menjadi versi Bahasa Aram. Adapun
6 bagian Misyna yaitu Zeraim, Moed, Nasyim, Nezikin,
Qadasyim dan Tohorot.
Misyna yang memuat tidak saja peribadatan sem-
bahyang dan doa wajib lengkap dengan berkat-berkatnya,
namun juga aturan pengelolaan pertanian dengan hukum
agama pada tanah dan pengaturannya yang disebutkan
dalam Zeraim, bagian Misyna atau Taurat Lisan pertama.
Selanjutnya pedoman tentang hari-hari raya dan hari suci
termaktub dalam Moed. Upacara dan urusan pengaturan
perayaan Yudaisme disebutkan untuk pelaksanaan ritual
dan praktek pemujaan pada yang Adikodrati. Pelbagai
aturan pada perempuan, termasuk pernikahan, perceraian,
pengkhianatan pasangan suami istri, kewajiban dan hak
suami istri serta warisan, wasiat, nadzar dan sumpah
menjadi bagian penting di bab Nasyim, sedangkan
pedoman pencederaan dan hukum mahkamah terkait
perdata dan pidana dan penjelasan hukumnya dipaparkan
di Bab Nezikin. Baik Qadasyim dan Tohorot, dua bab
terakhir Misyna, merupakan ketentuan dan pedoman
perihal suci dan kesucian. Dalam Qadasyim, ketentuan
hukum berkisar pada ritus korban, hewan sembelihan,
buah persembahan untuk kuil dan syarat-syaratnya serta
upacara persembahan yang terkait akidaah dan hukumnya.
Pembahasan bagaimana penjagaan kesucian menjadi topik
utama bab Tohorot. Ia berisi hukum bersuci pada badan,
pakaian, pelbagai perkakas serta perbedaan suci dengan
najis, termasuk di dalamnya pedoman kosher atau kehalalan
minuman dan makanan. Adapun Lampiran Gemara (ke-
sempurnaan atau penyempurnaan) yaitu analisis para
Rabbi berisi komentar, kesimpulan dan diskusi tantang
Misyna, terbagi menjadi komentar Gemara Babylonia dan
Gemara Yerusalem, disebut sesuai nama lokasi analisis
pada Misyna itu dilaksanakan oleh para pemuka agama.
Dimensi doktrin Yudaisme merupakan salah satu
klaim dokumen yang panjang. Teks-teks pilihan dari klaim
97
:
Perjanjian Lama Yudaisme dapat memberikan contoh kajian
tentang sistem baru bagi dunia di Kitab Kejadian. Teks kitab
Bilangan dapat menjelaskan penghitungan pertama bagi
Bani Israel, sedangkan kitab Hakim menyediakan sejarah
Bani Israel di Kanaan. Salah satu konsep selanjutnya yang
menarik yaitu bagaimana menjelaskan situasi suku
bangsa di tanah Kan’an sebelum kemunculan Bani Israel.
Menurut Ulangan: 7:1 dalam Perjanjian Lama menyebutkan
7 bangsa berbeda yakni Het, Girgasi, Amri, Kan’an, Feris,
Hewi dan Yebus. Bangsa ini mendiami kota-kota
yang didirikan oleh bangsa Palestina yakni: Gaza, Asqelon,
Ekron dan Crat. Selain itu, bangsa lain seperti Edom, Moab,
Ammon dan Amaliqah yaitu penduduk di sekitar Kawasan
ini . Penamaan Bangsa dan kota-kota ini cukup
penting untuk observasi lokus yang dirujuk di sejumlah
teks di Perjanjian Lama.
Eksplorasi konsep Yudaisme sebagai salah satu
metode mempelajari aspektual agama Yahudi merupakan
titik awal para peminat kajian menentukan preferensi atau
minat kajian yang mendalam. Tanpa konsep partikuler yang
menjadi fokus kajian, agak merepotkan untuk membaca
sejumlah besar aspek doktrin Yudaisme. Tentu lebih
menarik dan tidak terlalu sulit apabila pembacaan konsep
Yudaisme lebih menekankan pada tafsir pemaknaan yang
tidak sama pada persoalan kehalalan, kepemimpinan
perempuan, ortodoksi, pemuka agama, otoritas keagamaan,
emansipasi, klaim liturgi, gerakan Mistisisme, Pembaruan,
Penderitaan, Tanah Terjanji dan Bangsa Pilihan Tuhan.
98 •
:
F. Dimensi Institusional-Sosial
Ninian Smart memberikan definisi dimensi
institusional dengan menjelaskan bahwa kebanyakan
agama menciptakan pranata-pranata khusus dengan
maksud melangsungkan praktek dan pesan agama. Pranata
ini dapat saja berbentuk dalam pelbagai gereja, maupun
dalam konteks sosial yang lebih luas, terdapat lembaga
pemuka agama seperti para Rabbi dalam Yahudi dan para
Mullah dalam Islam. Terlebih lagi, dalam hubungannya
dengan konteks sosial pula, setiap agama melakukan
penetrasi dalam beberapa tingkat atau tahapan di dalam
masyarakat itu sendiri. Sifat bentuk-bentuk penetrasi sosial
pada agama itu, tentu memberikan pengaruh-pengaruh
pada kelompok yang beragam.103 Aspek ini menandai
perspektif sosiologi beragama dalam kajian religi.
Pandangan Sosiologis dalam kerangka studi agama
menyebut beberapa ciri perspektif tentang masyarakat
ini. Studi tentang kolektifitas manusia dalam kelompok-
kelompok ini mengarah pula pada perhatian dan
ketertarikan pada pranata religi. Apabila pengkaji studi
agama cermati dari karya-karya Comte, Durkheim, Marx
dan Weber, kerapkali muncul referensi wacanaa teologis
maupun perilaku keagamaan dan sistem kepercayaan.
:
yang marjinal khususnya di Kawasan Eropa dan Amerika
Utara pada pertengahan abad 20. Studi sosial pada agama
dengan demikian berada di wilayah pinggir dalam konteks
kajian. Namun gejala dan kecenderungan marjinalitas
studi kemasyarakatan ini berbalik sama sekali dengan
sebelumnya tatkala telah datang era akhir modernitas
atau sering disebut sebagai pascamodernitas. Fokus agama
menjadi isu sosiologi yang signfikan kembali utamanya
berdasar pada pengamatan masa kebangkitan kembali
atau resurgence dengan tingkat yang berbeda-beda pada
fenomena agama di konteks global. Yang terjadi kemudian
yaitu topik-topik sosiologi berwujud pada ketertarikan
pokok bahasan ekologi, penubuhan, gerakan sosial,
globalisasi, nasionalisme dan pascamodernitas.
Konsep-konsep Teologi dalam sudut pandang
Durkheim, Marx dan Weber telah berlalu sebagaimana
Comte berpendirian kukuh bahwa sosiologi telah me-
nempati posisi teologi pada masyarakat modern. Baik
Durkheim dan Marx misalnya, lebih mendasarkan argumen
mereka tentang agama pada produk sosial itu sendiri.
Namun Antonio Gramsci sebagai penerus langkah Marxis
menggunakan argumen agama sebagai aspek interaksionis.
Gramsci melihat agama sebagai sumber daya budaya yang
seringkali dibutuhkan oleh kelompok revolusioner, kaum
reformis maupun pendukung status quo. Agama dengan
demikian menjadi sumber pembangkit perubahan sosial
sebagaimana pula sebagai sumber kelekatan sosial.
Pranata kepemimpinan dalam Yudaisme, seperti
riset Perlman, merupakan contoh justifikasi aspektual
100 •
:
agama sebagai aspek yang dipinjam untuk reformasi
sosial keagamaan di antara aliran Yudaisme. Perjuangan
emansipasi perempuan yaitu perspektif Marxis yang
kemudian dikembangkan oleh Gramsci untuk menyuarakan
aspirasi yang terpendam. Agama dalam hal ini yaitu
progenitor yang berkesesuaian dengan visi kaum reformis
yang memperjuangkan keadilan dan kesetaraan.
Pandangan Weberian lebih menguatkan dinamika
agama dengan pointer ekonomi sebagai pokok per-
masalahan masyarakat modern. Masyarakat Yudaisme
menurut sudut pandang Weber, tidak akan terlalu banyak
mendapatkan generator atau dorongan motivasi ekonomi,
apabila mengikuti jalan mistisisme seperti Kabbalah. Namun
akses langsung kepada yang Transenden sebagai klaim
kaum Kabbalah yaitu bentuk penggunaan agama sebagai
bentuk penjelasan yang lain atas ortodoksi Yudaisme.
Perkara Nubuat menjadi relatif di antara kaum Yahudi
mengingat klaim keberlangsungan wahyu dipercaya oleh
kaum Kabbalistik ini. Pandangan pada pranata kelompok
keagamaan seperti Kabbalah yaitu model penjelasan
konsep keagamaan Yudaisme dikaitkan dengan penjabaran
teori-teori sosial yang relevan.
Selain teoretikus Durkheim, Marx dan Weber dan ke-
ber langsungan Marxis dengan Gramsci, pendekatan sosial
pada agama juga berhutang budi pada kategori Bryan
Wilson pada fungsionalisme agama. Wilson membagi
dua kategori fungsi manifes dan laten. Aspek manifes
agama terletak salah satunya pada konsep keselamatan/
salvation. Takdir keselamatan ini berupa peribadatan dan
101
:
ketundukan kepada yang Transenden. Pada masyarakat
industri dan latar perkotaan, fungsi manifes agama menurut
Wilson ini kerapkali tampak nyata. Pengalaman Pantekosta
yang diamati Wilson, mengandung partikularitas. Namun
esensi manifes dalam agama-agama yaitu sumbangan
berharga Wilson pada studi agama. Selain keselamatan,
konsep manifes agama dapat terjumpai pada yang tak
ter jelaskan/the unexplained. Kuatnya rasionalisme
dan ilmu pengetahuan menyisakan pertanyaan tentang
kekuatan supranatural termasuk makhluk tak kasat mata.
Pengalaman keagamaan kelompok Yudaisme menunjukkan
manifestasi agama untuk kelangsungan hidup keagamaan
dengan penekanan keselamatan pada mitos penderitaan
dan bangsa pilihan Tuhan. Kejadian supraempirik kelompok
Kabbalah yaitu contoh bagaimana agama bersifat
fungsional. Fungsionalisme Yudaisme cukup menarik
untuk eksplorasi konsep dan penjelasan teoretisasi studi
agama dan sosial keagamaan.
Sebagai contoh pranata selanjutnya yaitu tentang
keluarga. Masyarakat Yahudi dirumuskan dalam pondasi
dasar berupa dua unit utama, yakni keluarga dan komunitas
atau masyarakat. Walaupun dalam konteks kekinian,
konsep keluarga bagi Yahudi mengalami pergeseran-
pergeseran pada tingkat interpretasi individual, namun
pranata keluarga, menurut penganut Yahudi, merupakan
aspek vital dalam perayaan Passover, misalnya. Tengoklah
jikalau umat Yahudi memperhatikan hierarki keluarga
secara fungsional. Anggota keluarga inti yaitu ayah, ibu dan
putra-putri Yahudi mengemban tugas terkait ritual Yahudi
tertentu. Pada petang hari Sabbat, misalnya, perempuanlah
102 •
:
yang menyalakan pelita, sedangkan suaminya membaca
kidung doa Sabbat (Kiddush). Pada momen lain seperti
perayaan perjamuan Passover, putra atau putri terkecil
usianya yang hadir, didaulat untuk membaca doa the Four
Questions (mah nishtanah).105 Hal ini yang kemudian
disebut-disebut sebagai paralelisme pranata keluarga ini
dengan konsep pembagian kerja Durkheim. Di sisi lain,
cara pandang fungsionalisme menurut Malinowski juga
penting karena ia mencoba menjelaskan stereotyping
Barat pada praktek keagamaan.106 Kenyamanan dalam
ritual Yudaisme yang mampu menyatukan nilai keluarga
menurut Malinowski bertemu dengan prinsip Durkheim
tentang ikatan religi sebagai perekat kelompok beragama.
Dalam pandangan teroritis, masyarakat beragama
secara umum, tak dapat melepaskan diri dari aspek
kelompok, karena kejanggalan menjadi muncul tatkala
individu “per se” mengekspesikan keagamaannya. Sekali-
pun mungkin pada awalnya agama merupakan urusan
perseorangan, namun dalam setiap agama dapat dipastikan
terdapat adanya kebersamaan dalam beragama. Dalam
tiap persekutuan agama, terdapat dua macam hubungan,
yakni, pertama, hubungan vertikal yang merupakan
hubungan kolektif dan individual para anggotanya dengan
Tuhan, dan, kedua, hubungan horizontal antar para
anggota persekutuan satu dengan lainnya. Hubungan yang
pertama paling utama, sedangkan hubungan kedua bersifat
sekunder. 107 Dalam konteks pranata politis-sosial, pelbagai
organisasi masonry dan perkumpulan rotary, disebut-
sebut dalam kerangka Yahudi, telah lama mengadakan
hubungan kolektif antar anggota komunitas Yahudi untuk
tujuan-tujuan tertentu.108 Selanjutnya pranata Yudaisme
membahas deskripsi konsep keluarga dan rites of passage
(ritus kehidupan).
Konsep keluarga Yudaisme dapat terlihat tatkala
pasca perayaan Hanukkah (dedikasi). Mereka menandai
ritus Shevat atau Tu Bi-Shevat dengan menanam te-
tum bu han dan memakan buah-buahan.109 Konsep
peraya an keluarga Yudaisme ini utamanya berlaku bagi
mereka yang berasal dari tanah Israel. Perayaan lainnya
walaupun termasuk kategori tidak utama, namun Purim
di bulan Februari atau Maret setiap tahunnya ini yaitu
tema perayaannya menjadi satu perhatian utama.
Ritual keluarga Purim ini menegaskan pengingat pada
persekusi. Ia bermula dengan puasa kemudian berbuka
sembari memberikan hadiah dan persembahan melalui
107 Kajian lebih lanjut tentang aspek-aspek penting masyarakat
agama, pemahaman diri, hubungan antar anggota, ukuran
masyarakat agama, integrasi dalam masyarakat agama,
struktur masyarakat agama, otoritas, serta semangat masya-
rakat agama, hubungana dengan dunia luar dan solidaritas
keagamaan, selanjutnya dapat dilihat dalam Djam’annuri,
Ilmu Perbandingan Agama: Pengertian dan Objek Kajian
(Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta, 1998), hlm. 81- 96.
penghaturan makanan kepada teman dan tetangga. Namun
fokus tradisi keluarga ini yaitu kebolehan minum-minum
kemudian berparade dalam karnaval. Sepintas lalu seperti
kontras bahwa sukacita perayaan yaitu peringatan atas
persekusi. Kontras berikutnya yaitu pembolehan keluar
dari ajaran agama untuk tidak memakai baju yang tidak
peruntukan gendernya. Topeng wajah berwarna-warni
menandai semaraknya peringatan konsep penderitaan itu
dengan ciri mengudap ‘Haman’s pockets’, kue pastri yang
diisi dengan pelbagai macam biji-bijian.
Konsep keluarga dan perayaan yang menyertainya
dapat menjadi deskripsi konsep societalisasi. Bryan Wilson
menjelaskan konsep dengan menekankan pada pergeseran
cara pandang dengan latar masyarakat beragama di era
modern dan sebelumnya.110 Tidak hanya konsep keluarga
dan ritus, namun pandangan pada liturgi serta ortopraksis
berupa keadilan dan kesetaraan gender, yaitu objek
studi yang dapat dijelaskan dengan tesis Wilson. Penanda
perubahan masyarakat beragama sebelum era modern
biasanya terdiri dari sekumpulan kecil masyarakat yang
dapat berjumpa sehari-hari, sama sekali berbeda dengan
perilaku anonim masyarakat modern. Proses sosial dan
pranata sosial masyarakat modern berskala bukan lagi
lokal dan personal, namun merambah pranata en masse.
Fakta sosial ini berujung pada perubahan mendasar pada
problem identitas individu maupun kelompok keagamaan
khususnya pada titik fokus bentuk- bentuk kehidupan yang
terkait dengan agama dan religi. Sama seperti masyarakat
sebelum modernitas, Wilson mencatat aspek dapat
dipercaya atau trust dan fidelity/kesetiaan sebagai aspek
penting dalam tatanan sosial dan pemaknannya. Loyalitas
pada kebajikan religious bukan perkara yang dianggap
sambil lalu belaka atau dikesampingkan. Relasi dan peran
di dalam pranata keluarga misalnya mendasarkan pondasi
nilai-nilai lebih kepada aspektual religi.
Tesis Wilson melanjutkan diskontinuitas nilai.
Masyakat modern tidak lagi merujuk sepenuhnya pada nilai
primordial dan personal yang membutuhkan seperangkat
penyerta dan justifikasi agama, namun cenderung
mempercayai bagaimana peran-peran sosial bersumber
pada asumsi sekuleristik, berisi penawaran – permintaan,
regulasi birokratis, kontrak serta teknis. Dengan penuh
kehati-hatian, masyarakat modern dalam kacamata Wilson
lebih terpaku pada wilayah non agama serta tidak terlalu
menganggap penting tata peran sosial yang rumit.
Nilai yang muncul dari proses societalisasi yaitu
individuasi. Aspek berbasis individualisme ini kemudian
mendorong arah pemisahan urusan agama dengan urusan
profan. Pijakan rasionalitas manusia modern membuka
arah cara-cara dan strategi pencapaian manusia yang kuasa
menentukan arah berpikir untuk pemenuhan aspektual
ekonomi sosialnya. Determinasi manusia rasional men-
ciptakan celah kesenjangan antara justifikasi agama yang
dianggap sebagai ancaman otonomi manusia modern.
Perspektif manusia dengan cara pandang Eropa sentris ini
bukan tanpa kritisisme.
106 •
:
Manusia modern berada pada persimpangan jalan
ketika berhadapan dengan asas religi dan di sisi lainnya
dengan ekspresi otonomi. Jalan individuasi, seperti tesis
Wilson mungkin berlaku pada eksposisi cara pandang
Eropa. Namun menjelang dan setelah pergantian
millennium memasuki abad ke-21, pandangan manusia
otonom kemudian bertemu dengan konsep alienasi Marx
dan Durkheim. Keterpinggiran kebutuhan religi sebagai
ekses upaya individuasi manusia modern menuju capaian
otonomi kemudian merebak dan menguatkan kembali
kebutuhan dan persoalan atas agama. Demikian pula
pranata keluarga tidak lagi menghadapi tesis Wilson yang
mencatat relasi hitam-putih atas nilai- nilai tradisional
dibandingkan dengan modernitas. Penganut Yudaisme
menginsyafi bentuk reformasi agama sebagai salah satu
solusi. Agama kemudian berubah fungsi dasar menjadi
komoditas dan dekat dengan ekonomi-politik agama.
Pranata keluarga Yudaisme bukan lagi merasakan
ekses proses modern dan pengelolaan manusia yang
menjalankan ideologi otonomnya, namun lebih jauh dari
itu dapat menjelaskan konsep kesadaran diri dengan
memulai lentur pada perbedaan praktik agama dan
kepercayaan atas tradisi-tradisi agama. Ekstensi momen
Sabbath sekarang menjadi justifikasi kebaruan dengan
memberikan tafsir lebih luas tidak hanya terkungkung
dalam pranata agama. Masyarakat Yudaisme sebagai
bagian arus modernitas meyakini aspek Pendidikan secara
serius dengan mendirikan kelompok diskusi dan ilmu
pengetahuan, sebagian lagi memulai asrama Pendidikan
khusus untuk memperkuat nilai-nilai yang tetap dan nilai-
107
:
nilai yang bergeser. Sejumlah literatur menyebutkan era
kebangkitan intelektual Yahudi di mana para generasi
penerus tidak secara sadar menjalankan perintah agama
dengan cara-cara ejawantah profan seperti keseriusan
dalam dunia Pustaka, pengembangan pengetahuan dan
penemuan ilmu-ilmu serta inovasi teknologi. Sebagian fakta
pengetahuan di era milenial ini merupakan sumbangsih
pranata Pendidikan Yudaisme, dalam terapan teknologi
digital dan media sosial misalnya.
Institusi paling kentara berupa keluarga ini kemudian
melakukan pelbagai pilihan sebagaimana tawaran gagasan
Yudaisme pada Sekte Ortodoks, Konservatif dan Liberal-
Reformatif. Sebagian menjadi tidak terlalu terikat pada
aspek doktrin dan ritual tradisional, namun yang lain justru
melalukan adaptasi, akulturasi dan inkulturasi dengan
aspek kontinuitas jaman dan ruang ekspresi keagamaan.
Tesis Turner dapat dipinjam sebagai penjelas mengapa
kemudian agama dan dinamika penafsirannya menjadi
menguat. Turner menyebutnya sebagai resakralisasi.111
Ia yaitu bentuk negosiasi dengan pranata kewargaan
sebagai bagian dari kaum beriman yang tinggal di bawah
otoritas negara dan dalam kaitannya dengan posisi umat
beragama sebagai komunitas minoritas beragama.
Rites of Passage Yudaisme berkisar pada momen
sukacita dan perkabungan. Lokus sebenarnya perayaan
ritus kehidupan ini yaitu di tempat ibadah seperti
Sinagog dan melibatkan komunitas luas, namun fokus
utamanya berada di tingkat keluarga. Penggambaran ini
terlihat pada konsep rumah bagi Yudaisme sebagai aspek
vital terkait bagian dari ritus kehidupan perkawinan.
Rumah dan keluarga yaitu amanat wajib berdasarkan
kitab suci Yudaisme seperti dalam Genesis 1: 28, yang
mengisyaratkan pentingnya keluarga untuk membina
hubungan positif dan meneruskan keturunan. Namun
pranata ini juga menawarkan konsep kebahagiaan, kasih
sayang dan harmoni.
Kecenderungan pertemuan praktek Yudaisme
dengan dunia modern dan Kristen kemudian membentuk
prosesi pernikahan dalam rangka membina keluarga
di dalam lingkungan Sinagog. Di hadapan para Rabbi,
kedua pasangan terberkati oleh pemuka agama dengan
persaksian pranata keluarga, tetangga dan teman.
Dibandingkan dengan praktek sebelumnya dalam tradisi
Yudaisme, pernikahan tidak harus secara resmi di hadapan
para pemuka agama seperti di Sinagog, namun dapat secara
luas di tempat-tempat di luar ruang ibadah. Rumah yaitu
lokus prosesi pernikahan sebelum kemudian belakangan
perkembangan dengan pengaruh kekristenan menggeser
pernikahan di altar tempat peribadatan. Terdapat huppah,
semacam kanopi sekaligus kata huppa berarti pernikahan
yang berdiri di rumah mempelai penganut Yudaisme.
Pranata pernikahan Yudaisme bagi kalangan Ortodoks
berarti kesediaan untuk bersaksi di hadapan pemuka
agama untuk ketubah, semacam dokumen pernikahan.
Selain kesediaan persaksian pernikahan dengan tempat
dan tanggal nikah, dokumen berisi jumlah uang yang wajib
109
:
terbayar apabila terjadi perceraian. Kesanggupan ini tentu
untuk menandai kesakralan pernikahan dan prakteknya
dalam pembentukan pranata keluarga. Kata-kata verbatim
dalam dokumen ketubah berisi janji suci “Saya berjanji
sepenuhnya dengan dasar iman bahwa saya akan menjadi
suami yang menghargai dan membahagianmu. Akan
selalu upaya bersungguh-sungguh bekerja untuk menjaga
dan mendukungmu. Sesuai kemampuan akan berjanji
memenuhi apa yang menjadi kebutuhanmu sebagaimana
seorang suami Yahudi wajib laksanakan.” Dalam praktek
keagamaan di era modern, kalangan liberal-reformasi lebih
memilih kesepakatan resiprokal yang menandai kesetaraan
gender. Kelak dalam praktek-praktek religi, cara pandang
dan perspektif, kaum Reformis berciri khas kelenturan
atas doktrin, tradisi dan ritual tradisional Yudaisme.
Tanpa ketubah, secara legal formal pasangan Yudaisme
tidak mendapatkan syarat penting untuk hidup bersama
pasangannya membina mahlihai perkawinan.
Pranata pernikahan Yudiasme memberikan pen-
jelasan kepada pengkaji agama tentang relasi pernikahan
dengan praktek-ritual yang menyertainya. Bagi kedua
mempelai, berpuasa sampai berakhirnya prosesi nikah
merupakan anjuran ajaran agama. Terlebih ketika momen
doa-doa, secara khusyuk pengantin menyampaikan
pengakuan atas dosa-dosa yang telah dilakukan. Sebentuk
kittel berupa tali-temali yang kelak akan dipakai saat
tradisi Passover sampai kemudian menyertai saat kematian
tiba menjadi persembahan pengantin. Ia menjadi tanda
mengingat ritus kehidupan yang berakhir pada kematian.
110 •
:
Adapun Joachim Wach menyebut dua hal penting
dalam hubungan individu-persekutuan agama ini. Pertama,
pada dasarnya hakekat, kedalaman, ketahanan dan bentuk
persekutuan keagamaan akan banyak bergantung pada
cara para anggotanya menghayati hubungan mereka
dengan Realitas Mutlak serta pada cara mereka mengalami
persekutuan, membayangkan dan mempraktekkannya
dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, dalam tiap-tiap
persekutuan keagamaan, akan memperlihatkan diri sebagai
sebuah mikrokosmos yang memiliki hukum, pandangan,
sikap dan suasana kehidupan tersendiri. Djam’annuri
menuliskan sifat-sifat agamis persekutuan keagamaan yang
terlihat dalam berbagai kelompok kultus seperti “kahal”
dalam agama Yahudi, ummah dalam Islam maupun samgha
dalam Buddha.112
Pranata, sebagaimana ditemukan dalam agama
Yahudi dalam paparan di atas, ditegaskan aspek definifnya
sebagai suatu sistem norma khusus. Deksripsi pranata
dalam wilayah pendekatan sosiologis lebih menekankan
pada bagaimana pengaruh pranata agama pada masyarakat.
Dengan mengamati pranata, maka kecenderungan
penurunan relasional pranata atau sebaliknya peningkatan
afinitas pranata dengan masyarakat beragama dapat
teramati.
suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan
masyarakat.114 Dalam dataran yang lebih kongkrit, pranata
diuraikan dalam berbagai organisasi sosial yang memenuhi
kebutuhan manusia. Menurut Dadang Kahmad, setiap hari
manusia selalu melaksanakan interaksi antar sesama dalam
rangka hidup bermasyarakat. Hubungan antara individu
itu adakalanya berpedoman pada pola-pola hubungan
yang resmi dan ada kalanya juga berpedoman pada pola-
pola yang tidak resmi. Sistem wahana yang memungkinkan
warga masyarakat itu melakukan interaksi dengan pola-
pola resmi, dalam bahasa ilmu sosial disebut pranata
(institution).
Kahmad selanjutnya mencatat bahwa pranata sosial
yang berhubungan dengan kehidupan beragama dari
suatu masyarakat tertentu meliputi segala pemenuhan
kebutuhan anggota masyarakat ini dalam mengabdi
kepada Tuhan. Dalam konteks kajian studi agama, bentuk-
bentuk pranata dalam hubungannya dengan kehidupan
beragama masyarakat dapat berupa ibadah, pendidikan
agama, hukum agama, partai, ekonomi berbasis agama,
keluarga, kehidupan sosial, pertahanan, ilmu pengetahuan,
kesusastraan serta kesenian terkait agama tertentu.
:
maka dalam dimensi institusional, penggolongan pelbagai
dimensi keagamaan menjadi terkait satu dimensi dengan
lainnya, seperti halnya dengan ditemukan golongan Yahudi
Parisi, yang menurut sebagian pengamat, lebih merupakan
partai politik, ketimbang golongan atau mazhab.116 Dalam
lintasan sejarah Yudaisme, kelembagaan Yahudi dapat
dipastikan merujuk pada definisi ‘communitas’ menurut
Victor Turner. Kelompok agama Parisi sebagai contoh
yaitu klaim relasional pemeluk Yudaisme yang berada
di antara definisi ‘infinite’ dan ‘finite’ dalam pengalaman
umat beragama. Komunitas pada definisi di luar Turner
bukan lah definisi ‘communitas’. Ia lebih kepada margin
yang memisahkan kelompok agama Parisi dari sekte
atau golongan Yudaisme lainnya. Penanda atas Yudaisme
menurut Parisi dengan demikian menghubungkan realitas
sosial dan politik dengan aspektual klaim agama, sehingga
persoalan politik dalam konteks Parisi sebenarnya bukan
saja menunjukkan partisipasi dan aktivisme politik semata,
namun terkait pula dengan atau dekat dengan klaim religi.
Namun pandangan yang lebih umum pada Parisi lebih
menunjukkan afiliasi kepartaian yang kentara.
Dengan melihat dimensi pranata (institusional) serta
sosial yang cukup luas cakupannya, maka beberapa aspek
dari agama Yahudi yang dipraktekkan dan dianggap sebagai
bentuk pranata dalam kehidupan masyarakat Yahudi dapat
dikembangkan kemungkinan riset keagamaannya. Maksud
utama dari ikhtisar studi agama Yahudi ini, yaitu dapat
sedekat-dekatnya menyediakan wahana referensi yang
berfungsi sebagai stimulasi gagasan riset dengan berpijak
pada peta konten agama Yahudi berupa konsep-konsep
melalui pemakaian perspektif tipologi dimensi-dimensi
agama.
Dimensi ritual-praktek, emosional, etis, doktrinal,
filosofis, hukum, material dan sosial bukan bertujuan
untuk mengkaji semua aspek dimensi secara bersamaan.
Namun pemerian aspektual agama seperti Glock and Stark,
Ninian Smart dan sebagainya, lebih ditujukan pada fokus
pembacaan konsep-konsep. Pemilihan konsep kemudian
diikuti dengan kasus dan konteks merupakan cara kerja
akademik yang ditawarkan dalam buku ini. Dengan
demikian, pandangan Yudaisme yang dibayangkan akan
membahas semua aspektual atau disiplin dalam satu karya
ilmiah, tentu merupakan cara pandang distortif dan keliru.
Latihan menuliskan konsep berlatar pembacaan literatur
intensif yaitu ‘outcome’ argumen buku ini.
Pendekatan studi agama yang multidisipliner –
psikologis, sosiologis, teologis, fenomenologis, antro polo-
gis, feminis dan filosofis merupakan aspek berharga pada
riset studi agama Yahudi. Peter Connolly misalnya, selain
Peter Antes, dapat menjadi sumber acuan payung teoretis
dan praktek agama karena sifatnya yang mewadahi teori-
teori. Pendekatan lebih dekat dengan terma paradigma
dan perspektif, walaupun sementara pengkaji studi agama
menganggap teori yaitu pendekatan pula. Secara umum,
akademia melihat konsep sebagai bagian dari konstruksi
teoretis, sedangkan teori yaitu bagian dari pendekatan
studi agama.
114 •
:
Dalam aspek pranata kesenian, sebagai ilustrasi,
penggambaran tentang “Akedah” (momen dialog antara
Tuhan, Abraham dan pengorbanan pada Isaac, dalam ayat
Akedah, Genesis. 22: 3), dapat saja ditemukan persamaan
dan perbedaan antara tradisi teks dengan seni figuratif.
Perbedaan penggambaran momen “Akedah”, sekaligus
menandai spektrum arti atau makna berbeda yang jauh
lebih ditolerir dan bersifat luas dalam Yahudi, dari pada
misalnya dibandingkan dengan penafsiran Kristen,
ditemukan ketika seni lukis tentang momen “Akedah”
teramati di tempat keagamaan daan sinagog di dalam
tanah Israel (Beit Alpha) ataukah di luar Israel atau
diaspora (Dura Europos). Dengan memakai perbedaan
pranata kesenian ini, maka peminat kajian agama Yahudi
dapat melacak bagaimana setiap seniman yang terlibat
dalam karyanya, sesungguhnya yaitu penafsir-penafsir
konsep agama, seperti terlihat dalam konteks konsep
“Akedah”.117 Kacamata Yudaisme menunjukkan petanda
berbeda dengan relasi ritus korban antara Ibrahim dan
Isaac, dengan petanda Ibrahim dan Ismail dalam sudut
pandang Islam. Komparasi figur dan tokoh yang muncul
dalam periwayatan agama-agama, seperti klaim Yudaisme
117 Tradisi teks menunjukkan, bahwa Isaac bersedia dengan
patuh dalam konteks pengorbanan oleh Abraham, dalam
wujud usia dewasa, sementara para seniman baik di
Israel maupun di luar negeri itu (Dura Europos), lebih
menggambarkan Isaac sebagai seorang bocah. Hal ini tentu
yaitu pengaruh aspek artistik serta budaya yang tidak sama.
Lebih lanjut tentang gambar “Akedah” secara lebih detail,
dapat dilihat dalam kontribusi Edward Kessler, “Judaism”
dalam John F.A. Sawyer, The Backwell Companion to the
Bible and Culture, (Malden: Blackwell, 2006), hlm. 119-134.
115
:
dan Islam yang tidak sama, menjadi justifikasi momen
‘Akedah’ yang distingtif dan unik dalam studi agama
Yudaisme. Dalam studi agama Yudaisme, para seniman
setara dengan penafsir agama dengan penggambaran Isaac
pada gambaran figur bocah, tidak seperti periwayatan
teks Yudaisme yang merujuk pada Isaac dewasa, lagi-lagi
menunjukkan dinamisasi studi Yudaisme tidak saja dari
sudut pandang pelbagai disiplin tentang manusia, bangsa
dan agama, namun dari interpretasi seni. Kesenjangan yang
terjadi antara gambar para seniman dengan gambaran
teks, menjelaskan keleluasaan tafsir atas agama serta
menjadi penunjuk identitas sekte Yudaisme. Namun pada
titik lainnya, terdapat keberatan klaim tafsir semacam
yang dilakukan secara reformatif oleh para seniman dalam
penggambaran konsep Akedah Yudaisme. Pelanggaran pada
liturgi agama semacam tafsir para seniman itu meskipun
menjadi petanda sementara kelompok Yudaisme, tetap
tidak akan diterima oleh kaum penjaga Ortodoksi, yang
bergabung dalam sekte Ortodoks Yudaisme.
G. Dimensi Material
Pembahasan dimensi agama berupa institusional
maupun sosial, seperti telah dipaparkan sebelumnya,
mewujud dalam pelbagai ragam dimensi material. Bentuk
dimensi material agama berupa bangunan-bangunan,
karya-karya seni serta kreasi-kreasi lainnya, termasuk ikon-
ikon ritual. Ekspresi material agama ini kerapkali bersifat
elaboratif, bergerak, penting bagi penganut-penganutnya
dalam rangka pendekatan kepada Tuhan. Wujud material
116 •
:
agama yang juga penting yaitu bentang alam di dunia yang
dianggap terkandung makna dan menjadi keberadaan yang
penuh dengan kesucian, seperti Sungai Gangga, Gunung
Fuji maupun Gunung Sinai dalam konteks agama Yahudi.
Seringkali “landmark” ini , tentu saja, digabungkan
dengan kreasi manusia yang lebih kentara, seperti kota suci
Yerusalem.118 Pendekatan interdisipliner dapat menjadi
salah satu aspek kunci pemahaman dimensi material ini
mulai aspektual ritual, mitos, emotif, sosial dan etis.
Pendekatan multidisiplin ini menjadi penting
seperti contoh lokus suci berikut. Dalam ilustrasi mengenai
Gunung Sinai, A. Mukti Ali mengaitkan tempat ini dengan
proses evolusi agama Yahudi. Gunung Sinai yaitu tempat
tinggal Yahweh (nama Tuhan Yahudi), yang dianggap sejak
purbakala merupakan Tuhan suku Madyan. Di gunung Sinai
pula, Yahudi mempercayai bahwa wahyu yang turun itu
kemudian berbentuk, dan Israillah yang memilih Yahweh
sebagai Tuhannya, dan bukan Yahweh yang memilih
Israil.119 Mitos Sinai dengan demikian bukan bersifat
otonom atau berdiri sendiri. Ia berkenaan pula dengan
aspek relasional mitos Sinai dengan doktrinal dan hukum
selain konsep konfrontasi manusia dengan Tuhan. Dengan
kata lain, pendekatan Teologis dalam studi agama, menurut
Frank Whaling, dapat dipakai sebagai penjelas pelbagai
momen tradisi keagamaan terkait dengan iman dan
tujuannya, komunitas beragama, ritual, etika, sosial, mitos
dan kitab suci, estetis dan spiritualitas.120 Dalam bahasa
Smart, di Gunung Horeb atau Sinai ini, yaitu tempat di
mana konfrontasi terjadi antara orang-orang Israel dengan
Tuhan yang baru, yaitu Yahweh, di mana pakta-pakta
atau “covenant” disepakati oleh orang Israel dan Yahweh,
dengan mediasi kedua belah pihak. Setelah itu, Yahweh
menyampaikan the Ten Commandments kepada Moses
sebagai dasar kode etika Yahudi.121 Dalam sudut pandang
studi agama Yudaisme, klaim doktrin kepada Moses dapat
berkelindan dengan periwayatan Musa dalam doktrin Islam.
Namun terma Moses atau Musa dalam Yudaisme dan Islam
bukan sama sekali menunjukkan persamaan. Moses dalam
Yudaisme yaitu klaim belakangan yang berbeda dengan
klaim Musa dengan kitab Taurat yang lampau. Pendekatan
teologis mengisyaratkan tiga posisi sudut pandang agama
terhadap lainnya. Pertama, ia bersikap eksklusif dengan
tidak melihat adanya doktrin keselamatan di luar agama.
Kedua inklusif yang mengakui eksistensial umat beragama
lain namun tidak partisipatif lebih lanjut dalam persoalan
praksis sosial agama. Sedangkan terakhir menunjuk pada
sikap pluralis yang membuka diri pada kerjasama aktif
antar pemeluk agama berbeda dengan pada saat yang sama
bersikukuh pada agama yang diyakini dan dipeluknya.
Dalam kasus klaim Moses pada Yudaisme, apresiasi tetap
kita sampaikan berdasar pada perbedaan periwayatan
dan doktrin dengan Islam. Teologi Islam pluralis agaknya
lebih menjadi titik tekan berupa kesejajaran praksis teologi
untuk kemanusiaan di tengah pelbagai klaim doktrinal
yang sudah pasti tidak dapat ditemukan. Apa yang diyakini
eksklusif bagi sementara umat beragama justru menjadi
penanda teologi diskontinuitas yang mandeg. Dengan
tantangan klaim ortodoksi, sebenarnya ranah studi agama
lebih menyediakan ruang-ruang pertemuan agama-agama.
Bukan berarti doktrin setiap agama tidak perlu dipelajari
dan tidak berharga, justru pengetahuan studi agama
mumpuni mampu menjelaskan duduk perkara doktrin
agama yang majemuk. Kesadaran atas perbedaan doktrinal
agama bukan menjadi penghalang pertemuan agama-
agama, sebaliknya dapat memupuk penghayatan pluralitas
dalam kerjasama antara agama-agama.
Dimensi materiil agama Yahudi ini, secara artistik,
merujuk pada ornamen, piranti dan tata letak bangunan
keagamaan. Adapun tempat-tempat utama yang menun-
jukkan ornamentasi serta penggunaan cara-cara materiil
untuk tujuan keagamaan ini , berada pada wujud
dekorasi dalam sinagog-sinagog serta manuskrip-
manuskrip keagamaan. Secara historis, tempat ibadah
Yahudi, utamanya Sinagog yang didirikan pertama-tama,
dapat dilacak beragam mosaik yang menggambarkan
“the Ark of the Covenant”; maupun bentuk “Menorah”,
yakni tempat lilin bercabang tujuh; atau bentuk motif
cabang-cabang pohon Palem dan pohon lemon; serta
lambing-lambang zodiak. “the Ark”/kotak besar berisikan
lembaran-lembaran Taurat dalam bentuk gulungan, me-
rupakan titik pusat liturgi utama di dalam Sinagog,
119
:
yang di dalamnya tersimpan bahan-bahan materiil yang
banyak ornament dekoratifnya. Dalam tata letak dan
bangun sebuah Sinagog, dulunya bangunan Sinagog tidak
dirancang-bangun ruang khusus untuk perempuan, namun
dalam perkembangan selanjutnya, terdapat tempat dan
ruang khusus untuk kaum perempuan di dalam Sinagog.122
Temuan Ninian Smart pada transformasi ruang di Sinagog
untuk perempuan contoh model konsep Yudaisme
dengan pendekatan Feminis. David Bouchier menegaskan
pandangan Feminis sebagai segala bentuk pandangan yang
berpihak pada keberatan atas diskriminasi sosial, personal
dan ekonomi pada perempuan berlatar pada perbedaan
jenis kelamin. Pandangan Feminis dengan demikian
bukan lah sudut pandang perempuan semata namun
melibatkan pula pandangan laki-laki yang bersimpati
pada keterpinggiran perempuan. Kritik Feminis bertumpu
pada konsep patriarki yakni kuasa dan dominasi laki-laki
yang terlembagakan atas perempuan, subjek laki-laki dan
dunia. Morgan menyebutkan seksisme sebagai serangkaian
kepercayaan yang memelihara dan menguatkan supremasi
laki-laki. Dalam kasus riset Perlman, hampir sama dengan
kasus ruang perempuan pada tata rancang dan bangunan
Sinagog, menjadi bentuk contoh penulisan konsep ruang
dan otoritas kepemimpinan dalam teori Feminis.
:
pengkaji studi Yudaisme dapat menelusuri data serta
konsep Feminis melalui cara-cara seperti contoh Perlman
dan Morgan yang fokus pada konsep partikular Yudaisme.
Secara khusus, beberapa karya ilmiah studi agama
Yahudi memperkenalkan deskripsi seni keagamaan Yahudi
dan desain bangunan Sinagog. Termasuk didalamnya yaitu
peralatan dari logam, berupa objek ritual seperti mezuzah
(kotak kecil berisi potongan tertentu dari Kitab Yahudi),
ditempatkan di pintu rumah. Bahannya selain logam, dapat
pula berupa kayu, kaca dan plastik dengan ragam desain
tersendiri. Sebagai salah satu piranti perayaan Sabbat,
kebanyakan keluarga Yahudi memiliki satu set cawan
anggur dan tempat lilin, dengan variasi bahan dan desain.
Sementara bangunan Sinagog, dengan variasi-variasi
arsitektur yang khas dipengaruhi oleh situasi zaman,
mulai dari gaya Gotik atau gaya klasik, dengan beberapa
diantaranya terbuat dari kayu pada masa-masa abad
Pertengahan. Sinagog yang dalam bahasa Ibrani disebut
“Bet Ha Knesset” atau rumah majelis, sesungguhnya lebih
menunjukkan fungsi sejarah sosialnya daripada perihal
signifikasi spiritualnya. 124 Realitas tarik menarik sakralitas
Yudaisme menjadi arah sosial atau spiritual. Ketegangan
antara keduanya tidak kemudian memutus sama sekali
dengan transendensi. Pada beberapa analisa sejarah
Yudaisme, aspek praktek keagamaan Yahudi menjadi tidak
hanya berfokus pada partisipasi ritual keagamaan dan
upacara semata, namun merambah pula pada keanggotaan
pada persekutuan agama. Isu Yudaisme berikutnya
menyasar pula mengapa pada konteks modern, generasi
lebih muda pada kelompok Yahudi terbebani keterikatan
dengan pengaruh agama pada kehidupan sosial.
Afinitas Yudaisme pada sakralitas dengan demikian
mengandung aspek reservatif. Ia dekat apabila situasi sosial
Yahudi memungkinkan, namun afinitas berubah menjadi
penjagaan jarak apabila situasi pengalaman Yudaisme
tidak menguntungkan. Seperti riset Perlman, debat
otoritas keagamaan di Sinagog Beit Daniel menjelaskan
penurunan otoritas tradisional. Namun pertanyaan masih
tetap terbentang tentang pelbagai kemungkinan privatisasi
sistem kepercayaan. Pengalaman Yahudi di Eropa dan
Amerika yang distingtif berkenaan dengan sejarah, proses
dan hasil yang ingin dicapai dalam menjaga jarak dan sudut
pandang sistem kepercayaan Yudaisme.
BANGSA YAHUDI DALAM
PERSPEKTIF SOSIOLOGIS-
ANTROPOLOGIS: PENGALAMAN
HISTORIS YAHUDI EROPA
Yahudi Eropa mengalami momen yang menjadi
salah satu contoh terbesar kekejaman, di
mana pembantaian orang-orang Yahudi
Eropa oleh Hitler, sebenarnya pada tingkat-tingkat
tertentu diakibatkan oleh perbedaan agama. Kejadian itu
menjelaskan secara jelas bahwa gagasan eksklusivisme
yang mempunyai andil besar dalam pembentukan tradisi-
tradisi agama, dapat saja menorehkan sejarah kelam dalam
lintasan kehidupan umat manusia. Tentu saja, banyak dari
pembunuhan dan pembantaian, telah dilakukan untuk
tujuan lain daripada alasan keagamaan. Tidak mudah
untuk kemudian membedakan perlakuan non-agama di
dalam kekerasan yang dihubungkan dengan kekerasan,
124 •
:
yang telah terjadi sepanjang waktu yang lalu.125 Bab
tentang pengalaman manusia beragama ini yaitu salah
satu deskripsi Yudaisme paling penting. Eropa dengan
etnosentrisme Barat menunjukkan konsep keberagamaan
eksklusif pada sejarah agama-agama. Aspek modernitas
a la Eropa mendasarkan diri pada struktur superioritas
ras. Persoalan muncul ketika klaim modernitas Eropa
sentris itu berkenaan dengan kelompok agama lain seperti
Muslim, Protestan dan penganut Yudaisme. Pada tataran
tertentu ‘communitas’ menurut Turner menjadi pelekat
kaum marjinal beragama.126 Dalam kasus Yahudi, ia tidak
saja terkait dengan agama belaka namun menyangkut pula
ekses persoalan etnisitas.
Agama seringkali berperan sebagai ujung tombak,
mata pedang yang tajam, taji penggerak, simbol benteng
solidaritas yang diperlukan manusia, di kala mereka
berhadapan satu sama lain untuk membunuh atau untuk
kematian, tanpa melihat apakah itu masalah agama itu
sendiri atau agama yang mencakup kepentingan duniawi,
yang berhubungan dengan masalah keamanan, kedudukan
atau kekuasaan. Dalam konteks historis, pada pertengahan
abad ke-18, kelompok perkampungan Yahudi Eropa berada
dalam keputus-asaan mendalam, disebabkan perampasan
kebebasan bergembira dari sekte Hasidik. Dalam konteks
ini, apabila ditilik dalam zaman kita sendiri, pengertian
gaya-abad Pencerahan gagal menghasilkan perdamaian
yang bertahan di antara manusia.127 Paradoks Pencerahan
Eropa kemudian dapat menjadi salah satu fokus kajian
Yudaisme kontemporer. Pertanyaannya dapat saja menjadi
bagaimana petanda Yudaisme dewasa ini terwujud dalam
perspektif pranata Eropa?
Bagian penjelasan pengalaman Yudaisme di Eropa
merupakan penggalan eksperiensial ‘communitas’
margin. Kerangka masyarakat beragama dalam konteks
margin ini kemudian membutuhkan konsep ‘communitas’
Victor Turner. Situasi Yudaisme dalam konteks marjin
di pengalaman Eropa tidak melepas semua keterkaitan
manusia Yahudi dengan transendentalisme Yudaisme. Ia
lebih pada relasi yang menurut Turner melibatkan relasi
dalam antara identitas yang ‘definite’ dan ‘indefinite’.
Tanda kutip dalam ‘indifinite’, ‘definite’ dan ‘communitas’
sengaja tidak kita terjemahkan dalam Bahasa Indonesia
mengingat petanda yang berbeda. Ketika komunitas
yaitu penerjemahan ‘communitas’ Turner, maka ia
kehilangan penanda penting berupa keterhubungan antara
manusia dengan yang adikodrati, sesuatu yang absen pada
definisi komunitas secara umum. Turner mempercayai
bahwa pengalaman Yudaisme di Eropa selalu melibatkan
sisi margin atau pinggir. Ia tidak berada pada pusat
kesadaran Eropa, namun pada saat yang sama berwujud
pada pemertahanan eksistensial yang berbeda dengan
struktur. ‘Communitas’ Yudaisme dengan demikian yaitu
127 Harold R. Isaacs, Pemujaan Terhadap Kelompok Etnis:
Identitas Kelompok Dan Perubahan Politik (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1993), hlm. 219.
126 •
:
ciri utama pengalaman beragama pemeluk Yahudi yang
memberikan jarak pada struktur dan ditempatkan pada
sudut pandang kewaktuan yang lampau. Namun jarak
pada stuktur kesadaran Eropa dapat mengungkap pelbagai
adat kebiasaan, custom, hukum dan bahasa kolektif.
Struktur kolektif ini membentuk Yudaisme dengan situasi
margin dengan tetap memegang prinsip ‘communitas’ di
pengalaman Eropa.
Dalam perspektif historis, pada pertengahan abad
ke-18, yakni masa pencerahan dan munculnya toleransi
agama serta paham liberal, kaum Yahudi di Eropa Barat
memperoleh dasar untuk mencapai emansipasi serta
mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dengan warga
negara di mana mereka tinggal menetap. Umat Yahudi
berkurang perhatian dan keyakinannya terhadap agama
Yahudi dan tradisi, namun lebih banyak berasimilasi dengan
kebudayaan Barat. Sementara kalangan menganggap
bahwa hal ini merupakan ancaman terhadap agama
Yahudi, maka muncul seorang Yahudi, Mendelssohn, yang
lebih menonjolkan aspek universalitas agama Yahudi dan
spiritualnya. Dengan didukung dengan pengikut fanatiknya,
upaya menentang dalam pemujaan dan pengagungan
budaya Barat dilakukan utamanya di Berlin dan Prusia.128
Posisi Mendelssohn memandang Barat dan Yudaisme dapat
menjadi salah satu kajian menarik terkait modernitas.
Dalam modernitas, konsep rasionalitas Yudaisme dapat
terlacak. Ia tidak stabil. Turner menyebutnya sebagai
penjelas konsep ‘communitas’ dengan ciri marjinal.129
Latar marjinalitas Yudaisme lebih cenderung meneguhkan
aspek otonomi manusia. Yudaisme kemudian akan berada
di persimpangan jalan ketika manusia dan pemeluk Yahudi
harus memilih rasionalitas atas sakralitas.
Sejalan dengan posisionalitas terhadap Barat itu,
generasi muda Yahudi merasa lebih lega dan optimis karena
memperoleh kesempatan intelektual dan kebebasan
sosial. Terdapat gerakan “Haskalah” atau pencerahan,
di mana asimilasi total menjadi titik fokus gerakan
termasuk dalam bidang agama. Namun, sementara lainnya
tetap mempertahankan keyakinan Yahudinya, dengan
tetap mempertahankan status warga negara di mana
mereka berdiam menetap. Dalam bidang intelektual di
universitas, melakukan penelitian sejarah Yahudi, dengan
hasil karya ilmiah mengenai masalah keyahudian. Yahudi
lainnya karena alasan agama, mengumpulkan dana untuk
memperoleh kembali tanah Palestina, yakni tanah air yang
dijanjikan Tuhan.
Selanjutnya pada awal abad ke-19, Daya menjabarkan
bahwa jargon “kembali ke Palestina” merebak di kalangan
Kristen dan Yahudi. Moses Hess menulis buku berbahasa
Jerman berjudul Rom und Jerusalem, terbit tahun 1862,
berisikan keyakinan bahwa cita-cita yang terkandung
dalam sejarah Yahudi akan dapat terwujud dengan tanah
air sendiri yang berdasar sejarah. Buku ini kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada tahun 1918
dengan pengaruh yang cukup besar, walaupun buku
ini tipis saja.130
Dalam kasus selain Yahudi di Jerman, kasus lainnya
yakni orang-orang Yahudi Sovyet. Rezim dan masyarakat
Rusia pada umumnya, menekan kelompok Yahudi sebagai
kelompok bangsa maupun kelompok agama. Mereka
dipaksa mundur ke dalam ke-Yahudi-an karena tidak saja
persoalan asal-usul, namun karena anti-Semitisme (anti
Yahudi) yang masih tumbuh dan melekat dari rezim dan
masyarakat Rusia kala itu. Dari semua bangsa-bangsa yang
terdapat di Uni Sovyet masa itu, kelompok Yahudi lah yang
paling tidak mungkin menggunakan kesempatan yang
sangat terbatas untuk memelihara kebudayaan bangsa
Yahudi. Walaupun demikian, orang-orang Yahudi banyak
pula yang secara demonstratif berkumpul memenuhi
Sinagog yang terbuka untuk ibadat Yahudi pada hari-hari
besar keagamaan. Pada proses selanjutnya dengan resiko
pribadi, mulai bermunculan permohonan emigrasi untuk
menggabungkan diri dengan rekan-rekan Yahudi di Israel
atau di negara-negara lain di luar negeri.131 Seperti sikap
anti-semitisme Eropa pada umumnya yang dapat ditelusuri
sampai sekarang, marjinalisasi di pelbagai penjuru dunia,
termasuk Rusia dan Amerika, secara factual menunjukkan
aspektual teologis, sosiologis, politik, antropologi, psikologi
dan fenomenologis sebagai perspektif saling berkait erat.
Sikap prasangka berdasar pada struktur kognitif merupakan
ranah psikologi umat beragama yang kompleks. Seperti
Victor Turner yang mengarah pada konsep ‘communitas’,
sebuah relasi non rasional namun eksistensial, ia berakar
kemudian pada sejumlah contoh krisis kehidupan. Dalam
life crisis, seringkali kelompok beragama berada pada
struktur dan peran yang sesungguhnya menjadi pengalaman
sehari-hari selama ini. Kelompok marjinal membentuk
pelepasan tekanan psikologis pada tautan pengalaman-
pengalaman fenonemologis seperti munculnya mitos
penderitaan, bangsa terpilih, keselamatan dan tanah
terjanji yang mendapat justifikasinya dari perspektif
teologis. Teologi berupa pemahaman manusia Yudaisme
atas takdir Transenden itu bagi sementara kelompok,
akan mendekatkan lebih kuat pada liturgi, sementara
lainnya melepaskan dengan sadar dan terpaksa atas kaitan
sakralitas baik sementara maupun temporer.
Pertautan sejumlah praktik sosial keagamaan
berupa marjinalisasi Yudaisme yaitu model kajian
studi agama yang interdisiplin. Kajian agama ini berbeda
dengan kecenderungan kajian dengan fokus hanya
membahas aspektual teologis misalnya dengan cara
parsial. Ketidakutuhan cara pandang pada studi agama
akan menghadapi sejumlah persoalan praksis, tatkala
masyarakat beragama menghadapi pelbagai persoalan
krisis kehidupan dari eksistensi manusia, pandangan
gender, pemanfaatan teknologi dan etika agama, lingkungan
hidup, kemiskinan, literasi Pendidikan, budaya perdamaian
dan komunikasi konstruktif. Dengan keberpihakan studi
agama pada persoalan ortopraksis, maka ortodoksi agama
130 •
:
mampu memberikan kontribusi nyata dalam persoalan
realitas keagamaan.
Argumen Ninian Smart tentang aspektual agama yang
beraneka rupa serta kolaborasi gagasan Connolly tentang
pelbagai pendekatan agama yang diperlukan sebagai
pandangan formal pada kajian, yaitu sumbangan berharga
yang dapat dipakai untuk mengantarkan studi agama pada
kovergensi kajian ortodoksi dan ortopraksi. Kemungkinan
studi agama merambah aspek antar disiplin seperti
psikologi, fenomenologi, teologi, feminisme, sosiologi dan
antropologi menjadi cukup besar dan menjanjikan. Data-
data dan pemerolehan data dengan demikian tidak hanya
berkutat pada teks liturgi klasik semata, namun meruang
dan menyapa relasi doktrinal dengan praktek keagamaan
dinamis. Ia tidak sibuk mengurusi sisi justifikasi normatif
Transenden melalui kajian parsial, namun lebih membuka
ruang kebebasan atas repons studi agama pada pelbagai
persoalan krisis kehidupan manusia dan agama.
Beberapa fakultas dan program studi dalam uni ver-
sitas yang membuka kajian studi agama, telah melakukan
serangkaian tugas dan kewajiban akademik memberi
‘terjemah’ paradigma interkoneksi dan cara pandang
integrasi pelbagai bidang akademik, tanpa meminggirkan
satu keilmuan atas preferensi keilmuan lainnya. Sejumlah
riset studi agama yang telah terbit pada pelbagai publi-
kasi ilmiah hanya memuat pandangan–pandangan inter-
disipliner. Riset Perlman pada ritual masa remaja–Bat
Mizwah di Sinagog Reformasi memberikan bukti bahwa
ritualisasi tidak otonom namun mengundang aspek ritual
131
:
itu dengan politik kepemimpinan dalam studi otoritas
Yudaisme. Kekayaan studi semacam yang dilakukan
Perlman setidaknya cukup menarik dari sisi cara kerja
penelitian agama dengan memperhatikan beberapa pointer
sebagai berikut.
Pertama, kajian studi agama merupakan wilayah
kajian yang luas. Keluasan ranah studi agama, termasuk
dinamika Yudaisme, dapat dilakukan dengan tidak me-
lakukan reduksi keseluruhan nilai agama dengan melalui
analisis konsep. Konsep berciri abstrak dan bersifat
general sudah menjadi perhatian awal ketika melakukan
pembacaan sejumlah literatur untuk menentukan konsep.
Pilihan konsep ini bukan tataran umum, namun dapat
menitikberatkan pada aspek spesifik dan partikularitas.
Konsep Feminis misalnya telah cukup fokus dibandingkan
dengan konsep pendekatan studi agama yang masih umum.
Namun dalam teori Feminis kita mengenal aspek kesetaraan
gender atau emansipasi. Pilihan konsep partikular pada
perjuangan emansipasi perempuan Yudaisme misalnya
dapat menjadi contoh kongkrit penentuan konsep Yuda-
isme. Konsep marjinalisasi Yudaisme misalnya apabila
kemudian dilakukan pembacaan lebih lanjut sesuai minat
kajian, maka akan mengantarkan pada anti-semitisme.
Anti-semitisme sebagai konsep yang menggambarkan
sentimen kebencian kepada masyarakat dan agama Yahudi
kemudian perlu ditindaklanjuti dengan beberapa langkah
berikutnya.
Pemilihan konsep Yudaisme telah merujuk pada par-
ti kularitas. Kita ambil contoh konsep mitos tanah ter janji
132 •
:
misalnya, di samping konsep marjinalisasi, diskriminasi dan
anti-semitisme, untuk menyebut beberapa contoh konsep
yang dapat dipilih setelah membaca sejumlah literatur
Yudaisme, yaitu salah satu konsep penting Yudaisme
yang dapat kita telaah pada sejumlah kasus. Kasus yaitu
langkah lanjutan setelah menentukan konsep. Kasus
klaim tanah Israel, diaspora Yahudi di pelbagai penjuru
dunia yaitu kasus yang muncul dari konsep mitos tanah
terjanji. Keterhubungan konsep dengan kasus dengan
demikian bersifat dinamis dan eklektis. Seringkali proses
relasi konsep dan kasus ini diklaim merupakan langkah
sulit. Anggapan kesukaran dalam menentukan konsep dan
kemudian diikuti dengan observasi sejumlah kasus dapat
terjawab dengan intensitas dan fokus membaca literatur.
Problematika sementara klaim kesukaran menentukan
konsep dan kasus sebenarnya yaitu problem literasi.
Dalam konteks ini, tulisan yang sedang kita cermati bersama
ini yaitu salah satu upaya mendekatkan kita semua pada
kebutuhan langkah akademik yang dapat memberikan
sumbangsih riset studi agama yang lebih menjanjikan dan
bermanfaat untuk kemanusiaan.
Kemudian setelah penentuan konsep dengan pilihan
kasus, maka langkah berikutnya berupa penulisan konteks.
Sejumlah fenomena academia yang tercermin pada konsep
serta serangkaian kasus dalam fakta sosial keagamaan,
dapat peneliti telaah dengan konteks tertentu misalnya
dalam konteks pluralitas tafsir ortodoksi Yudaisme, Multi-
kulturalisme pada Sekte Yudaisme, impian masyarakat
diaspora beragama dan politik etnisitas. Konteks dalam hal
ini dapat memberikan aspek pemahaman yang memayungi
133
:
analisis konseptual dan kasuistik. Penentuan konteks
seringkali memperoleh panduan dari tema-tema, topik-
topik dan fokus kajian serta konsentrasi filosofis, sosial,
budaya, psikologis dan teologis.
Ketiga langkah dasar berupa konsep, kasus dan
konteks merupakan jembatan akademia yang membantu
penulisan karya ilmiah studi agama. Tanpa pembacaan
intensif pada literatur peminatan sejumlah lebih dari
beberapa judul dan sudut pandang, upaya memulai proses
penelitian tidak memungkinkan dan mencukupi. Dengan
demikian tiga langkah berupa konsep, kasus dan konteks
yaitu proses siklus. Konsep baru dapat muncul dari
konteks-konteks yang terbuka. Pada penentuan konteks
tertentu, peta konteks lainnya akan tergambar. Gambaran
konteks lainnya ini yang kemudian mendorong pembacaan
lanjutan sehingga menyuguhkan konsep lain yang baru dan
menarik. Sejumlah kasus kemudian menanti pembacaan
mendalam dan peneliti memilih salah satu atau beberapa
kasus sebagai justifikasi dan data analisis konseptual.
Bagaiamana memandang teori dalam tiga langkah
dasar konsep, kasus dan konteks? Konsep dalah abstraksi
sejumlah ide, gagasan dan konstruksi teoretis. Singkatnya,
konsep berada di dalam bangunan teoretis. Suatu teori
dapat memunculkan beberapa konsep. Kita ambil contoh
teori ritual Yudaisme. Teori ritual akan memunculkan
konsep Transendensi, ‘communitas’, interpretasi, aturan,
pedoman dan fungsi, sekte dan makna. Di antara sejumlah
konsep dalam teori ritual Yudaisme, kita kemudian
menentukan interpretasi ritual Yudaisme sebagai pilihan.
134 •
:
Konsep interpretasi ritual dapat kita temukan dalam
contoh riset Perlman yang menegaskan reformasi Yudaisme
sebagai konteks.132 Kasus di Sinagog Beit Daniel tentang
penggunaan media sosial untuk perjuangan kesetaraan
gender dapat memberikan contoh langsung bagaimana
posisi teoretis. Teori ritual Yudaisme bersifat patriarki.
Dominasi gender ini akan terlihat pada kasus-kasus seperti
kasus emansipasi di Sinagog Beit Daniel yang mengusung
paham perubahan dan reformasi keagamaan Yudaisme.
Mari kita kembali pada pembacaan kasus historis.
Pada dekade 1970-an, beberapa puluh ribu orang-orang
Yahudi Sovyet meninggalkan negerinya menuju Israel,
termasuk anggota-anggota sekte Yahudi tradisional asli di
Georgia. Yang lainnya yaitu sejumlah Yahudi yang telah
asimilasi dan beberapa menempati tingkatan jabatan
keagamaan Yahudi. Hal yang tidak begitu mengherankan
yaitu ketika sementara orang Yahudi ini ditanyai,
apakah mereka memeluk agama Yahudi, jawaban dari
mereka yaitu sebagai penganut ateis. Dengan ilustrasi
historis ini, maka dapat diambil aspek penting bahwa
seperti tercermin dalam jawaban itu, maka kasus agama
dan identitas kelompok orang-orang Yahudi merupakan
perkara rumit dan berlawanan azas dari semuanya. Salah
satu pemicunya yaitu identitas Yahudi sebagai klausul
agama, yakni penganut agama Yahudi, sementara di sisi
lainnya terdapat identitas lain Yahudi, yakni sebagai suatu
penunjuk identitas sebuah bangsa.133 Catatan penting
Yahudi sebagai etnis dan agama ini kemudian menjadi
peluang studi agama Yudaisme yang menarik karena sifat
interkoneksi antar aspektual masyarakat. Ninian Smart
memberikan dimensi agama sebagai salah satu piranti
pengamatan pada sisi antar perspektif mulai dari doktrin,
ritual, sosial, etis, politik sampai kelembagaan dan pranata
Yudaisme melalui cultural studies.134 Dengan aplikasi salah
satu dan keterkaitan antar dimensi agama, model kajian
studi agama interdisipliner dapat menemukan jalan terang.
Persoalan yang muncul di sini yaitu bagaimana
memisahkan antara percampuran antara sejarah, agama
dan kebangsaan sebagai identitas kelompok orang-
orang Yahudi. Perihal pertanyaan seperti apakah entitas
Yahudi itu, sebenarnya sulit untuk dimulai dan akan
menjadi penjelasan tulisan tanpa jaminan akhir yang
pasti. Menjadi semacam teka-teki yang tak terjawab
ketika apakah persoalan Yahudi itu tetap berada di pusat
keberadaan Yahudi di Israel—dimana kebangsaan Yahudi
telah mendapatkan kembali kehidupan politik sendiri di
bawah naungan Israeli, kebangsaan negara Israel. Ataukah
menjadi Yahudi yaitu dimanapun di dunia Yahudi tetap
dapat tinggal dengan konsekuensi menjadi warga negara
dari negara lain itu.
mungkin salah satu yang unik, hampir mirip seperti
pen carian negara untuk bangsa Kurdi, namun dengan
pembeda pada faktor agama yang melekat menyertainya.
Sementara Barthes menyebutkan mitos selalu dimaknai
sebagai postulat imobilitas alam dengan klaim pemaknaan.
Bagi kaum tertindas, konteks mitos yaitu transformasi,
namun sebaliknya kaum penindas mempunyai tujuan
pelanggengan.136 Penanda/signified Yahudi yang dipikirkan
oleh sementara kalangan Yahudi tidak selalu monolitik,
sementara petanda/signifier Yahudi menjadi seolah-olah
formulasi statis sebagai identitas. Mitos dalam pandangan
Barthes ini, mungkin berbeda dengan mitos dalam kerangka
studi agama-agama, namun mitos ini cukup penting dalam
meneruskan atau menjeda pesan identitas Yahudi terkait
dengan pelbagai ideologi, sejarah peradaban dan politik
agama yang dinamis.
Persoalan Yahudi ini berkisar pula pada tidak
adanya konsensus atau kejelasan, apakah orang Yahudi
itu memang asli Yahudi karena dilahirkan dari ibu Yahudi,
seperti yang dipercayai oleh Yahudi Ortodoks, ataukah
karena kepercayaannya dalam keyakinan agama Yahudi
yang disahkan undang-undang. Dalam sejarah bangsa dan
masyarakat Yahudi terdapat hal yang menjadi milik bersama
atas dasar keyakinan – yang secara kontradiktif, banyak
yang mempercayainya maupun tidak mempercayainya.
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dan selalu muncul
kembali di dalam semua keserba-ragaman yang ada pada
Obor Indonesia, 1993).
kehidupan orang-orang Yahudi. Deskripsi pengalaman
Yahudi terkait dengan aspek agama dan kebangsaan Yahudi
ini, bukanlah bertujuan memperoleh jawaban yang selalu
tetap, namun untuk mencerminkan secara singkat tentang
peranan aspek nasionalitas/kebangsaan Yahudi untuk
menyusun identitas kelompok orang-orang Yahudi.137
Dengan sejumlah penanda Yahudi yang kompleks anatar
darah, agama dan warga negara, maka Barthes menyebut ini
sebagai klaim yang terjadi di mana-mana sesuai postulasi
mitologi yang melingkupinya.138 Seperti sebelumnya sudah
dijelaskan, pergeseran klaim mitologi Yudaisme ini
menentukan relasi inter maupun intra Yudaisme masing-
masing dengan klaim mitos yang tidak seragam.
Isaacs lebih lanjut menekankan bahwa dalam
persoalan masyarakat Yahudi, perihal kebangsaan yaitu
bagian dari teka-teki identitas Yahudi selama kurang lebih
dua ratus tahun lamanya di Eropa Barat. Sementara untuk
kurun waktu 1500 tahun sebelum itu, orang-orang Yahudi,
setelah kehilangan Israel, berada dalam keadaan bubar,
menolak asimilasi, tetap bertahan hidup dalam kelangkaan,
gagal menghilang, dan tetap sebagai orang Yahudi dengan
tinggal di mana-mana sebagai orang-orang yang hidup
terpisah. Mereka dipisahkan dari kekejaman, kebengisan
dunia dari orang-orang bukan keturunan Yahudi secara
terus menerus. Utamanya yaitu entitas dunia Kristen,
karena keras kepala untuk memelihara kepercayaan dan
keterpisahan mereka sendiri.139 Pertemuan Yudaisme
dengan sejarah Eropa bukan merupakan konstruk multi kul-
turalisme yang cair. Ia menjadi entitas liyan. Sesuatu yang
patut diperhitungkan untuk ditempatkan dalam konteks
marjinal. Situasi masyarakat Eropa dengan ingatan kolektif
membingungkan dan memperihatinkan bagi komunitas
Yahudi, membulatkan sementara komunitas untuk mencari
kehidupan beragama yang lebih menjanjikan daripada
pengalaman masa lalu.140 Benturan Yahudi di Eropa begitu
keras justru ironis dengan upaya kontinuitas dampak
pencerahan Eropa.
Perihal pemertahanan Yahudi ini , ia yaitu
sebentuk keyakinan diperteguh oleh tradisi kependetaan
Yahudi yang disusun dalam Talmud serta perbaikan dari
karya dan penafsiran undang-undang, dimana orang-orang
Yahudi meyakini bahwa Tuhan memberi mereka posisi
sebagai contoh bagi seluruh dunia. Namun di sisi lain, dunia
mengembangkan versinya sendiri tentang hukum Tuhan
dan membiarkan orang-orang Yahudi dan versi mereka
di luar batas mereka, yang tertutup pada perkampungan
Yahudi. Kadang-kadang mentolerir keterpisahan mereka,
atau biasanya justru, mengorbankan mereka untuk versi
dunia itu.
hal ini menjadi salah satu ciri utama selain standar-ganda
dalam praktek keyakinan internal Yudaisme.142 Pandangan
Weber cukup memberikan penjelasan, khususnya dalam
orientasi etika dan masyarakat di luar Yudaisme, yang
menuntut penelitian penuh kehati-hatian terkait klaim
Yudaisme ini. Dengan perkataan lain, agama dapat
asimilatif pada tataran internal dan eksternal Yudaisme,
namun ia juga menunjukkan inkonsistensi dengan etika
diskontinuitas Yudaisme seperti yang menjadi pengamatan
dan catatan Max Weber. Dengan ciri khas Yudaisme yang
ambigu itu kemudian justru menjadi menarik untuk
memperbincangkan tarik-menarik antara kutub esoterik
dan eksoterik agama Yudaisme.
Pada masa sesudah revolusi Perancis, dengan nosi
emansipasi dari perkampungan Yahudi itu, orang-orang
Yahudi mulai mendapatkan kebangsaan Eropa Barat.
Mereka menerimanya dengan mengorbankan identitas
mereka sebagai Yahudi. Orang-orang non Yahudi yang
bukan keturunan Yahudi, yakni kaum liberal, menekankan
emansipasi bangsa Yahudi dengan melihat hal itu sebagai
suatu jalan bagi orang-orang Yahudi untuk melepaskan
status Yahudi mereka, yaitu, untuk melepaskan apa saja
yang menyebabkan mereka ditolak di mana-mana. Dengan
demikian, mereka bisa menjadi bagian dari dunia modern
di dalam era baru, yang secara nalar, menjadi mungkin,
namun sebagai sebuah bangsa, pasti, akan menggantikan
titas Kelompok Dan Perubahan Politik (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1993), hlm. 251.
agama mereka. Untuk maksud ini, “Orang- orang Yahudi
sebagai Bangsa” – ungkapan umum zaman itu — harus ikut
serta. Hal ini merupakan prinsip yang diproklamirkan pada
tahun 1789 oleh pejuang hak-hak azasi Perancis untuk
orang-orang Yahudi, Clermont-Tonnerre: “Untuk orang-
orang Yahudi sebagai individu, semuanya: untuk orang-
orang Yahudi sebagai bangsa, tidak ada.”143 Pemertahanan
kelangsungan kehidupan komunitas Yahudi yaitu di atas
segalanya, termasuk negosiasi dan adaptasi bangsa dan
agama. Terdapat anomie terpendam, seperti penuturan
Durkheim, yang berasal dari ketidakpastian konsep diri
Yahudi.144 Pada satu sisi ingin mempertahankan kolektifitas
Yahudi secara utuh, namun rangkaian sejarah membuktikan
sebaliknya. Pertemuan Yahudi dengan kelompok agama
lainnya di Eropa yaitu bentuk-bentuk keresahan dan
ketidakstabilan. Selain pemertahanan hidup, ranah hak
asasi merupakan bentuk negosiasi lainnya. Keinginan untuk
menguatkan Yahudi secara kolektif menemui pelbagai
pendapat di kalangan pengamat Eropa.
Banyak orang-orang Yahudi yang siap menerima
tawaran ini dan akhirnya melepaskan beban yang telah
mereka tanggung selama berabad-abad, untuk keluar dari
isolasi dan kurungan kelompok keagamaan yang membuat
tidak berdaya itu, dan bergabung dengan umat manusia
yang mengetahui kebenaran dalam perjalanan menuju
dunia yang lebih baik. Sehubungan dengan perubahan
itu, banyak orang-orang Yahudi yang memilih untuk
menghilang di dalam pembauran massa non-Yahudi. Namun
banyak pula yang bergembira menjadi warga dari dunia di
luar perkampungan Yahudi dengan menjadi warga dalam
“bangsa” yang baru yag sedang bangkit tetapi, dalam waktu
yang sama tidak ada keinginan untuk melepaskan keyakinan
mereka.145 Penggambaran identitas yang tidak menentu ini
yang kemudian menciptakan pelbagai pandangan berbeda
terkait Yudaisme oleh para penganutnya sendiri. Yahudi
masa pencarian identitas ini seperti kesulitan mencari
bentuk totemisme.146 Aspektual eksternal yang keras dan
diskriminatif menciptakan pandangan afinitas dengan
dokrin Yahudi yang tidak sama dengan ortodoksi yang
terus menerus mengalami perubahan menuju pembaruan.
Isaacs selanjutnya menggambarkan bahwa apa yang
dilakukan oleh orang-orang Yahudi itu mengubah tradisi
lama mereka menjadi kebutuhan baru yang lebih modern,
beberapa di antara mereka menjadi pemeluk Yudaisme
aliran baru, suatu bentuk reformasi agama Yahudi yang
didirikan untuk tujuan itu, sementara yang lain, memilih
jalan yang lebih sederhana untuk menempatkan status
Yahudi mereka di bawah identitas baru mereka sebagai
bangsa Eropa. Orang-orang Yahudi ini hidup dengan
memilih cara semacam itu, utamanya oleh yang berada di
Eropa bagian Barat, selama sisa abad ke-19, dengan berbagai
pola keterpisahan, penolakan, sindiran dan pengorbanan
yang terus menerus. Beberapa penilaian penyimpangannya
beragam, seperti yang diilustrasikan oleh gambaran Gustav
Mahler:” seperti seorang Bohemia di antara orang-orang
Austria, sebagai seorang Austria di antara orang-orang
Jerman, sebagai orang Yahudi di dunia, dia selalu berada
di luar dan terpisah.” Atau deskripsi lain dari tulisan
Heine: ”orang-orang ingkar kepada Yahudi, Yahudi ingkar
kepada Jerman, dan Jerman ingkar kepada Perancis … dan
yang paling sering, seorang asing ingkar kepada dirinya
sendiri.”147 Problem ketercerabutan dari akar definisi
diri yaitu problem kompleks manusia modern di mana-
mana. Durkheim menyebutkan solidaritas homogen tidak
dapat lagi dipertahankan.148 Alienasi Durkhemian dapat
menjadi salah satu penanda bagaimana norma-norma
sosial menjadi absurditas dan memunculkan fakta berupa
kekosongan perekat masyarakat.
Dengan deskripsi di atas, agaknya seperti yang
disampaikan Isaacs, abad Pencerahan tidak mencapai
tangga keberhasilan untuk memanusiakan Eropa, namun
sebaliknya justru menjadi subjek dari keberhasilan
nasionalismenya sendiri. Dengan demikian, emansipasi
masa itu, tidak mengemansipasikan orang-orang yang
seharusnya diemansipasikan. Anti-Semitisme bertumbuh
subur sebagaimana kejahatan di bawah sinaran nalar
dan ilmu Pengetahuan, demikian pula dengan bayangan
kepercayaan dan doktrin atau seperti takhayul dan dogma.
Maka sementara kalangan meyakini bahwa seandainya
Abad Pencerahan itu berhasil, maka tidak akan ada
Zionisme.149
Selanjutnya, gema emansipasi dari perkampungan
Yahudi serta akibat ambiguitas kehidupan orang-orang
Yahudi di Eropa bagian Barat, tidak pernah meluas ke Eropa
bagian Timur, di mana pengaruh Abad Pertengahan masih
terus berlangsung sampai pada abad ke-19. Menjelang akhir
abad ke-19, eskalasi penganiayaan terhadap Yahudi masih
terus berlangsung sehingga menyebabkan eksodus massa
Yahudi dengan tujuan sebagian besar ke Amerika. Situasi
bahaya bagi kedudukan orang Yahudi ini – diperparah
dengan dramatisasi Pogrom serta tidak adanya kebebasan
di di timur dan pertemuan Dreyfus dalam pembebasan di
Barat – mengakibatkan kemunculan politik Zionisme, yakni
pencarian territorial-kebangsaan, sebagai jawaban pada
“persoalan Yahudi”, masalah dari keterpisahan mereka
yang kontinyu di antara sejawat bangsa-bangsa Eropa
lainnya. Pada akhirnya, Jerman, dengan asimilasi yang
berkembang jauh dan sifat kosmopolitanisme dengan hasil
terbaik, sehingga ide anti-Semitisme kemudian mencapai
tingkat kekerasan yang paripurna. Dengan berbekal paspor
sebagai orang-orang Yahudi dengan kebangsaan Eropa,
perjalanan mereka hanyalah perjalanan satu kali semata,
karena pada akhirnya, menuju kematian di kamar gas.
Eropa yang masa itu dalam kuasa Hitler, menjadi kuburan
Yahudi dan hanya sebagian kecil yang lolos dari maut.
Sementara itu, dengan momen kekejaman itu, negara-
negara lain di dunia, termasuk Amerika, tidak membuka
pintu bagi orang-orang Yahudi yang masih bertahan hidup.
Dalam konteks ini, terciptanya kembali kebangsaan Yahudi
di Israel, menjadi satu-satunya jalan untuk tetap hidup
bagi sebagian orang Yahudi; sementara pada saat yang
sama, situasi itu dianggap tepat waktu serta merupakan
keajaiban seperti yang terjadi dalam Kitab Yahudi.150
Tidak mengherankan pandangan Marxis melihat agama
sebagai dekat dengan yang tindakan opresi, minimal
dalam pengalaman masyarakat Eropa. Marx menjelaskan
posisi dominan struktur keagamaan berciri Eurosentris
itu dengan menulis “the social principles of Christianity
declare all vile acts of the oppressors against the oppressed
to be either the just punishment of original sin and other
sins or trials that the Lord in his infinite wisdom imposes
on those redeemed. It preaches cowardice, self-contempt,
abasement, submission, dejection.” 151 Penindasan oleh
status quo meminjam agama, seperti antisemitisme yang
kuat di Eropa, untuk justifikasi transendensi Kristen Eropa.
Negara baru Yahudi itu, menurut Isaacs, berdiri
untuk menampung bangsa Yahudi lama sehingga menjadi
“kebangsaan” Israel yang baru dalam konteks warga
negara di dalam suatu negara. Yakni, suatu negara yang
melindungi “kebangsaan” Yahudi lama, di mana orang-
orang berkebudayaan dan memiliki hubungan yang
serba sama. Namun orang-orang Yahudi yanag datang
ke Israel tidak serba-sama serta mempunyai tindak
kebiasaan dengan cara-cara yang berbeda. Keberadaan
Israel dapat saja “memecahkan” apa yang disebut sebagai
“Masalah Yahudi” di Eropa, namun itu bukan berarti sudah
menyelesaikan masalah teka-teki status Yahudi. Bersama-
sama dengan kedatangan dari tujuh puluh negara setelah
dua ribu tahun, orang-orang Yahudi di Israel mendapati
bahwa ternyata tidak be











