Yudaisme Studi Agama:
Jika dicermati dalam perspektif historis studi agama
di Indonesia, bahan bacaan untuk agama Yahudi
dapat dikatakan mengalami perkembangan yang
cukup menggembirakan ketika masa awal inisiasi program
studi agama atau (perbandingan agama) di Indonesia,
sejak berdiri pada dekade 1950 sampai dengan dekade
1970-1980. Buku agama Yahudi ini , bersama-sama
dengan buku studi agama yang lain, merupakan aset
yang ber harga, namun secara akademik, perkembangan
keberagamaan dan relasinya dengan aspek demografi
dan mobilitas penduduk serta keilmuan, tampaknya agak
sedikit menggeser peta faktual keagamaan. Tambahan
lagi, penelitian tentang agama Yahudi, studi agama dan
masyarakat beragama di Indonesia, tentu mengalami pula
ekstensi persoalan, relevansi dan keberadaan penganutnya
di Indonesia yang membutuhkan perhatian khusus seiring
dengan dinamika masyarakat beragama.
Bacaan ini lebih ditujukan untuk referensi bagi
peminat studi agama-agama, khususnya agama Yahudi
dalam konteks paradigma studi agama. Pemerolehan
2 •
:
dan ketegorisasi bahan-bahan untuk menyusun buku
ini, tidaklah sesulit seperti ketika mendefinisikan siapa
sebenarnya orang Yahudi itu misalnya, namun agaknya
perlu disampaikan, bahwa terdapat dua kategori sumber
bacaan terkait agama Yahudi.
Pertama, merujuk kepada referensi majalah, buku,
makalah dan artikel ilmiah yang menjelaskan secara historis
manusia dan bangsa Yahudi. Dalam kategori pertama ini,
pembahasan umumnya berkutat pada tema-tema Yahudi
di dunia, Yahudi dan masa lalu, Kitab Yahudi, Keluarga,
Komunitas, Tuhan dan Manusia Yahudi, Tujuan Beragama,
Yahudi dan Masa Depan dan sebagainya. Dengan demikian,
“mode of representation” atau ciri khusus kategori pertama
ini berupa pendekatan kajian horizontal, menyangkut
pelbagai pendekatan – sejarah, sosiologi, antropologi dan
ritual, penjelasan dan interpretasi.
Kedua, agaknya dalam kuantitas yang tidak sedikit,
terdapat referensi yang secara normatif membahas
keterkaitan tiga agama besar Islam-Kristen-Yahudi. Kategori
ini umumnya berciri pemahaman agama secara vertikal.
Berpijak pada asas utilitas, jika kategori yang terakhir ini
dapat menunjukkan pendekatan komparatif, sebagai
salah satu metode dalam studi agama, maka buku-buku
ini dapat saja menunjang kajian studi agama Yahudi.
Namun, diskusi tentang agama Yahudi dalam konteks studi
agama, lebih memerlukan posisionalitas sebagai observer
(pengamat) mengenai apa yang mereka atau suatu umat
beragama percayai (what they believe).
Dengan demikian, studi agama Yahudi dapat pula
dipandang dalam kacamata agama-agama yang lain,
dalam koridor studi komparatif, namun tetap dengan
memperhatikan aspek “empati” yang ditemukan pada
paradigma studi agama. Terlebih, jika pemahaman
terhadap tujuan studi agama dapat dicermati dengan baik,
yaitu mampu memahami praktek-praktek keberagamaan
agama-agama lain untuk konteks dialog kemanusiaan dan
perdamaian. Dalam tingkat-tingkat tertentu, pengalaman-
pengalaman manusia dan agama lain, justru memperteguh
dan memperkuat sendi-sendi dan akar-akar dimensi
spiritualitas agama seseorang individu maupun kelompok
terhadap agama dan keyakinan yang dipeluk dan percayai.
Buku agama Yahudi ini memberikan beberapa
pe ngalaman berharga masyarakat beragama dalam
menemukan sumber-sumber semangat, keyakinan,
konflik identitas, nasionalisme dan kemanusiaan.
Selain itu, elemen Yahudi—sebagai manusia, bangsa dan
agama, melibatkan pula kontinuitas, diskontinuitas
serta kontradiksi. Dalam aspek kontinuitas, kepercayaan
agama Fenisia, agama Kanaan dan agama Israel dipandang
oleh Yahudi pada masa awal, termasuk pada aspek agama-
agama yang di percayai dan memberikan pengaruh
yang tidak kecil dalam kepercayaan Yahudi. Sementara
elemen diskontinuitas melibatkan pada nosi transisional
kepercayaan orang Israel dari agama Israel ke agama Yahudi,
yang meliputi pula kontradiksi kepercayaan manusia
Yahudi terhadap Tuhan Yahudi, maupun kepercayaan
para Nabi Yahudi yang menilai bahwa Tuhan Yahudi telah
melakukan penolakan pada manusia Yahudi. Kontradiksi
4 •
:
lainnya mengacu pada bangsa pilihan Tuhan, yang justru
secara paradoksal, dipertanyakan oleh penganut Yahudi
sendiri, seperti di mana Tuhan Yahudi ketika terjadi
penderitaan bangsa Yahudi, yang seperti dipahami terjadi
pada sepanjang sejarah agama yang terpanjang dalam
konteks agama dunia ini. Pengalaman-pengalaman Yahudi
ini memicu sikap ambigu seperti terlihat pula ketika
paham Zionisme dipahami secara distintif oleh pelbagai
lapisan penganut Yahudi—Ortodoks, Konservatif maupun
golongan Reformasi. Sebagai pengantar bacaan, agaknya
tidaklah terlalu berlebihan apabila dapat disampaikan
bahwa dalam setiap komunitas agama, terdapat dua
golongan manusia beragama, yaitu golongan yang meng-
upaya kan kebaikan kemanusiaan dan memanusiakan
manusia, terbit dari sinaran agama dan kepercayaan, serta
golongan yang bertindak sebaliknya. Mudah-mudahan buku
ini bermanfaat sebagai salah satu pendorong pembelajaran
dalam rangka menjadi manusia yang mengupayakan jalan-
jalan kebaikan, kemanusiaan dan perdamaian.
R. U.
5
BAB I.
YUDAISME DALAM KONTEKS
STUDI AGAMA
Bab ini akan membahas beberapa dimensi
studi agama seperti dalam perspektif salah
satu pakar studi agama, Ninian Smart.
Pelbagai dimensi agama ini – Dimensi Praktek
dan Ritual, Eksperiential-Emosional, Dimensi Naratif-
Mitos, Dimensi Doktrinal-Filosofis, Dimensi Hukum-Etis,
Dimensi Institusional-Sosial dan Dimensi Material, pada
gilirannya berelasi dengan aspek-aspek intisari ajaran
dan “pandangan dunia” dalam agama Yahudi, dengan
pengantar penjelasan definitif tiap dimensi. Selanjutnya,
dalam tingkat-tingkat ilustrasi tertentu, contoh-contoh
pelbagai dimensi dalam agama-agama yang lain dapat
menjadi aspek perbandingan, apabila dipandang perlu,
untuk pemahaman yang lebih mendalam. Buku ini secara
partikular, menggunakan kategori dimensi agama menurut
6 •
:
Smart dengan mempertimbangkan kekayaan dimensi dalam
agama sebagai pondasi “the histories of various tradition …
but it also contains attempts comparative treatment, which
is necessarily cross-cultural.1 Dalam tataran ini, agama
dapat berwujud wajah ortodoksi atau ortopraksi.2 Dalam
tingkat tertentu, pelbagai pengalaman Yahudi baik di
Eropa maupun di di Amerika, misalnya, dapat memberikan
horison dimensi eksperiensial sebagai spirit utama studi
agama. Di dalam penjabarannya, sisi historis manusia dan
bangsa Yahudi menjadi tampak benar adanya. Namun dari
sudut pandang dimensional lainnya, perlu mencermati
pokok bahasan Yudaisme bahwa tipologi dimensi dalam
agama-agama, menurut pendapat pakar studi agama yang
penuh ciri khas 3, dapat pula menunjukkan pengamatan
pada deskripsi agama-agama dalam konteks dan tingkat
beragam.
1 Tentang tantangan studi agama dan kemungkinan analisa
lintas-budaya seperti rujukan dari Ninian Smart, selanjutnya
dapat dilihat dalam Amin Abdullah, Studi Agama:
Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), hlm. 17 – 18.
2 Ortodoksi lebih menekankan aspek agama di luar orientasi
identitas sosial politik, sedangkan Ortopraksi lebih fokus
pada kondisi keterkaitan agama dengan budaya dan
identitas etnis. Penjelasan selanjutnya dalam Catherine Bell,
Ritual: Perspectives and Dimensions (New York: Oxford,
1997), hlm.191.
3 Pemaparan pelbagai dimensi Agama oleh Joachim Wach
terdiri dari 3 (tiga) dimensi, yakni dimensi ajaran, praktek,
dan kemasyarakatan. Deskripsi lebih lanjut dapat dilihat
dalam Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama: Upaya
Memahami Keragaman Kepercayaan, Keyakinan dan
Agama (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm. 109.
7
:
Argumen buku ini yaitu keragaman pendekatan
studi Yudaisme meliputi Sosiologi, Antropologi, Teologi,
Psikologi, Feminisme, Filosofi dan Fenomenologi, tidak
menjadi kendala namun menyediakan wahana eksplorasi
konsep. Pendekatan Fenomenologis Ninian Smart dapat
membantu pemerian ritual, pengalaman, etika, doktrin,
pranata dan eksoterisme Yudaisme lainnya seperti
hukum dan material, sebagai pencerminan sisi esoterisme
Yudaisme berupa pengalaman batiniah terkait hubungan
antara manusia dengan kosmos dan Tuhan. Studi agama
berbasis konsep ini dapat memberikan model kajian
interdisipliner yang menjadi ciri khas studi agama-agama.
Kajian akademik Yudaisme selain wujud buku dan terbitan
ensiklopedia, dapat pula terekam dalam bentuk artikel
ilmiah di jurnal-jurnal akademik studi agama, kajian sosial
dan penelitian budaya. Pelbagai genre publikasi ilmiah
akademik, baik buku maupun jurnal akademik serta aneka
rupa format terbitan dalam bentuk cetak dan digital,
menyediakan arena pengetahuan studi agama sebagai
pijakan analisa berbasis keingintahuan atas konsep- konsep
studi Yudaisme. Melalui konsumsi-produksi pengetahuan
dalam pelbagai konsep Yudaisme, kajian akademis studi
agama mendapatkan wawasan berharga.
A. Dimensi Praktek-Ritual
Pertama-tama, baiknya kita mengetahui pemerian
ritual dalam perspektif studi agama. Ritual dalam perspektif
studi agama seyogyanya menempati posisi sentral dalam
penelitian agama dengan melihat batasan teks, perilaku
8 •
:
serta perbuatan yang semuanya itu berpulang pada praktek
para pemeluknya sebagai sebuah bagian dari konstruk
religi.4 Pokok persoalan para peminat studi agama yaitu
bagaimana menjelaskan sejumlah besar ‘data’ religi ini
dalam penjelasan, interpretasi dan klasifikasi data. Salah
satu batasan kajian studi agama yaitu soal perspektif
insider/outsider.
Perspektif insider, sebuah pendekatan emik,
dalam studi agama tampaknya menonjolkan sisi upaya
pemahaman praktek keagamaan utamanya dari sudut
pandang orang-orang beragama. Agama tidak menuju
reduksi budaya, masyarakat dan politik, namun sebagai
semata-mata fenomena unik atas kepercayaan dan
pengalaman beragama. Teks-teks agama serta ritual
keagamaan teramati dengan tujuan penelusuran pentingnya
agama bagi penganutnya serta menggambarkan konten dan
perilaku keagamaan ini bagi orang di luar kepercayaan
ini . Pendekatan selanjutnya berupa pendekatan
outsider berupa ciri etik dengan memakai kategori dan
terma rujukan di luar orang-orang beragama gunakan
seperti kategori fungsi psikologis atau proses sosial. Dari
pendekatan yang bersifat pemanfaatan kategori dalam
dan luar sistem kepercayaan, peminat kajian studi agama
dapat mengambil batasan pada satu gagasan mendasar
bahwa studi agama berbasis pada apa yang pemeluk agama
ini yakini dan percayai. Ninian Smart mengemukakan
bahwa ritual melibatkan baik perkataan, tindakan maupun
gerak-gerik tubuh yang umumnya sebagai praktek penganut
4 Aaron W. Hughes, The Study of Judaism: Autheticity, Identity,
Scholarship (New York: Sunny, 2013), hlm. 27 -28.
9
:
agama. Tindakan ritual ini dapat melibatkan tingkat
yang khusus dari “performative acts” (tindak performatif)
setiap agama. Smart memahami ritual, sebagai aspek vital
penting dalam agama, bermuatan penjabaran perasaan dan
menguatkan relasi. Ritual-ritual agama, dengan demikian,
menyampaikan perasaan yang dalam dan hubungan, serta
sungguh-sungguh menyampaikan suatu realitas yang tak
kasat mata, beranjak dari ruang yang satu ke yang lainnya.
Smart mendefinisikan ritual agama ini sebagai:
“Religious ritual conveys feelings and relationships, and
indeed often transfers an unseen reality from one sphere
to another.”5 Ritual dapat menunjukkan perbedaan dalam
pelaksanaannya, seperti tengarai De Lange, apakah bersifat
wajib atau sebaliknya.6 Namun inti ritual tetap dengan
penekanan relasi manusia dengan yang tak kasat mata
melalui pelbagai sistem religi. Pelbagai aspek ritual dan
penyerta ritual seperti doa dan persembahan, utamanya
yaitu manifestasi tindakan komunikatif. Konsep ritual
mengantarkan kita pada fakta konsep lain seperti dosa,
kelahiran, kematian, keselamatan dan pertobatan.
Kelekatan ritual Yudaisme dengan beragam konsep ini
tidak bersifat kebetulan belaka, namun menjadi ciri studi
akademik Yudaisme dengan karakter holisme, menyeluruh
dan lintas budaya dan agama.
Pendekatan antropologi dalam studi agama seperti
yang dapat terbaca dari asumsi Radcliffe-Brown tentang
5 Ninian Smart, Worldviews: cross-cultural explorations of human
beliefs (New Jersey: Prentice Hall, 2000), hlm. 118-119.
6 Nicholas De Lange, An Introduction to Judaism (Cambridge:
Cambridge, 2003), hlm. 132.
10 •
:
fungsionalisme stuktur dapat menjelaskan mengapa
dan bagaimana kelompok beragama memandang ritual.
Konsep Brown bertujuan memperkenalkan pandangan
Durkhemian kepada Antropologi di Inggris dengan
memberikan cara pandang ritus sebagai model dan
instrumen bagaimana masyarakat beragama memandang
religi sebagai perekat sosial.7 Gagasan Brown ini agak
berbeda terma dengan Malinowski yang cenderung
menggunakan terma fungsionalisme. Namun keduanya,
baik Brown maupun Malinowski mampu meletakkan cara
pandang bagaimana agama berfungsi mempertahankan
struktur sosial kelompok relijius.
Praktek ritual menurut Peter Antes, merupakan
fokus penting dalam pendekatan studi agama baru.8 Antes
menyebutkan ritual sebagai topik peminatan sejumlah 16
%, sedikit lebih rendah dengan jumlah yang signifikan pada
minat kajian etnis dan ras sejumlah 21 %. Ritual dapat pula
termasuk dalam peminatan gender dan kemasyarakatan,
dengan total peminat sejumlah 33 % dan 23 %. Survey
minat riset studi agama dalam konteks universitas seperti
terlihat dalam penelitian Antes merupakan justifikasi ritual
sebagai konsep yang menjadi pokok bahasan akademia
studi agama. Termasuk dalam topik menarik yaitu ritual
yang terkait dengan perubahan faith dan praktek pada
komunitas keberagamaan baru atau Gerakan baru. Ritual
7 David N. Gellner, “Antropological Approaches” dalam Peter
Connolly, Approaches to the Study of Religion (London:
Cassell, 1999), hlm.18-19.
8 Peter Antes et.al. New Approaches to the Study of Religion
(Berlin: de Gruyter, 2004), hlm. 16 – 54.
11
:
oleh Antes, kemudian dapat berkenaan dengan klaim
Gerakan atau kelompok baru ini sebagai sebuah
konstruk agama.
Sosiologis Charles Glock dan Rodney Stark,
memasukkan kategori dimensi ritualistik sebagai salah
satu lima aspektual agama selain dimensi eksperiensial,
ideologis, intelektual dan konsekuensial. Hampir mirip
seperti Glock dan Stark, untuk melengkapi kategori
agama dalam pandangan fenomenologis, Ninian Smart
menyebut tujuh dimensi berupa mitis-naratif, ritual,
sosial, etis, doktrinal, eksperiensial dan material.9 Hal ini
tentu melengkapi pandangan terhadap agama yang fokus
hanya pada satu aspek saja. Catatan pendefinisian ritual
pada agama tidak memungkinkan untuk dikaji misalnya
dengan mengikuti pandangan Whitehead. Ia berpandangan
bahwa agama berupa apa yang individu praktekkan dalam
kesendirian atau soliter. Definisi agama a la Whitehead
mungkin hanya berlaku untuk konteks pengalaman
agama yang privat sehingga tidak mencukupi pengertian
religi ketika dihadapkan pada ranah antar individu dalam
kelompok satu agama dengan individu dan kelompok
lainnya.
Ritual, menurut Bell, berasal dari Bahasa Latin ritus
dan ritualis. Terma ritual terkait dengan tatanan upacara
dalam peribadatan liturgis serta berkenaan dengan kitab
yang mengatur tatanan ritual. Sejarah pemakaian terma
ritual dalam ranah antropologis bermula dari awal abad
9 Peter Connolly, Approaches to the Study of Religion (London:
Cassell, 1999), hlm. 5 - 6.
12 •
:
ke-20 tatkala eksplorasi asal mula agama. Ritualistik dekat
dengan konotasi dogmatis agama. Di penghujung abad ke-
19, ritual telah menjadi titik awal pembahasan dalam ilmu
antropologi, studi agama, sejarah, sosiologi dan psikologi.
Dewasa ini, ritual berkenaan pula dengan pelbagai
pendekatan interdisipliner mulai dari fungsionalisme,
psikoanalisis, fenomenologi, strukuralisme, kulturalisme
sampai pada aspek kognitif, ethologi dan metode sosio-
biologis. Dalam perkembangan terma ritual, sejak decade
1980-an, para peminat kajian ritual seperti Jacques
Derrida dan Georges Bataille serta lainnya menyepakati
penggunaan terma ritual dengan pemahaman yang
sama.10 Pergeseran terma ritual dari meluas menjadi salah
satu aspek khusus yang penting dalam dimensi agama
menunjukkan kontinuitas signifikansi kajian ritual dalam
perspektif studi agama.
Selanjutnya Smart memandang bahwa ritual
kerapkali membutuhkan kelengkapan pelbagai ubarampe
(: Jawa) atau beragam piranti eksternal yang dapat tercerap
oleh indra, seperti, penggunaan lilin, pataka-pataka atau
bendera, tempat sembahyang, patung-patung, ikon-ikon
dan sebagainya. Kemajuan dan perkembangan studi agama
telah sampai pada pembahasan dan pemahaman tentang
proses-proses ritual itu sendiri. Dengan memakai contoh
ritus korban sakral, Smart menyimpulkan bahwa ritual
sebagai persembahan kepada Tuhan itu menghubungkan
10 Catherine Bell, “Ritual” dalam Robert A Segal, The Blackwell
Companion to the Study of Religion (Malden: Blackwell,
2006), hlm. 400.
13
:
dan melewati perjalanan dari yang kasat mata menuju ke
dunia yang tak kasat mata, maka korban sakral ini
tentu lah merupakan sesuatu hal yang “menarik” di hadapan
Tuhan. Jadi, ritual menghendaki seleksi spesimen yang
sempurna, yang penuh kesucian didalamnya. Spesimen itu
mencerminkan idealita Tuhan, namun pada saat yang sama,
Tuhan mempunyai kuasa. Dengan demikian, menurut Smart,
korban atau persembahan ini membuka komunikasi
dengan Tuhan dengan cara yang tulus demi mengupayakan
relasi yang baik.11 Komunikasi manusia dengan Tuhan
merupakan konstruksi awal antara takut bercampur
percaya seperti tengarai N. Soderblom, satu tahun sebelum
Rudolf Otto mengetengahkan buku tentang hal sama.
Keduanya tidak saling mengutip, namun menunjukkan
perhatian pada soal Teologi yang kurang lebih mengandung
kemiripan.12 Hughes menambahkan pengertian ritual
sebagai terjemah numinous. Ritual sejatinya merupakan
bentuk eksternal pengalaman numinuous yang tidak
dapat dianalisa ataupun dipelajari.13 Dalam konteks agama
Yahudi, beberapa deskripsi antara pemeluk agama, ritual
dan Tuhan berikut ini dapat membantu menjelaskan
dimensi ritual dalam agama Yahudi.
Dengan memakai pandangan bahwa meskipun
korban itu melibatkan hubungan yang tak setara,
namun seperti pemeluknya mempercayai, aspek korban
11 Ninian Smart, Worldviews: cross-cultural explorations of
human beliefs (New Jersey: Prentice Hall, 2000), hlm. 120.
12 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UIP,
2014), hlm. 79.
13 Aaron W. Hughes, The Study of Judaism: Autheticity, Identity,
Scholarship (New York: Sunny, 2013)
14 •
:
yaitu jalan komunikasi antara pemeluk agama dan
Tuhan/Dewa. Dalam konteks sejarah manusia Yahudi,
sebelumnya merujuk kepada orang Israel, beberapa bentuk
persembahan/korban bertujuan untuk memberikan efek
pengaruh terhadap tindakan Tuhan dengan cara-cara
lahiriah. Dalam pandangan R.R. Marett, konsep kekuatan
luar biasa melahirkan ritual berbasis emotif keagamaan.
Orang pada masa awal-awal pemerian religi itu takjub pada
pelbagai peristiwa gaib. Bentuk kekaguman yang melampaui
jangkauan akal dan keterbatasan penjelasan. Bentuk relasi
berkomunikasi itu dapat berwujud sifat luar biasa pada
manusia, binatang, tetumbuhan, gejala pada peristiwa
alam serta pelbagai benda. Ia yaitu bentuk religi sebagai
praeanimism. Pada masa lalu, orang Israel mempercayai
bahwa aspek-aspek alam yang beragam itu mengandalkan
kendali pada kekuatan-kekuatan Dewa. Maka kepercayaan
berwujud banyak dewa seperti dewa Laut, dewa Angin,
dewa Sungai, dewa Langit dan dewa Api. Ritual korban itu
berlaku sebagai persembahan yang mengukuhkan relasi
yang baik dengan kekuatan dan aspek alam ini .
Sebagai contoh lain, ritual persembahan dapat lebih
bermuatan spiritual seperti contoh ritual persembahan
untuk Yahweh di Kuil Jerusalem. Ritual untuk Yahweh di
kuil Jerusalem ini, merupakan cara-cara menghaturkan
penghargaan terhadap Tuhan maupun menjadi jalan untuk
peleburan perilaku buruk dan dosa.14 Keterhubungan ritual
dengan aspektual esoterisme Yudaisme menjadi perhatian
kita ketika studi agama menitik-beratkan pengalaman-
14 Ninian Smart, Worldviews: cross-cultural explorations of
human beliefs (New Jersey: Prentice Hall, 2000), hlm. 121.
15
:
pengalaman beragama dan rites of passage – kelahiran,
pernikahan dan kematian. Komunikasi manusia dengan
adikodrati sebagai esensi ritual mendedah sisi batiniah
sistem kepercayaan Yudaisme. Pada gilirannya nanti dalam
buku ini doa yang menyertai ritual berkelindan dengan
studi fenomenologi keselamatan dan pertobatan.
Ritual sebagai bagian dari pranata keagamaan me-
ngalami dinamika dan perubahan.15 Dalam per kembangan-
nya, ritual terhadap dewa Gunung, Sungai, Matahari dan
Api mulai surut, demikian pula halnya dengan pengorbanan
terhadap dewa Israel telah lama terpinggirkan, namun,
makna dari ritual ini masih menarik perhatian
peminat kajian kitab Yahudi dewasa ini. Pandangan pada
ritual korban tidak lagi mengandung unsur kekuatan
seperti dahulu, namun prinsip-prinsipnya masih bersifat
penting karena menunjukkan transaksi esensial yang
melibatkan hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam
konteks Yahudi, korban darah tidak lagi muncul, namun
persembahan bentuk lainnya mewujud dalam jalan yang
menghubungkan keterbukaan atau komunikasi dengan
yang Adikodrati. Contoh-contoh ritual lainnya dalam studi
agama, menurut Smart, meliputi: Ritual Kebangkitan
Kristus dalam Katolik, Sholat dalam Islam, tradisi Baptis
dalam Protestan serta ritual pemujaan abu jasad Budha.16
Ritual agama-agama berciri khas ketundukan pada yang
15 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Rineka
Cipta, 2003), hlm. 135.
16 Ninian Smart, Worldviews: cross-cultural explorations of
human beliefs (New Jersey: Prentice Hall, 2000), hlm.119-
122.
16 •
:
adikodrati. Pemerian ritual ini terkait dengan terma-terma
dan dekat dengan definisi transenden, yang menakjubkan,
numinuous, yang Suci, yang Sakral, yang Kudus dan spiritual.
Yang membedakan antara bentuk ritus dengan aktivitas dan
pengalaman non religi yaitu manifestasi atau perwujudan
transendensi dan transempirisme ini .
Dalam sudut pandang Yahudi, setiap manusia
merupakan ciptaan serta sebagai imaji Tuhan, dan dengan
menyembah terhadap Sang pencipta itu, maka manusia
memuliakan pencerminan yang Kuasa. Keabadian Tuhan
merupakan aspek penting yang menopang imaji manusia
dan penganut Yahudi seperti termaktub dalam Isaiah 44:6
dan Psalm 90:2.17 Arti dari pemuliaan dari Tuhan bersifat
abadi dan tidak terikat ruang itu, dapat berupa contoh
secara lugas dengan gerakan-gerakan tubuh, yaitu rasa
manusia yang berhubungan dengan ciri-ciri sakral dimana
manusia memuliakanNya. Aspek pemuliaan ini termasuk
dalam dimensi ritual studi agama Yahudi.18 Konsep
pemuliaan merupakan manifestasi relasi manusia dan
Tuhan betapa pun di dalamnya penuh dengan kontradiksi
Yudaisme, ruang di mana pertemuan antara yang bukan
sakral dengan sakralitas dapat terjadi. Relasi manusia dan
Tuhan tidak setara antara keduanya sehingga menuntut
penghambaan dan kemuliaan.
17 Nicholas De Lange, An Introduction to Judaism (Cambridge:
Cambridge, 2003), hlm.162.
18 Untuk referensi lanjutan tentang ritual dengan pembahasan
pelbagai perspektif dan dimensinya, dapat dilihat dalam
Catherine Bell, Ritual: Perspectives and Dimensions (New
York: Oxford, 1997).
17
:
Seperti pemerian ritual berupa upacara-upacara
keagamaan pada kajian agama-agama, manusia dan
kepercayaan terhadap religi menarik perhatian para
peminat kajian antropologis dalam dasawarsa akhir abad-
19 dan awal abad ke-20. Ketertarikan para etnografer
berkisar kemudian pada pencarian penjelasan ritual
sebagai bagian dari sejarah kemunculan agama. Dapat
dengan mudah penelitian para pengkaji ritual ini
terbaca pada suku-suku pada masyarakat sederhana atau
disebut-sebut sebagai primitif.19 Pada tahapan deskripsi
ritual agama-agama suku ini dapat membaca temuan
Andrew Lang tentang Dewa Tertinggi pada suku Ona dan
Yahgan di Amerika Selatan, suku penduduk asli Australia,
suku pegunungan tengah Papua dan Papua Nugini, suku
Bushman di Afrika Selatan, suku Negrito di Kongo dan
Kamerun Afrika Tengah serta suku Indian di Amerika
Utara. Perihal dewa-dewa ini menandai transisi Yudaisme
lama dengan ritus baru dalam formulasi klaim kedekatan
manusia dan Tuhan dalam masyarakat modern.
Ritual merupaka aspek yang menjadi perhatian
utama dalam agama. Robertson Smith mempercayai ritual
sebagai pokok agama dan peradaban yang menegaskan asal
mula keterikatan kelompok. Ritual persembahan menjadi
salah satu penanda penting. Frazer mengungkap kata kunci
penanda ritual yaitu persembahan. Ritual paling mendasar
yaitu pemujaan pada Dewa Kesuburan. Ia beranjak dari
19 Penting mencermati sejarah kepercayaan manusia dan
ritualnya seperti penuturan pakar antropologi Indonesia
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UIP,
2014), hlm 60.
18 •
:
kematian menuju kebangkitan, melalui kelahiran kembali
ini maka tumbuhlah tanam-tanaman. Sebagai
penanda ritual lainnya yaitu aspek tata kelola upacara
secara bersama-sama dalam bentuk kelompok serta
pembacaan rapal-rapal doa beserta artinya.20 Pemerian
ritual ini dapat menunjukkan dimensi terkait berupa
praktek-praktek pemujaan kepada yang Adikodrati. Konsep
kematian dalam pandangan ini, bukan lah akhir dari
eksistensial kosmos namun sebaliknya. Kelahiran kembali
yaitu konsep menarik yang dapat menjelaskan bagaimana
sudut pandang pada kematian mengalami pergeseran-
pergeseran. Kematian dan kelahiran kembali yaitu
penanda siklus kehidupan yang memberikan sumbangan
kesadaran esensial atas pertanyaan ontologi dan kosmologi.
Menarik untuk mencermati bagaimana proses eksistensial
kehidupan pada sisi ontologis serta dampak pengetahuan
pada pandangan kosmologi mengungkap signifikansi
konsep kelahiran-kematian pada kehidupan Yudaisme.
Selanjutnya, dimensi ritual Yahudi dapat pula
berwujud dalam beberapa bentuk ritual, seperti yang
dipercayai orang Israel yaitu ritual pemujaan sapi jantan,
anak sapi, burung hantu, lembu emas serta ular tembaga.
Namun dalam perkembangan historis lebih lanjut,
menurut Burhanuddin Daya, terdapat ritual sembahyang
Yahudi, puasa Yahudi, pelbagai bentuk ritual korban, ritual
pensucian hari-hari tertentu, ritual Paskah (pembebasan
orang Israel dari perbudakan), Pentakosta (panen pertama),
20 Catherine Bell, “Ritual” dalam Robert A Segal, The Blackwell
Companion to the Study of Religion (Malden: Blackwell,
2006), hlm. 400.
19
:
ritual hari Perdamaian besar, ritual hari raya Pondok Daun,
ritual Penebusan dosa, ritual Bulan baru, ritual tahun
Sabbat (tahun ke-7, penghentian pengolahan tanah),
ritual Yobel/tahun kebebasan (50 tahun sekali, tanah,
budak dibebaskan), dan ritual hari raya Purim (undian,
kebebasan orang Yahudi dari Hamam).21 Transformasi
ritual Yudaisme dari yang lama menuju ritual praksis yaitu
bentuk elaborasi aspek antropologi holisme dalam studi
Yudaisme. Yang dimaksud sebagai kesatuan menyeluruh
ini yaitu bagaimana ritual Yudaisme bukan lah aspek
independen seperti didedahkan sebelumnya pada buku
ini, yang terlepas dari nilai budaya, sosial, kekerabatan
dan praktek agrikultur. Dengan demikian tidak lah dapat
berterima apabila penelitian pada satu aspek religi seperti
ritual, hanya sebagai sebuah sudut pandang otonom.
Momen pembebasan dari perbudakan, penebusan dosa
serta pengolahan tanah pada ritual Purim, Yobel, Paskah
dan ritual tahun Sabbat menunjukkan interdependensi
ritual dengan lingkup sosial ekonomi dan momen historis.
Hal ini tentu mengalami pergeseran apabila merujuk pada
formulasi ritual lama berupa pemujaan pada pelbagai
binatang. Namun atribusi pada hewan sebagai pemujaan
dapat dipastikan berciri perhatian pada aspek kesakralan.
Dalam konteks ritual Israel22, dipandang dengan
21 Mengenai deskripsi ritual Yahudi, dapat dilihat lebih lanjut
dalam Burhanuddin Daya, Agama Yahudi (Yogyakarta:
Bagus Arafah, 1982), hlm. 171-184.
22 Walaupun terkadang sementara pendapat tidak mem-
bedakan istilah Ibrani, Israel dan Yahudi, namun agaknya
penting pula untuk mencoba-bedakan istilah-istilah
ini . Istilah Israel digunakan setelah Nabi Ibrahim a.s.
20 •
:
perspektif historis menurut Mariasusai Dhavamony,
terdapat kultus yang rumit di samping persembahan-
persembahan. Dalam kitab-kitab Musa, persembahan
binatang dan sayuran mendapat tempat penting. Perayaan
paling istimewa yaitu ritual perayaan Tahun Baru, saat
itu alam diciptakan, kekuasaan Yahweh, pembaharuan janji
dan ibadah tobat Istana. Selama masa sesudah pembuangan,
ritus kesalahan-kesalahan jemaah memakai kurban kepala
kambing kemudian membawanya ke hutan. Tahapan
selanjutnya yaitu Imam Agung memasuki tempat yang
sangat Suci untuk pertobatan. Ritual pesta-pesta bermakna
relasi suci menghubungkan Israel dengan secara langsung
kepada Yahweh.23 Dalam pandangan antropologi Feminis,
praktek keagamaan dan ritual Yudaisme menyimpan
pertanyaan mendalam tentang bagaimana peran
perempuan dalam perayaan dan ritus-ritus keagamaan.
Aspek peran perempuan yang absen dalam partisipasi aktif
wafat, sedangkan sebelumnya dipakai istilah Ibrani (suka
menyeberang Eufrat, Palestina), kemudian berubah menjadi
Israel (Eal= Tuhan, Isra= hamba). Disebut hamba Tuhan
karena dulunya pernah beriman pada ajaran Ibrahim a.s.,
lalu kembali pada kepercayaan non-Tauhid, yaitu seperti
nenek moyang mereka dahulu, sehingga disebut Bani
Israel. Selanjutnya, ajaran Nabi Ibrahim a.s. dilanjutkan
oleh Nabi Ishaq a.s., lalu putranya, Nabi Ya’kub a.s., maka
istilah Ibrani dan Israel kemudian berkembang menjadi
istilah Yahudi, yaitu pada zaman Yehuda, putra ke-4 dari
nabi Ya’kub a.s. yang berjumlah 12 putra. Secara partikular,
ulasan tentang sejarah Bani Israel serta silsilah putra-putra
Nabi Ya’qub yang lain, dapat dilihat dalam Ali Anwar dan
Tono TP, Ilmu Perbandingan Agama dan Filsafat (Bandung:
Pustaka Setia, 2005), hlm. 87-95.
23 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta:
Kanisius, 1995), hlm. 173-174.
21
:
ritualisasi, mendorong Sinagog Reformasi berpandangan
maju untuk respon marjinalisasi peran perempuan, seperti
kasus yang dapat dibaca di buku ini di Sinagog Beit Daniel.
Sebagai tambahan, praktek-praktek ritual Yahudi
lainnya dapat berwujud ritual sirkumsisi/sunat dan ritual
“Pidyon haben”/ritual penebusan kelahiran anak lelaki
pertama. Dalam ritual sunat, berkenaan dengan sebutan
“brit millah” atau (covenant of circumcision) atau sekedar
disebut sebagai “brit” (covenant). Seorang “mohel”/tukang
sunat mendapat delegasi dari bapak anak yang akan
disunat, kira-kira pada usia minimal 8 tahun sampai umur
13 tahun. Di ujung akhir ritual sunat, terdapat perjamuan
untuk para tamu. Ritual ini yaitu tanda yang dapat dilihat
sebagai perhubungan antara Tuhan dan orang Yahudi.
Dalam konteks ini, jika umur 13 tahun telah terlampaui,
maka kewajiban atas aturan dalam Taurat menjadi niscaya
untuk seorang Yahudi.24 Pembentukan pranata keagamaan
berbasis keluarga teramati jelas melalui ritual yang
memenuhi kebutuhan manusia berbakti kepada Tuhan.25
Termasuk dalam pemenuhan kebutuhan religi ini
berwujud dalam pengkhidmatan upacara dan doa-doa
persembahan.
Doa dalam ritual Yudaisme mempunyai arti penting.
Sifat asimetris menandai doa sebagai relasi manusia dengan
Tuhan dengan imaji berlainan seperti, Yahweh sebagai
Guru, Teman, Bapa atau Mempelai. Deskripsi doa sebagai
24 Nicholas De Lange, An Introduction of Judaism (Cambridge:
Cambridge Univ. Press, 2002), hlm. 110-111.
25 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I (Jakarta: Rineka
Cipta, 2003), hlm.135.
22 •
:
bentuk ketergantungan sekaligus membedakannya dengan
praktek-praktek magis. Jembatan komunikasi antara
manusia dengan transendensi terwujud dengan perantara
doa-doa. Pertemuan transendental ini menandai kehadiran
adikodrati di dalam perasaan manusia. Terdapat klaim
relasi simetris, namun penghayatan simetris selalu tidak
penuh dan lengkap. Dengan demikian terdapat jarak yang
menghubungkan doa-doa kepada transendensi dengan
keterbatasan manusia tidak dapat mendoa kepada dirinya
sendiri. Melalui doa, tata kosmos menjadi seimbang karena
asimetris dan konsekuensi doa. Anomie, seperti penuturan
Durkheim, dapat menemukan titik equilibriumnya dengan
berdoa sebagai titik hubung kosmos dan kelompok
masyarakat serta harapan-harapannya. Relasi tidak setara
ini menunjukkan aspek kuasa dan kehendak Tuhan tidak
seperti linearitas pertanyaan dan jawaban. Tidak ada
anugerah Tuhan yang margin sehingga segala bentuk
karuniaNya bersifat bebas. Sifat bebas karunia Tuhan
ini mengundang sikap ketundukan dan kepasrahan
manusia Yudaisme secara total. Kosmos menyandarkan
pada sumber rohaniah yang menjelasan tata kelola alam
dan masyarakat. Dengan sumber rohaniah tak terbatas
ini, manusia dapat terpenuhi kebutuhan dan keinginannya
tanpa mengutarakan secara langsung.
Kosmos yang berada di bawah kuasa Dewa-dewa
kemudian mengetahui mana-mana yang baik dan paling
baik untuk keselamatan manusia. Ketundukan total tidak
mengindahkan lagi determinasi tujuan, namun lebih kepada
kecenderungan determinasi mutlak sebagaiman yang
transenden mengatur dan memutuskan. Unsur kemandirian
23
:
adikodrati ini menuntut sifat orang berdoa yang telah
mencapai kemenangan dalam doa-doanya. Partisipasi dan
kelekatan kepada yang Transenden kemudian tercipta
melalui sifat orang berdoa yang kuat sebab pertaliannya
dengan sakralitas. Keterbatasan manusia dan kosmos
membutuhkan pola ketergantungan dn dimensi baru doa.
Dunia telah kehilangan kuasa atas manusia dan kosmos
setelah manusia mendekatkan diri dan menentukan
dasar rohaninya di hadapan yang adikodrati. Pengalaman
manusia dengan yang transenden dapat berupa kedekatan
dan keakraban, sementara yang lain berupaya menjalin
tidak saja kedekatan namun sampai pada tataran kesatuan.
Aspek penghambaan dengan praktek ketundukan atas kuasa
transenden dapat kita amati terdapat dalam tradisi agama-
agama, sementara Yudaisme menandai relasi manusia dan
Tuhan selain secara asimetris, namun kadangkala terwujud
dalam aspek simetris seperti percakapan kaum Yahudi
atas penggalan ketidakhadiran Tuhan sehingga pelbagai
penderitaan tertimpa pada penganut Yahweh ini. Terdapat
kontradiksi seperti standar ganda yang menjadi tengarai
Weberian pada praktek sosial keagamaan Yudaisme.
Mentalitas Yudaisme apabila teramati dalam sejarah agama,
tidak mudah putus asa namun seperti esensi makna doa,
ia yaitu kalimat-kalimat untuk permohonan penjagaan
kosmos dan manusia. Dengan pelangitan doa-doa, manusia
bebas menyampaikan sisi kepasrahan dan ketundukan
sementara secara simetris yang adikodrati juga tidak terikat
pada keharusan penyampaian jawaban atas doa-doa.
Selain contoh ritual sirkumsisi, dalam ritual
“Pidyon haben” yang berarti ritual penebusan kelahiran
24 •
:
anak pertama berjenis kelamin laki-laki, orang Yahudi
melaksanakannya ketika bayi berumur 30 hari. Hal ini
dipercayai bahwa sebelum usia 30 hari itu, kehidupan bayi
ini belum dianggap dalam pandangan Yahudi. Ritual
ini hanya berlaku untuk anak lelaki saja, sementara anak
perempuan tidak diperingati seperti kelahiran pertama
anak laki-laki. Ritual “Pidyon haben” dilaksanakan dengan
ritual penebusan kembali dari pemuka agama (kohen),
yang kemudian diundang dalam perjamuan makan. Dalam
ritual tesebut, pemuka agama (kohen) menanyakan
kepada sang ayah tentang dua tawaran, apakah memilih
anak ini atau tidak. Setelah membayar sejumlah
lima keping perak, maka sang ayah memilih menebusnya
sehingga pada akhirnya doa-doa ritual pun disebut-sebut
dan disampaikan.26 Praktek ritual Pidyon Haben ini yaitu
salah satu pemicu kalangan Yudaisme untuk menggugat
kesetaraan gender justru pada saat ritual agama dipercaya
dalam ritus kehidupan seperti sirkumsisi. Ortodoksi
Yudaisme kemudian menerima tantangan otoritatif ter-
kait bagaimana ritual ini membuka ruang bagi
keterlibatan dan partisipasi aktif perempuan.
Dapat disimpulkan bahwa pelbagai ilustrasi tentang
praktek-praktek dalam agama Yahudi di atas menunjukkan
dimensi agama yang melibatkan tindakan-tindakan latihan
pikiran dalam berbagai dan serangkaian pola-pola. Dengan
demikian, praktek dan aspek perilaku ini digolongkan,
dalam kerangka dimensi agama, ke dalam dimensi ritual.
Ritual merupakan aspek yang ditekankan benar-benar
26 Nicholas De Lange, An Introduction of Judaism (Cambridge:
Cambridge Univ. Press, 2002), hlm. 111.
25
:
dalam hampir setiap agama-agama.27 Dalam pemaparan
dimensi ritual ini, maka apabila diperlukan sejumlah teori
tentang ritual-ritual agama maka peminat kajian agama
dapat melihat lebih lanjut, dalam jumlah yang tidak sedikit,
tentang teori ritual. Sebagai salah satu contoh pemaparan
teori dari pakar studi agama, maka teori-teori tentang
ritual, upacara dan ritus keagamaan dapat ditemukan
dalam pemaparan E.O. James.28 Cukup banyak pemerian
ritual dalam kajian agama seperti dapat pula ditelusuri
pada ritual dan ritualisasi dinamis dalam pandangan
Catherine Bell. Bell cukup teliti dalam mendalami bentuk-
bentuk ritual religi maupun proses ritualisasi. Perubahan
budaya dan nilai masyarakat menuntut penerjemahan
ritual secara lebih luas. Pada beberapa titik, ritualisasi
yang dituturkan Bell mengungkap kebutuhan dan tuntutan
masyarakat beragama dengan pijakan quasi religi dengan
nilai-nilai dan atribusi sekuleristik.
Sekarang kita lanjutkan dengan contoh ritualisasi
Yudaisme. Ritual lama tetap mendapat tempat, dipercayai
dan dimuliakan, namun perkembangan ritual kemudian
bermuara pada inovasi, seperti terjadi pada ilustrasi ritus
Sabbath. Ritual lama mendapatkan aspek kebaruan dengan
pemilihan preferensi acara perjamuan khusus saat petang
27 Ninian Smart, Worldviews: cross-cultural explorations of
human beliefs (New Jersey: Prentice Hall, 2000), hlm. 10.
28 E.O. James menyebut-nyebut pengertian ritual, masa
transisi ritual, pelbagai upacara dan ritual musiman. Lebih
lanjut dapat dilihat dalam Adeng Muctar Ghazali, Ilmu
Perbandingan Agama: Pengenalan Awal Metodologi Studi
Agama-agama (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm.132-
136.
26 •
:
hari.29 Pada konteks ritual Sabbath, salah satu penanda
yang tidak berubah berupa konsep kesucian.30 Ritual dapat
mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan
pemaknaan manusia beragama pada aspek ritualistik.
Mircea Eliade mengulang-ulang pernyataan bahwa ritual
akan selalu terikat dengan relasi dengan yang Adikodrati
dengan sifat perkasa dan murni.31 Konsep penghambaan
sebagai makhluk di hadapan Sang Pencipta rupa-rupanya
menjadi perhatian penting para pengkaji agama-agama.
Ritual dapat pula berkembang pemaknaannya
menjadi urutan terstruktur pemujaan. Ritual persembahan,
seperti pemaparan Henry Hubert dan Marcel Mauss,
mencakup piranti pemujaan. Tujuan utama persembahan
menandai medium persekutuan antara manusia dengan
Tuhan. Ciri ritual dalam pandangan Hubert dan Mauss,
wajib menyertakan proses desakralisasi setelah upacara
paripurna.32 Dengan jeda pada akhir ritual ini
penyelenggara ritual dapat mengupayakan kembalinya
manusia yang berbeda dengan yang Kudus, antara yang
profan dan yang sakral. Ritual dengan jelas menunjukkan
kreasi dan pemertahanan yang sakral dan selalu berbeda
dengan keberadaan manusia itu sendiri-sebagai salah satu
:
ciri agama paling mendasar.
Penjelasan ritual dalam perspektif studi agama
selanjutnya terkait dengan sudut pandang dan ethos.
Clifford Geertz mengemukakan ritual sebagai bagian
istimewa dalam kehidupan beragama. Realitas yang
terbangun dari ritual dapat merupakan pembeda dengan
sistem kultural lainnya. Terma mood dan motivasi dalam
pandangan Geertz, menemukan eksplanasinya dari
para pemeluk agama dengan tujuan penguatan sistem
kepercayaan mereka.33 Di dalam penghayatan ritual
terdapat world view yang mewujud dalam perasaan dekat
dengan kebenaran. Dengan demikian para pemeluk agama
berpijak pada kesatuan simbolis antara ethos dan world
view yang menerangi perilaku keagamaan.
Sebagai penegasan ritual yang tidak otonom, ritual
Yudaisme bukan merupakan aspek yang berdiri sendiri. Ia
dapat terkait pula dengan dimensi religi berupa nilai etis
dan filosofis. Penelitian Barromi-Perlman menyebut ritual
dan otoritas agama menyisakan pertanyaan yang belum
selesai tentang kesetaraan gender di kalangan pemuka
agama Yahudi.34 Praktek ritual selama ini berlandaskan
pada domain di luar partisipasi aktif perempuan. Dengan
kata lain, upacara ritualistik berada pada wilayah patriarki
dominan laki-laki. Pemimpin ritual Bat Mitzvah bagi remaja
perempuan menjelang akil baligh menjadi keberatan
kelompok Ortodoks tatkala di salah satu Sinagog Beit
Daniel, klaim pemuka agama perempuan bertindak sebagai
pemimpin praktek ritual. Ortodoksi kepemimpinan, terlepas
dari perbedaan penafsiran atas kebolehan partisipasi
perempuan, menunjukkan aspek etis Yudaisme, sedangkan
nilai filosofis terlihat pada perjuangan kesetaraan gender.
Ritual sebagai basis perjuangan kesetaraan gender
seperti riset Barromi-Perlman (2021) mendedah pula
pengamatan dimensi Yudaisme berupa sekte-sekte. Pada
kasus ritual bagi remaja Yahudi, Sinagog reformasi menjadi
penanda sekte yang merombak tatanan konvensional.
Bagi sekte Yudaisme reformasi, aspirasi kesetaraan
gender menjadi bentuk kemajuan penting, namun sekte
Ultra Ortodoks menganggap praktek ritual reformasi
sebagai pengoncang ortodoksi keagamaan yang telah lama
mapan. Cukup menarik untuk mencermati bagaimana
pertentangan posisi dalam memandang praktek ritual,
tidak hanya menandai Sinagog yang berbeda, namun juga
nilai perjuangan etis-filosofis serta aspirasi sekte. Kasus
kepemimpinan ritualistik perempuan yang mengaitkan
dimensi material, etis dan filosofis merupakan representasi
contoh model studi agama Yudaisme yang mengaitkan
pelbagai perspektif studi agama. Representasi kasus
pendobrak ortodoksi tidak hanya terjadi pada satu agama
tertentu seperti clergy Yudaisme reformasi di atas, namun
pengamatan lebih lanjut dapat menyasar pengalaman
agama-agama dunia maupun penghayat kepercayaan
secara luas.
29
:
Masih pada riset Barromi-Perlman, objek material
berupa fotografi praktek ritual menunjukkan ciri kajian
studi agama-agama dengan eksplorasi justifikasi cultural
studies. Para peminat studi agama dapat menelusuri pesan
Ninial Smart atas peluang eksplorasi data pada beragam
bentuk cultural studies –pada film, televisi, media sosial
dan platform digital– pada pengantar buku Peter Connolly
tentang pelbagai pendekatan studi agama.35 Dengan
demikian konsep yang muncul dari artikel Perlman yaitu
kesetaraan gender, dengan kasus berupa praktek ritual Bat
Mitzvah oleh pemimpin upacara religi perempuan. Konteks
persoalan pemimpin ritual di atas menunjukkan advokasi
aspirasi egalitarianisme pada agama.
Dimensi praktek dan ritual Yudaisme dapat
merupakan model antropologi agama di mana sejumlah
karakteristik, seperti Southwold sampaikan, cukup
menarik untuk dikaji. Ciri ranah ini yaitu bagaimana
ritual terkait dengan aspek ketuhanan serta relasi antara
manusia dan yang adikodrati. Kemudian penekanan studi
ritual ini pada aspek pembeda antara yang profan
dan yang sakral. Catatan penting di sini yaitu titik
fokus ritual pada aspek yang suci. Orientasi ritual berciri
35 Ninian Smart, peneliti agama dari Universitas California
Santa Barbara dan Universitas Lancaster, mengungkapkan
signifikansi peluang objek material studi agama-agama pada
penggambaran religiositas, isu agama, persekutuan agama,
pranata agama, masyarakat beragama serta pengalaman
beragama tidak saja melalui observasi empirik namun
membuka ruang penggalian data-data penelitian pada
produk cultural studies. Deskripsi selengkapnya pada Peter
:
pengorbanan dari keberadaan duniawi sebagai bagian dari
sistem kepercayaan. Ritual Yudaisme melibatkan pemuka
agama atau para Rabbi yang menggenggam aspek etis,
mitos, sangsi dari yang adikodrati yang terwujud dalam
moral komunitas beragama. Pemeluk Yudaisme yaitu
perwujudan religi etnis bernama Yahudi. Pada konteks
otoritas pemuka agama Yudaisme dan perwujudan aspek
religi Yudaisme ini , terdapat kontinuitas nilai religi di
samping jejak ketidakberlanjutan dalam praktek Yudaisme.
Soliditas praktek Yudaisme ternyata memang terlihat tidak
dapat ditemukan sebagaimana menjadi penanda sejumlah
agama-agama lainnya. Namun sisi esoterik Yudaisme
tampak menguat dengan keterlibatan batiniah dalam
relasinya dengan Tuhan. Ritual merupakan ejawantah
kongkret yang menyatukan antara sakralitas-profanitas,
esoterik-eksoterik dan ortodoksi-ortopraksi Yudaisme.
B. Dimensi Eksperiential-Emosional
Dalam studi agama Yahudi, salah satu contoh dalam
menjelaskan dimensi pengalaman dan emosional yaitu
beberapa pemaparan dalam penggambaran berikut.
Pengalaman nabi-nabi Hebrew (Ibrani) merupakan
peristiwa penting yang kemudian menuju pada
pembentukan bangsa Israel dan selanjutnya pada agama
Yahudi. Kisah momen Akedah yaitu contoh bagaimana
kisah Abraham melakukan dialog dengan Isaac terkait
perintah penyembelihan dari adikodrati. Penggambaran
keteguhan Ibrahim dan Isaac dalam Genesis merupakan
imaji pengalaman keagamaan yang menyentuh wilayah
31
:
emotif beragama. Para pembaca Genesis kemudian merujuk
momen pengorbanan sebagai penanda Yudaisme pada nilai
emotif ketundukan, keikhlasan dan kerelaan.
Selain kisah liturgi, contoh selanjutnya untuk
mendefinisikan dimensi pengalaman dan emosional
ini, bahkan dapat ditemukan pada kisah sehari-hari
yang berintikan perasaan terhadap Tuhan yang dapat
memunculkan ketenangan mendalam melalui kontemplasi/
permenungan. Sebagai contohnya yaitu saat ketika
muncul kesedihan pada upacara pemakaman maupun
kegembiraan dalam suasana pernikahan termasuk pula
dimensi pengalaman dan emosional ini.36 Pada upacara
perkabungan atau Shivah, penganut Yudaisme merasakan
suasana berduka sejak kedatangan para pelayat di sekitar
Sinagog. Pada kebanyakan kongregasi, nama-nama para
keluarga yang masih hidup disebut-sebut bersama-
sama dengan pembacaan doa-doa. Upacara menjelang
pemakaman berupa elegi kematian biasanya terlaksana bagi
orang-orang terhormat di Sinagog. Peristiwa kematian me-
nunjukkan persamaan dan perbedaan bagi sekte Sephardi
dan Ashkenazi. Pengalaman kedua sekte menunjukkan hal
yang sama pada nisan dengan ornamen dan penanda batu
sebagaimana dapat ditemukan pada pengalaman kuburan
agama-agama lainnya. Namun nisan dengan struktur tegak
merupakan ciri khas Ashkenazi, sedangkan sekte Sephardi
cenderung melaksanakan pengaturan batu nisan secara
lebih datar. Selanjutnya, sebagai penanda para pelayat
:
telah datang melakukan penghormatan, para penganut
Yudaisme meletakkan sebutir batu kecil di atas pusara.
Penaburan bunga tidak merupakan pengalaman Yudaisme
seperti terlihat pada pemakaman agama-agama lainnya.37
Masyarakat beragama menangkap salah satu momen rites
of passage sebagai momen relasional yang dekat dengan
yang Transenden. Keseluruhan asumsi sakral yang muncul
berupa perilaku dan ritus yang menyertai merupakan
kesatuan pandang dan pikir dengan nilai emotif. Perasaan
keagamaan yaitu elegi religi terkait upaya manusia
beragama berkomunikasi transenden. Kegalauan relasi
antara Tuhan dan manusia dapat teredam dengan bukti-
bukti pengkhidmatan dan ketundukan.
Di dalam dimensi eksperiensial ini, umat Yahudi
mengapresiasi persekutuan mengikuti putaran tahun
kalender dan ritme Sabbat, sedangkan dalam contoh
yang lain, dapat pula ditemukan, ketika Yahudi menggali
sejumlah pengalaman persekutuan mistis dengan yang
Adikodrati, dengan jalan teknik-teknik Kabbalistis.38 Max
Weber menulis Sosiologi Agama dengan menggunakan
contoh jalan mistisisme Yahudi sebagai contoh perilaku
keagamaan yang tidak terlalu signifikan pada motivasi
pelaku ekonomi.39 Namun Kabbalistis merupakan ekspresi
ke dalam yang dimaknai oleh penganutnya sebagai aspek
:
esoterisme Yahudi sejak muncul pada abad ke-12. Ia
sebentuk tradisi lisan yang menandai penyampaian guru
kepada murid sebagai perwujudan komunikasi langsung
dengan Tuhan. Aspek ‘tak tertulis’ dalam Kabbalistik ini
yang kemudian memunculkan klaim pemerolehan melalui
kewahyuan yang terus menerus tidak hanya semasa
nubuat lampau seperti hukum Musa dan tradisi Yudaisme.
Sifat pengalaman beragama demikian, berdampak pada
anggapan panteistik. Kelompok Kabbalah kemudian
menerima label bid’ah oleh para penganut Yahudi Ortodoks.
Kemunculan pandangan Kabbalistik ini dapat ter-
telusuri melalui mistisisme Merkava (kereta berkuda)
dengan fokus pada meditasi bersamaan dengan pembacaan
kitab Yehezkiel. Awal muncul di Palestina pada abad 1
kemudian mencapai tahap keemasannya pada abad 7
di Babilonia. Produk utama Kabbalistik berupa kitab
penciptaan (Sefer Yetzira) sebagai bahan utama teks
kelompok Kabbalah lainnya kitab Terang (Sefer Ha-Bahir).
Kabbalistik ini pada waktunya akan memberi pengaruh
Gerakan mesianik Hasidisme setelah abad ke 13 – 15
berkembang pesat di Spanyol dengan catatan Kitab Citra
(Sefer Ha-Temuna) dan Kitab Kelimpahan (Sefer Ha-Zohar).
Pada abad 16-17, terdapat tokoh pembaharu Kabbalah,
Isaac Ben Solomon Luria, lebih dikenal dengan Kabbalah
Lurianik. Pengalaman atas keterhubungan langsung
dengan yang Transenden yaitu klaim utama yang me-
mungkin kan terbukanya klaim kelompok keagamaaan
ini menumpahkan pengalaman keagamaannya. Bentuk
komunikasi langsung Kabbalistik dengan yang Transenden
memicu counter klaim kelompok Yahudi Ortodoks yang
34 •
:
memiliki prinsip fundamental pada liturgi Yahudi non
Kabbalistik. Dimensi emotif segmen ini mengungkap
setidaknya dua aspek. Pertama, pengalaman guru-murid
dalam proses penerimaan kewahyuan langsung merupakan
bentuk emotif pertama. Momen menunggu kewahyuan dan
pengulangan-pengulangan ajaran di kalangan guru dan
murid yaitu pengalaman yang mendebarkan sekaligus
menyenangkan. Periode klaim pewahyuan ini cukup
kentara menjelaskan hubungan erat antara pemeluk
agama dengan Transendensi. Ciri khas pewahyuan
langsung yaitu sekaligus mengungkap pendobrak doktrin
utama agama yang dianggap sudah selesai pada periode
nubuat oleh ortodoksi Yudaisme. Kedua, pembaruan
komunikasi guru-murid dengan jalan langsung kepada
Yang Adikodrati memicu aspek emotif selanjutnya berupa
keberatan-keberatan kelompok penyokong Ortodoksi
Yudaisme. Pelabelan Kabbalistik sebagai sempalan klaim
agama yaitu justifikasi langsung kelompok Ortodoks.
Aspek penting pada kemunculan klaim mistisisme sebagai
bentuk penjelasan aspek pengalaman beragama yaitu
paralelisme dengan pengalaman serupa atau hampir
sama di luar Yudaisme. Klaim penyatuan manusia dengan
pengalaman ketuhanan yang unik dan khas tidak dapat
begitu saja berterima di kalangan kelompok seagama.
Pengertian tentang pengalaman keagamaan ini
mengandung perdebatan, menyangkut pertanyaan
tentang apakah pengalaman agama ini “an sich”
pengalaman pelaksanaan ibadah saja, ataukah mencakup
pula pengalaman keagamaan yang dapat disamakan
dengan apa yang disebut “sejarah agama”. Agama dengan
35
:
demikian, dianggap sebagai akumulasi pengalaman
manusia dalam perjumpaan dan keberhadapannya dengan
Realitas Mutlak atau Tuhan. Pengalaman ini berbeda
dengan pengalaman-pengalaman lainnya karena memiliki
struktur dan karakteristik sendiri. Menurut Djam’annuri,
terdapat tiga faktor pengekspresian dan pengungkapan
pengalaman keagamaan.40 Ketiga faktor pengalaman cum
emotif ini kerapkali terkait berkelindan antara satu dengan
lainnya. Namun pemerian pengalaman keagamaan berikut
ini masih perlu kita lanjutkan dengan pembacaan intensif
pada contoh pelbagai konsep Yudaisme yang menjadi
praktek keagamaan sehari-hari.
Pemerian atau deskripsi pengalaman emotif
keagamaan merupakan salah satu dasar pemahaman
kepercayaan dan religi.41 Pertama, terdapat faktor sifat
eksklusif dalam hati orang yang memiliki pengalaman
keagamaan, kedua, adanya dorongan untuk mengadakan
komunikasi dengan pihak lain, baik melalui kata-kata
maupun perbuatan, serta keinginan membagi-bagikan
perasaan bersama orang lain dan memberikan gambaran
tentang apa yang dialami, serta ketiga, adanya motivasi yang
bersifat propagandistis, yaitu mengajak pihak lain bukan
hanya untuk ambil bagian tetapi juga untuk melihat dan
mendengar apa yang dialami seseorang, di mana dorongan
ini dapat saja timbul dari ajaran agama, maupun
:
karena daya tarik orang-orang yang memiliki pengalaman
tadi. Adapun seluruh ekspresi pengalaman keagamaan
terdiri dari tiga bentuk yaitu (1) pemikiran keagamaan; (2)
perbuatan keagamaan dan (3) persekutuan keagamaan.42
Dalam konteks studi agama ini, A. Mukti Ali menegaskkan
bahwa meskipun satu pihak telah mempunyai keyakinan
yang kokoh tentang kebenaran kepercayaan yang ia peluk,
namun pihak ini harus bisa menghargai pengalaman-
pengalaman rohani pihak lain karena keharusan bagi
seseorang untuk menghargai dan menghormati sesama
manusia, termasuk juga agama dan kepercayaannya.43
Klaim Kabbalistik yang mengandung klaim eksklusif
namun membagikan pengalaman khas ini kepada
entitas lainnya yaitu daya tarik pengalaman agama bagi
yang mempercayainya. Sebaliknya, ia tidak berterima pada
kelompok Ortodoksi dengan pertimbangan sejumlah daya
tolak karena keberatan-keberatan pada aspek kebaruan
berdasar klaim eksklusif doktrin agama. Pengalaman
bersifat ruhaniah ini yang tidak mudah berterima dan
menjadi salah satu sumber munculnya pranata keagamaan
yang tidak seragam.
Dalam pendekatan studi agama, pendekatan
psikologi pada individu dan masyarakat beragama selain
:
berciri psikoanalisis Freudian atau psikoanalisis Jung,
dapat selanjutnya mengaitkan setidaknya tiga metode
berupa eksperiensial, korelasional dan observasional yang
menjadi penanda psikologi sosial keagamaan. Ketegangan
yang muncul seperti klaim mistisisme berdasar pengalaman
keagamaan eksklusif bermuara pada perbedaan perilaku,
kognisi sosial keagamaan serta persepsi sosial. Banyak
aspek terjadi di ranah ini karena utamanya bertumpu pada
penjelasan siapa sebenarnya konsep diri itu. Konsep the
self ini yaitu pondasi identitas kelompok yang memiliki
ciri aspek kesamaan atau sebaliknya menandai perbedaan
dengan out-group characteristics.
Uniknya dalam penjelasan pengalaman beragama
yang cenderung khas dan distingtif ini, muncul prasangka-
prasangka atas citra eksklusif Kabbalistik misalnya. Klaim
negatif tentang kebenaran eksistensi relasi manusia-
Tuhan secara langsung dapat segera muncul sebagai
respon eksklusifitas. Pengalaman religi kerapkali mudah
dirasakan oleh pelaku, namun tidak serta merta terpahami
dengan cara sama persis seperti pikiran, gagasan dan
tindakan sang pelaku. Perlu semacam wahana kesadaran
yang arif karena klaim pengalaman agama seharusnya
dipercaya sebagai bagian dari pengalaman konstruk agama
seutuhnya. Lahirnya kelompok yang dicap sempalan, bid’ah
dan distortif merupakan fenomena jamak terjadi di ranah
agama-agama.
Dalam ranah agama yang dipandang secara psikologis,
para peminat kajian agama dapat bertemu dengan Gordon
38 •
:
Allport.44 Inti teori Allport yaitu bentuk penghayatan
agama yang mempunyai potensi merugikan orang di luar
kelompok keyakinannya atau nilai penghayatan agama yang
memiliki kecenderung lebih ke arah dalam yang berfokus
pada apa yang dapat ditawarkan oleh agama-agama. Isu
sentral teori Allport pada pihak di luar kelompok dan nilai
di dalam kelompok kemudian disebut sebagai pendekatan
ekstrinsik dan intrinsik. Potensi ekstrinsik yaitu klaim
kebenaran yang memberikan kenyamanan bagi orang
beriman berciri self protecting di antara kelompok agama
yang meyakininya, namun cenderung merugikan pihak di
luar kelompok agamanya.
Selanjutnya, dalam dimensi eksperiensial ini, Smart
mengikuti pembahasan Rudolf Otto, yang menekankan
ide “numinous”— dari Latin “numen”, spirit, kekuatan
tak kasat mata yang mendorong perasaan takut dan
merasakan kuasa. Bagi Otto, pengalaman “numinous” ini
merupakan jantungnya agama. Otto menyebutnya bagian
dari “mysterium tremendum et fascinans” – suatu misteri
menakutkan, dan menyenangkan pada saat yang sama, di
mana dengan rasa takut itu mendorong ke arah kondisi
dimaksud. Tokoh-tokoh pembawa agama, menurut Smart,
mengalami peristiwa “numinous” ini.45 Kekuatan adikodrati
yang luar biasa merupakan penjelasan R.H. Codrington
yang memberi jalan kepada R.R. Marett tentang teori
kekuatan digdaya. Bentuk kepercayaan paling awal yaitu
:
keyakinan manusia pada yang gaib di luar gejala-gejala
yang terdapat pada bayangan dan jangkauan manusia biasa
saja. Hasil pembacaan Marett di Melanesia menemukan
konsep mana, bentuk sinaran kekuatan gaib dari roh dan
dewa yang dapat pula menurun pada orang tertentu di
suku ini . Orang pembawa mana berciri menyimpan
kemampuan lebih dalam keterampilan pekerjaan sehari-
hari seperti di kebun, hutan, ladang dan sungai. Dengan
menunjukkan keterampilan dan kemahiran memenuhi
kebutuhan primer sehari-hari, anggota suku menempatkan
posisi istimewa setara dengan mereka yang berbakat
mempunyai mana untuk memantaskan dirinya sebagai
pemimpin dan penguasa komunitas.46 Untuk memberikan
ulasan komparatif pada gejala yang sama pada kepercayaan
awal manusia yang ditemukan pula pada sejumah religi,
pandangan Codrington dan Marett berpijak pada kelekatan
yang luar biasa ini justru pada manusia biasa yang
mempunyai otoritas kepemimpinan suku.
Kembali pada dimensi pengalaman religi dengan
bentuk yang lain yaitu pengalaman mistis. Smart
menyebut-nyebut keterkaitan pengalaman mistis dengan
kesadaran murni, yang sunyi. Upaya menuju pengalaman
mistis ini berbeda dengan “numinous” yang berkenaan
dengan intervensi dari luar. Pencapaian mistis lebih
berpusat pada upaya-upaya keagamaan seperti “salvation”
dan pembebasan dari daya diri melewati meditasi. Dalam
proses menuju meditasi, terdapat proses pengosongan
diri, bersama-sama dengan kesadaran bahwa keberadaan
yang Kuasa dianggap berada di dalam diri.47 Keselamatan
Yudaisme yaitu mitos yang membentang antara dua kutub
yakni penciptaan dan penyelamatan. Lambang permulaan
berwujud mitos penciptaan, sedangkan perlambang akhir
berupa keselamatan. Sebagai contoh beberapa nabi palsu
Yudaisme mencoba menemukan klaim keselamatan dan
bersifat mesianik. Di atas klaim ini , bagi Yudaisme
secara umum, aspek terpentingnya yaitu pengharapan
dan bekerja demi kuasa kerajaan Tuhan yang segera akan
datang dan selalu dinanti-nanti perwujudannya. Jalan
menuju kerajaan itu yaitu melalui keselamatan yang
diupayakan dengan tindakan dan kehidupan sesuai dengan
petunjuk dan ajaran Tuhan.
Meskipun dalam konteks modern, mistisisme Yahudi
agak dipandang terbatas dalam batas-batas riset agama,
namun sebenarnya masih dipraktekkan secara nyata
pada kelompok Kabbalah dan Hasidis. Nicholas De Lange
menyebut mistisisme Yahudi dengan fokus yang agak
berbeda, yaitu tidak hanya menekankan kesatuan manusia
dengan Tuhan Yahudi sebagai permohonan “pengetahuan”
ketuhanan yang diupayakan oleh pelbagai kelompok Mistik.
Namun mistisisme ini, lebih ditujukan dalam kerangka
analisis ide-ide mistis, sejarahnya serta hubungannya
dengan tradisi di luar Yahudi. Beberapa pakar yang telah
meneliti hal ini termasuk Gershom Scholem. Scholem
meneliti teks Kabbalah dengan teks-teks lain. Hal ini
memunculkan “gnosis”, yaitu pengetahuan esoteris, yang
dipercayai oleh anggota kelompok Yahudi, di mana mereka
yang percaya mampu mendapatkan akses langsung pada
pengetahuan Tuhan. Pengalaman ini tidak dapat diperoleh
oleh umat Yahudi yang hanya berkutat pada teks-teks
seperti Talmud. Contoh yang lain yaitu Joseph Caro (1488-
1575), penulis dua “legal codes” penting dan Moses Hayyim
Luzzato (1707-1747), yang menulis drama Yahudi dalam
gaya Italia klasik.48 Aspektual esoterik Yudaisme meliputi
suasana batiniah yang tidak semua kelompok di luar
kelompok yang meyakininya dapat memahami pengalaman
agama khas. Terdapat sisi ketidaksetaraan eksperiensial
beragama yang tidak memungkinkan keseragaman cara
pandang dan pemahaman. Studi agama melatih pemahaman
empatik dimana pengalaman-pengalaman agama yang
unik menjadi wilayah yang distingtif. Perihal keunikan
pengalaman beragama seperti pada esoterisme Yudaisme
ini dapat mendapatkan sisi toleransi serta apresiasi jika
dan hanya jika tidak terdapat klaim pemaksaan eksistensial
berdasarkan pada pengalaman keyakinan beragama yang
sudah barang tentu selalu heterogen. Rekognisi keunikan
pengalaman beragama dapat berlaku dengan reservasi
tindakan keterbukaan pemahaman dan penafsiran inklusif.
48 Mengenai pendekatan Mistis Yahudi, termasuk kelompok
Kabbalah—yang mempercayai keberadaan Tuhan dengan
proses emanasi, melalui 10 (sepuluh) Sefirot (diagram peng-
gambaran kekuatan dalam Kepala Tuhan maupun kadang
kala dicitrakan dalam bentuk-bentuk tubuh manusia) seperti
Mahkota diatas kepala, Wisdom di Otak, Pemahaman di
Hati, Cinta di Lengan Kanan, Keagungan di Lengan Kiri, Ke-
indahan di Dada, sementara Kemenangan di Kaki Kanan
dan Kekuasaan di Mulut dan pelbagai jenis Sefirot laki-laki
mau pun perempuan, serta ilustrasi sistem klasik Kabbalah,
dapat dilihat lebih lanjut di Nicholas De Lange, An Intro-
duction of Judaism (Cambridge: Cambridge Univ. Press,
Pemaparan tentang Mistik Yahudi dapat pula
dilacak, dari pembagian secara garis besar Mistik Yahudi
yaitu, Mistik Alexandria yang bersifat penuh dengan
pengaruh dari filsafat Yunani, serta Mistik Palestina, yang
berdasar pada Taurat dengan penafsiran Rabbi dan dasar
Talmud. Pertama, Mistik Alexandria dipelopori oleh Philo
yang berpendapat bahwa Tuhan yaitu transenden,
mustahil berhubungan langsung dengan materi. Dunia
fisik diciptakan secara tidak langsung lewat emanasi.49
Keterlibatan filsafat dalam interpretasi mistisisme Yahudi
ini bersifat asimetris dengan mempercayai terciptanya
jarak transendensi yang memiliki kebalikan sifat materi.
Afinitas untuk mengatasi problem jarak transenden yaitu
membangun jalan yang menghubungkan keterbatasan
dengan kuasa adikodrati.
Sementara itu kedua, Mistik Palestina lebih
didasarkan pada Kitab suci, dan berhubungan dengan hal
gaib. Pangkal Mistik ini yaitu pembahasan mengenai alam
semesta, pengalaman penglihatan Yesaya dalam kuil dan
penggambaran mengenai kendaraan Tuhan, anggapan suci
terhadap sifat-sifat Tuhan. Kabbalah (cerita-cerita mulut
dari generasi ke generasi, terutama sejak abad ke-11) atau
tradisi, menjadi penting dalam mistik ini.
kewahyuan yaitu ciri penting tradisi Kabbalah. Klaim
berciri Guru – Murid ini menanti-nanti dalam periode
kehidupannya untuk mencatat relasi langsung dengan
transenden. Bagi penganut Kabbalah, afinitas tercipta
dengan klaim kedekatan. Namun bagi sementara kelompok
penjaga ortodoksi Yudaisme, pedoman Torah telah men-
cukupi sebagai penjelas jalan manusia, kosmos dan Tuhan.
Selanjutnya bentuk-bentuk dimensi agama dan
pengalaman ini dapat pula berwujud pengalaman kreatif
maupun destruktif. Sebagai contohnya yaitu khutbah-
khutbah yang diliputi suasana “numinous’ dapat pula
memercikkan kebencian-kebencian. Dalam hal ini, umat
Yahudi mendapatkan efek dari ajaran Lutheran, yang
menunjukkan penghinaan-penghinaan terhadap Yahudi.
Pada gilirannya nanti, pelecehan Yahudi oleh Luther ini,
memberikan kontribusi terhadap anti-Semitisme/anti
Yahudi di Eropa.51 Sejarah Yudaisme modern tidak dapat
melupakan sentimen anti-semitisme. Hanya saja kaum
Yahudi terbaca dapat keluar dari jebakan modernitas Barat
itu dengan mempelajari tradisi kemudian masuk ke dalam
pranata Barat yang dilakukan oleh sementara kaum marjinal
di Eropa ini dengan kemunculan pelbagai konsekuensi.
Pertama, mereka berterima dalam masyarakat Eropa
sentris dengan menanggalkan identitas Yahudi beserta
kepercayaannya. Kedua, tradisi Yudaisme menjadi standar
ganda dengan menutup identitas luar sebagai aspek
Penafsiran Taurat, Pelbagai Sefirot serta paham reinkarnasi
Yahudi, dapat dilihat dalam Burhanuddin Daya, Agama
Yahudi (Yogyakarta: Bagus Arafah, 1982), hlm. 231-237.
keamanan dengan lebih cenderung memaknai penekanan
pada internalisasi tradisi Yudaisme.
Beranjak dari pemaparan dimensi eksperiensial ini,
maka objek kajian studi agama tidak hanya merujuk pada
ilustrasi-ilustrasi dimensi eksperiensial di atas. Dimensi
eksperiensial ini, bersama-sama dengan aspek emotif
penganut agama, dapat menjadi objek riset yang berkisar
dari hubungan manusia Yahudi dengan Tuhan, Ekspresi
Mistis, cara-cara pendekatan manusia dengan Tuhan serta
pemikiran-pemikiran keagamaan Yahudi dan sebagainya.
Dalam tahapan-tahapan pengalaman Yahudi di berbagai
belahan dunia ini, seperti halnya pengalaman Yahudi secara
sosiologis-antropologis di Eropa maupun benua Amerika,
kita dapat membacanya pada bab-bab selanjutnya. Pokok
persoalan pengalaman historis ini berkaitan pada relasi
Yahudi dengan ajaran lain, seperti Katolik dan Kristen,
struktur masyarakat agama dan etnisitas.
Sebagai sebuah pengalaman keagamaan, cara pen-
dekatan kepada transendensi merupakan salah satu konsep
menarik. Dalam tradisi keagamaan kolektif misalnya
yang melibatkan unsur upacara, pesta, puasa, perintah
dan larangan sebagai praktek religi kelompok agama,
makna terdalam Yudaisme bersifat non eksoterik. Ia lebih
cenderung mengartikan serangkaian prosesi ritual dan
perjamuan sebagai wahana kehendak Tuhan. Relasi esoterik
Yudaisme itu berupa keselamatan serta kebahagiaan
individual. Dengan pengamatan ciri esoterisme agama,
Yudaisme cenderung memastikan perbuatan manusia
merupakan kehendak dan kuasa transendensi. Pembacaan
45
:
kitab suci dan tradisi menuntun aspek esoterisme
Yudaisme dalam bentuk penerapan hukum Tuhan. Situasi
kehidupan Yudaisme yang tidak mudah dalam penderitaan
dan diskriminasi mendapat justifikasi penguatnya dalam
bentuk relasi kuasa dan kehendak yang adikodrati.
Dalam konteks pengalaman yang berbeda dalam umat
Yahudi dalam memandang sumber-sumber teks agama
Yahudi, misalnya, maka muncullah kemudian pelbagai
kelompok dengan ragam interpretasi atau cara pemaknaan
yang tidak seragam. Pluralitas pemaknaan terhadap Talmud
Yahudi jika diamati secara seksama akan memunculkan
pelbagai mazhab berdasarkan pengalaman kelompok
penganut agama Yahudi yang bersangkutan. Dimensi
pengalaman keagamaan dengan demikian, terkait pula
dengan dimensi institusional-sosial, mengingat pelbagai
implikasi pengalaman yang berbeda itu berpeluang untuk
mengalami penetrasi sosial baik dilakukan secara sadar
maupun influensial sifatnya. Munculnya pengalaman yang
berbeda dalam pandangan terhadap Talmud (interpretasi)
memunculkan golongan Robbaniyun, Al-Qurra, Samura,
Parisi dan Saduki. Masing-masing golongan, yang kerapkali
berdasar pada otoritas pemuka agama Yahudi, seperti
para Rabbi, menginterpretasi Talmud secara sepenuhnya
(golongan Robbaniyun dan golongan Saduki), ada yang
tidak mempercayai Talmud, yakni para pembaca Taurat
(golongan Al-Qurra), membahas otentisitas Talmud
(golongan Samura) serta interpretasi dengan dasar filsafat
(golongan Parisi).
mengalami banyak pertentangan, sekaligus dengan
beberapa persamaannya, maka sudah barang tentu dapat
ditelusuri pada aspek relasional dari dimensi eksperiensial
ini , yakni klaim dimensi pengalaman ini yang mirip
dengan “sejarah agama”. Beberapa bentuk kompetisi antar
golongan dengan pelbagai aspek justifikasinya dalam
politik dan aspek sosial lain seperti sekte-sekte, merupakan
salah satu aspek yang dapat lebih jauh lagi dipelajari dan
diamati dalam konteks kajian studi agama Yahudi.53 Dapat
muncul dari pelbagai pertentangan dan ketidaksepakatan
pada penafsiran eksistensial Yudaisme dalam ranah sosial
keagamaan, ternyata mereka yang tidak menemukan
kata sepakat itu mengisyafi persamaan berupa upaya
ketundukan pada Yahweh. Pelbagai hermenetika tindakan
dan perilaku Yudaisme pada mitos, liturgi dan sistem
kepercayaan kepada adikodrati dapat saja menunjukkan
identitas denominasi atau sekte yang distingtif, namun
suasana kebatinan Yudaisme, menurut sementara pengamat
kajian fenomeologis seperti Dhavamony, berujung pada hal
yang kurang lebih sama.
Serangkaian upacara dengan ritual Yudaisme
tampak seperti hal yang sama belaka. Sisi eksternal
praktek pengalaman agama membuktikan bahwa terdapat
debat tentang sistem kepercayaan itu dan klaim otoritas
keagamaan. Praktek berdoa dan ketundukan mungkin saja
sama namun pada kenyataannya gejala penafsiran filsafati
dan teologi tidak hilang begitu saja. Terlebih lagi apabila
klaim otentisitas menjadi salah satu fokus konsepnya.
Perjalanan catatan liturgi membuka ruang perdebatan
apakah termasuk dalam ortodoksi ataukah di luar dari
acuan pokok yang dipercaya telah berlangsung selama
ribuan tahun. Bagaimanakah jarak pewahyuan dan klaim
wahyu yang stagnan kemudian memunculkan interpretasi
yang menyesuaikan situasi dan tuntutan masyarakat
pemeluk Yudaisme yang terus berkembang. Pengalaman
Yudaisme dalam doa-doa telah mendapatkan penjelasan
dalam studi agama, namun aspektual lainnya seperti dosa
merupakan penanda penting lainnya. Bagaimana Yudaisme
memandang salah satu pengalaman tertua manusia berupa
tindakan dan emotif dosa-dosa.
Manusia dalam kerangka kosmologi, menghadirkan
yang adikodrati dalam norma-norma dan sejumlah aturan
keagamaan. Kehen





.jpeg)





