi masih 

terus berlangsung sehingga menyebabkan eksodus massa 

Yahudi dengan tujuan sebagian besar ke Amerika. Situasi 

bahaya bagi kedudukan orang Yahudi ini  – diperparah 

dengan dramatisasi Pogrom serta tidak adanya kebebasan 

di di timur dan pertemuan Dreyfus dalam pembebasan di 

Barat – mengakibatkan kemunculan politik Zionisme, yakni 

pencarian territorial-kebangsaan, sebagai jawaban pada 

“persoalan Yahudi”, masalah dari keterpisahan mereka 

yang kontinyu di antara sejawat bangsa-bangsa Eropa 

lainnya. Pada akhirnya, Jerman, dengan asimilasi yang 

berkembang jauh dan sifat kosmopolitanisme dengan hasil 

terbaik, sehingga ide anti-Semitisme kemudian mencapai 

tingkat kekerasan yang paripurna. Dengan berbekal paspor 

sebagai orang-orang Yahudi dengan kebangsaan Eropa, 

perjalanan mereka hanyalah perjalanan satu kali semata, 


karena pada akhirnya, menuju kematian di kamar gas. 

Eropa yang masa itu dalam kuasa Hitler, menjadi kuburan 

Yahudi dan hanya sebagian kecil yang lolos dari maut. 

Sementara itu, dengan momen kekejaman itu, negara-

negara lain di dunia, termasuk Amerika, tidak membuka 

pintu bagi orang-orang Yahudi yang masih bertahan hidup. 

Dalam konteks ini, terciptanya kembali kebangsaan Yahudi 

di Israel, menjadi satu-satunya jalan untuk tetap hidup 

bagi sebagian orang Yahudi; sementara pada saat yang 

sama, situasi itu dianggap tepat waktu serta merupakan 

keajaiban seperti yang terjadi dalam Kitab Yahudi.150 

Tidak mengherankan pandangan Marxis melihat agama 

sebagai dekat dengan yang tindakan opresi, minimal 

dalam pengalaman masyarakat Eropa. Marx menjelaskan 

posisi dominan struktur keagamaan berciri Eurosentris 

itu dengan menulis “the social principles of Christianity 

declare all vile acts of the oppressors against the oppressed 

to be either the just punishment of original sin and other 

sins or trials that the Lord in his infinite wisdom imposes 

on those redeemed. It preaches cowardice, self-contempt, 

abasement, submission, dejection.” 151 Penindasan oleh 

status quo meminjam agama, seperti antisemitisme yang 

kuat di Eropa, untuk justifikasi transendensi Kristen Eropa. 

Negara baru Yahudi itu, menurut Isaacs, berdiri 

untuk menampung bangsa Yahudi lama sehingga menjadi 



“kebangsaan” Israel yang baru dalam konteks warga 

negara di dalam suatu negara. Yakni, suatu negara yang 

melindungi “kebangsaan” Yahudi lama, di mana orang-

orang berkebudayaan dan memiliki hubungan yang 

serba sama. Namun orang-orang Yahudi yanag datang 

ke Israel tidak serba-sama serta mempunyai tindak 

kebiasaan dengan cara-cara yang berbeda. Keberadaan 

Israel dapat saja “memecahkan” apa yang disebut sebagai 

“Masalah Yahudi” di Eropa, namun itu bukan berarti sudah 

menyelesaikan masalah teka-teki status Yahudi. Bersama-

sama dengan kedatangan dari tujuh puluh negara setelah 

dua ribu tahun, orang-orang Yahudi di Israel mendapati 

bahwa ternyata tidak be