Tampilkan postingan dengan label Yudaisme Studi Agama 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Yudaisme Studi Agama 1. Tampilkan semua postingan

Yudaisme Studi Agama 1

 


Yudaisme Studi Agama:


Jika dicermati dalam perspektif historis studi agama 

di Indonesia, bahan bacaan untuk agama Yahudi 

dapat dikatakan mengalami perkembangan yang 

cukup menggembirakan ketika masa awal inisiasi program 

studi agama atau (perbandingan agama) di Indonesia, 

sejak berdiri pada dekade 1950 sampai dengan dekade 

1970-1980. Buku agama Yahudi ini , bersama-sama 

dengan buku studi agama yang lain, merupakan aset 

yang ber harga, namun secara akademik, perkembangan 

keberagamaan dan relasinya dengan aspek demografi 

dan mobilitas penduduk serta keilmuan, tampaknya agak 

sedikit menggeser peta faktual keagamaan. Tambahan 

lagi, penelitian tentang agama Yahudi, studi agama dan 

masyarakat beragama di Indonesia, tentu mengalami pula 

ekstensi persoalan, relevansi dan keberadaan penganutnya 

di Indonesia yang membutuhkan perhatian khusus seiring 

dengan dinamika masyarakat beragama. 

Bacaan ini lebih ditujukan untuk referensi bagi 

peminat studi agama-agama, khususnya agama Yahudi 

dalam konteks paradigma studi agama. Pemerolehan 

2 • 

:


dan ketegorisasi bahan-bahan untuk menyusun buku 

ini, tidaklah sesulit seperti ketika mendefinisikan siapa 

sebenarnya orang Yahudi itu misalnya, namun agaknya 

perlu disampaikan, bahwa terdapat dua kategori sumber 

bacaan terkait agama Yahudi. 

Pertama, merujuk kepada referensi majalah, buku, 

makalah dan artikel ilmiah yang menjelaskan secara historis 

manusia dan bangsa Yahudi. Dalam kategori pertama ini, 

pembahasan umumnya berkutat pada tema-tema Yahudi 

di dunia, Yahudi dan masa lalu, Kitab Yahudi, Keluarga, 

Komunitas, Tuhan dan Manusia Yahudi, Tujuan Beragama, 

Yahudi dan Masa Depan dan sebagainya. Dengan demikian, 

“mode of representation” atau ciri khusus kategori pertama 

ini berupa pendekatan kajian horizontal, menyangkut 

pelbagai pendekatan – sejarah, sosiologi, antropologi dan 

ritual, penjelasan dan interpretasi. 

Kedua, agaknya dalam kuantitas yang tidak sedikit, 

terdapat referensi yang secara normatif membahas 

keterkaitan tiga agama besar Islam-Kristen-Yahudi. Kategori 

ini umumnya berciri pemahaman agama secara vertikal. 

Berpijak pada asas utilitas, jika kategori yang terakhir ini 

dapat menunjukkan pendekatan komparatif, sebagai 

salah satu metode dalam studi agama, maka buku-buku 

ini  dapat saja menunjang kajian studi agama Yahudi. 

Namun, diskusi tentang agama Yahudi dalam konteks studi 

agama, lebih memerlukan posisionalitas sebagai observer 

(pengamat) mengenai apa yang mereka atau suatu umat 

beragama percayai (what they believe). 



Dengan demikian, studi agama Yahudi dapat pula 

dipandang dalam kacamata agama-agama yang lain, 

dalam koridor studi komparatif, namun tetap dengan 

memperhatikan aspek “empati” yang ditemukan pada 

paradigma studi agama. Terlebih, jika pemahaman 

terhadap tujuan studi agama dapat dicermati dengan baik, 

yaitu mampu memahami praktek-praktek keberagamaan 

agama-agama lain untuk konteks dialog kemanusiaan dan 

perdamaian. Dalam tingkat-tingkat tertentu, pengalaman-

pengalaman manusia dan agama lain, justru memperteguh 

dan memperkuat sendi-sendi dan akar-akar dimensi 

spiritualitas agama seseorang individu maupun kelompok 

terhadap agama dan keyakinan yang dipeluk dan percayai. 

Buku agama Yahudi ini memberikan beberapa 

pe ngalaman berharga masyarakat beragama dalam 

menemukan sumber-sumber semangat, keyakinan, 

konflik identitas, nasionalisme dan kemanusiaan. 

Selain itu, elemen Yahudi—sebagai manusia, bangsa dan 

agama, melibatkan pula kontinuitas, diskontinuitas 

serta kontradiksi. Dalam aspek kontinuitas, kepercayaan 

agama Fenisia, agama Kanaan dan agama Israel dipandang 

oleh Yahudi pada masa awal, termasuk pada aspek agama-

agama yang di percayai dan memberikan pengaruh 

yang tidak kecil dalam kepercayaan Yahudi. Sementara 

elemen diskontinuitas melibatkan pada nosi transisional 

kepercayaan orang Israel dari agama Israel ke agama Yahudi, 

yang meliputi pula kontradiksi kepercayaan manusia 

Yahudi terhadap Tuhan Yahudi, maupun kepercayaan 

para Nabi Yahudi yang menilai bahwa Tuhan Yahudi telah 

melakukan penolakan pada manusia Yahudi. Kontradiksi 

4 • 

:


lainnya mengacu pada bangsa pilihan Tuhan, yang justru 

secara paradoksal, dipertanyakan oleh penganut Yahudi 

sendiri, seperti di mana Tuhan Yahudi ketika terjadi 

penderitaan bangsa Yahudi, yang seperti dipahami terjadi 

pada sepanjang sejarah agama yang terpanjang dalam 

konteks agama dunia ini. Pengalaman-pengalaman Yahudi 

ini  memicu sikap ambigu seperti terlihat pula ketika 

paham Zionisme dipahami secara distintif oleh pelbagai 

lapisan penganut Yahudi—Ortodoks, Konservatif maupun 

golongan Reformasi. Sebagai pengantar bacaan, agaknya 

tidaklah terlalu berlebihan apabila dapat disampaikan 

bahwa dalam setiap komunitas agama, terdapat dua 

golongan manusia beragama, yaitu golongan yang meng-

upaya kan kebaikan kemanusiaan dan memanusiakan 

manusia, terbit dari sinaran agama dan kepercayaan, serta 

golongan yang bertindak sebaliknya. Mudah-mudahan buku 

ini bermanfaat sebagai salah satu pendorong pembelajaran 

dalam rangka menjadi manusia yang mengupayakan jalan-

jalan kebaikan, kemanusiaan dan perdamaian. 

   

 R. U.

5

BAB I.

YUDAISME DALAM KONTEKS 

STUDI AGAMA

Bab ini akan membahas beberapa dimensi 

studi agama seperti dalam perspektif salah 

satu pakar studi agama, Ninian Smart. 

Pelbagai dimensi agama ini  – Dimensi Praktek 

dan Ritual, Eksperiential-Emosional, Dimensi Naratif-

Mitos, Dimensi Doktrinal-Filosofis, Dimensi Hukum-Etis, 

Dimensi Institusional-Sosial dan Dimensi Material, pada 

gilirannya berelasi dengan aspek-aspek intisari ajaran 

dan “pandangan dunia” dalam agama Yahudi, dengan 

pengantar penjelasan definitif tiap dimensi. Selanjutnya, 

dalam tingkat-tingkat ilustrasi tertentu, contoh-contoh 

pelbagai dimensi dalam agama-agama yang lain dapat 

menjadi aspek perbandingan, apabila dipandang perlu, 

untuk pemahaman yang lebih mendalam. Buku ini secara 

partikular, menggunakan kategori dimensi agama menurut 

6 • 

:


Smart dengan mempertimbangkan kekayaan dimensi dalam 

agama sebagai pondasi “the histories of various tradition … 

but it also contains attempts comparative treatment, which 

is necessarily cross-cultural.1 Dalam tataran ini, agama 

dapat berwujud wajah ortodoksi atau ortopraksi.2 Dalam 

tingkat tertentu, pelbagai pengalaman Yahudi baik di 

Eropa maupun di di Amerika, misalnya, dapat memberikan 

horison dimensi eksperiensial sebagai spirit utama studi 

agama. Di dalam penjabarannya, sisi historis manusia dan 

bangsa Yahudi menjadi tampak benar adanya. Namun dari 

sudut pandang dimensional lainnya, perlu mencermati 

pokok bahasan Yudaisme bahwa tipologi dimensi dalam 

agama-agama, menurut pendapat pakar studi agama yang 

penuh ciri khas 3, dapat pula menunjukkan pengamatan 

pada deskripsi agama-agama dalam konteks dan tingkat 

beragam.

1 Tentang tantangan studi agama dan kemungkinan analisa 

lintas-budaya seperti rujukan dari Ninian Smart, selanjutnya 

dapat dilihat dalam Amin Abdullah, Studi Agama: 

Normativitas atau Historisitas (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 

2004), hlm. 17 – 18.

2 Ortodoksi lebih menekankan aspek agama di luar orientasi 

identitas sosial politik, sedangkan Ortopraksi lebih fokus 

pada kondisi keterkaitan agama dengan budaya dan 

identitas etnis. Penjelasan selanjutnya dalam Catherine Bell, 

Ritual: Perspectives and Dimensions (New York: Oxford, 

1997), hlm.191.

3 Pemaparan pelbagai dimensi Agama oleh Joachim Wach 

terdiri dari 3 (tiga) dimensi, yakni dimensi ajaran, praktek, 

dan kemasyarakatan. Deskripsi lebih lanjut dapat dilihat 

dalam Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama: Upaya 

Memahami Keragaman Kepercayaan, Keyakinan dan 

Agama (Bandung: Alfabeta, 2011), hlm. 109.

7

:


Argumen buku ini yaitu  keragaman pendekatan 

studi Yudaisme meliputi Sosiologi, Antropologi, Teologi, 

Psikologi, Feminisme, Filosofi dan Fenomenologi, tidak 

menjadi kendala namun menyediakan wahana eksplorasi 

konsep. Pendekatan Fenomenologis Ninian Smart dapat 

membantu pemerian ritual, pengalaman, etika, doktrin, 

pranata dan eksoterisme Yudaisme lainnya seperti 

hukum dan material, sebagai pencerminan sisi esoterisme 

Yudaisme berupa pengalaman batiniah terkait hubungan 

antara manusia dengan kosmos dan Tuhan. Studi agama 

berbasis konsep ini dapat memberikan model kajian 

interdisipliner yang menjadi ciri khas studi agama-agama. 

Kajian akademik Yudaisme selain wujud buku dan terbitan 

ensiklopedia, dapat pula terekam dalam bentuk artikel 

ilmiah di jurnal-jurnal akademik studi agama, kajian sosial 

dan penelitian budaya. Pelbagai genre publikasi ilmiah 

akademik, baik buku maupun jurnal akademik serta aneka 

rupa format terbitan dalam bentuk cetak dan digital, 

menyediakan arena pengetahuan studi agama sebagai 

pijakan analisa berbasis keingintahuan atas konsep- konsep 

studi Yudaisme. Melalui konsumsi-produksi pengetahuan 

dalam pelbagai konsep Yudaisme, kajian akademis studi 

agama mendapatkan wawasan berharga. 

A. Dimensi Praktek-Ritual

Pertama-tama, baiknya kita mengetahui pemerian 

ritual dalam perspektif studi agama. Ritual dalam perspektif 

studi agama seyogyanya menempati posisi sentral dalam 

penelitian agama dengan melihat batasan teks, perilaku 

8 • 

:


serta perbuatan yang semuanya itu berpulang pada praktek 

para pemeluknya sebagai sebuah bagian dari konstruk 

religi.4 Pokok persoalan para peminat studi agama yaitu  

bagaimana menjelaskan sejumlah besar ‘data’ religi ini 

dalam penjelasan, interpretasi dan klasifikasi data. Salah 

satu batasan kajian studi agama yaitu  soal perspektif 

insider/outsider. 

Perspektif insider, sebuah pendekatan emik, 

dalam studi agama tampaknya menonjolkan sisi upaya 

pemahaman praktek keagamaan utamanya dari sudut 

pandang orang-orang beragama. Agama tidak menuju 

reduksi budaya, masyarakat dan politik, namun sebagai 

semata-mata fenomena unik atas kepercayaan dan 

pengalaman beragama. Teks-teks agama serta ritual 

keagamaan teramati dengan tujuan penelusuran pentingnya 

agama bagi penganutnya serta menggambarkan konten dan 

perilaku keagamaan ini  bagi orang di luar kepercayaan 

ini . Pendekatan selanjutnya berupa pendekatan 

outsider berupa ciri etik dengan memakai kategori dan 

terma rujukan di luar orang-orang beragama gunakan 

seperti kategori fungsi psikologis atau proses sosial. Dari 

pendekatan yang bersifat pemanfaatan kategori dalam 

dan luar sistem kepercayaan, peminat kajian studi agama 

dapat mengambil batasan pada satu gagasan mendasar 

bahwa studi agama berbasis pada apa yang pemeluk agama 

ini  yakini dan percayai. Ninian Smart mengemukakan 

bahwa ritual melibatkan baik perkataan, tindakan maupun 

gerak-gerik tubuh yang umumnya sebagai praktek penganut 

4 Aaron W. Hughes, The Study of Judaism: Autheticity, Identity, 

Scholarship (New York: Sunny, 2013), hlm. 27 -28.

9

:


agama. Tindakan ritual ini  dapat melibatkan tingkat 

yang khusus dari “performative acts” (tindak performatif) 

setiap agama. Smart memahami ritual, sebagai aspek vital 

penting dalam agama, bermuatan penjabaran perasaan dan 

menguatkan relasi. Ritual-ritual agama, dengan demikian, 

menyampaikan perasaan yang dalam dan hubungan, serta 

sungguh-sungguh menyampaikan suatu realitas yang tak 

kasat mata, beranjak dari ruang yang satu ke yang lainnya. 

Smart mendefinisikan ritual agama ini  sebagai: 

“Religious ritual conveys feelings and relationships, and 

indeed often transfers an unseen reality from one sphere 

to another.”5 Ritual dapat menunjukkan perbedaan dalam 

pelaksanaannya, seperti tengarai De Lange, apakah bersifat 

wajib atau sebaliknya.6 Namun inti ritual tetap dengan 

penekanan relasi manusia dengan yang tak kasat mata 

melalui pelbagai sistem religi. Pelbagai aspek ritual dan 

penyerta ritual seperti doa dan persembahan, utamanya 

yaitu  manifestasi tindakan komunikatif. Konsep ritual 

mengantarkan kita pada fakta konsep lain seperti dosa, 

kelahiran, kematian, keselamatan dan pertobatan. 

Kelekatan ritual Yudaisme dengan beragam konsep ini 

tidak bersifat kebetulan belaka, namun menjadi ciri studi 

akademik Yudaisme dengan karakter holisme, menyeluruh 

dan lintas budaya dan agama. 

Pendekatan antropologi dalam studi agama seperti 

yang dapat terbaca dari asumsi Radcliffe-Brown tentang 

5 Ninian Smart, Worldviews: cross-cultural explorations of human 

beliefs (New Jersey: Prentice Hall, 2000), hlm. 118-119.

6 Nicholas De Lange, An Introduction to Judaism (Cambridge: 

Cambridge, 2003), hlm. 132.

10 • 

:


fungsionalisme stuktur dapat menjelaskan mengapa 

dan bagaimana kelompok beragama memandang ritual. 

Konsep Brown bertujuan memperkenalkan pandangan 

Durkhemian kepada Antropologi di Inggris dengan 

memberikan cara pandang ritus sebagai model dan 

instrumen bagaimana masyarakat beragama memandang 

religi sebagai perekat sosial.7 Gagasan Brown ini agak 

berbeda terma dengan Malinowski yang cenderung 

menggunakan terma fungsionalisme. Namun keduanya, 

baik Brown maupun Malinowski mampu meletakkan cara 

pandang bagaimana agama berfungsi mempertahankan 

struktur sosial kelompok relijius.

Praktek ritual menurut Peter Antes, merupakan 

fokus penting dalam pendekatan studi agama baru.8 Antes 

menyebutkan ritual sebagai topik peminatan sejumlah 16 

%, sedikit lebih rendah dengan jumlah yang signifikan pada 

minat kajian etnis dan ras sejumlah 21 %. Ritual dapat pula 

termasuk dalam peminatan gender dan kemasyarakatan, 

dengan total peminat sejumlah 33 % dan 23 %. Survey 

minat riset studi agama dalam konteks universitas seperti 

terlihat dalam penelitian Antes merupakan justifikasi ritual 

sebagai konsep yang menjadi pokok bahasan akademia 

studi agama. Termasuk dalam topik menarik yaitu  ritual 

yang terkait dengan perubahan faith dan praktek pada 

komunitas keberagamaan baru atau Gerakan baru. Ritual 

7 David N. Gellner, “Antropological Approaches” dalam Peter 

Connolly, Approaches to the Study of Religion (London: 

Cassell, 1999), hlm.18-19.

8 Peter Antes et.al. New Approaches to the Study of Religion 

(Berlin: de Gruyter, 2004), hlm. 16 – 54.

11

:


oleh Antes, kemudian dapat berkenaan dengan klaim 

Gerakan atau kelompok baru ini  sebagai sebuah 

konstruk agama.

Sosiologis Charles Glock dan Rodney Stark, 

memasukkan kategori dimensi ritualistik sebagai salah 

satu lima aspektual agama selain dimensi eksperiensial, 

ideologis, intelektual dan konsekuensial. Hampir mirip 

seperti Glock dan Stark, untuk melengkapi kategori 

agama dalam pandangan fenomenologis, Ninian Smart 

menyebut tujuh dimensi berupa mitis-naratif, ritual, 

sosial, etis, doktrinal, eksperiensial dan material.9 Hal ini 

tentu melengkapi pandangan terhadap agama yang fokus 

hanya pada satu aspek saja. Catatan pendefinisian ritual 

pada agama tidak memungkinkan untuk dikaji misalnya 

dengan mengikuti pandangan Whitehead. Ia berpandangan 

bahwa agama berupa apa yang individu praktekkan dalam 

kesendirian atau soliter. Definisi agama a la Whitehead 

mungkin hanya berlaku untuk konteks pengalaman 

agama yang privat sehingga tidak mencukupi pengertian 

religi ketika dihadapkan pada ranah antar individu dalam 

kelompok satu agama dengan individu dan kelompok 

lainnya. 

Ritual, menurut Bell, berasal dari Bahasa Latin ritus 

dan ritualis. Terma ritual terkait dengan tatanan upacara 

dalam peribadatan liturgis serta berkenaan dengan kitab 

yang mengatur tatanan ritual. Sejarah pemakaian terma 

ritual dalam ranah antropologis bermula dari awal abad 

9 Peter Connolly, Approaches to the Study of Religion (London: 

Cassell, 1999), hlm. 5 - 6.

12 • 

:


ke-20 tatkala eksplorasi asal mula agama. Ritualistik dekat 

dengan konotasi dogmatis agama. Di penghujung abad ke-

19, ritual telah menjadi titik awal pembahasan dalam ilmu 

antropologi, studi agama, sejarah, sosiologi dan psikologi. 

Dewasa ini, ritual berkenaan pula dengan pelbagai 

pendekatan interdisipliner mulai dari fungsionalisme, 

psikoanalisis, fenomenologi, strukuralisme, kulturalisme 

sampai pada aspek kognitif, ethologi dan metode sosio-

biologis. Dalam perkembangan terma ritual, sejak decade 

1980-an, para peminat kajian ritual seperti Jacques 

Derrida dan Georges Bataille serta lainnya menyepakati 

penggunaan terma ritual dengan pemahaman yang 

sama.10 Pergeseran terma ritual dari meluas menjadi salah 

satu aspek khusus yang penting dalam dimensi agama 

menunjukkan kontinuitas signifikansi kajian ritual dalam 

perspektif studi agama. 

Selanjutnya Smart memandang bahwa ritual 

kerapkali membutuhkan kelengkapan pelbagai ubarampe 

(: Jawa) atau beragam piranti eksternal yang dapat tercerap 

oleh indra, seperti, penggunaan lilin, pataka-pataka atau 

bendera, tempat sembahyang, patung-patung, ikon-ikon 

dan sebagainya. Kemajuan dan perkembangan studi agama 

telah sampai pada pembahasan dan pemahaman tentang 

proses-proses ritual itu sendiri. Dengan memakai contoh 

ritus korban sakral, Smart menyimpulkan bahwa ritual 

sebagai persembahan kepada Tuhan itu menghubungkan 

10 Catherine Bell, “Ritual” dalam Robert A Segal, The Blackwell 

Companion to the Study of Religion (Malden: Blackwell, 

2006), hlm. 400.

13

:


dan melewati perjalanan dari yang kasat mata menuju ke 

dunia yang tak kasat mata, maka korban sakral ini  

tentu lah merupakan sesuatu hal yang “menarik” di hadapan 

Tuhan. Jadi, ritual menghendaki seleksi spesimen yang 

sempurna, yang penuh kesucian didalamnya. Spesimen itu 

mencerminkan idealita Tuhan, namun pada saat yang sama, 

Tuhan mempunyai kuasa. Dengan demikian, menurut Smart, 

korban atau persembahan ini  membuka komunikasi 

dengan Tuhan dengan cara yang tulus demi mengupayakan 

relasi yang baik.11 Komunikasi manusia dengan Tuhan 

merupakan konstruksi awal antara takut bercampur 

percaya seperti tengarai N. Soderblom, satu tahun sebelum 

Rudolf Otto mengetengahkan buku tentang hal sama. 

Keduanya tidak saling mengutip, namun menunjukkan 

perhatian pada soal Teologi yang kurang lebih mengandung 

kemiripan.12 Hughes menambahkan pengertian ritual 

sebagai terjemah numinous. Ritual sejatinya merupakan 

bentuk eksternal pengalaman numinuous yang tidak 

dapat dianalisa ataupun dipelajari.13 Dalam konteks agama 

Yahudi, beberapa deskripsi antara pemeluk agama, ritual 

dan Tuhan berikut ini dapat membantu menjelaskan 

dimensi ritual dalam agama Yahudi. 

Dengan memakai pandangan bahwa meskipun 

korban itu melibatkan hubungan yang tak setara, 

namun seperti pemeluknya mempercayai, aspek korban 

11 Ninian Smart, Worldviews: cross-cultural explorations of 

human beliefs (New Jersey: Prentice Hall, 2000), hlm. 120.

12 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UIP, 

2014), hlm. 79.

13 Aaron W. Hughes, The Study of Judaism: Autheticity, Identity, 

Scholarship (New York: Sunny, 2013)

14 • 

:


yaitu  jalan komunikasi antara pemeluk agama dan 

Tuhan/Dewa. Dalam konteks sejarah manusia Yahudi, 

sebelumnya merujuk kepada orang Israel, beberapa bentuk 

persembahan/korban bertujuan untuk memberikan efek 

pengaruh terhadap tindakan Tuhan dengan cara-cara 

lahiriah. Dalam pandangan R.R. Marett, konsep kekuatan 

luar biasa melahirkan ritual berbasis emotif keagamaan. 

Orang pada masa awal-awal pemerian religi itu takjub pada 

pelbagai peristiwa gaib. Bentuk kekaguman yang melampaui 

jangkauan akal dan keterbatasan penjelasan. Bentuk relasi 

berkomunikasi itu dapat berwujud sifat luar biasa pada 

manusia, binatang, tetumbuhan, gejala pada peristiwa 

alam serta pelbagai benda. Ia yaitu  bentuk religi sebagai 

praeanimism. Pada masa lalu, orang Israel mempercayai 

bahwa aspek-aspek alam yang beragam itu mengandalkan 

kendali pada kekuatan-kekuatan Dewa. Maka kepercayaan 

berwujud banyak dewa seperti dewa Laut, dewa Angin, 

dewa Sungai, dewa Langit dan dewa Api. Ritual korban itu 

berlaku sebagai persembahan yang mengukuhkan relasi 

yang baik dengan kekuatan dan aspek alam ini . 

Sebagai contoh lain, ritual persembahan dapat lebih 

bermuatan spiritual seperti contoh ritual persembahan 

untuk Yahweh di Kuil Jerusalem. Ritual untuk Yahweh di 

kuil Jerusalem ini, merupakan cara-cara menghaturkan 

penghargaan terhadap Tuhan maupun menjadi jalan untuk 

peleburan perilaku buruk dan dosa.14 Keterhubungan ritual 

dengan aspektual esoterisme Yudaisme menjadi perhatian 

kita ketika studi agama menitik-beratkan pengalaman-

14 Ninian Smart, Worldviews: cross-cultural explorations of 

human beliefs (New Jersey: Prentice Hall, 2000), hlm. 121.

15

:


pengalaman beragama dan rites of passage – kelahiran, 

pernikahan dan kematian. Komunikasi manusia dengan 

adikodrati sebagai esensi ritual mendedah sisi batiniah 

sistem kepercayaan Yudaisme. Pada gilirannya nanti dalam 

buku ini doa yang menyertai ritual berkelindan dengan 

studi fenomenologi keselamatan dan pertobatan. 

Ritual sebagai bagian dari pranata keagamaan me-

ngalami dinamika dan perubahan.15 Dalam per kembangan-

nya, ritual terhadap dewa Gunung, Sungai, Matahari dan 

Api mulai surut, demikian pula halnya dengan pengorbanan 

terhadap dewa Israel telah lama terpinggirkan, namun, 

makna dari ritual ini  masih menarik perhatian 

peminat kajian kitab Yahudi dewasa ini. Pandangan pada 

ritual korban tidak lagi mengandung unsur kekuatan 

seperti dahulu, namun prinsip-prinsipnya masih bersifat 

penting karena menunjukkan transaksi esensial yang 

melibatkan hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam 

konteks Yahudi, korban darah tidak lagi muncul, namun 

persembahan bentuk lainnya mewujud dalam jalan yang 

menghubungkan keterbukaan atau komunikasi dengan 

yang Adikodrati. Contoh-contoh ritual lainnya dalam studi 

agama, menurut Smart, meliputi: Ritual Kebangkitan 

Kristus dalam Katolik, Sholat dalam Islam, tradisi Baptis 

dalam Protestan serta ritual pemujaan abu jasad Budha.16 

Ritual agama-agama berciri khas ketundukan pada yang 

15 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi (Jakarta: Rineka 

Cipta, 2003), hlm. 135.

16 Ninian Smart, Worldviews: cross-cultural explorations of 

human beliefs (New Jersey: Prentice Hall, 2000), hlm.119-

122.

16 • 

:


adikodrati. Pemerian ritual ini terkait dengan terma-terma 

dan dekat dengan definisi transenden, yang menakjubkan, 

numinuous, yang Suci, yang Sakral, yang Kudus dan spiritual. 

Yang membedakan antara bentuk ritus dengan aktivitas dan 

pengalaman non religi yaitu  manifestasi atau perwujudan 

transendensi dan transempirisme ini . 

Dalam sudut pandang Yahudi, setiap manusia 

merupakan ciptaan serta sebagai imaji Tuhan, dan dengan 

menyembah terhadap Sang pencipta itu, maka manusia 

memuliakan pencerminan yang Kuasa. Keabadian Tuhan 

merupakan aspek penting yang menopang imaji manusia 

dan penganut Yahudi seperti termaktub dalam Isaiah 44:6 

dan Psalm 90:2.17 Arti dari pemuliaan dari Tuhan bersifat 

abadi dan tidak terikat ruang itu, dapat berupa contoh 

secara lugas dengan gerakan-gerakan tubuh, yaitu  rasa 

manusia yang berhubungan dengan ciri-ciri sakral dimana 

manusia memuliakanNya. Aspek pemuliaan ini termasuk 

dalam dimensi ritual studi agama Yahudi.18 Konsep 

pemuliaan merupakan manifestasi relasi manusia dan 

Tuhan betapa pun di dalamnya penuh dengan kontradiksi 

Yudaisme, ruang di mana pertemuan antara yang bukan 

sakral dengan sakralitas dapat terjadi. Relasi manusia dan 

Tuhan tidak setara antara keduanya sehingga menuntut 

penghambaan dan kemuliaan. 

17 Nicholas De Lange, An Introduction to Judaism (Cambridge: 

Cambridge, 2003), hlm.162.

18 Untuk referensi lanjutan tentang ritual dengan pembahasan 

pelbagai perspektif dan dimensinya, dapat dilihat dalam 

Catherine Bell, Ritual: Perspectives and Dimensions (New 

York: Oxford, 1997). 

17

:


Seperti pemerian ritual berupa upacara-upacara 

keagamaan pada kajian agama-agama, manusia dan 

kepercayaan terhadap religi menarik perhatian para 

peminat kajian antropologis dalam dasawarsa akhir abad-

19 dan awal abad ke-20. Ketertarikan para etnografer 

berkisar kemudian pada pencarian penjelasan ritual 

sebagai bagian dari sejarah kemunculan agama. Dapat 

dengan mudah penelitian para pengkaji ritual ini  

terbaca pada suku-suku pada masyarakat sederhana atau 

disebut-sebut sebagai primitif.19 Pada tahapan deskripsi 

ritual agama-agama suku ini  dapat membaca temuan 

Andrew Lang tentang Dewa Tertinggi pada suku Ona dan 

Yahgan di Amerika Selatan, suku penduduk asli Australia, 

suku pegunungan tengah Papua dan Papua Nugini, suku 

Bushman di Afrika Selatan, suku Negrito di Kongo dan 

Kamerun Afrika Tengah serta suku Indian di Amerika 

Utara. Perihal dewa-dewa ini menandai transisi Yudaisme 

lama dengan ritus baru dalam formulasi klaim kedekatan 

manusia dan Tuhan dalam masyarakat modern. 

Ritual merupaka aspek yang menjadi perhatian 

utama dalam agama. Robertson Smith mempercayai ritual 

sebagai pokok agama dan peradaban yang menegaskan asal 

mula keterikatan kelompok. Ritual persembahan menjadi 

salah satu penanda penting. Frazer mengungkap kata kunci 

penanda ritual yaitu  persembahan. Ritual paling mendasar 

yaitu  pemujaan pada Dewa Kesuburan. Ia beranjak dari 

19 Penting mencermati sejarah kepercayaan manusia dan 

ritualnya seperti penuturan pakar antropologi Indonesia 

Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UIP, 

2014), hlm 60.

18 • 

:


kematian menuju kebangkitan, melalui kelahiran kembali 

ini  maka tumbuhlah tanam-tanaman. Sebagai 

penanda ritual lainnya yaitu  aspek tata kelola upacara 

secara bersama-sama dalam bentuk kelompok serta 

pembacaan rapal-rapal doa beserta artinya.20 Pemerian 

ritual ini dapat menunjukkan dimensi terkait berupa 

praktek-praktek pemujaan kepada yang Adikodrati. Konsep 

kematian dalam pandangan ini, bukan lah akhir dari 

eksistensial kosmos namun sebaliknya. Kelahiran kembali 

yaitu  konsep menarik yang dapat menjelaskan bagaimana 

sudut pandang pada kematian mengalami pergeseran-

pergeseran. Kematian dan kelahiran kembali yaitu  

penanda siklus kehidupan yang memberikan sumbangan 

kesadaran esensial atas pertanyaan ontologi dan kosmologi. 

Menarik untuk mencermati bagaimana proses eksistensial 

kehidupan pada sisi ontologis serta dampak pengetahuan 

pada pandangan kosmologi mengungkap signifikansi 

konsep kelahiran-kematian pada kehidupan Yudaisme. 

Selanjutnya, dimensi ritual Yahudi dapat pula 

berwujud dalam beberapa bentuk ritual, seperti yang 

dipercayai orang Israel yaitu ritual pemujaan sapi jantan, 

anak sapi, burung hantu, lembu emas serta ular tembaga. 

Namun dalam perkembangan historis lebih lanjut, 

menurut Burhanuddin Daya, terdapat ritual sembahyang 

Yahudi, puasa Yahudi, pelbagai bentuk ritual korban, ritual 

pensucian hari-hari tertentu, ritual Paskah (pembebasan 

orang Israel dari perbudakan), Pentakosta (panen pertama), 

20 Catherine Bell, “Ritual” dalam Robert A Segal, The Blackwell 

Companion to the Study of Religion (Malden: Blackwell, 

2006), hlm. 400.

19

:


ritual hari Perdamaian besar, ritual hari raya Pondok Daun, 

ritual Penebusan dosa, ritual Bulan baru, ritual tahun 

Sabbat (tahun ke-7, penghentian pengolahan tanah), 

ritual Yobel/tahun kebebasan (50 tahun sekali, tanah, 

budak dibebaskan), dan ritual hari raya Purim (undian, 

kebebasan orang Yahudi dari Hamam).21 Transformasi 

ritual Yudaisme dari yang lama menuju ritual praksis yaitu  

bentuk elaborasi aspek antropologi holisme dalam studi 

Yudaisme. Yang dimaksud sebagai kesatuan menyeluruh 

ini yaitu  bagaimana ritual Yudaisme bukan lah aspek 

independen seperti didedahkan sebelumnya pada buku 

ini, yang terlepas dari nilai budaya, sosial, kekerabatan 

dan praktek agrikultur. Dengan demikian tidak lah dapat 

berterima apabila penelitian pada satu aspek religi seperti 

ritual, hanya sebagai sebuah sudut pandang otonom. 

Momen pembebasan dari perbudakan, penebusan dosa 

serta pengolahan tanah pada ritual Purim, Yobel, Paskah 

dan ritual tahun Sabbat menunjukkan interdependensi 

ritual dengan lingkup sosial ekonomi dan momen historis. 

Hal ini tentu mengalami pergeseran apabila merujuk pada 

formulasi ritual lama berupa pemujaan pada pelbagai 

binatang. Namun atribusi pada hewan sebagai pemujaan 

dapat dipastikan berciri perhatian pada aspek kesakralan. 

Dalam konteks ritual Israel22, dipandang dengan 

21 Mengenai deskripsi ritual Yahudi, dapat dilihat lebih lanjut 

dalam Burhanuddin Daya, Agama Yahudi (Yogyakarta: 

Bagus Arafah, 1982), hlm. 171-184.

22 Walaupun terkadang sementara pendapat tidak mem-

bedakan istilah Ibrani, Israel dan Yahudi, namun agaknya 

penting pula untuk mencoba-bedakan istilah-istilah 

ini . Istilah Israel digunakan setelah Nabi Ibrahim a.s. 

20 • 

:


perspektif historis menurut Mariasusai Dhavamony, 

terdapat kultus yang rumit di samping persembahan-

persembahan. Dalam kitab-kitab Musa, persembahan 

binatang dan sayuran mendapat tempat penting. Perayaan 

paling istimewa yaitu  ritual perayaan Tahun Baru, saat 

itu alam diciptakan, kekuasaan Yahweh, pembaharuan janji 

dan ibadah tobat Istana. Selama masa sesudah pembuangan, 

ritus kesalahan-kesalahan jemaah memakai kurban kepala 

kambing kemudian membawanya ke hutan. Tahapan 

selanjutnya yaitu  Imam Agung memasuki tempat yang 

sangat Suci untuk pertobatan. Ritual pesta-pesta bermakna 

relasi suci menghubungkan Israel dengan secara langsung 

kepada Yahweh.23 Dalam pandangan antropologi Feminis, 

praktek keagamaan dan ritual Yudaisme menyimpan 

pertanyaan mendalam tentang bagaimana peran 

perempuan dalam perayaan dan ritus-ritus keagamaan. 

Aspek peran perempuan yang absen dalam partisipasi aktif 

wafat, sedangkan sebelumnya dipakai istilah Ibrani (suka 

menyeberang Eufrat, Palestina), kemudian berubah menjadi 

Israel (Eal= Tuhan, Isra= hamba). Disebut hamba Tuhan 

karena dulunya pernah beriman pada ajaran Ibrahim a.s., 

lalu kembali pada kepercayaan non-Tauhid, yaitu seperti 

nenek moyang mereka dahulu, sehingga disebut Bani 

Israel. Selanjutnya, ajaran Nabi Ibrahim a.s. dilanjutkan 

oleh Nabi Ishaq a.s., lalu putranya, Nabi Ya’kub a.s., maka 

istilah Ibrani dan Israel kemudian berkembang menjadi 

istilah Yahudi, yaitu pada zaman Yehuda, putra ke-4 dari 

nabi Ya’kub a.s. yang berjumlah 12 putra. Secara partikular, 

ulasan tentang sejarah Bani Israel serta silsilah putra-putra 

Nabi Ya’qub yang lain, dapat dilihat dalam Ali Anwar dan 

Tono TP, Ilmu Perbandingan Agama dan Filsafat (Bandung: 

Pustaka Setia, 2005), hlm. 87-95.

23 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta: 

Kanisius, 1995), hlm. 173-174.

21

:


ritualisasi, mendorong Sinagog Reformasi berpandangan 

maju untuk respon marjinalisasi peran perempuan, seperti 

kasus yang dapat dibaca di buku ini di Sinagog Beit Daniel.

Sebagai tambahan, praktek-praktek ritual Yahudi 

lainnya dapat berwujud ritual sirkumsisi/sunat dan ritual 

“Pidyon haben”/ritual penebusan kelahiran anak lelaki 

pertama. Dalam ritual sunat, berkenaan dengan sebutan 

“brit millah” atau (covenant of circumcision) atau sekedar 

disebut sebagai “brit” (covenant). Seorang “mohel”/tukang 

sunat mendapat delegasi dari bapak anak yang akan 

disunat, kira-kira pada usia minimal 8 tahun sampai umur 

13 tahun. Di ujung akhir ritual sunat, terdapat perjamuan 

untuk para tamu. Ritual ini yaitu  tanda yang dapat dilihat 

sebagai perhubungan antara Tuhan dan orang Yahudi. 

Dalam konteks ini, jika umur 13 tahun telah terlampaui, 

maka kewajiban atas aturan dalam Taurat menjadi niscaya 

untuk seorang Yahudi.24 Pembentukan pranata keagamaan 

berbasis keluarga teramati jelas melalui ritual yang 

memenuhi kebutuhan manusia berbakti kepada Tuhan.25 

Termasuk dalam pemenuhan kebutuhan religi ini  

berwujud dalam pengkhidmatan upacara dan doa-doa 

persembahan.

Doa dalam ritual Yudaisme mempunyai arti penting. 

Sifat asimetris menandai doa sebagai relasi manusia dengan 

Tuhan dengan imaji berlainan seperti, Yahweh sebagai 

Guru, Teman, Bapa atau Mempelai. Deskripsi doa sebagai 

24 Nicholas De Lange, An Introduction of Judaism (Cambridge: 

Cambridge Univ. Press, 2002), hlm. 110-111.

25 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I (Jakarta: Rineka 

Cipta, 2003), hlm.135.

22 • 

:


bentuk ketergantungan sekaligus membedakannya dengan 

praktek-praktek magis. Jembatan komunikasi antara 

manusia dengan transendensi terwujud dengan perantara 

doa-doa. Pertemuan transendental ini menandai kehadiran 

adikodrati di dalam perasaan manusia. Terdapat klaim 

relasi simetris, namun penghayatan simetris selalu tidak 

penuh dan lengkap. Dengan demikian terdapat jarak yang 

menghubungkan doa-doa kepada transendensi dengan 

keterbatasan manusia tidak dapat mendoa kepada dirinya 

sendiri. Melalui doa, tata kosmos menjadi seimbang karena 

asimetris dan konsekuensi doa. Anomie, seperti penuturan 

Durkheim, dapat menemukan titik equilibriumnya dengan 

berdoa sebagai titik hubung kosmos dan kelompok 

masyarakat serta harapan-harapannya. Relasi tidak setara 

ini menunjukkan aspek kuasa dan kehendak Tuhan tidak 

seperti linearitas pertanyaan dan jawaban. Tidak ada 

anugerah Tuhan yang margin sehingga segala bentuk 

karuniaNya bersifat bebas. Sifat bebas karunia Tuhan 

ini  mengundang sikap ketundukan dan kepasrahan 

manusia Yudaisme secara total. Kosmos menyandarkan 

pada sumber rohaniah yang menjelasan tata kelola alam 

dan masyarakat. Dengan sumber rohaniah tak terbatas 

ini, manusia dapat terpenuhi kebutuhan dan keinginannya 

tanpa mengutarakan secara langsung.

Kosmos yang berada di bawah kuasa Dewa-dewa 

kemudian mengetahui mana-mana yang baik dan paling 

baik untuk keselamatan manusia. Ketundukan total tidak 

mengindahkan lagi determinasi tujuan, namun lebih kepada 

kecenderungan determinasi mutlak sebagaiman yang 

transenden mengatur dan memutuskan. Unsur kemandirian 

23

:


adikodrati ini menuntut sifat orang berdoa yang telah 

mencapai kemenangan dalam doa-doanya. Partisipasi dan 

kelekatan kepada yang Transenden kemudian tercipta 

melalui sifat orang berdoa yang kuat sebab pertaliannya 

dengan sakralitas. Keterbatasan manusia dan kosmos 

membutuhkan pola ketergantungan dn dimensi baru doa. 

Dunia telah kehilangan kuasa atas manusia dan kosmos 

setelah manusia mendekatkan diri dan menentukan 

dasar rohaninya di hadapan yang adikodrati. Pengalaman 

manusia dengan yang transenden dapat berupa kedekatan 

dan keakraban, sementara yang lain berupaya menjalin 

tidak saja kedekatan namun sampai pada tataran kesatuan. 

Aspek penghambaan dengan praktek ketundukan atas kuasa 

transenden dapat kita amati terdapat dalam tradisi agama-

agama, sementara Yudaisme menandai relasi manusia dan 

Tuhan selain secara asimetris, namun kadangkala terwujud 

dalam aspek simetris seperti percakapan kaum Yahudi 

atas penggalan ketidakhadiran Tuhan sehingga pelbagai 

penderitaan tertimpa pada penganut Yahweh ini. Terdapat 

kontradiksi seperti standar ganda yang menjadi tengarai 

Weberian pada praktek sosial keagamaan Yudaisme. 

Mentalitas Yudaisme apabila teramati dalam sejarah agama, 

tidak mudah putus asa namun seperti esensi makna doa, 

ia yaitu  kalimat-kalimat untuk permohonan penjagaan 

kosmos dan manusia. Dengan pelangitan doa-doa, manusia 

bebas menyampaikan sisi kepasrahan dan ketundukan 

sementara secara simetris yang adikodrati juga tidak terikat 

pada keharusan penyampaian jawaban atas doa-doa. 

Selain contoh ritual sirkumsisi, dalam ritual 

“Pidyon haben” yang berarti ritual penebusan kelahiran 

24 • 

:


anak pertama berjenis kelamin laki-laki, orang Yahudi 

melaksanakannya ketika bayi berumur 30 hari. Hal ini 

dipercayai bahwa sebelum usia 30 hari itu, kehidupan bayi 

ini  belum dianggap dalam pandangan Yahudi. Ritual 

ini hanya berlaku untuk anak lelaki saja, sementara anak 

perempuan tidak diperingati seperti kelahiran pertama 

anak laki-laki. Ritual “Pidyon haben” dilaksanakan dengan 

ritual penebusan kembali dari pemuka agama (kohen), 

yang kemudian diundang dalam perjamuan makan. Dalam 

ritual tesebut, pemuka agama (kohen) menanyakan 

kepada sang ayah tentang dua tawaran, apakah memilih 

anak ini  atau tidak. Setelah membayar sejumlah 

lima keping perak, maka sang ayah memilih menebusnya 

sehingga pada akhirnya doa-doa ritual pun disebut-sebut 

dan disampaikan.26 Praktek ritual Pidyon Haben ini yaitu  

salah satu pemicu kalangan Yudaisme untuk menggugat 

kesetaraan gender justru pada saat ritual agama dipercaya 

dalam ritus kehidupan seperti sirkumsisi. Ortodoksi 

Yudaisme kemudian menerima tantangan otoritatif ter-

kait bagaimana ritual ini  membuka ruang bagi 

keterlibatan dan partisipasi aktif perempuan. 

Dapat disimpulkan bahwa pelbagai ilustrasi tentang 

praktek-praktek dalam agama Yahudi di atas menunjukkan 

dimensi agama yang melibatkan tindakan-tindakan latihan 

pikiran dalam berbagai dan serangkaian pola-pola. Dengan 

demikian, praktek dan aspek perilaku ini  digolongkan, 

dalam kerangka dimensi agama, ke dalam dimensi ritual. 

Ritual merupakan aspek yang ditekankan benar-benar 

26 Nicholas De Lange, An Introduction of Judaism (Cambridge: 

Cambridge Univ. Press, 2002), hlm. 111.

25

:


dalam hampir setiap agama-agama.27 Dalam pemaparan 

dimensi ritual ini, maka apabila diperlukan sejumlah teori 

tentang ritual-ritual agama maka peminat kajian agama 

dapat melihat lebih lanjut, dalam jumlah yang tidak sedikit, 

tentang teori ritual. Sebagai salah satu contoh pemaparan 

teori dari pakar studi agama, maka teori-teori tentang 

ritual, upacara dan ritus keagamaan dapat ditemukan 

dalam pemaparan E.O. James.28 Cukup banyak pemerian 

ritual dalam kajian agama seperti dapat pula ditelusuri 

pada ritual dan ritualisasi dinamis dalam pandangan 

Catherine Bell. Bell cukup teliti dalam mendalami bentuk-

bentuk ritual religi maupun proses ritualisasi. Perubahan 

budaya dan nilai masyarakat menuntut penerjemahan 

ritual secara lebih luas. Pada beberapa titik, ritualisasi 

yang dituturkan Bell mengungkap kebutuhan dan tuntutan 

masyarakat beragama dengan pijakan quasi religi dengan 

nilai-nilai dan atribusi sekuleristik. 

Sekarang kita lanjutkan dengan contoh ritualisasi 

Yudaisme. Ritual lama tetap mendapat tempat, dipercayai 

dan dimuliakan, namun perkembangan ritual kemudian 

bermuara pada inovasi, seperti terjadi pada ilustrasi ritus 

Sabbath. Ritual lama mendapatkan aspek kebaruan dengan 

pemilihan preferensi acara perjamuan khusus saat petang 

27 Ninian Smart, Worldviews: cross-cultural explorations of 

human beliefs (New Jersey: Prentice Hall, 2000), hlm. 10.

28 E.O. James menyebut-nyebut pengertian ritual, masa 

transisi ritual, pelbagai upacara dan ritual musiman. Lebih 

lanjut dapat dilihat dalam Adeng Muctar Ghazali, Ilmu 

Perbandingan Agama: Pengenalan Awal Metodologi Studi 

Agama-agama (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm.132-

136. 

26 • 

:


hari.29 Pada konteks ritual Sabbath, salah satu penanda 

yang tidak berubah berupa konsep kesucian.30 Ritual dapat 

mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan 

pemaknaan manusia beragama pada aspek ritualistik. 

Mircea Eliade mengulang-ulang pernyataan bahwa ritual 

akan selalu terikat dengan relasi dengan yang Adikodrati 

dengan sifat perkasa dan murni.31 Konsep penghambaan 

sebagai makhluk di hadapan Sang Pencipta rupa-rupanya 

menjadi perhatian penting para pengkaji agama-agama. 

Ritual dapat pula berkembang pemaknaannya 

menjadi urutan terstruktur pemujaan. Ritual persembahan, 

seperti pemaparan Henry Hubert dan Marcel Mauss, 

mencakup piranti pemujaan. Tujuan utama persembahan 

menandai medium persekutuan antara manusia dengan 

Tuhan. Ciri ritual dalam pandangan Hubert dan Mauss, 

wajib menyertakan proses desakralisasi setelah upacara 

paripurna.32 Dengan jeda pada akhir ritual ini  

penyelenggara ritual dapat mengupayakan kembalinya 

manusia yang berbeda dengan yang Kudus, antara yang 

profan dan yang sakral. Ritual dengan jelas menunjukkan 

kreasi dan pemertahanan yang sakral dan selalu berbeda 

dengan keberadaan manusia itu sendiri-sebagai salah satu 

:


ciri agama paling mendasar. 

Penjelasan ritual dalam perspektif studi agama 

selanjutnya terkait dengan sudut pandang dan ethos. 

Clifford Geertz mengemukakan ritual sebagai bagian 

istimewa dalam kehidupan beragama. Realitas yang 

terbangun dari ritual dapat merupakan pembeda dengan 

sistem kultural lainnya. Terma mood dan motivasi dalam 

pandangan Geertz, menemukan eksplanasinya dari 

para pemeluk agama dengan tujuan penguatan sistem 

kepercayaan mereka.33 Di dalam penghayatan ritual 

terdapat world view yang mewujud dalam perasaan dekat 

dengan kebenaran. Dengan demikian para pemeluk agama 

berpijak pada kesatuan simbolis antara ethos dan world 

view yang menerangi perilaku keagamaan. 

Sebagai penegasan ritual yang tidak otonom, ritual 

Yudaisme bukan merupakan aspek yang berdiri sendiri. Ia 

dapat terkait pula dengan dimensi religi berupa nilai etis 

dan filosofis. Penelitian Barromi-Perlman menyebut ritual 

dan otoritas agama menyisakan pertanyaan yang belum 

selesai tentang kesetaraan gender di kalangan pemuka 

agama Yahudi.34 Praktek ritual selama ini berlandaskan 

pada domain di luar partisipasi aktif perempuan. Dengan 

kata lain, upacara ritualistik berada pada wilayah patriarki 


dominan laki-laki. Pemimpin ritual Bat Mitzvah bagi remaja 

perempuan menjelang akil baligh menjadi keberatan 

kelompok Ortodoks tatkala di salah satu Sinagog Beit 

Daniel, klaim pemuka agama perempuan bertindak sebagai 

pemimpin praktek ritual. Ortodoksi kepemimpinan, terlepas 

dari perbedaan penafsiran atas kebolehan partisipasi 

perempuan, menunjukkan aspek etis Yudaisme, sedangkan 

nilai filosofis terlihat pada perjuangan kesetaraan gender. 

Ritual sebagai basis perjuangan kesetaraan gender 

seperti riset Barromi-Perlman (2021) mendedah pula 

pengamatan dimensi Yudaisme berupa sekte-sekte. Pada 

kasus ritual bagi remaja Yahudi, Sinagog reformasi menjadi 

penanda sekte yang merombak tatanan konvensional. 

Bagi sekte Yudaisme reformasi, aspirasi kesetaraan 

gender menjadi bentuk kemajuan penting, namun sekte 

Ultra Ortodoks menganggap praktek ritual reformasi 

sebagai pengoncang ortodoksi keagamaan yang telah lama 

mapan. Cukup menarik untuk mencermati bagaimana 

pertentangan posisi dalam memandang praktek ritual, 

tidak hanya menandai Sinagog yang berbeda, namun juga 

nilai perjuangan etis-filosofis serta aspirasi sekte. Kasus 

kepemimpinan ritualistik perempuan yang mengaitkan 

dimensi material, etis dan filosofis merupakan representasi 

contoh model studi agama Yudaisme yang mengaitkan 

pelbagai perspektif studi agama. Representasi kasus 

pendobrak ortodoksi tidak hanya terjadi pada satu agama 

tertentu seperti clergy Yudaisme reformasi di atas, namun 

pengamatan lebih lanjut dapat menyasar pengalaman 

agama-agama dunia maupun penghayat kepercayaan 

secara luas.

29

:


Masih pada riset Barromi-Perlman, objek material 

berupa fotografi praktek ritual menunjukkan ciri kajian 

studi agama-agama dengan eksplorasi justifikasi cultural 

studies. Para peminat studi agama dapat menelusuri pesan 

Ninial Smart atas peluang eksplorasi data pada beragam 

bentuk cultural studies –pada film, televisi, media sosial 

dan platform digital– pada pengantar buku Peter Connolly 

tentang pelbagai pendekatan studi agama.35 Dengan 

demikian konsep yang muncul dari artikel Perlman yaitu  

kesetaraan gender, dengan kasus berupa praktek ritual Bat 

Mitzvah oleh pemimpin upacara religi perempuan. Konteks 

persoalan pemimpin ritual di atas menunjukkan advokasi 

aspirasi egalitarianisme pada agama. 

Dimensi praktek dan ritual Yudaisme dapat 

merupakan model antropologi agama di mana sejumlah 

karakteristik, seperti Southwold sampaikan, cukup 

menarik untuk dikaji. Ciri ranah ini yaitu  bagaimana 

ritual terkait dengan aspek ketuhanan serta relasi antara 

manusia dan yang adikodrati. Kemudian penekanan studi 

ritual ini  pada aspek pembeda antara yang profan 

dan yang sakral. Catatan penting di sini yaitu  titik 

fokus ritual pada aspek yang suci. Orientasi ritual berciri 

35 Ninian Smart, peneliti agama dari Universitas California 

Santa Barbara dan Universitas Lancaster, mengungkapkan 

signifikansi peluang objek material studi agama-agama pada

penggambaran religiositas, isu agama, persekutuan agama, 

pranata agama, masyarakat beragama serta pengalaman 

beragama tidak saja melalui observasi empirik namun 

membuka ruang penggalian data-data penelitian pada 

produk cultural studies. Deskripsi selengkapnya pada Peter 

:


pengorbanan dari keberadaan duniawi sebagai bagian dari 

sistem kepercayaan. Ritual Yudaisme melibatkan pemuka 

agama atau para Rabbi yang menggenggam aspek etis, 

mitos, sangsi dari yang adikodrati yang terwujud dalam 

moral komunitas beragama. Pemeluk Yudaisme yaitu  

perwujudan religi etnis bernama Yahudi. Pada konteks 

otoritas pemuka agama Yudaisme dan perwujudan aspek 

religi Yudaisme ini , terdapat kontinuitas nilai religi di 

samping jejak ketidakberlanjutan dalam praktek Yudaisme. 

Soliditas praktek Yudaisme ternyata memang terlihat tidak 

dapat ditemukan sebagaimana menjadi penanda sejumlah 

agama-agama lainnya. Namun sisi esoterik Yudaisme 

tampak menguat dengan keterlibatan batiniah dalam 

relasinya dengan Tuhan. Ritual merupakan ejawantah 

kongkret yang menyatukan antara sakralitas-profanitas, 

esoterik-eksoterik dan ortodoksi-ortopraksi Yudaisme. 

B. Dimensi Eksperiential-Emosional 

Dalam studi agama Yahudi, salah satu contoh dalam 

menjelaskan dimensi pengalaman dan emosional yaitu  

beberapa pemaparan dalam penggambaran berikut. 

Pengalaman nabi-nabi Hebrew (Ibrani) merupakan 

peristiwa penting yang kemudian menuju pada 

pembentukan bangsa Israel dan selanjutnya pada agama 

Yahudi. Kisah momen Akedah yaitu  contoh bagaimana 

kisah Abraham melakukan dialog dengan Isaac terkait 

perintah penyembelihan dari adikodrati. Penggambaran 

keteguhan Ibrahim dan Isaac dalam Genesis merupakan 

imaji pengalaman keagamaan yang menyentuh wilayah 

31

:


emotif beragama. Para pembaca Genesis kemudian merujuk 

momen pengorbanan sebagai penanda Yudaisme pada nilai 

emotif ketundukan, keikhlasan dan kerelaan.

Selain kisah liturgi, contoh selanjutnya untuk 

mendefinisikan dimensi pengalaman dan emosional 

ini, bahkan dapat ditemukan pada kisah sehari-hari 

yang berintikan perasaan terhadap Tuhan yang dapat 

memunculkan ketenangan mendalam melalui kontemplasi/

permenungan. Sebagai contohnya yaitu  saat ketika 

muncul kesedihan pada upacara pemakaman maupun 

kegembiraan dalam suasana pernikahan termasuk pula 

dimensi pengalaman dan emosional ini.36 Pada upacara 

perkabungan atau Shivah, penganut Yudaisme merasakan 

suasana berduka sejak kedatangan para pelayat di sekitar 

Sinagog. Pada kebanyakan kongregasi, nama-nama para 

keluarga yang masih hidup disebut-sebut bersama-

sama dengan pembacaan doa-doa. Upacara menjelang 

pemakaman berupa elegi kematian biasanya terlaksana bagi 

orang-orang terhormat di Sinagog. Peristiwa kematian me-

nunjukkan persamaan dan perbedaan bagi sekte Sephardi 

dan Ashkenazi. Pengalaman kedua sekte menunjukkan hal 

yang sama pada nisan dengan ornamen dan penanda batu 

sebagaimana dapat ditemukan pada pengalaman kuburan 

agama-agama lainnya. Namun nisan dengan struktur tegak 

merupakan ciri khas Ashkenazi, sedangkan sekte Sephardi 

cenderung melaksanakan pengaturan batu nisan secara 

lebih datar. Selanjutnya, sebagai penanda para pelayat 


:


telah datang melakukan penghormatan, para penganut 

Yudaisme meletakkan sebutir batu kecil di atas pusara. 

Penaburan bunga tidak merupakan pengalaman Yudaisme 

seperti terlihat pada pemakaman agama-agama lainnya.37 

Masyarakat beragama menangkap salah satu momen rites 

of passage sebagai momen relasional yang dekat dengan 

yang Transenden. Keseluruhan asumsi sakral yang muncul 

berupa perilaku dan ritus yang menyertai merupakan 

kesatuan pandang dan pikir dengan nilai emotif. Perasaan 

keagamaan yaitu  elegi religi terkait upaya manusia 

beragama berkomunikasi transenden. Kegalauan relasi 

antara Tuhan dan manusia dapat teredam dengan bukti-

bukti pengkhidmatan dan ketundukan. 

Di dalam dimensi eksperiensial ini, umat Yahudi 

mengapresiasi persekutuan mengikuti putaran tahun 

kalender dan ritme Sabbat, sedangkan dalam contoh 

yang lain, dapat pula ditemukan, ketika Yahudi menggali 

sejumlah pengalaman persekutuan mistis dengan yang 

Adikodrati, dengan jalan teknik-teknik Kabbalistis.38 Max 

Weber menulis Sosiologi Agama dengan menggunakan 

contoh jalan mistisisme Yahudi sebagai contoh perilaku 

keagamaan yang tidak terlalu signifikan pada motivasi 

pelaku ekonomi.39 Namun Kabbalistis merupakan ekspresi 

ke dalam yang dimaknai oleh penganutnya sebagai aspek 

:


esoterisme Yahudi sejak muncul pada abad ke-12. Ia 

sebentuk tradisi lisan yang menandai penyampaian guru 

kepada murid sebagai perwujudan komunikasi langsung 

dengan Tuhan. Aspek ‘tak tertulis’ dalam Kabbalistik ini 

yang kemudian memunculkan klaim pemerolehan melalui 

kewahyuan yang terus menerus tidak hanya semasa 

nubuat lampau seperti hukum Musa dan tradisi Yudaisme. 

Sifat pengalaman beragama demikian, berdampak pada 

anggapan panteistik. Kelompok Kabbalah kemudian 

menerima label bid’ah oleh para penganut Yahudi Ortodoks. 

Kemunculan pandangan Kabbalistik ini dapat ter-

telusuri melalui mistisisme Merkava (kereta berkuda) 

dengan fokus pada meditasi bersamaan dengan pembacaan 

kitab Yehezkiel. Awal muncul di Palestina pada abad 1 

kemudian mencapai tahap keemasannya pada abad 7 

di Babilonia. Produk utama Kabbalistik berupa kitab 

penciptaan (Sefer Yetzira) sebagai bahan utama teks 

kelompok Kabbalah lainnya kitab Terang (Sefer Ha-Bahir). 

Kabbalistik ini pada waktunya akan memberi pengaruh 

Gerakan mesianik Hasidisme setelah abad ke 13 – 15 

berkembang pesat di Spanyol dengan catatan Kitab Citra 

(Sefer Ha-Temuna) dan Kitab Kelimpahan (Sefer Ha-Zohar). 

Pada abad 16-17, terdapat tokoh pembaharu Kabbalah, 

Isaac Ben Solomon Luria, lebih dikenal dengan Kabbalah 

Lurianik. Pengalaman atas keterhubungan langsung 

dengan yang Transenden yaitu  klaim utama yang me-

mungkin kan terbukanya klaim kelompok keagamaaan 

ini menumpahkan pengalaman keagamaannya. Bentuk 

komunikasi langsung Kabbalistik dengan yang Transenden 

memicu counter klaim kelompok Yahudi Ortodoks yang 

34 • 

:


memiliki prinsip fundamental pada liturgi Yahudi non 

Kabbalistik. Dimensi emotif segmen ini mengungkap 

setidaknya dua aspek. Pertama, pengalaman guru-murid 

dalam proses penerimaan kewahyuan langsung merupakan 

bentuk emotif pertama. Momen menunggu kewahyuan dan 

pengulangan-pengulangan ajaran di kalangan guru dan 

murid yaitu  pengalaman yang mendebarkan sekaligus 

menyenangkan. Periode klaim pewahyuan ini cukup 

kentara menjelaskan hubungan erat antara pemeluk 

agama dengan Transendensi. Ciri khas pewahyuan 

langsung yaitu  sekaligus mengungkap pendobrak doktrin 

utama agama yang dianggap sudah selesai pada periode 

nubuat oleh ortodoksi Yudaisme. Kedua, pembaruan 

komunikasi guru-murid dengan jalan langsung kepada 

Yang Adikodrati memicu aspek emotif selanjutnya berupa 

keberatan-keberatan kelompok penyokong Ortodoksi 

Yudaisme. Pelabelan Kabbalistik sebagai sempalan klaim 

agama yaitu  justifikasi langsung kelompok Ortodoks. 

Aspek penting pada kemunculan klaim mistisisme sebagai 

bentuk penjelasan aspek pengalaman beragama yaitu  

paralelisme dengan pengalaman serupa atau hampir 

sama di luar Yudaisme. Klaim penyatuan manusia dengan 

pengalaman ketuhanan yang unik dan khas tidak dapat 

begitu saja berterima di kalangan kelompok seagama. 

Pengertian tentang pengalaman keagamaan ini 

mengandung perdebatan, menyangkut pertanyaan 

tentang apakah pengalaman agama ini  “an sich” 

pengalaman pelaksanaan ibadah saja, ataukah mencakup 

pula pengalaman keagamaan yang dapat disamakan 

dengan apa yang disebut “sejarah agama”. Agama dengan 

35

:


demikian, dianggap sebagai akumulasi pengalaman 

manusia dalam perjumpaan dan keberhadapannya dengan 

Realitas Mutlak atau Tuhan. Pengalaman ini berbeda 

dengan pengalaman-pengalaman lainnya karena memiliki 

struktur dan karakteristik sendiri. Menurut Djam’annuri, 

terdapat tiga faktor pengekspresian dan pengungkapan 

pengalaman keagamaan.40 Ketiga faktor pengalaman cum 

emotif ini kerapkali terkait berkelindan antara satu dengan 

lainnya. Namun pemerian pengalaman keagamaan berikut 

ini masih perlu kita lanjutkan dengan pembacaan intensif 

pada contoh pelbagai konsep Yudaisme yang menjadi 

praktek keagamaan sehari-hari. 

Pemerian atau deskripsi pengalaman emotif 

keagamaan merupakan salah satu dasar pemahaman 

kepercayaan dan religi.41 Pertama, terdapat faktor sifat 

eksklusif dalam hati orang yang memiliki pengalaman 

keagamaan, kedua, adanya dorongan untuk mengadakan 

komunikasi dengan pihak lain, baik melalui kata-kata 

maupun perbuatan, serta keinginan membagi-bagikan 

perasaan bersama orang lain dan memberikan gambaran 

tentang apa yang dialami, serta ketiga, adanya motivasi yang 

bersifat propagandistis, yaitu mengajak pihak lain bukan 

hanya untuk ambil bagian tetapi juga untuk melihat dan 

mendengar apa yang dialami seseorang, di mana dorongan 

ini  dapat saja timbul dari ajaran agama, maupun 


:


karena daya tarik orang-orang yang memiliki pengalaman 

tadi. Adapun seluruh ekspresi pengalaman keagamaan 

terdiri dari tiga bentuk yaitu (1) pemikiran keagamaan; (2) 

perbuatan keagamaan dan (3) persekutuan keagamaan.42 

Dalam konteks studi agama ini, A. Mukti Ali menegaskkan 

bahwa meskipun satu pihak telah mempunyai keyakinan 

yang kokoh tentang kebenaran kepercayaan yang ia peluk, 

namun pihak ini  harus bisa menghargai pengalaman-

pengalaman rohani pihak lain karena keharusan bagi 

seseorang untuk menghargai dan menghormati sesama 

manusia, termasuk juga agama dan kepercayaannya.43 

Klaim Kabbalistik yang mengandung klaim eksklusif 

namun membagikan pengalaman khas ini  kepada 

entitas lainnya yaitu  daya tarik pengalaman agama bagi 

yang mempercayainya. Sebaliknya, ia tidak berterima pada 

kelompok Ortodoksi dengan pertimbangan sejumlah daya 

tolak karena keberatan-keberatan pada aspek kebaruan 

berdasar klaim eksklusif doktrin agama. Pengalaman 

bersifat ruhaniah ini yang tidak mudah berterima dan 

menjadi salah satu sumber munculnya pranata keagamaan 

yang tidak seragam.

Dalam pendekatan studi agama, pendekatan 

psikologi pada individu dan masyarakat beragama selain 

:


berciri psikoanalisis Freudian atau psikoanalisis Jung, 

dapat selanjutnya mengaitkan setidaknya tiga metode 

berupa eksperiensial, korelasional dan observasional yang 

menjadi penanda psikologi sosial keagamaan. Ketegangan 

yang muncul seperti klaim mistisisme berdasar pengalaman 

keagamaan eksklusif bermuara pada perbedaan perilaku, 

kognisi sosial keagamaan serta persepsi sosial. Banyak 

aspek terjadi di ranah ini karena utamanya bertumpu pada 

penjelasan siapa sebenarnya konsep diri itu. Konsep the 

self ini yaitu  pondasi identitas kelompok yang memiliki 

ciri aspek kesamaan atau sebaliknya menandai perbedaan 

dengan out-group characteristics. 

Uniknya dalam penjelasan pengalaman beragama 

yang cenderung khas dan distingtif ini, muncul prasangka-

prasangka atas citra eksklusif Kabbalistik misalnya. Klaim 

negatif tentang kebenaran eksistensi relasi manusia-

Tuhan secara langsung dapat segera muncul sebagai 

respon eksklusifitas. Pengalaman religi kerapkali mudah 

dirasakan oleh pelaku, namun tidak serta merta terpahami 

dengan cara sama persis seperti pikiran, gagasan dan 

tindakan sang pelaku. Perlu semacam wahana kesadaran 

yang arif karena klaim pengalaman agama seharusnya 

dipercaya sebagai bagian dari pengalaman konstruk agama 

seutuhnya. Lahirnya kelompok yang dicap sempalan, bid’ah 

dan distortif merupakan fenomena jamak terjadi di ranah 

agama-agama. 

Dalam ranah agama yang dipandang secara psikologis, 

para peminat kajian agama dapat bertemu dengan Gordon 

38 • 

:


Allport.44 Inti teori Allport yaitu  bentuk penghayatan 

agama yang mempunyai potensi merugikan orang di luar 

kelompok keyakinannya atau nilai penghayatan agama yang 

memiliki kecenderung lebih ke arah dalam yang berfokus 

pada apa yang dapat ditawarkan oleh agama-agama. Isu 

sentral teori Allport pada pihak di luar kelompok dan nilai 

di dalam kelompok kemudian disebut sebagai pendekatan 

ekstrinsik dan intrinsik. Potensi ekstrinsik yaitu  klaim 

kebenaran yang memberikan kenyamanan bagi orang 

beriman berciri self protecting di antara kelompok agama 

yang meyakininya, namun cenderung merugikan pihak di 

luar kelompok agamanya. 

Selanjutnya, dalam dimensi eksperiensial ini, Smart 

mengikuti pembahasan Rudolf Otto, yang menekankan 

ide “numinous”— dari Latin “numen”, spirit, kekuatan 

tak kasat mata yang mendorong perasaan takut dan 

merasakan kuasa. Bagi Otto, pengalaman “numinous” ini 

merupakan jantungnya agama. Otto menyebutnya bagian 

dari “mysterium tremendum et fascinans” – suatu misteri 

menakutkan, dan menyenangkan pada saat yang sama, di 

mana dengan rasa takut itu mendorong ke arah kondisi 

dimaksud. Tokoh-tokoh pembawa agama, menurut Smart, 

mengalami peristiwa “numinous” ini.45 Kekuatan adikodrati 

yang luar biasa merupakan penjelasan R.H. Codrington 

yang memberi jalan kepada R.R. Marett tentang teori 

kekuatan digdaya. Bentuk kepercayaan paling awal yaitu  

:


keyakinan manusia pada yang gaib di luar gejala-gejala 

yang terdapat pada bayangan dan jangkauan manusia biasa 

saja. Hasil pembacaan Marett di Melanesia menemukan 

konsep mana, bentuk sinaran kekuatan gaib dari roh dan 

dewa yang dapat pula menurun pada orang tertentu di 

suku ini . Orang pembawa mana berciri menyimpan 

kemampuan lebih dalam keterampilan pekerjaan sehari-

hari seperti di kebun, hutan, ladang dan sungai. Dengan 

menunjukkan keterampilan dan kemahiran memenuhi 

kebutuhan primer sehari-hari, anggota suku menempatkan 

posisi istimewa setara dengan mereka yang berbakat 

mempunyai mana untuk memantaskan dirinya sebagai 

pemimpin dan penguasa komunitas.46 Untuk memberikan 

ulasan komparatif pada gejala yang sama pada kepercayaan 

awal manusia yang ditemukan pula pada sejumah religi, 

pandangan Codrington dan Marett berpijak pada kelekatan 

yang luar biasa ini  justru pada manusia biasa yang 

mempunyai otoritas kepemimpinan suku. 

Kembali pada dimensi pengalaman religi dengan 

bentuk yang lain yaitu  pengalaman mistis. Smart 

menyebut-nyebut keterkaitan pengalaman mistis dengan 

kesadaran murni, yang sunyi. Upaya menuju pengalaman 

mistis ini berbeda dengan “numinous” yang berkenaan 

dengan intervensi dari luar. Pencapaian mistis lebih 

berpusat pada upaya-upaya keagamaan seperti “salvation” 

dan pembebasan dari daya diri melewati meditasi. Dalam 

proses menuju meditasi, terdapat proses pengosongan 

diri, bersama-sama dengan kesadaran bahwa keberadaan 


yang Kuasa dianggap berada di dalam diri.47 Keselamatan 

Yudaisme yaitu  mitos yang membentang antara dua kutub 

yakni penciptaan dan penyelamatan. Lambang permulaan 

berwujud mitos penciptaan, sedangkan perlambang akhir 

berupa keselamatan. Sebagai contoh beberapa nabi palsu 

Yudaisme mencoba menemukan klaim keselamatan dan 

bersifat mesianik. Di atas klaim ini , bagi Yudaisme 

secara umum, aspek terpentingnya yaitu  pengharapan 

dan bekerja demi kuasa kerajaan Tuhan yang segera akan 

datang dan selalu dinanti-nanti perwujudannya. Jalan 

menuju kerajaan itu yaitu  melalui keselamatan yang 

diupayakan dengan tindakan dan kehidupan sesuai dengan 

petunjuk dan ajaran Tuhan. 

Meskipun dalam konteks modern, mistisisme Yahudi 

agak dipandang terbatas dalam batas-batas riset agama, 

namun sebenarnya masih dipraktekkan secara nyata 

pada kelompok Kabbalah dan Hasidis. Nicholas De Lange 

menyebut mistisisme Yahudi dengan fokus yang agak 

berbeda, yaitu tidak hanya menekankan kesatuan manusia 

dengan Tuhan Yahudi sebagai permohonan “pengetahuan” 

ketuhanan yang diupayakan oleh pelbagai kelompok Mistik. 

Namun mistisisme ini, lebih ditujukan dalam kerangka 

analisis ide-ide mistis, sejarahnya serta hubungannya 

dengan tradisi di luar Yahudi. Beberapa pakar yang telah 

meneliti hal ini termasuk Gershom Scholem. Scholem 

meneliti teks Kabbalah dengan teks-teks lain. Hal ini 

memunculkan “gnosis”, yaitu pengetahuan esoteris, yang 

dipercayai oleh anggota kelompok Yahudi, di mana mereka 


yang percaya mampu mendapatkan akses langsung pada 

pengetahuan Tuhan. Pengalaman ini tidak dapat diperoleh 

oleh umat Yahudi yang hanya berkutat pada teks-teks 

seperti Talmud. Contoh yang lain yaitu  Joseph Caro (1488-

1575), penulis dua “legal codes” penting dan Moses Hayyim 

Luzzato (1707-1747), yang menulis drama Yahudi dalam 

gaya Italia klasik.48 Aspektual esoterik Yudaisme meliputi 

suasana batiniah yang tidak semua kelompok di luar 

kelompok yang meyakininya dapat memahami pengalaman 

agama khas. Terdapat sisi ketidaksetaraan eksperiensial 

beragama yang tidak memungkinkan keseragaman cara 

pandang dan pemahaman. Studi agama melatih pemahaman 

empatik dimana pengalaman-pengalaman agama yang 

unik menjadi wilayah yang distingtif. Perihal keunikan 

pengalaman beragama seperti pada esoterisme Yudaisme 

ini dapat mendapatkan sisi toleransi serta apresiasi jika 

dan hanya jika tidak terdapat klaim pemaksaan eksistensial 

berdasarkan pada pengalaman keyakinan beragama yang 

sudah barang tentu selalu heterogen. Rekognisi keunikan 

pengalaman beragama dapat berlaku dengan reservasi 

tindakan keterbukaan pemahaman dan penafsiran inklusif. 

48 Mengenai pendekatan Mistis Yahudi, termasuk kelompok 

Kabbalah—yang mempercayai keberadaan Tuhan dengan 

proses emanasi, melalui 10 (sepuluh) Sefirot (diagram peng-

gambaran kekuatan dalam Kepala Tuhan maupun kadang 

kala dicitrakan dalam bentuk-bentuk tubuh manusia) seperti 

Mahkota diatas kepala, Wisdom di Otak, Pemahaman di 

Hati, Cinta di Lengan Kanan, Keagungan di Lengan Kiri, Ke-

indahan di Dada, sementara Kemenangan di Kaki Kanan 

dan Kekuasaan di Mulut dan pelbagai jenis Sefirot laki-laki

mau pun perempuan, serta ilustrasi sistem klasik Kabbalah, 

dapat dilihat lebih lanjut di Nicholas De Lange, An Intro-

duction of Judaism (Cambridge: Cambridge Univ. Press, 



Pemaparan tentang Mistik Yahudi dapat pula 

dilacak, dari pembagian secara garis besar Mistik Yahudi 

yaitu, Mistik Alexandria yang bersifat penuh dengan 

pengaruh dari filsafat Yunani, serta Mistik Palestina, yang 

berdasar pada Taurat dengan penafsiran Rabbi dan dasar 

Talmud. Pertama, Mistik Alexandria dipelopori oleh Philo 

yang berpendapat bahwa Tuhan yaitu  transenden, 

mustahil berhubungan langsung dengan materi. Dunia 

fisik diciptakan secara tidak langsung lewat emanasi.49 

Keterlibatan filsafat dalam interpretasi mistisisme Yahudi 

ini bersifat asimetris dengan mempercayai terciptanya 

jarak transendensi yang memiliki kebalikan sifat materi. 

Afinitas untuk mengatasi problem jarak transenden yaitu  

membangun jalan yang menghubungkan keterbatasan 

dengan kuasa adikodrati.

Sementara itu kedua, Mistik Palestina lebih 

didasarkan pada Kitab suci, dan berhubungan dengan hal 

gaib. Pangkal Mistik ini yaitu  pembahasan mengenai alam 

semesta, pengalaman penglihatan Yesaya dalam kuil dan 

penggambaran mengenai kendaraan Tuhan, anggapan suci 

terhadap sifat-sifat Tuhan. Kabbalah (cerita-cerita mulut 

dari generasi ke generasi, terutama sejak abad ke-11) atau 

tradisi, menjadi penting dalam mistik ini. 


kewahyuan yaitu  ciri penting tradisi Kabbalah. Klaim 

berciri Guru – Murid ini menanti-nanti dalam periode 

kehidupannya untuk mencatat relasi langsung dengan 

transenden. Bagi penganut Kabbalah, afinitas tercipta 

dengan klaim kedekatan. Namun bagi sementara kelompok 

penjaga ortodoksi Yudaisme, pedoman Torah telah men-

cukupi sebagai penjelas jalan manusia, kosmos dan Tuhan. 

Selanjutnya bentuk-bentuk dimensi agama dan 

pengalaman ini dapat pula berwujud pengalaman kreatif 

maupun destruktif. Sebagai contohnya yaitu  khutbah-

khutbah yang diliputi suasana “numinous’ dapat pula 

memercikkan kebencian-kebencian. Dalam hal ini, umat 

Yahudi mendapatkan efek dari ajaran Lutheran, yang 

menunjukkan penghinaan-penghinaan terhadap Yahudi. 

Pada gilirannya nanti, pelecehan Yahudi oleh Luther ini, 

memberikan kontribusi terhadap anti-Semitisme/anti 

Yahudi di Eropa.51 Sejarah Yudaisme modern tidak dapat 

melupakan sentimen anti-semitisme. Hanya saja kaum 

Yahudi terbaca dapat keluar dari jebakan modernitas Barat 

itu dengan mempelajari tradisi kemudian masuk ke dalam 

pranata Barat yang dilakukan oleh sementara kaum marjinal 

di Eropa ini dengan kemunculan pelbagai konsekuensi. 

Pertama, mereka berterima dalam masyarakat Eropa 

sentris dengan menanggalkan identitas Yahudi beserta 

kepercayaannya. Kedua, tradisi Yudaisme menjadi standar 

ganda dengan menutup identitas luar sebagai aspek 

Penafsiran Taurat, Pelbagai Sefirot serta paham reinkarnasi

Yahudi, dapat dilihat dalam Burhanuddin Daya, Agama 

Yahudi (Yogyakarta: Bagus Arafah, 1982), hlm. 231-237. 



keamanan dengan lebih cenderung memaknai penekanan 

pada internalisasi tradisi Yudaisme. 

Beranjak dari pemaparan dimensi eksperiensial ini, 

maka objek kajian studi agama tidak hanya merujuk pada 

ilustrasi-ilustrasi dimensi eksperiensial di atas. Dimensi 

eksperiensial ini, bersama-sama dengan aspek emotif 

penganut agama, dapat menjadi objek riset yang berkisar 

dari hubungan manusia Yahudi dengan Tuhan, Ekspresi 

Mistis, cara-cara pendekatan manusia dengan Tuhan serta 

pemikiran-pemikiran keagamaan Yahudi dan sebagainya. 

Dalam tahapan-tahapan pengalaman Yahudi di berbagai 

belahan dunia ini, seperti halnya pengalaman Yahudi secara 

sosiologis-antropologis di Eropa maupun benua Amerika, 

kita dapat membacanya pada bab-bab selanjutnya. Pokok 

persoalan pengalaman historis ini berkaitan pada relasi 

Yahudi dengan ajaran lain, seperti Katolik dan Kristen, 

struktur masyarakat agama dan etnisitas.

Sebagai sebuah pengalaman keagamaan, cara pen-

dekatan kepada transendensi merupakan salah satu konsep 

menarik. Dalam tradisi keagamaan kolektif misalnya 

yang melibatkan unsur upacara, pesta, puasa, perintah 

dan larangan sebagai praktek religi kelompok agama, 

makna terdalam Yudaisme bersifat non eksoterik. Ia lebih 

cenderung mengartikan serangkaian prosesi ritual dan 

perjamuan sebagai wahana kehendak Tuhan. Relasi esoterik 

Yudaisme itu berupa keselamatan serta kebahagiaan 

individual. Dengan pengamatan ciri esoterisme agama, 

Yudaisme cenderung memastikan perbuatan manusia 

merupakan kehendak dan kuasa transendensi. Pembacaan 

45

:


kitab suci dan tradisi menuntun aspek esoterisme 

Yudaisme dalam bentuk penerapan hukum Tuhan. Situasi 

kehidupan Yudaisme yang tidak mudah dalam penderitaan 

dan diskriminasi mendapat justifikasi penguatnya dalam 

bentuk relasi kuasa dan kehendak yang adikodrati. 

Dalam konteks pengalaman yang berbeda dalam umat 

Yahudi dalam memandang sumber-sumber teks agama 

Yahudi, misalnya, maka muncullah kemudian pelbagai 

kelompok dengan ragam interpretasi atau cara pemaknaan 

yang tidak seragam. Pluralitas pemaknaan terhadap Talmud 

Yahudi jika diamati secara seksama akan memunculkan 

pelbagai mazhab berdasarkan pengalaman kelompok 

penganut agama Yahudi yang bersangkutan. Dimensi 

pengalaman keagamaan dengan demikian, terkait pula 

dengan dimensi institusional-sosial, mengingat pelbagai 

implikasi pengalaman yang berbeda itu berpeluang untuk 

mengalami penetrasi sosial baik dilakukan secara sadar 

maupun influensial sifatnya. Munculnya pengalaman yang 

berbeda dalam pandangan terhadap Talmud (interpretasi) 

memunculkan golongan Robbaniyun, Al-Qurra, Samura, 

Parisi dan Saduki. Masing-masing golongan, yang kerapkali 

berdasar pada otoritas pemuka agama Yahudi, seperti 

para Rabbi, menginterpretasi Talmud secara sepenuhnya 

(golongan Robbaniyun dan golongan Saduki), ada yang 

tidak mempercayai Talmud, yakni para pembaca Taurat 

(golongan Al-Qurra), membahas otentisitas Talmud 

(golongan Samura) serta interpretasi dengan dasar filsafat 

(golongan Parisi).


mengalami banyak pertentangan, sekaligus dengan 

beberapa persamaannya, maka sudah barang tentu dapat 

ditelusuri pada aspek relasional dari dimensi eksperiensial 

ini , yakni klaim dimensi pengalaman ini yang mirip 

dengan “sejarah agama”. Beberapa bentuk kompetisi antar 

golongan dengan pelbagai aspek justifikasinya dalam 

politik dan aspek sosial lain seperti sekte-sekte, merupakan 

salah satu aspek yang dapat lebih jauh lagi dipelajari dan 

diamati dalam konteks kajian studi agama Yahudi.53 Dapat 

muncul dari pelbagai pertentangan dan ketidaksepakatan 

pada penafsiran eksistensial Yudaisme dalam ranah sosial 

keagamaan, ternyata mereka yang tidak menemukan 

kata sepakat itu mengisyafi persamaan berupa upaya 

ketundukan pada Yahweh. Pelbagai hermenetika tindakan 

dan perilaku Yudaisme pada mitos, liturgi dan sistem 

kepercayaan kepada adikodrati dapat saja menunjukkan 

identitas denominasi atau sekte yang distingtif, namun 

suasana kebatinan Yudaisme, menurut sementara pengamat 

kajian fenomeologis seperti Dhavamony, berujung pada hal 

yang kurang lebih sama. 

Serangkaian upacara dengan ritual Yudaisme 

tampak seperti hal yang sama belaka. Sisi eksternal 

praktek pengalaman agama membuktikan bahwa terdapat 

debat tentang sistem kepercayaan itu dan klaim otoritas 

keagamaan. Praktek berdoa dan ketundukan mungkin saja 

sama namun pada kenyataannya gejala penafsiran filsafati 

dan teologi tidak hilang begitu saja. Terlebih lagi apabila 

klaim otentisitas menjadi salah satu fokus konsepnya. 



Perjalanan catatan liturgi membuka ruang perdebatan 

apakah termasuk dalam ortodoksi ataukah di luar dari 

acuan pokok yang dipercaya telah berlangsung selama 

ribuan tahun. Bagaimanakah jarak pewahyuan dan klaim 

wahyu yang stagnan kemudian memunculkan interpretasi 

yang menyesuaikan situasi dan tuntutan masyarakat 

pemeluk Yudaisme yang terus berkembang. Pengalaman 

Yudaisme dalam doa-doa telah mendapatkan penjelasan 

dalam studi agama, namun aspektual lainnya seperti dosa 

merupakan penanda penting lainnya. Bagaimana Yudaisme 

memandang salah satu pengalaman tertua manusia berupa 

tindakan dan emotif dosa-dosa.

Manusia dalam kerangka kosmologi, menghadirkan 

yang adikodrati dalam norma-norma dan sejumlah aturan 

keagamaan. Kehen