Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
49
Empat Puluh Satu Arahanta Thera
dan Gelar Etadagga
Berikut ini yaitu kisah dari beberapa Thera yang dikutip dari Ekakaïipà ta, Etadagga Vagga dari Komentar Aïguttara
Nikà ya yang dimulai dari kisah Thera Koõóa¤¤a, yang diambil
dari anggota Saÿgha para Siswa Buddha yang memiliki ciri mulia
seperti Suppañipannatà .
(1) Thera Koõóa¤¤a
Dalam membahas kisah para Thera ini, penjelasan akan diberikan
dalam empat tahap: (a) Cita-cita masa lampau, (b) Kehidupan
pertapaan yang dijalankan dalam kehidupan sekarang, (c)
Pencapaian spiritualitas istimewa, dan (d) Gelar Etadagga (tertinggi)
yang dicapai.
(a) Cita-cita masa lampau
Balik ke masa lampau dalam bhadda kappa ini, lebih dari seratus
kappa yang lalu, muncullah Buddha Padumuttara. sesudah muncul di
antara tiga kelompok makhluk, Buddha Padumuttara disertai seratus
ribu bhikkhu mengumpulkan dà na makanan dengan mengunjungi
sejumlah desa, kota, dan ibukota kerajaan dengan tujuan untuk
membebaskan banyak makhluk (dari penderitaan) dan akhirnya
tiba di Kota (asal) Haÿsà vatã. Ayah Beliau, Raja ânanda, mendengar
berita baik mengenai kunjungan putranya, dan pergi menyambut
Buddha bersama banyak pengikutnya. saat Buddha memberi
khotbah kepada kerumunan yang dipimpin oleh Raja ânanda,
beberapa orang menjadi Sotà panna, beberapa mencapai kesucian
Sakadà gà mã, beberapa mencapai kesucian Anà gà mã, dan yang
lainnya mencapai kesucian Arahatta pada akhir khotbah ini .
Raja lalu mengundang Buddha untuk makan pada keesokan
harinya, dan pada keesokan harinya ia mengutus seorang kurir
untuk menyampaikan pesan kepada Buddha tentang waktu makan.
Ia memberi persembahan makanan secara besar-besaran kepada
Buddha dan seratus ribu bhikkhu di istana emasnya. Buddha
Padumuttara membabarkan khotbah penghargaan atas persembahan
makanan ini , lalu Beliau kembali ke vihà ra. Demikian
pula, para warga juga memberi Mahà dana pada keesokan
harinya. Pada hari ketiga raja kembali memberi persembahan.
Demikianlah, Mahà dana dilakukan oleh raja dan para warga
bergantian dalam waktu yang lama.
Pada waktu itu, seseorang yang baik, kelak menjadi Koõóa¤¤a,
terlahir dalam sebuah keluarga kaya. Suatu hari, sewaktu Buddha
sedang memberi khotbah, ia melihat para warga Haÿsà vatã
membawa bunga, wewangian, dan lain-lain, pergi menuju kediaman
Tiga Permata dan ia pergi bersama mereka ke tempat Buddha
membabarkan khotbah.
saat itu, Buddha Padumuttara sedang menceritakan pertemuan-
Nya dengan seorang bhikkhu tertentu yang merupakan bhikkhu
pertama dari seluruh bhikkhu ratta¤¤Ã¥ (telah lama bergabung
dalam Saÿgha) yang menembus Empat Kebenaran dan terbebas
dari saÿsà ra di dalam masa pengajaran-Nya. Saat si orang baik
ini mendengar hal itu, ia merenungkan, “Sungguh mulia
orang itu! Dikatakan bahwa selain Buddha sendiri, tidak ada
orang lain sebelumnya yang telah menembus Empat Kebenaran.
Bagaimana jika aku juga menjadi seorang bhikkhu sepertinya dan
dapat menembus Empat Kebenaran sebelum yang lainnya dalam
masa pengajaran Buddha mendatang!” Pada akhir khotbah Buddha,
2425
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
orang baik ini mendekati Buddha dan mengundang Beliau,
“Sudilah Buddha Yang Mulia menerima persembahan makanan
dariku besok!” Buddha menerima undangan ini dengan
berdiam diri.
Mengetahui bahwa Buddha telah menerima undangannya, si orang
baik ini bersujud kepada Buddha dan kembali ke rumahnya.
Semalam suntuk ia menghabiskan waktu dengan menghias tempat
duduk dengan bunga-bunga harum dan juga mempersiapkan
makanan-makanan lezat. Keesokan harinya ia melayani Buddha
dan seratus ribu bhikkhu di rumahnya dengan mempersembahkan
makanan-makanan mewah nasi sà li dan makanan-makanan lainnya.
saat acara makan selesai, ia meletakkan kain buatan Negeri
Vaïga yang cukup untuk membuat tiga helai jubah di kaki Buddha.
lalu ia merenungkan, “Aku tidak mencari posisi religius
yang kecil tetapi aku mencari yang besar. Satu hari memberi
Mahà dana seperti ini tidaklah cukup untuk mencapai cita-cita
agung. Oleh sebab itu aku akan bercita-cita dengan melakukan
mahà dà na selama tujuh hari berturut-turut.”
Orang baik itu memberi Mahà dana dengan cara yang sama
selama tujuh hari. saat Ritual persembahan makanan selesai,
ia membuka gudang kainnya dan meletakkan kain-kain mewah
dan halus di kaki Buddha dan mempersembahkan tiga helai jubah
kepada masing-masing dari seratus ribu bhikkhu ini . lalu
ia mendekati Buddha dan berkata, “Buddha Yang Agung, seperti
halnya bhikkhu yang engkau puji sebagai seorang yang bergelar
Etadagga tujuh hari yang lalu, semoga aku juga dapat menjadi yang
pertama menembus Empat Kebenaran sesudah mengenakan jubah
dalam masa pengajaran Buddha mendatang.” sesudah mengatakan
hal itu, ia tetap bersujud dengan cara bertiarap di kaki Buddha.
Mendengar cita-cita orang ini , Buddha Padumuttara melihat
ke masa depan, “Orang baik ini telah melakukan jasa yang sangat
besar. Apakah cita-citanya akan tercapai atau tidak?” Beliau melihat
dengan jelas bahwa hal itu pasti akan terjadi.
Sesungguhnya tidak ada halangan apa pun, bahkan sekecil atom,
yang dapat menghalangi pandangan Beliau jika Buddha ingin
melihat masa lampau atau masa depan atau masa sekarang. Semua
peristiwa pada masa lampau atau pada masa depan meskipun
dalam rentang waktu ber-crore-crore kappa, atau semua peristiwa
pada masa sekarang meskipun dalam jarak ribuan alam semesta,
semua dapat dilihat dalam perenungan. (Segera saat semua itu
direnungkan, maka semua hal ini terlihat dengan jelas.)
demikianlah dengan kekuatan intelektual-Nya yang tidak dapat
dihalangi, Buddha Padumuttara melihat dalam pandangan-Nya
bahwa, “Seratus ribu kappa lalu akan muncul seorang Buddha
bernama Gotama, di antara tiga kelompok makhluk. Dan cita-cita
orang ini akan tercapai!” Mengetahui hal ini, Buddha mengucapkan
ramalan, “Sahabat, seratus ribu kappa sejak sekarang, seorang
Buddha bernama Gotama akan muncul di dunia ini. Saat Buddha
Gotama membabarkan khotbah pertama ‘Roda Dhamma’; pada
akhir khotbah ini , Dhammacakkappavattana Sutta, dengan tiga
fungsinya, engkau akan mencapai Sotà patti-Phala bersama dengan
delapan belas crore brahmà .”
Kisah Dua Bersaudara: Mahà kà la dan Cåëakà la
sesudah melakukan kebajikan seperti memberi persembahan
selama waktu seratus ribu tahun, si orang kaya ini , bakal
Koõóa¤¤a terlahir kembali di alam surga sesudah meninggal dunia. Ia
terlahir kembali di alam dewa dan alam manusia bergantian selama
sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan kappa.
(Artinya ia menikmati kehidupan di alam dewa dan manusia selama
99.909 kappa.) sesudah hidup dalam waktu yang sangat lama itu,
sembilan puluh sembilan kappa sebelum kappa Buddha sekarang,
si orang baik, bakal Koõóa¤¤a, terlahir dalam sebuah keluarga dan
diberi nama Mahà kala di sebuah desa di dekat gerbang ibukota
Bandhumatã. Adiknya bernama Cåëakà la.
Pada waktu itu, Bakal Buddha Vipassã meninggal dunia dari Alam
Surga Tusita dan masuk ke dalam rahim Bandhumatã, permaisuri
Raja Bandhuma. (Seperti yang telah dijelaskan pada bab tentang
riwayat dua puluh empat Buddha, ia akhirnya menjadi seorang
Buddha Mahatahu; saat Mahà brahmà memohon Beliau untuk
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
membabarkan Dhamma, Beliau merenungkan kepada siapakah
Beliau akan membabarkan Dhamma pertama kali. lalu Beliau
melihat adik kandung-Nya sendiri Pangeran Khaõóa dan saudara
sepupunya, pemuda Tissa. “Kedua orang ini,” Beliau memutuskan,
“mampu menjadi yang pertama menembus Empat Kebenaran.”
Beliau juga memutuskan, “Aku akan membabarkan kepada mereka.
Aku juga akan menolong ayah-Ku.” lalu Beliau melakukan
perjalanan melalui angkasa dari Mahà bodhi dan turun di Taman
Rusa Khemà . Beliau memanggil Pangeran Khaõóa dan Tissa,
membabarkan khotbah kepada mereka, pada akhir khotbah, kedua
orang itu bersama dengan delapan puluh empat ribu makhluk
mencapai Kearahattaan.
Delapan puluh empat ribu orang yang mengikuti jejak Bakal Buddha
Vipasã, mendengar peristiwa ini , lalu mendatangi
Buddha dan mendengarkan Dhamma dan akhirnya berhasil
mencapai Kesucian Arahatta. Buddha Vipassã menunjuk Thera
Khaõóa dan Thera Tissa sebagai Siswa Utama dan menempatkan
mereka di sebelah kanan dan kiri-Nya.
Mendengar berita ini , Raja Bandhuma menjadi berkeinginan
untuk memberi hormat kepada putranya Buddha Vipassi, ia pergi
ke taman, mendengarkan khotbah dan menerima Tiga Perlindungan;
ia juga mengundang Buddha untuk makan keesokan harinya dan
pergi sesudah bersujud kepada Buddha. Setibanya kembali di istana,
sebuah pemikiran muncul dalam benaknya saat ia duduk di paviliun
utama, “Putra sulungku telah melepaskan keduniawian dan menjadi
Buddha. Putra keduaku telah menjadi Siswa Utama di sebelah
kanan Buddha. Keponakanku, Pemuda Tissa, telah menjadi Siswa
Utama di sebelah kiri Buddha. Delapan puluh ribu bhikkhu itu
dulunya melayani putraku sewaktu masih menjadi seorang awam.
sebab itu, Saÿgha yang dipimpin oleh putraku dulunya yaitu di
bawah kekuasaanku dan demikian pula seharusnya sekarang. Aku
harus bertanggung jawab untuk menyediakan empat kebutuhan
kepada mereka. Aku tidak akan memberi kesempatan kepada
orang lain untuk melakukannya.” Dengan pikiran demikian, raja
membangun tembok kayu di kedua sisi jalan yang menghubungkan
vihà ra ke istananya dan lalu menutupinya dengan tenda;
2428
ia menggantung karangan-karangan bunga setebal batang pohon
kelapa dan menghiasnya dengan dekorasi bintang-bintang emas;
ia juga memasang kanopi. Sebagai lantainya, ia menebarkan batu-
batu yang indah. Di kedua sisi jalan itu di bagian dalam tembok di
antara tanaman-tanaman bunga, ia menempatkan kendi-kendi air,
dan meletakkan wewangian-wewangian di antara bunga-bunga
dan bunga-bunga di antara wewangian-wewangian. lalu ia
mengirim pesan kepada Buddha bahwa telah tiba waktunya untuk
makan. Disertai oleh para bhikkhu, Buddha Vipassã datang ke istana
melalui jalan yang tertutup dan sesudah makan, Beliau kembali ke
vihà ra. Tidak ada orang lain yang berkesempatan bahkan sekadar
melihat Buddha.
Bagaimana orang lain dapat memiliki kesempatan untuk
mempersembahkan makanan dan memberi hormat kepada Beliau?
Sesungguhnya tidak ada seorang pun yang dapat.
lalu terjadi sebuah diskusi di antara para warga :
“Saat ini telah tujuh tahun tujuh bulan sejak kemunculan
Buddha di dunia ini. Tetapi sampai saat ini, kita tidak memiliki
kesempatan bahkan hanya untuk melihat Buddha, apalagi untuk
mempersembahkan makanan, memberi hormat dan mendengarkan
khotbah-Nya. (Kita tidak mendapatkan kesempatan sama sekali.)
Raja secara pribadi melayani dan memuja Buddha dengan pendapat
‘Buddha yaitu Buddhaku, Dhamma yaitu Dhammaku dan
Saÿgha yaitu Saÿghaku.’ Munculnya Buddha yaitu demi
kesejahteraan dunia makhluk-makhluk hidup serta para dewa dan
brahmà , bukan hanya demi kesejahteraan raja. Sesungguhnya, api
neraka terasa panas bukan hanya bagi raja dan bagaikan teratai biru
bagi orang lain. Oleh sebab itu, baik sekali jika raja menyerahkan
Yang Agung kepada kita (memberi hak untuk melayani Buddha);
jika tidak, kami akan berperang melawan raja dan mengambil
alih Saÿgha agar dapat menanam jasa pada mereka. Marilah
kita berperang demi hak-hak kita. Tetapi ada satu hal, kita, para
warga tidak mampu melakukan hal itu. Marilah kita mencari
pemimpin yang dapat memimpin kita.”
2429
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Maka mereka menemui jenderal dan secara jujur mengungkapkan
rencana mereka dan bertanya, “O Jenderal, apakah engkau memihak
kami atau memihak raja?” lalu jenderal itu berkata, “Aku
memihak kalian, tetapi dengan satu syarat: kalian harus memberi
hari pertama kepadaku untuk melayani Buddha.” Para warga
menyetujuinya.
Sang jenderal menjumpai raja dan berkata, “Para warga marah
denganmu, Tuanku.” saat ditanya alasannya, ia berkata, “sebab
hanya engkau sendiri yang melayani Buddha dan mereka tidak
mendapatkan kesempatan itu. Tuanku, masih belum terlambat.
Jika mereka diberikan kesempatan untuk melayani Buddha,
mereka tidak akan marah lagi. Jika tidak, mereka mengancam akan
berperang denganmu. ”Jenderal, aku akan berperang tetapi aku
tidak akan menyerahkan Saÿgha.” “Tuanku,” jenderal berkata,
menempatkan raja dalam posisi yang sulit. “Hambamu mengancam
bahwa mereka akan mengangkat senjata melawanmu. Siapakah
yang akan memimpin pertempuran ini?” “Bukankah ada engkau,
Jenderalku?” tanya raja dengan nada membujuk. “Aku tidak dapat
melawan rakyat, Tuanku” jenderal berkata.
Sang raja menyadari, “Kekuatan rakyat cukup besar. Jenderal
juga salah satu dari mereka.” Oleh sebab itu, ia mengajukan
permohonan, dengan berkata, “Kalau begitu, sahabat, izinkan aku
memberi makan Saÿgha hanya selama tujuh tahun tujuh bulan lagi.”
Tetapi para warga tidak setuju dan menolak permohonan itu.
Raja menurunkan permohonannya setahap demi setahap menjadi
enam tahun, lima tahun dan seterusnya hingga akhirnya menjadi
tujuh hari. Para warga akhirnya sepakat, “Sekarang raja hanya
memohon tujuh hari untuk memberi persembahan makanan,
tidak ada gunanya kita keras kepala menyainginya.”
Raja Bandhuma memberi semua persembahannya selama
tujuh hari, yang ia rencanakan untuk diberikan selama tujuh
tahun tujuh bulan. Selama enam hari pertama, ia melakukannya
tanpa mengizinkan para warga untuk menyaksikannya;
tetapi pada hari ketujuh, ia mengundang para warga dan
memperlihatkan kebesaran persembahan dà na yang ia lakukan,
2430
berkata, “Teman-teman, apakah kalian mampu memberi
dà na sebesar ini?” “Tuanku,” jawab para warga , “Tetapi dà na
yang engkau berikan terjadi sebab bantuan kami, bukan?” dan
mereka menambahkan, “Ya, kami mampu!” Mengusap air matanya
dengan punggung tangannya, raja bersujud kepada Buddha dan
berkata, “Putraku, Buddha Yang Agung, aku memutuskan untuk
menyokong Engkau dan seratus enam puluh delapan ribu bhikkhu
dengan mempersembahkan empat kebutuhan seumur hidup tanpa
bantuan orang lain. Tetapi sekarang aku terpaksa mengizinkan
para warga untuk melayani Engkau. Sebenarnya, mereka
marah kepadaku dan mengeluhkan hilangnya hak-hak mereka
untuk memberi persembahan. Putraku, Buddha Yang Agung,
mulai besok dan seterusnya, sudilah Engkau menolong mereka!”
Demikianlah ia dengan sedih mengucapkan kata-kata itu.
Hari berikutnya, jenderal memberi dà na besar kepada Saÿgha
yang dipimpin oleh Buddha sesuai kesepakatannya dengan para
warga .
(Berikut ini yaitu kisah Saddhà sumanà secara singkat seperti yang
terdapat dalam Komentar Aïguttara Vol. 3)
Kisah Saddhà sumanÃ
Pada hari yang menjadi bagiannya, sang jenderal saat mengawasi
dà na besar yang ia lakukan, mengeluarkan perintah, “Hati-hati,
jangan sampai ada orang lain yang mengambil kesempatan untuk
memberi persembahan bahkan hanya sesendok nasi,” dan ia
menempatkan pengawal untuk menjaga kawasan itu. Pada hari itu,
seorang janda dari seorang pedagang kaya Bandhumatã menangis
dalam kesedihan besar (sebab ia tidak mendapatkan kesempatan
untuk memberi dà na pada hari pertama); ia mengeluh dengan
sedih, berkata kepada putrinya yang baru pulang dari bermain
bersama lima ratus teman perempuan lainnya, “Putriku, jika
ayahmu masih hidup, hari ini aku pasti dapat menjadi yang pertama
memberi persembahan makanan kepada Buddha.” Sang putri
menghibur, “O ibu, jangan khawatir! Aku akan melakukan sesuatu
agar Saÿgha yang dipimpin oleh Buddha akan menerima dan
2431
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
memakan makanan dari kita.”
sesudah itu, sang putri mengisi sebuah mangkuk emas seharga
seratus ribu dengan nasi susu yang dicampur air. Ia menambahkan
mentega, madu, gula, dan lain-lain. Ia menutupnya dengan sebuah
mangkuk emas lain yang diletakkan terbalik dan mengikat kedua
mangkuk itu dengan karangan bunga melati sehingga terlihat seperti
sebuah gumpalan bola bunga. saat Buddha memasuki kota, ia
membawa makanan itu di atas kepalanya dan meninggalkan rumah
disertai oleh banyak pelayannya.
Dalam perjalanan itu, terjadi percakapan antara si gadis kaya dengan
para pengawal.
Pengawal, “Jangan datang ke sini, Gadis!”
Gadis, “Paman! Mengapa kalian tidak mengizinkan aku lewat?”
(Orang-orang pada masa lampau selalu berbuat kebajikan selalu
mengucapkan kata-kata yang sopan. Orang lain tidak mampu
menolak permohonan mereka.)
Pengawal, “Kami harus menjaga atas perintah jenderal agar tidak
seorang pun yang diizinkan untuk mempersembahkan makanan,
O Gadis.”
Gadis, “Tetapi, Paman, apakah kalian melihat ada makanan di
tanganku sehingga engkau menahanku seperti ini?”
Pengawal, “Kami hanya melihat sebuah bola bunga.”
Gadis, “Kalau begitu, apakah jenderal kalian berkata bahwa
mempersembahkan bunga juga tidak boleh?”
Pengawal, “Kalau mempersembahkan bunga, itu diperbolehkan,
O Gadis.”
Gadis itu lalu berkata kepada para pengawal, “Kalau begitu,
pergilah, jangan menghalangiku, Paman,” dan ia pergi mendatangi
2432
Buddha dan menyerahkan persembahan itu dengan permohonan,
“Sudilah, Buddha Yang Agung, menerima persembahanku dalam
bentuk bola bunga ini.” Buddha menatap seorang pengawal,
memberi tanda kepadanya untuk mengambilkan bola bunga
itu. Si gadis bersujud dan berkata,
“Buddha Yang Agung, semoga dalam hidupku di dalam saÿsà ra,
aku terbebas dari segala kekurangan dan kekhawatiran. Semoga
aku disayangi oleh semua orang bagaikan bola bunga melati ini
dan diberi nama Sumanà dalam semua kehidupanku pada masa
depan.”
saat Buddha menjawab, “Semoga engkau sejahtera dan
bahagia,” gadis itu bersujud kepada Buddha dengan gembira dan
meninggalkan tempat itu.
Buddha pergi ke rumah sang jenderal dan duduk di tempat
yang telah dipersiapkan. Sang jenderal membawa nasi dan
mempersembahkannya kepada Buddha. Buddha menutup mangkuk
dengan tangan-Nya. Sang jenderal berpikir bahwa Buddha tidak
menerima nasi itu sebab belum semua bhikkhu datang. saat
semuanya telah berkumpul, sang jenderal melaporkan bahwa
semuanya telah datang dan telah duduk. Buddha berkata, “Kami
telah memiliki semangkuk makanan yang kami terima dalam
perjalanan. saat rangkaian bunga melati ini disingkirkan
dari mangkuk itu, terlihatlah nasi susu yang masih mengepulkan
asap. lalu pengawal sang jenderal yang membawakan
bola bunga ini berkata, “Jenderal, kami telah ditipu oleh
seorang gadis yang mengatakan bahwa ini hanyalah bola bunga.”
Nasi susu itu cukup untuk semua bhikkhu dan Buddha. Hanya
sesudah memberi nasi susu itu kepada Buddha, sang jenderal
menyerahkan persembahan yang ia persiapkan sendiri. sesudah
selesai makan, Buddha menyampaikan khotbah penghargaan dan
lalu meninggalkan tempat itu.
saat Buddha telah pergi, sang jenderal bertanya kepada para
pengawal tentang gadis itu dan diberitahu bahwa ia yaitu
putri seorang pedagang kaya. “Betapa cerdiknya ia! Jika seorang
2433
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
perempuan yang sebijaksana itu menjadi ibu rumah tangga, tidaklah
sulit bagi si bapak rumah tangga untuk mencapai kenikmatan
surgawi.” sesudah memuji gadis itu, sang jenderal berusaha untuk
menikahi gadis itu dan menjadikannya sebagai ibu rumah tangga.
Gadis itu bertanggung jawab atas kekayaan dari kedua rumah, milik
ayahnya serta milik sang jenderal, ia memberi dà na kepada
Buddha hingga akhir hidupnya, dan saat meninggal dunia, ia
terlahir kembali di alam surga, alam kenikmatan indria. Pada saat
itu, terjadi hujan bunga melati yang memenuhi seluruh kota surga
hingga setinggi lutut, “Bidadari surga ini telah memberi nama
bagi dirinya sendiri,” semua dewa menamainya “Sumanà Devã.”
Sumanà Devã terhindar dari alam sengsara selama sembilan puluh
satu kappa, selalu terlahir bergantian di alam dewa dan di alam
manusia; di alam mana pun ia dilahirkan, terjadi hujan bunga melati
terus-menerus dan ia tetap bernama Sumanà Devã atau SumanÃ
Kumà rã, dalam masa Buddha kita ini, ia dilahirkan oleh Permaisuri
Raja Kosala; bersama dengannya, di rumah para menteri raja,
semua pelayannya terlahir pada hari yang sama dengan kelahiran
Sumanà . Pada saat itu terjadi hujan bunga melati yang lebat hingga
setinggi lutut.
Melihat fenomena itu, raja berpikir, “Putriku pasti telah melakukan
kebajikan istimewa pada masa lampau,” dan ia menjadi sangat
bergembira. “Putriku telah memberi nama untuk dirinya sendiri.”
Dan memberinya nama Sumanà . Merenungkan, “Putriku pasti tidak
lahir sendirian,” sang raja mencari pendamping kelahiran putrinya
di seluruh kota dan mendengar bahwa lima ratus bayi perempuan
telah terlahir, sang raja mengambil alih tanggung jawab mengasuh
dan membesarkan lima ratus bayi ini . Ia juga memerintahkan
bahwa setiap bulannya lima ratus anak perempuan ini harus
dihadapkan kepada putrinya.
saat Putri Sumanà berusia tujuh tahun, Buddha disertai oleh
para bhikkhu datang ke Sà vatthã atas undangan si orang kaya
Anà thapiõóika, sebab ia telah menyelesaikan pembangunan Vihà ra
Jetavana. Anà thapiõóika menghadap Raja Kosala dan berkata,
2434
“Tuanku, kunjungan Yang Agung ke kota kita bermakna besar
bagimu dan kami. Oleh sebab itu, mohon izinkan Putri Sumanà dan
lima ratus pelayannya membawa kendi-kendi air, wewangian, bunga,
dan lain-lain untuk menyambut Yang Agung.” Sang raja menjawab,
“Baiklah,” dan melakukan sesuai permintaan si pedagang. Atas
perintah raja, Sumanà mendekati Buddha dan mempersembahkan
wewangian, bunga, dan lain-lain lalu berdiri di tempat yang
semestinya. saat Buddha membabarkan khotbah kepada SumanÃ
dalam perjalanan itu, ia dan semua pengikutnya bersama-sama
mencapai Sotà patti-Phala; bersamaan dengan mereka, lima ratus
gadis, lima ratus umat awam perempuan dan lima ratus umat awam
laki-laki juga mencapai Buah yang sama saat mendengarkan khotbah
ini . Demikianlah, dalam perjalanan pada hari kunjungan
Buddha ke vihà ra, sebelum tiba di tempat tujuan, masih dalam
perjalanan, dua ribu orang menjadi Sotà patti Ariya.
saat sang putri beranjak dewasa, Raja Kosala memberi lima ratus
kereta dan lambang kerajaan sehingga ia dapat memakai nya
untuk melakukan perjalanan, jika ia menginginkan, bersama lima
ratus pendampingnya. Pada masa itu, ada tiga perempuan yang
menerima lima ratus kereta dan lambang kerajaan dari orangtua
mereka. Mereka yaitu (1) Putri Cundã, putri Raja Bimbisà ra,
(2) Visà khà , putri si orang kaya Dhana¤caya, dan (3) Sumanà ,
putri Raja Kosala yang kisahnya baru dibahas. Demikianlah kisah
Saddhà sumanà .
Seperti telah dijelaskan, sehari sesudah sang jenderal mendapat izin
dari raja untuk mempersembahkan dà na kepada Buddha secara
besar-besaran, para warga mempersiapkan persembahan yang
lebih besar dari yang diberikan oleh raja dan melakukan mahà dà na
kepada Saÿgha yang dipimpin oleh Buddha. saat persembahan
makanan oleh seluruh kota selesai, para warga desa di gerbang
kota mendapat giliran untuk memberi penghormatan.
lalu si perumah tangga Mahà kà la berdiskusi dengan adiknya
Cåëakà la, “Besok yaitu giliran kita untuk memberi hormat kepada
Yang Agung. Penghormatan seperti apakah yang akan kita lakukan?”
“Kakak,” jawab Cåëakà la, “Pikirkanlah apa yang menurutmu baik.”
2435
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
lalu Mahà kà la berkata, “Adikku, jika engkau menyetujui
rencanaku, tanah kita yang luasnya enam belas pai penuh dengan
padi sà li yang telah berbuah. Bagaimana jika kita akan memetik
padi muda dari tangkainya itu dan memasak nasi susu untuk Yang
Agung?” Cåëakà la mengajukan pandangannya, “Kakak, jika kita
melakukan hal itu, tidak seorang pun yang akan mendapatkan
manfaat. sebab itu aku tidak menyetujuinya.”
lalu Mahà kà la berkata, “Jika engkau tidak setuju, aku akan
mengambil bagianku,” maka enam belas pai tanah itu dibagi menjadi
dua, masing-masing seluas delapan pai yang dipisahkan oleh pagar.
lalu Mahà kà la memetik padi muda dari tangkainya, dan
mencampurnya dengan susu murni dan air; ia memasaknya dan
menambahkan catumadhu ke dalamnya, dan mempersembahkan
(1) makanan (pertama) kepada Saÿgha yang dipimpin oleh Buddha.
Anehnya yaitu dari tangkai yang padinya telah dipetik, penuh lagi
dengan padi seperti semula. (Ini yaitu dà na dari padi pertama
yang terbentuk dari tahap awal pertanian.)
Demikianlah Mahà kà la memberi dalam Ritual persembahan
itu sebagai berikut: (2) porsi pertama dari padi yang setengah tua
untuk dipanen; (3) porsi pertama dari padi yang cukup tua untuk
dipanen; (4) porsi pertama dari padi yang telah dipanen; (5) porsi
pertama dari padi telah diikat; (6) porsi pertama dari padi telah
diikat dan ditumpuk; (7) porsi pertama dari padi yang telah digiling;
(8) porsi pertama dari padi yang telah ditampi; (9) porsi pertama
dari padi yang telah disimpan di dalam lumbung.
Demikianlah, setiap kali ia menanam padi, ia melakukan dà na
porsi pertama (aggadà na) sembilan kali. Dan jumlah padi yang
ia hasilkan tidak pernah berkurang sebab dà na yang ia lakukan;
malah sebaliknya, jumlah padi meningkat dan bertambah banyak
daripada sebelumnya. Inilah perbuatan baik Thera Koõóa¤¤a
sehubungan dengan cita-citanya pada masa lampau.
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Sang perumah tangga baik Mahà kà la, si bakal Thera Koõóa¤¤a,
2436
melakukan kebajikan demikian sepanjang kehidupan Buddha dan
sepanjang kehidupannya, dan ia mengembara dari alam manusia
ke alam dewa dan sebaliknya, menikmati kemewahan dewa dan
manusia; menjelang kemunculan Buddha kita, ia terlahir dalam
sebuah keluarga brahmana kaya di perkampungan Brahmana
Doõavatthu di dekat Kota Kapilavatthu. Pada hari pemberian nama,
brahmana cilik itu diberi nama Koõóa¤¤a. Ia diberi pelajaran tiga
Veda dan berhasil menguasai ilmu mengenali tanda-tanda manusia
luar biasa.
Pada saat Bakal Buddha kita meninggal dunia dari Alam Tusita
dan memasuki rahim Mahà mà yà , Permaisuri Raja Suddhodana
dari Kapilavatthu, dan lalu lahir. Pada hari pemberian nama,
raja mempersembahkan jubah-jubah baru dan nasi susu manis
dan murni kepada seratus delapan brahmana. Ia memilih delapan
brahmana bijaksana di antara seratus delapan brahmana itu dan
meminta mereka duduk berbaris di halaman istana. lalu ia
membawa si pangeran cilik, Bodhisatta, meletakkan Beliau di atas
sehelai kain katun putih di hadapan para brahmana yang akan
memeriksa tanda-tanda jasmani Beliau.
Seorang brahmana, yang menempati urutan pertama dalam barisan
itu, mengacungkan dua jarinya dan meramalkan, “Jika anak ini tetap
menjadi orang awam, ia akan menjadi seorang raja dunia. Jika Beliau
menjalani kehidupan pertapaan Beliau pasti akan menjadi seorang
Buddha di tiga alam!” demikianlah dinyatakan oleh tujuh brahmana
pertama yang masing-masing mengacungkan dua jari. Dari delapan
brahmana itu, pemuda Koõóa¤¤a yaitu yang termuda. saat
gilirannya tiba untuk meramalkan, ia memelajari tanda-tanda tubuh
bayi itu dengan saksama dan (sesudah merenungkan bahwa seorang
yang akan menjadi seorang Buddha tidak mungkin memiliki tanda-
tanda seorang raja dunia di telapak kaki-Nya dan bayi ini tidak
menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan menjadi seorang raja
dunia.) ia mengacungkan hanya satu jari, dengan tegas meramalkan,
“Sama sekali tidak mungkin Pangeran ini tetap menjalani kehidupan
rumah tangga. Pangeran ini pasti menjadi seorang Buddha!”
sesudah itu, para brahmana bijaksana itu pulang ke rumah mereka
2437
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
masing-masing dan memanggil putra-putra mereka dan berkata,
“Putraku, kami sudah tua. Kami mungkin masih hidup atau
sudah meninggal dunia saat Pangeran Siddhattha, Putra Raja
Suddhodana, mencapai Kebuddhaan. saat Pangeran mencapai
Kebuddhaan, kalian putra-putra kami harus menjadi bhikkhu di
dalam pengajaran-Nya.”
Raja Suddhodana membesarkan putranya dalam kesenangan yang ia
berikan dengan perlindungan besar, menyediakan berbagai fasilitas
dan kenyamanan yang dimulai dari penunjukan para pelayannya.
saat Beliau berusia enam belas tahun, Pangeran menikmati
kemewahan bagaikan dewa dan pada usia dua puluh sembilan saat
Beliau telah mencapai kematangan dalam hal intelektual, Beliau
melihat cacat dalam kenikmatan indria dan manfaat dari melepaskan
keduniawian. Maka pada hari kelahiran putra-Nya, RÃ hula, Ia
melepaskan keduniawian dengan menunggangi kuda kerajaan
Kaõtaka disertai oleh pendamping kelahiran dan pelayan pribadi-
Nya Channa, Beliau melewati gerbang kota yang dibuka oleh para
dewa. Dalam satu malam, Beliau melewati tiga kota, Kapilavatthu,
Koliya, dan Devadaha, dan di tepi Sungai Anomà , Beliau
mengenakan jubah dan perlengkapan lainnya yang dipersembahkan
oleh Brahmà Ghañãkà ra. Demikianlah Ia tiba di Kota Rà jagaha dalam
penampilan seperti seorang Thera yang telah bergabung dalam
Saÿgha selama enam puluh tahun dan berusia delapan puluh tahun.
sesudah mengumpulkan dà na makanan. Beliau memakan makanan-
Nya di bawah keteduhan bayangan Bukit Paõóava. Walaupun Raja
Bimbisà ra mengundang-Nya dan menjanjikan akan menyerahkan
kerajaannya kepada Beliau, Beliau menolak tawaran itu dan saat
melanjutkan perjalanan, Beliau tiba di Hutan Uruvela. “Oh!” Beliau
berseru dan berkata, “Tanah yang datar ini sungguh menyenangkan!
Bagi mereka yang ingin berlatih meditasi, ini yaitu tempat yang
ideal.” Dengan perenungan ini, Beliau menetap di hutan itu dan
memulai latihan meditasi dukkaracariya.
Saat Bakal Buddha kita melepaskan keduniawian, semua brahmana
bijaksana kecuali Koõóa¤¤a telah meninggal dunia. Koõóa¤¤a
yang termuda masih dalam kondisi sehat. Mendengar berita bahwa
Bodhisatta telah melepaskan keduniawian, ia berkunjung ke rumah
2438
tujuh brahmana yang telah meninggal dunia ini dan berkata,
“Dikatakan bahwa Pangeran Siddhattha telah menjadi seorang
petapa. Tidak diragukan Beliau pasti akan mencapai Kebuddhaan
yang sesungguhnya. Jika ayah kalian masih hidup, mereka pasti akan
meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi petapa. Marilah, jika
kalian juga ingin menjadi petapa. Marilah kita mengikuti teladan
orang mulia itu dan bersama denganku menjadi petapa. Tujuh orang
itu tidak sepakat dalam cita-cita mereka. Ada yang tidak menyetujui
gagasan ini . Hanya empat orang yang mengenakan jubah di
bawah pimpinan Koõóa¤¤a.
sesudah menjadi petapa, Kelompok Lima (Pa¤cavaggãya)
mengumpulkan dà na makanan di desa-desa dan kota-kota dan
akhirnya tiba di tempat Bodhisatta. Sewaktu Bodhisatta sedang
berlatih meditasi menyiksa diri selama enam tahun, mereka
berharap, “Beliau akan segera mencapai Kebuddhaan! Beliau akan
segera mencapai Kebuddhaan!” Dengan pikiran demikian, mereka
melayani Bakal Buddha, tinggal dan pergi bersama Beliau.
Dalam tahun keenam, Beliau menyadari bahwa praktik dukkaracariya
tidak akan membawa-Nya ke Jalan Mulia dan Buahnya (Ariya
Magga-Phala) dan melewatkan waktu-Nya dengan hanya memakan
nasi putih, hanya sebutir biji wijen, dan lain-lain dan Beliau menjadi
sangat kurus dan lemah, sebab itu Beliau mengumpulkan makanan
dari Desa Senà nã dan memakan apa pun yang tersedia seperti
nasi dan kue keras. lalu Kelompok Lima itu melihat bahwa
kehidupan semua Bodhisatta telah dinodai oleh Bodhisatta, mereka
meninggalkan Beliau dan pergi ke Taman Rusa Isipatana.
sesudah Kelompok Lima meninggalkan Beliau, dengan memakan
apa pun yang tersedia seperti nasi dan kue keras, kulit, daging, dan
darah di tubuh Bodhisatta menjadi normal kembali dalam dua atau
tiga hari. Pada hari purnama, (hari Beliau mencapai Pencerahan
Sempurna) Beliau memakan nasi susu lezat yang dipersembahkan
oleh Sujà tà , istri seorang pedagang kaya. lalu Beliau
mengapungkan mangkuk-Nya di atas permukaan Sungai Nera¤jarÃ
dan memutuskan bahwa Ia pasti akan menjadi Buddha pada hari
itu juga. Malam harinya, sesudah dipuji dalam segala cara oleh Raja
2439
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Nà ga Kà la, Beliau pergi ke Mahà bodhi, tempat di mana sebatang
pohon Bodhi berdiri dan duduk bersila di atas Singgasana Aparà jita,
tempat duduk yang tidak tergoyahkan, menghadap ke sebelah
timur alam semesta. sesudah mengembangkan empat usaha, Beliau
menaklukkan MÃ ra persis sebelum matahari terbenam, mencapai
Pubbenivà sa ¥Ã õa pada jaga pertama malam itu, Dibbacakkhu ¥Ã õa
pada jaga kedua dan, pada jaga ketiga Beliau tercerap dalam ajaran
Kebijaksanaan Pañiccasamuppà da, merenungkan dengan VipassanÃ
¥Ã õa yang bagaikan intan (Mahà vajirà Vipassanà ¥Ã õa) yang terdiri
dari dua belas faktor dalam urutan maju dan urutan mundur, dan
akhirnya mencapai Kebuddhaan, sesudah mencapai Kemahatahuan
istimewa (Asà dhà raõa Sabba¤¤uta ¥Ã õa) yang menjadi miliki
semua Buddha. Di atas singgasana itu, di bawah pohon Mahà bodhi,
Buddha melewatkan tujuh hari di dalam pencerapan Arahatta-Phala
Samà patti.
Demikianlah Buddha berdiam di tujuh tempat dan sebab
permohonan Brahmà Sahampati, Beliau mempertimbangkan,
“Kepada siapakah Aku akan membabarkan Dhamma ini untuk
pertama kali?” lalu Beliau mengetahui bahwa para guru-
guru-Nya âëà ra dan Udaka telah meninggal dunia dan saat
Beliau memikirkan lebih jauh, Beliau mendapat gagasan, “Kepada
Kelompok Lima yang telah banyak membantu-Ku. Mereka
melayani-Ku sewaktu Aku sedang menjalani praktik penyiksaan
diri. Bagaimana jika Aku membabarkan kepada mereka pertama
kali.” Gagasan seperti ini dimiliki oleh semua Buddha seperti suatu
peraturan. Sebenarnya, dengan perkecualian Koõóa¤¤a, tidak
ada seorang pun yang dapat memahami Empat Kebenaran dalam
pengajaran Buddha. Sedangkan Koõóa¤¤a, demi kemampuannya
untuk menjadi yang pertama dalam memahami Empat Kebenaran,
ia telah melakukan kebajikan yang diperlukan selama seratus
ribu kappa dan telah memberi dà na istimewa dalam bentuk
hasil pertanian yang pertama sembilan kali kepada Saÿgha yang
dipimpin oleh Buddha seperti telah dijelaskan di atas.
(c) Pencapaian spiritualitas istimewa
Membawa mangkuk dan jubah-Nya, Buddha berjalan menuju
2440
Taman Rusa Isipatana dan akhirnya tiba di tempat Kelompok Lima
Bhikkhu. Para bhikkhu melihat kedatangan Buddha dan mereka
sepakat untuk tidak melakukan kewajiban mereka, tetapi saat
Buddha semakin dekat, mereka tidak mampu mempertahankan
kesepakatan mereka: seorang mengambilkan mangkuk dan jubah
dari Buddha, seorang mempersiapkan tempat duduk; seorang lagi
mengambilkan air untuk mencuci kaki; yang keempat mencuci kaki
Buddha; dan yang kelima mengambail kipas daun palem untuk
mengipasi Beliau; demikianlah mereka memberi pelayanan
mereka masing-masing.
saat Lima Bhikkhu telah duduk di dekat Buddha sesudah melakukan
kewajiban mereka, Buddha menyampaikan Dhammacakkappavattana
Sutta dengan tiga fungsinya kepada Lima Bhikkhu ini dengan
Thera Koõóa¤¤a sebagai pendengar utama di hadapan Beliau.
Nama Baru untuk Thera: A¤¤Ã si Koõóa¤¤a
Pada waktu itu Buddha berpikir, “sebab Petapa Koõóa¤¤a berhasil
menjadi yang pertama dalam menembus Empat Kebenaran yang
Kutemukan dengan ribuan kesulitan, ia layak diberi nama A¤¤Ã si
Koõóa¤¤a,” dan sebab itu Beliau mengucapkan, “A¤¤Ã si rata bho
Koõóa¤¤o; a¤¤Ã si vata bho Koõóa¤¤o!” (“Oh, Koõóa¤¤a telah
memahami Empat Kebenaran! Oh, Koõóa¤¤a telah memahami
Empat Kebenaran!”) sebab ucapan Beliau ini, Yang Mulia
Koõóa¤¤a dikenal sebagai A¤¤Ã si Koõóa¤¤a, “Koõóa¤¤a yang
menembus”, sejak saat itu.
(d) Gelar Etadagga
Demikianlah Yang Mulia Koõóa¤¤a menjadi seorang Sotà panna
pada hari purnama di bulan âsà ëha (Juni-Juli) tahun 103 MahÃ
Era (tahun yang sama saat Buddha mencapai Kebuddhaan). Sehari
sesudah purnama, Thera Bhaddiya menjadi Sotà panna; dua hari
sesudah purnama Thera Vappa, tiga hari sesudah purnama Thera
Mahà nà ma, empat hari sesudah purnama Thera Assaji mencapai
Buah yang sama. Lima hari sesudah purnama, pada akhir pembabaran
Anattalakkhaõa Sutta, seluruh anggota dari Kelompok Lima ini
2441
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
mencapai Arahatta-Phala. Pada waktu itu, terdapat enam orang
Arahanta di dunia ini, Buddha dan Kelompok Lima Thera.
Mulai saat itu, Buddha membantu banyak orang untuk mencapai
Ariya Magga dan Phala, lima puluh lima sahabat yang dipimpin oleh
Yasa, putra seorang pedagang kaya, tiga puluh tiga Pangeran Bhadda
di Hutan Kappà sika, seribu orang mantan petapa di Gayà sãsa dan
lain-lainnya. sesudah membantu banyak orang mencapai Jalan Mulia
dan Buahnya, pada hari purnama di bulan Phussa (Desember-
Januari) pada tahun yang sama, Buddha tiba di RÃ jagaha dan
membantu seratus sepuluh ribu brahmana perumah tangga yang
dipimpin oleh Raja Bimbisà ra mencapai Sotà patti-Phala dan sepuluh
ribu perumah tangga berlindung di dalam Tiga Perlindungan.
sesudah mengajarkan ajaran-Nya hingga mekar berlimpah dan
berbuah, dengan delapan keindahan dan Tiga Latihan, di seluruh
Jambådãpa, seluruh permukaan daratan Beliau sinari dengan warna
jubah dan seluruh wilayah tertiup oleh angin kencang yang berasal
dari para bhikkhu dan para mulia lainnya. Selanjutnya, saat Beliau
tiba di Vihà ra Jetavana di Kota Sà vatthã dan sewaktu berdiam di sana
dan duduk di atas Mimbar Dhamma, tempat duduk seorang Buddha,
saat Beliau menyampaikan khotbah tentang jalan Pembebasan,
Beliau berkeinginan untuk mengungkapkan bahwa putra tertua-Nya
Koõóa¤¤a yaitu yang terbaik dari semuanya yang pertama kali
menembus Empat Kebenaran, dan Beliau mengucapkan:
“Etadaggaÿ bhikkhave mama sà vakà naÿ bhikkhÃ¥naÿ ratta¤¤Ã¥naÿ
yadidaÿ a¤¤Ã si koõóa¤¤o,” “O para bhikkhu, dari seluruh para
bhikkhu siswa-Ku yang telah lama di dalam Saÿgha (ratta¤¤Ã¥)
A¤¤Ã si Koõóa¤a yaitu yang terbaik.” Demikianlah kata-kata
pujian terhadap Thera, Buddha menganugerahkan gelar Ratta¤¤Ã¥
Etadagga kepadanya.
(Di sini, ‘ratta¤¤Ã¥’, arti sebenarnya yaitu ‘seorang yang mengetahui
waktu malam’, yaitu, ‘seseorang yang telah melewati banyak malam
sejak ia melepaskan keduniawian’. Dalam masa pengajaran Buddha
tidak ada orang lain yang menembus Empat Kebenaran lebih dulu
daripada Koõóa¤¤a. sebab itu Koõóa¤¤a yaitu seorang yang
mengetahui banyak malam (yaitu, yang telah hidup selama banyak
2442
tahun) sejak ia menjadi seorang bhikkhu. (Berdasarkan penjelasan
ini, seorang individu ratta¤¤Ã¥ artinya yaitu ‘yang paling senior
dalam hal kebhikkhuan’.
Atau, sebab Thera Koõóa¤¤a menembus Empat Kebenaran
sebelum semua orang lainnya, sejak penembusannya, ia telah
melewati banyak malam. Berdasarkan kata-kata ini, arti ratta¤¤Ã¥
yaitu ‘yang paling dahulu mengetahui Empat Kebenaran’.
Atau, sebab semua Arahanta selalu sadar siang dan malam, ia
mendapat gelar rata¤¤Ã¥, ‘seorang yang sadar akan siang dan malam’.
sebab Thera Koõóa¤¤a yaitu yang paling dahulu menjadi
Arahanta, ia mengetahui lebih jelas dari Arahanta ratta¤¤Ã¥ lainnya
dalam hal pembagian waktu).
Thera A¤¤Ã si Koõóa¤¤a sesudah Pencapaian Kearahattaan
Thera A¤¤Ã si Koõóa¤¤a mencapai kesucian Arahatta pada hari
kelima sesudah purnama pada bulan âsaëha. Pada hari purnama
bulan Phussa di tahun yang sama, Buddha tiba di RÃ jagaha dan
pada hari pertama di bulan MÃ gha (Januari-Februari), bakal Siswa
Utama (Sà riputta dan Moggallà na) mengenakan jubah. Pada hari
ketujuh Yang Mulia Moggallà na menjadi Arahanta dan Yang
Mulia SÃ riputta juga menjadi Arahanta pada hari purnama bulan
itu. Dengan demikian lengkaplah kelompok para Arahanta, yaitu
Siswa Utama, Siswa Besar, dan Siswa Biasa, dalam masa pengajaran
Buddha, semuanya pergi mengumpulkan dà na makanan (berbaris
sesuai urutan senioritas). saat Buddha membabarkan khotbah,
Beliau duduk di atas Mimbar Dhamma, tempat duduk Buddha yang
dihias di tengah-tengah Dhammasala. Jenderal Dhamma, Thera
Sà riputta, duduk di sebelah kanan Buddha dan Thera Moggallà na
di sebelah kiri Buddha.
Di belakang kedua Siswa Utama, sebuah tempat duduk disediakan
untuk Yang Mulia Koõóa¤¤a. Para bhikkhu lainnya mengambil
tempat duduk di sekeliling Thera. sebab Koõóa¤¤a yaitu yang
pertama memahami Empat Kebenaran di dalam masa pengajaran
Buddha dan sebab ia juga senior dalam hal usia, kedua Siswa
2443
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Utama juga menghormatinya, mereka menganggapnya sebagai
Mahà brahmà , seperti api yang berkobar besar, atau bagaikan
ular nà ga yang berbisa; mereka merasa segan meskipun mereka
menempati tempat duduk di depan. Mereka juga merasa malu.
Thera Koõóa¤¤a lalu merenungkan, “Demi tempat duduk
bagian depan ini, kedua Siswa Utama telah memenuhi Pà ramã
selama satu asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa. Meskipun mereka
menduduki tempat itu, mereka kurang percaya diri, dan merasa
malu. Aku akan membuat mereka merasa nyaman.” Itulah alasannya
(mengapa tempat duduknya tidak digunakan.)
Selain itu, Koõóa¤¤a yaitu seorang Thera yang sangat dihormati.
Seperti halnya kemuliaan Buddha. Kemuliaan Thera juga menyebar
ke seluruh penjuru dunia ini serta para dewa dan brahmà dari
sepuluh ribu alam semesta. Oleh sebab itu, para dewa dan manusia
yang mengunjungi dan memberi hormat kepada Buddha dengan
wewangian, bunga dan lain-lain, mereka akan segera (sesudah itu)
mendekati Thera Koõóa¤¤a dan memberi hormat kepadanya,
mengingat, “Yang Mulia ini yaitu yang pertama memahami ajaran
istimewa Empat Kebenaran.” Juga ada kebiasaan religius, yang mana
jika ada bhikkhu tamu, mereka akan berdiskusi Dhamma atau saling
bertukar sapa. Sedangkan bagi Thera, ia lebih menyukai berdiam
di dalam pencerapan Phala Samà patti (Ariya vihà ra). Oleh sebab
itu, baginya diskusi Dhamma dan berbincang-bincang yaitu hal
yang tidak berguna. Ini yaitu alasan lainnya.
sebab dua alasan ini, Thera lebih menyukai berada jauh dari
Guru. Ia meramalkan bahwa keponakannya, pemuda Puõõa, putra
seorang brahmana perempuan Mantà õã, akan menjadi seorang
penceramah Dhamma (Dhamma-kathika) yang terkenal, ia pergi
ke perkampungan Brahmana Doõavatthu dan menahbiskan
keponakannya menjadi seorang bhikkhu dan membantunya menjadi
seorang siswa yang menetap bersama guru (antevà sika) dengan
pikiran agar ia dapat berada dekat dengan Yang Agung. lalu
ia mendekati Buddha dan mengajukan permohonan, “Buddha
Yang Agung, bagiku pemukiman ramai tidak cocok untukku. Aku
tidak dapat menetap bersama kaum awam. Oleh sebab itu sudilah
mengizinkan aku untuk menetap di Hutan Chaddanta.” Dan izin
2444
ini diberikan oleh Buddha.
sesudah mendapat izin dari Buddha, Thera Koõóa¤¤a melipat alas
tidurnya, dan membawa mangkuk serta jubahnya, ia pergi ke Danau
Maõóà kinã di Hutan Chaddanta. Di kawasan Chaddanta, delapan
ribu ekor gajah, yang telah berpengalaman dalam melayani para
Pacceka Buddha dan yang berumur panjang seperti hantu, merasa
bahagia dengan pikiran, “Lahan subur yang luas telah mendatangi
kami sehingga kami dapat menanam benih kebajikan.” Maka mereka
meratakan tanah dengan kaki-kaki mereka dan membersihkan
rumput-rumput untuk membuat jalan bagi Thera; mereka juga
membersihkan ranting dan dahan-dahan yang berada di sepanjang
jalan Thera dan sesudah membersihkan tempat tinggal Thera,
delapan ribu ekor gajah itu berdiskusi:
“Teman-teman, jika kita mengharapkan, ‘Gajah ini akan melakukan
apa yang diperlukan untuk Thera’ atau ‘Gajah itu akan melakukan
hal ini untuknya.’ Thera akan kembali ke tempat tinggalnya dari
kegiatan mengumpulkan dà na makanan dengan mangkuknya
yang telah dicuci seperti sebelumnya seolah-olah ia pergi
mengunjungi desa sanak saudaranya. Oleh sebab itu, marilah
kita melayaninya bergiliran tanpa lalai. Kita harus melakukannya
dengan saksama khususnya saat tiba giliran dari gajah tertentu
(tanpa mengabaikannya dengan pikiran itu bukan tugasku).”
Dan demikianlah mereka bergiliran melayani Thera. Gajah yang
bertugas akan menyiapkan air untuk mencuci muka, dan ranting
untuk menyikat gigi. Pengaturannya berjalan sebagai berikut. Gajah
yang sedang bertugas, membuat api dengan menggosokkan kayu
kering yang dapat terbakar dengan mudah seperti kayu pinus.
Dengan api ini, ia akan memanaskan batu dan menggelindingkannya
dengan memakai tongkat kayu ke dalam baskom batu yang
berisi air.
sesudah air ini terasa cukup panas, ia akan meletakkan sikat
gigi yang terbuat dari tongkat kayu api. lalu gajah yang sama
akan menyapu gubuk meditasi yang merupakan tempat tinggal
Thera di bagian dalam dan bagian luar dengan sapu yang terbuat
2445
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
dari ranting pohon. Ia juga akan melakukan tugas-tugas (lainnya)
termasuk menyiapkan makanan untuk Thera.
Danau Maõóà kinã tempat Thera menetap luasnya lima puluh yojanà .
Di bagian tengah yang luasnya dua puluh lima yojanà , bebas dari
tanaman ganggang dan tanaman air lainnya. Airnya jernih, dan di
bagian tepi danau itu yang kedalaman airnya setinggi pinggang,
terdapat banyak tanaman teratai putih dengan lebar setengah yojanÃ
mengelilingi danau itu yang luasnya lima puluh yojanà ; di sebelah
lapisan teratai putih ini terdapat bunga teratai paduma merah,
yang lebarnya juga setengah yojanà ; lalu terdapat lapisan
teratai kumudra putih yang lebarnya juga setengah yojanà ; …
teratai biru …; teratai merah…; …ladang padi merah…; …tanaman
merambat yang dipenuhi dengan sayur-mayur yang lezat seperti
ketimun, kundur, labu, dan lain-lain yang lebarnya setengah yojanà ;
di sebelah lapisan itu terdapat tanaman tebu yang juga setengah
yojanà lebarnya mengelilingi danau. Batang tebu yang tumbuh di
sana besarnya seperti pohon pinang.
Di sebelah kumpulan tanaman tebu terdapat hutan pohon-pohon
pisang yang lebarnya juga setengah yojanà mengelilingi danau.
Mereka yang kebetulan memakan dua buah pisang atau lebih akan
menderita, merasa kaku dan tidak nyaman sebab kekenyangan; di
sebelah barisan pohon pisang ini terdapat hutan pohon nangka
yang buahnya sebesar kendi besar; di sebelahnya lagi terdapat hutan
pohon jambu; di sebelahnya lagi terdapat hutan pohon mangga;
demikianlah seterusnya di danau itu terdapat banyak hutan pohon
buah-buahan. Singkatnya, tidak dapat dikatakan bahwa tidak
terdapat buah-buahan yang dapat dimakan di sekeliling Danau
Maõóakinã. Sebalikya terdapat segala jenis buah-buahan di sana.
Selama musim berbunga, angin bertiup, membawa serbuk sari
dari bunga-bunga yang mekar dan meletakkannya di atas daun-
daun teratai. Tetesan air jatuh di atas daun-daun itu. sebab panas
matahari, serbuk sari ini menjadi matang dan menjadi susu
keras yang disebut madu teratai yang lalu diambil oleh gajah
secara bergiliran dan diberikan kepada Thera.
2446
Tangkai-tangkai teratai besarnya seperti batang pohon kayu atau
genderang besar. Tangkai-tangkai itu juga diambil oleh gajah dan
diberikan kepada Thera. Tiap-tiap tangkai itu mengandung sekitar
satu pattha susu teratai. Susu teratai itu juga dibawa oleh gajah dan
diberikan kepada Thera.
Gajah-gajah itu mencampur susu teratai ini dengan madu
lalu mempersembahkannya kepada Thera. Hewan-hewan itu
meletakkan batang-batang tebu yang sebesar pohon pinang, di atas
batu datar dan menghancurkannya dengan menginjak-injak tebu
ini . Sari tebu ini lalu mengalir ke dalam cangkir
batu dan sebab panas matahari sari tebu ini menjadi gula
tebu yang mengeras seperti susu keras. Gajah ini lalu
membawa kue-kue gula ini dan mempersembahkannya kepada
guru mereka.
Di Bukit Kelà sa di Himavanta tinggal satu dewa bernama Nà gadatta.
Yang Mulia Thera kadang-kadang berjalan hingga di depan pintu
istananya. Dewa itu akan mengisi mangkuk Thera dengan nasi susu
murni yang terbuat dari mentega yang baru dibuat dan bubuk madu
teratai, dewa itu memberi DÃ na mentega harum dan manis serta
susu selama dua puluh ribu tahun dalam masa kehidupan Buddha
Kassapa. sebab itu, nasi susu murni itu yang terbuat dari mentega
dan bubuk madu teratai selalu tersedia baginya sebagai makanan.
Demikianlah, Thera Koõóa¤¤a menetap di dekat Danau Maõóakinã
di Hutan Chaddanta. saat ia merenungkan proses-kehidupannya
(à yusaïkhà ra), ia mengetahui bahwa hidupnya akan segera berakhir.
saat ia merenungkan lebih jauh lagi tentang di manakah ia harus
meninggal dunia, ia berpikir, “Delapan ribu gajah ini yang telah
melayaniku dengan baik, selama dua belas tahun mereka telah
melakukan apa yang sulit dilakukan. Aku sangat berterima kasih
kepada mereka. Pertama-tama aku akan menghadap Buddha,
memohon izin untuk meninggal dunia dan mencapai Parinibbà na
dan aku akan meninggal dunia di dalam gubuk meditasi di dekat
kawanan gajah ini.” sesudah memutuskan demikian, ia melakukan
perjalanan melalui angkasa menuju Vihà ra Veëuvana di Rà jagaha dan
menghadap Buddha. Ia bersujud dengan kepalanya menyentuh kaki
Buddha dan menghisap jari kaki Buddha dengan mulutnya; ia juga
2447
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
merangkulkan tangannya ke kaki Buddha dengan penuh semangat.
lalu ia menyebutkan namanya dalam permohonannya kepada
Buddha, “Buddha Yang Agung! Aku Koõóa¤¤a. Yang Selalu Berkata
Benar, aku Koõóa¤¤a.”
(Di sini alasan Konóa¤¤a Thera menyebutkan namanya yaitu :
Pada waktu itu, di antara para bhikkhu yang mengelilingi Buddha,
beberapa Thera senior mengenalnya sedangkan para bhikkhu muda
tidak mengenalnya. Oleh sebab itu, Thera berpikir, “Para bhikkhu
yang masih baru yang tidak mengenalku mungkin akan mencelaku
dengan pikiran siapakah yang berambut putih, bongkok, ompong,
dan renta ini? Siapakah dia yang sedang berbicara dengan Buddha?
Para bhikkhu muda ini, yang salah paham terhadapku, akan terlahir
di alam sengsara. Jika aku menyebutkan namaku, mereka yang tidak
mengenalku akan segera mengetahui siapa aku. Demikianlah, dua
kelompok bhikkhu—bhikkhu tua yang mengenalku dan bhikkhu
muda yang akan mengetahui namaku—akan gembira dan yakin
dengan pikiran, “Ah, inilah seorang Siswa Besar (Mahà sà vaka)
yang telah melepaskan keduniawian seperti Buddha Yang Agung
di seluruh sepuluh ribu alam semesta, hal ini akan mengantarkan
mereka ke alam dewa.” Untuk menutup jalan menuju alam sengsara
dan membuka jalan menuju alam dewa bagi banyak makhluk, Thera
mengungkapkan namanya saat menghadap Buddha.)
Pada waktu itu, muncullah dalam pikiran Thera Vaïgãsa, “Yang Mulia
A¤¤Ã si Koõóa¤¤a mengunjungi Buddha sesudah dua belas tahun;
ia menyentuh kaki Bhagavà dengan kepalanya dan menghisap kaki
Bhagavà dengan mulutnya. Dan ia juga merangkulkan tangannya
ke kaki Bhagavà . Menyebutkan namanya, berkata, “Buddha Yang
Agung! Aku Koõóa¤¤a. Yang Selalu Berkata Benar, aku Koõóa¤¤a.”
Bagaimana jika aku menyanyikan syair pujian terhadap Thera di
hadapan Buddha.” Maka ia bangkit dari duduknya, membetulkan
jubahnya sehingga menutupi satu bahunya, merangkapkan kedua
tangan ke arah Buddha dan berkata, “Buddha Yang Agung! Syair
ini (pañibhà nagà thà ) muncul di kepalaku! Yang Selalu Berkata Baik,
syair ini mendadak muncul dalam kepalaku!”
Selanjutnya Buddha mengabulkannya dengan berkata, “Putra-Ku,
2448
Vaïgãsa, engkau boleh memiliki syair yang baik di kepalamu jika
engkau menginginkannya.” Maka, Thera Vaïgãsa menyanyikan
syair yang sesuai sebagai pujian terhadap Yang Mulia Thera
Koõóa¤¤a di hadapan Buddha sebagai berikut:
1. Buddha’nu buddho so thero
Koõóa¤¤o tibbanikkamo
Là bhi sukha-vihà rà naÿ
vivekà naÿ abhiõhaso.
“Sang Thera yang dikenal dengan nama suku Koõóa¤¤a dan yang
mengunjungi Buddha Yang Teragung dan Termulia juga dikenal
sebagai Nubuddha, sebab ia yaitu yang pertama memahami
Empat Kebenaran yang mendalam, yang direnungkan melalui
kecerdasan Buddha. Ia memiliki usaha benar yang istimewa
dan kuat. Ia mencapai tiga bentuk kesunyian tanpa terputus,
perlengkapan bagi makhluk yang berbahagia.”
2. Yaÿ sà vakena pattabba
satthu Sà sana kà rinÃ
Sabbassa taÿ anuppattaÿ
appamattassa sikkhato.
“Saÿgha yang terdiri dari para siswa mulia yang mengikuti usaha
Buddha pasti mencapai Empat Jalan, Empat Buah, Pengetahuan
Analitis, dan lain-lain, melalui kebijaksanaan mereka. Pribadi
yang tertinggi dan mulia, Yang Mulia Thera Koõóa¤¤a, mencapai
seluruhnya—semua Jalan, Buah, Pengetahuan Analitis, dan lain-lain,
mendahului semua siswa lainnya dengan mulus didukung oleh
berbagai fasilitas yang diperlukan, sebab ia memiliki perhatian
dan praktik yang tekun di dalam Tiga Latihan.”
3. Mahà nubhà vo tevijjo
ceto pariyà ya kovido
Koõóa¤¤o buddhadà yà do
pà de vandati satthuno,
“Sang Thera yang dikenal dengan nama suku Koõóa¤¤a, yang
2449
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
sangat berkuasa, yang jelas memiliki Tiga Pengetahuan, Pu, Di,
dan â, yang memiliki Cetopariya Abhi¤¤Ã , ia mengetahui semua
aktivitas batin, yang menjadi yang pertama dan terunggul dalam
mewarisi sembilan harta Lokuttara Buddha, dengan penuh hormat
bersujud di kaki teratai Buddha dengan menyentuh kaki Buddha
dengan kepalanya, menghisapnya (dengan mulutnya), dan
merangkulnya dengan tangannya.”
saat syair ini dinyanyikan, kesunyian menguasai kerumunan itu.
Menyadari kesenyapan itu, Thera Koõóa¤¤a berbincang-bincang
dengan Buddha dan memohon izin, “Buddha Yang Agung, proses
kehidupanku segera akan berakhir. Aku akan segera meninggal
dunia dan mencapai Parinibbà na.” “Di manakah engkau akan
meninggal dunia dan mencapai Parinibbà na, putra-Ku Koõóa¤¤a?”
Buddha bertanya. Thera menjawab, “Buddha Yang Agung, gajah-
gajah yang melayaniku selama dua belas tahun telah melakukan
hal-hal yang sulit dilakukan. Oleh sebab itu aku ingin meninggal
dunia dan mencapai Parinibbà na di dekat gajah-gajah itu di danau
di dalam Hutan Chaddanta.”
(Di sini, saat Thera Koõóa¤¤a mengajukan permohonan untuk
mencapai Parinibbà na, jika permohonannya tidak dikabulkan, akan
muncul anggapan bahwa Thera bergembira di dalam lingkaran
penderitaan di tiga alam yang Beliau sendiri mengajarkan merupakan
suatu hal yang menyakitkan. Sebaliknya, jika Beliau mengabulkan,
akan muncul anggapan bahwa Buddha mendukungnya untuk
meninggal dunia. Untuk menghindari kedua anggapan ini, Buddha,
mengambil jalan tengah, bertanya, “Di manakah engkau akan
meninggal dunia dan mencapai Parinibbà na?”)
Selanjutnya Yang Mulia Thera bersujud kepada Buddha dan
berkata, “Buddha Yang Agung, dulu sewaktu Engkau berlatih
dukkaracariya kami mengunjungi Engkau untuk pertama kali untuk
melayani Engkau, sujudku pertama kali kulakukan di Taman Rusa.
Sekarang yaitu yang terakhir!” Sewaktu banyak orang sedang
bersedih, Thera bersujud kepada Buddha, mundur dari hadapan
Beliau dan berdiri di depan pintu, menasihati orang-orang, “Jangan
bersedih! Jangan berduka! Tidak ada satu pun di antara semua
2450
yang berkondisi, entah para Buddha atau para siswa, yang tidak
akan hancur.” Sewaktu orang-orang menatapnya, Thera melayang
ke angkasa dan turun kembali di dekat danau di dalam Hutan
Chaddanta, di sana ia mandi. Selanjutnya ia mengenakan jubahnya
dengan benar, menyingkirkan alas tidurnya dan melewatkan tiga
jaga pertama malam itu dengan berdiam di dalam meditasi Phala
Samà patti. (Ia tercerap dalam Phala Samà patti sepanjang malam
itu.) Menjelang pagi, sebelum terang, Thera memasuki Anupà disesa
Parinibbà na.
Segera sesudah Thera memasuki Parinibbà na, semua pohon-pohon
di Himavanta memekarkan bunga-bunga dan buah-buah di atas
hingga di bawah pohon, mereka juga merunduk. Gajah yang hari itu
mendapat giliran untuk melayani Thera, melakukan tugas-tugasnya
seperti biasa, menyediakan air untuk mencuci muka dan sikat gigi
dari ranting dan berdiri di ujung tembok tidak mengetahui bahwa
Thera telah Parinibbà na. Tidak melihat Thera keluar walaupun ia
telah menunggu hingga matahari terbit, gajah itu mulai bertanya-
tanya, “Sang Thera mulia biasanya melakukan jalan-jalan pagi dan
biasanya mencuci muka. Tetapi sekarang ia tidak keluar dari tempat
tinggalnya bahkan sesudah matahari terbit. Ada apakah gerangan?”
maka ia membuka pintu tempat tinggal Thera lebar-lebar untuk
melihat ke dalam, ia melihat Thera sedang duduk. Ia menjulurkan
belalainya untuk merasakan apakah masih ada napas masuk
dan keluar dan mengetahui bahwa tidak ada napas sama sekali.
lalu ia menyadari bahwa Thera telah memasuki Parinibbà na,
ia memasukkan belalainya ke dalam mulutnya dan memekik keras.
Suara pekikannya bergema di seluruh Himavanta.
Para gajah berdiskusi dan sepakat. Jenazah Thera diletakkan di atas
tubuh gajah yang paling besar. Gajah-gajah lainnya mengelilinginya,
masing-masing memegang ranting yang penuh dengan bunga.
sesudah berulang-ulang mengelilingi Himavanta dan memberi
hormat, mereka membawa jenazah itu ke danau di dalam Hutan
Chaddanta.
lalu Sakka memanggil Dewa Visukamma dan memberi
perintah, “Visukamma! Saudara tua kita, Yang Mulia Koõóa¤¤a,
2451
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
telah meninggal dunia dan memasuki Parinibbà na. Marilah
kita memberi hormat kepadanya. Ciptakanlah sebuah peti mati
berukuran sembilan yojanà dan hiaslah dengan kubah!” Visukamma
menjalani perintah itu, jenazah Thera diletakkan di dalam peti mati
dan dikembalikan kepada para gajah.
Membawa peti mati itu bersama-sama dan berulang-ulang
mengelilingi seluruh kawasan Himavanta yang luasnya tiga ribu
yojanà . Demikianlah gajah-gajah itu memberi penghormatan.
Dari kawanan gajah, peti mati itu diambil alih oleh para dewa di
angkasa yang melakukan Ritual pemakaman. Selanjutnya diambil
alih lagi oleh para dewa hujan, para dewa di awan dingin, dan
para dewa di awan panas, para Dewa Catumahà rà jika, para Dewa
Tà vatiÿsa dan seterusnya. Demikianlah peti mati berkubah itu yang
berisikan jenazah Thera naik hingga ke alam brà hma. lalu
para brà hma mengembalikannya kepada para dewa dan akhirnya
kepada kawanan gajah.
Tiap-tiap dewa atau brahmà membawa dua potong kayu cendana,
yang berukuran sebesar dua jari. Tumpukan kayu cendana itu
tingginya mencapai sembilan yojanà . Di puncak tumpukan kayu
cendana itu diletakkan peti mati yang berisikan jenazah Thera. Lima
ratus bhikkhu datang melalui angkasa dan membicarakan Dhamma
sepanjang malam. Thera Anuruddhà membabarkan khotbah pada
kerumunan itu. Banyak dewa yang berhasil menembus Empat
Kebenaran dan terbebas (dari saÿsà ra).
Kegelapan malam menyaksikan pembakaran jenazah itu. Keesokan
paginya, tumpukan kayu harum yang terbakar itu telah padam dan
para bhikkhu mengumpulkan relik-relik yang seputih kuntum melati
dan membawa serta menyerahkannya kepada Buddha yang telah
menunggu dan menyambut mereka di pintu Vihà ra Veëuvana.
Munculnya Sebuah Cetãya dari Dalam Tanah
Memegang relik-relik ini , Buddha membabarkan khotbah
yang sesuai untuk situasi ini dan membangkitkan perasaan
religius (dalam batin mereka yang hadir), sesudah itu Beliau
2452
merentangkannya tangan-Nya ke arah tanah. Dan sesaat , sebuah
cetãya yang berbentuk gelembung perak besar muncul menembus
tanah. Dengan kedua tangan-Nya Buddha menyemayamkan relik-
relik Thera Koõóa¤¤a di dalam cetãya. Disebutkan bahwa cetãya
ini masih ada hingga saat ini.
Demikianlah kisah Thera Koõóa¤¤a.
(2-3) Dua Siswa Utama: Thera Sà riputta dan Thera Moggallà na
Dalam masa pengajaran Buddha kita ini, Thera SÃ riputta dan Thera
Moggallà na dikenal sebagai dua orang Siswa Utama Buddha. Kedua
Thera ini hampir selalu bekerja sama dalam rangka memenuhi
Kesempurnaan mereka selama masa melakukan kebajikan untuk
mencapai tujuan ini. Dalam kehidupan mereka yang terakhir mereka
juga melepaskan keduniawian bersama-sama dan menjadi bhikkhu
pada waktu yang sama. Demikianlah kisah mereka diceritakan
dalam Aññhakathà dan òãkà . Mengutip naskah-naskah itu, di buku
ini juga kisah mereka disajikan secara bersama.
(a) Cita-cita masa lampau
Berawal dari satu asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa yang lalu,
bakal SÃ riputta, seorang mulia, terlahir dalam sebuah keluarga
brahmana yang dikenal dengan nama Sarada. Bakal Moggà llana,
seorang mulia lainnya juga terlahir di keluarga lain dan bernama
Sirivaóóhana. Mereka yaitu dua sahabat, yang sering bermain
bersama di sawah pada masa kanak-kanak.
Suatu hari sewaktu Sarada sedang memeriksa dan mengatur
kekayaan rumah tangganya (yang diwarisi dari leluhurnya) sebab
ayahnya meninggal dunia, muncullah sebuah pemikiran, “Aku hanya
mengetahui kehidupan sekarang. Aku tidak mengetahui kehidupan
mendatang. Sudah pasti bahwa semua makhluk yang dilahirkan
akan mengalami kematian. Oleh sebab itu, sebaiknya aku menjadi
petapa dan mencari ajaran agar terbebas dari saÿsà ra.”
Sarada mendatangi temannya Sirivaóóhana dan berkata, “Teman
2453
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Sirivaóóhana, aku akan menjadi petapa dan mencari ajaran yang
dapat membebaskan dari saÿsà ra. Apakah engkau mau turut
bersamaku?” “Tidak, teman” jawab Sirivaóóhana. “Engkau,
temanku, pergilah.” lalu Sarada berpikir, “Semua yang
meninggal dunia dan terlahir kembali, tidak ada satu pun yang
mampu mengajak teman dan sanak saudaranya bersamanya.
Sesungguhnya yaitu benar bahwa hanya kebaikan dan kejahatan
yang merupakan hartanya (yang selalu mengikutinya).”
Selanjutnya, ia membuka gudang hartanya dan melakukan dà na
besar-besaran kepada orang-orang miskin, para pengembara dan
pengemis. Ia melakukan perjalanan menuju kaki gunung dan
menjadi petapa. Mereka yang menjadi petapa mengikuti jejak Sarada
berjumlah tujuh puluh empat ribu orang. Petapa Sarada sendiri
berhasil mencapai lima kekuatan batin dan delapan pencapaian
Jhà na. Ia juga mengajarkan kepada pengikutnya bagaimana
melakukan persiapan untuk berlatih meditasi kasiõa dan dalam
latihan meditasi sehingga mereka juga berhasil mencapai kesaktian
dan pencapaian yang sama.
Pada waktu itu, muncullah Buddha Anomadassã di dunia ini. Suatu
hari saat Buddha Anomadassã sedang mengamati dunia makhluk-
makhluk hidup sesudah keluar dari Jhà na Karuõà samà patti saat
dini hari, Ia melihat Petapa Sarada dan memutuskan, “Saat Aku
mengunjungi Sarada, pembabaran Dhamma akan terjadi. Petapa
ini akan mengungkapkan cita-citanya untuk menjadi Siswa Utama
dengan posisi di sebelah kanan Buddha pada masa depan. Temannya
Sirivaóóhana akan melakukan hal yang sama di posisi sebelah kiri.
Pada akhir pembabaran Dhamma ini , tujuh puluh empat
ribu petapa pengikut Sarada akan mencapai kesucian Arahatta.
sebab itu Aku akan mengunjungi tempat Sarada di kaki gunung.”
Maka Beliau membawa mangkuk dan jubah-Nya dan melakukan
perjalanan sendirian tanpa memberitahu siapa pun, bagaikan raja
singa.
saat murid-murid Sarada sedang pergi mengumpulkan buah-
buahan, Buddha Anomadassã berkehendak agar Sarada akan
mengenali-Nya sebagai seorang Buddha Mahatahu, dan dengan
2454
dilihat oleh Sarada, Buddha turun dari angkasa dan berdiri di atas
tanah.
Melihat kebesaran dan keagungan fisik Buddha Anomadassã,
Sarada memelajari tanda-tanda sesuai dengan pengetahuannya
akan tanda-tanda manusia luar biasa dan yakin bahwa, “Seseorang
yang memiliki tanda-tanda ini akan menjadi seorang raja dunia jika
menjalani kehidupan rumah tangga, tetapi jika ia mengenakan jubah
kuning, ia akan menjadi seorang Buddha Mahatahu.” Oleh sebab
itu ia menyambut Buddha, bersujud dengan lima titik tubuhnya
menyentuh tanah dan menyediakan tempat duduk kepada Beliau.
Buddha duduk di tempat duduk ini dan petapa itu juga duduk
di tempat yang semestinya.
Saat itu tujuh puluh empat ribu murid petapa mendatangi guru
mereka sambil membawa buah-buahan dalam berbagai ukuran yang
kaya akan rasa dan nutrisi. Melihat posisi tempat duduk Buddha
dan guru mereka, mereka berkata kepada guru mereka, “Guru,
kami heran, kami yakin bahwa tidak ada orang lain yang lebih mulia
daripada engkau di dunia ini. Tetapi, sekarang sepertinya orang
mulia ini jauh lebih mulia daripada engkau.” Si guru memarahi
mereka dengan berkata, “Betapa beraninya kalian, murid-murid!
Kalian membandingkan sebutir biji wijen dengan Gunung Meru
yang tingginya seratus enam puluh delapan ribu yojanà . Jangan
membandingkan aku dengan Buddha.” lalu para murid
saling berbisik, “Jika orang ini tidak berharga, guru kita tidak akan
mengatakan perumpamaan demikian. Ia pasti seorang yang mulia!”
sesudah itu mereka semua bertiarap di kaki Buddha dan memberi
hormat dengan kepala tertunduk.
Selanjutnya sang petapa memberitahu murid-muridnya, “Anak-
anakku, kita tidak mempunyai persembahan yang layak untuk
Buddha. Saat Beliau mengumpulkan dà na makanan, telah
digunakan untuk mengunjungi kita di kaki gunung. Marilah kita
memberi persembahan sesuai kemampuan kita. Bawalah, murid-
muridku, buah-buahan yang besar dan kecil yang baik dan lezat.”
Demikianlah ia mempersiapkan buah-buahan dan, sesudah mencuci
tangannya, ia sendiri yang mempersembahkan buah-buahan itu
2455
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
dengan meletakkannya di dalam mangkuk. Segera sesudah Buddha
menerima buah-buahan ini , para dewa menambahkan
makanan dewa ke dalam mangkuk. Sarada mempersembahkan air
yang ia saring sendiri. sesudah memakan buah-buahan itu, Buddha
mencuci tangan-Nya dan duduk dengan tenang. Selagi Buddha
duduk, Sarada memanggil semua murid-muridnya dan berbicara
kepada Buddha dengan kata-kata yang akan selalu diingat dalam
waktu yang lama. lalu Buddha berkehendak agar kedua
Siswa Utama-Nya datang mengunjungi-Nya disertai dengan banyak
bhikkhu ke kaki gunung itu. Kedua Siswa Utama (Thera Nisabha
dan Thera Anoma), mengetahui keinginan Buddha, segera datang
disertai seratus ribu Arahanta, dan sesudah memberi hormat kepada
Buddha, mereka berdiri di tempat yang semestinya.
Selanjutnya, Petapa Sarada memanggil murid-muridnya dan
memerintahkan, “Anak-anakku, tempat duduk Buddha masih terlalu
rendah. Ratusan ribu bhikkhu juga masih belum mendapat tempat
duduk. Kalian anak-anakku, harus memberi penghormatan
yang tinggi kepada Buddha, bawalah bunga-bunga yang indah
dan harum dari kaki gunung.” Waktu untuk memberi perintah
itu bahkan terlihat lebih lama. Kesaktian para mulia sungguh
menakjubkan dan tidak terbayangkan. Sesaat , para murid petapa
itu secara gaib membawa bunga-bunga indah dan harum dan
memakai nya sebagai bahan untuk membuat tempat duduk
Buddha yang berukuran satu yojanà . Tempat duduk bunga yang
dibuat untuk kedua Siswa Utama masing-masing berukuran tiga
gà vuta dan untuk bhikkhu lainnya masing-masing berukuran
setengah yojanà atau dua gà vuta. Bahkan untuk bhikkhu termuda
pun tempat duduknya masing-masing berukuran satu usabhà .
sesudah membuat tempat duduk dengan cara demikian, Sarada
berdiri di hadapan Buddha dan berkata dengan kedua tangan
dirangkapkan, “Buddha Yang Agung, silakan duduk di atas tempat
duduk bunga ini demi kesejahteraan dan kebahagiaanku untuk
jangka waktu yang panjang.” Buddha Anomadassã naik ke atas
tempat duduk dan duduk di sana, berdiam dalam Nirodhasamà patti
selama tujuh hari. Mengetahui apa yang dilakukan oleh Buddha,
kedua Siswa Utama dan para bhikkhu lainnya, sambil duduk di
2456
tempat duduk masing-masing, juga berdiam di dalam Jhà na.
Petapa Sarada berdiri, memegang sebuah payung bunga menaungi
Buddha. Sewaktu Buddha sedang berdiam di dalam pencerapan
Nirodhasamà patti, para murid petapa mencari berbagai akar-
akaran dan buah-buahan saat tiba waktunya untuk mengumpulkan
makanan dan memakannya; sedangkan pada waktu lainnya mereka
berdiri merangkapkan tangan ke arah Buddha. Akan tetapi, Sarada,
bahkan tidak bergerak untuk mencari buah-buahan, melainkan
terus memegang payung untuk menaungi Buddha dan melewatkan
waktunya dengan makanan kegembiraan (pãti).
Bangun dari Nirodhasamà patti, Buddha berkata kepada Siswa
Utama, Thera Nisabha yang duduk di sebelah kanan Beliau,
“Berkhotbahlah, Anak-Ku, sebuah khotbah penghargaan atas
persembahan bunga-bunga ini untuk menghormati para petapa
ini.” Dengan penuh kegembiraan bagaikan seorang pahlawan
perang yang menerima anugerah dari raja dunia, dengan kemuliaan
kecerdasannya yang sempurna, Thera Nisabha membabarkan
khotbah. Pada akhir khotbah yang dibabarkan oleh Thera Nisabha,
Buddha meminta Siswa Utama lainnya, Thera Anoma yang duduk di
sebelah kiri Beliau, “Engkau juga, berkhotbahlah, anak-Ku,” dengan
merenungkan kata-kata Buddha seperti yang terdapat dalam Tiga
Piñaka, Yang Mulia Anoma membabarkan khotbah.
Akan tetapi, tidak seorang pun dari para petapa itu yang berhasil
memahami Empat Kebenaran dan mencapai Pembebasan sesudah
mendengarkan khotbah kedua Siswa Utama ini . sebab
itu, selanjutnya Buddha Anomadassã, yang tanpa tandingan,
membabarkan khotbah. Pada akhir khotbah itu, seluruh tujuh puluh
empat ribu petapa mencapai kesucian Arahatta-Phala. Tinggal
Sarada sendiri yang belum mencapai apa pun. lalu Buddha
merentangkan tangan kanan-Nya dan mengucapkan, “Datanglah,
Bhikkhu!” Pada saat itu juga, rambut dan janggut seluruh petapa
ini lenyap dan mereka menjadi bhikkhu yang lengkap dengan
delapan perlengkapan bhikkhu.
2457
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
Cita-cita Sarada untuk Menjadi Siswa Utama
Akan muncul pertanyaan: mengapa ia gagal mencapai Kearahattaan
padahal ia yaitu seorang guru besar? Jawabannya yaitu : sebab
pikirannya terkacaukan. Penjelasan: sejak Thera Nisabha, Siswa
Utama di sebelah kanan Buddha, mulai membabarkan khotbah,
Sarada terus-menerus melamunkan, ”Alangkah baiknya jika aku
dapat mencapai posisi yang sama seperti Siswa Utama ini dalam
masa pengajaran Buddha mendatang.” sebab lamunan ini Sarada
gagal menembus dan mencapai Jalan dan Buah. (Ia tertinggal di
belakang tanpa mencapai Magga dan Phala.)
sesudah murid-muridnya menjadi ehi-bhikkhu, Petapa Sarada
memberi hormat kepada Buddha dan bertanya sambil berdiri
di depan-Nya, “Siapakah nama bhikkhu yang duduk di sebelah
Engkau?” saat Buddha menjawab, “Namanya yaitu Nisabha,
Siswa Utama sebelah kanan yang dalam masa pengajaran-Ku
dapat memutar Pusaka Roda Dhamma sesudah Aku, yang telah
mencapai puncak kebijaksanaan sempurna seorang siswa dan yang
telah menembus lima belas bentuk pa¤¤Ã .” Petapa Sarada berkata,
“Sebagai akibat dari kebajikan yang kulakukan dengan memberi
hormat kepada-Mu dengan payung bunga menaungi-Mu selama
tujuh hari, aku tidak menginginkan untuk menjadi Sakka atau
brahmà . Aku ingin menjadi Siswa Utama sejati yang bertempat
di sebelah kanan, seperti Thera Nisabha mulia ini dalam masa
pengajaran Buddha pada masa depan.”
saat Buddha Anomadassã mencoba untuk melihat ke masa depan
melalui Anà gataÿsa ¥Ã õa apakah cita-cita Sarada dapat tercapai
atau tidak, ia melihat bahwa cita-citanya akan tercapai sesudah
satu asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa. Maka Beliau berkata
kepada Petapa Sarada, “Cita-citamu tidak akan tidak tercapai.
Sesungguhnya, sesudah satu asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa
berlalu, Buddha Gotama akan muncul di tiga alam. Ibu-Nya yaitu
Ratu Mahà mà yà , ayah-Nya yaitu Suddhodana, putra-Nya yaitu
Rà hula, Siswa Utama di sebelah kiri yaitu Moggallà na. Tetapi
engkau akan menjadi Siswa Utama di sebelah kanan Buddha
Gotama bernama SÃ riputta. sesudah meramalkan demikian, Beliau
2458
membabarkan Dhamma lagi dan melayang ke angkasa disertai oleh
para bhikkhu.
Petapa SÃ rada lalu mendatangi para Thera yang yaitu mantan
murid-muridnya dan berkata, “Yang Mulia, mohon sampaikan
kepada temanku Sirivaóóhana, ‘temanmu Petapa Sarada telah
bertekad di kaki Buddha Anomadassã untuk mencapai posisi Siswa
Utama di sebelah kanan. Untuk Siswa Utama di sebelah kiri Gotama,
Buddha masa depan, engkau boleh bertekad.’” sesudah memberi
pesan demikian, Sarada segera bergegas mendahului mereka melalui
jalan lain dan berdiri di pintu rumah Sirivaóóhana.
Berpikir “Oh, guruku telah pulang sesudah sekian lama. Ia telah
lama pergi.” Sirivaóóhana menyediakan tempat duduk kepada
petapa itu lalu ia sendiri duduk di tempat yang lebih rendah
dan berkata, “Yang Mulia, tetapi aku tidak melihat murid-murid
pengikutmu.” “Ya, mereka tidak datang, Teman. Buddha Anomadassã
mengunjungi pertapaan kami; kami memberi hormat kepada
Saÿgha yang dipimpin oleh Buddha sebatas kemampuan kami.
Buddha membabarkan Dhamma kepada kami. Pada akhir khotbah
itu, kecuali aku, seluruh tujuh puluh empat ribu petapa berhasil
mencapai kesucian Arahatta dan menjadi bhikkhu.” “Mengapa
Engkau tidak?” tanya Sirivaóóhana. “sesudah melihat Thera Nisabha,
Siswa Utama di sebelah kanan Buddha,” jawab Sarada, “aku bercita-
cita untuk mencapai posisi yang sama pada masa pengajaran Buddha
mendatang Gotama. Engkau juga sebaiknya bertekad untuk menjadi
Siswa Utama (kedua) yang duduk di sebelah kiri Buddha.” saat
petapa itu mendesaknya demikian, temannya menjawab, “Aku
belum berpengalaman berbicara kepada Buddha.” lalu Sarada
mendorongnya dengan berkata, “Biarlah urusan berbicara kepada
Buddha menjadi tanggung jawabku. Tugasmu yaitu melakukan
kebajikan (adhikà ra).”
sesudah mendengarkan nasihat Sarada, Sirivaóóhana meratakan
tanah seluas delapan pai di depan pintu rumahnya dan menutupinya
dengan pasir putih, lalu menebarkan bunga-bunga berwarna-
warni dalam berbagai jenis dengan beras panggang sebagai jenis
kelima. Ia juga membangun sebuah pondok beratapkan bunga
2459
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
teratai biru, mempersiapkan tempat duduk untuk Buddha dan
mempersiapkan segala sesuatunya untuk menghormati Buddha.
lalu ia menyampaikan pesan kepada Sarada untuk
mengundang Saÿgha yang dipimpin oleh Buddha. Menerima pesan
dari Sirivaóóhana, Sarada mengundang Saÿgha yang dipimpin oleh
Buddha ke rumah Sirivaóóhana.
Sirivaóóhana menyambut Buddha dan mengambilkan mangkuk
dan jubah dari tangan Buddha dan dengan penuh hormat
menuntun Buddha menuju pondok dan mempersembahkan air
kepada Buddha dan para bhikkhu, memberi persembahan
makanan-makanan lezat kepada mereka. sesudah selesai makan, ia
mempersembahkan jubah-jubah bernilai tinggi kepada Buddha dan
Saÿgha. Selanjutnya ia berkata, “Buddha Yang Agung, kebajikan
yang kulakukan ini bukan untuk mendapatkan imbalan yang
kecil. sebab itu, izinkanlah aku melakukan hal ini selama tujuh
hari.” Buddha mengabulkan dengan berdiam diri. Sirivaóóhana
lalu melakukan persembahan besar (mahà dà na) dengan
cara yang sama selama seminggu. Sewaktu berdiri dengan tangan
dirangkapkan ke arah Buddha, ia berkata, “Buddha Yang Agung,
temanku Sarada telah bercita-cita untuk mencapai posisi sebagai
seorang Siswa Utama di sebelah kanan Buddha Gotama. Aku juga
bercita-cita untuk mencapai posisi Siswa Utama di sebelah kiri
Buddha Gotama itu.”
saat Buddha melihat ke masa depan, ia melihat bahwa cita-
cita Sirivaóóhana akan tercapai. Maka Beliau meramalkan, “Satu
asaïkhyeyya dan seratus ribu kappa dari sekarang, engkau akan
menjadi Siswa Utama kedua, di sebelah kiri.” Mendengar ramalan
Buddha ini , Sirivaóóhana gembira. sesudah membabarkan
khotbah penghargaan atas dà na ini , Buddha kembali ke vihà ra
disertai oleh para bhikkhu. Sejak saat itu hingga meninggal dunia,
Sirivaóóhana berusaha untuk terus melakukan kebajikan dan saat
meninggal dunia, ia terlahir kembali di Alam Dewa Kà mà vacara.
Petapa Sarada mengembangkan empat praktik luhur (Brahmà vihà ra)
dan terlahir kembali di alam brahmà .
2460
(b) Kehidupan pertapaan dalam kehidupan terakhir
Komentar tidak menjelaskan tentang mereka dalam kehidupan-
kehidupan berikut sesudah kehidupan mereka sebagai Petapa Sarada
dan Perumah tangga Sirivaóóhana, tetapi menjelaskan tentang
kehidupan terakhir mereka.
Sebelum munculnya Buddha Gotama kita, seorang baik, bakal Thera
SÃ riputta yang dulunya terlahir sebagai Petapa Sarada dikandung
dalam rahim seorang perempuan brahmana, istri seorang pedagang
bersama Råpasà rã, di Desa Upatissa dekat Kota Rà jagaha. Pada hari
yang sama, seorang baik lainnya, yang dulunya terlahir sebagai
Sirivaóóhana, sahabat Sarada, bakal Moggallà na, dikandung dalam
rahim Moggalã (istri pedagang lain) di Desa Kolita juga di dekat
RÃ jagaha. Kedua keluarga ini telah bersahabat sejak tujuh
generasi sebelumnya.
Untuk kedua anak yang sedang dikandung itu, bakal Siswa Utama,
perlindungan diberikan pada hari yang sama. Juga saat mereka
dilahirkan sepuluh bulan lalu , masing-masing bayi diasuh
oleh enam puluh enam pengasuh. Pada hari pemberian nama, putra
yang dilahirkan oleh Råpasà rã diberi nama Upatissa sebab ia yaitu
keturunan dari kepala desa Upatissa. Putra yang dilahirkan oleh
Moggalã diberi nama Kolita sebab keluarganya yaitu pemimpin
Desa Kolita. Saat kedua anak itu tumbuh dewasa, mereka menguasai
berbagai macam keahlian.
Perlengkapan Ritual untuk pemuda Upatissa terdiri dari lima ratus
tandu emas yang selalu menyertainya ke mana pun ia pergi, ke sungai,
ke taman atau ke bukit untuk berolah-raga atau bersenang-senang.
Sedangkan pemuda Kolita mendapat lima ratus kereta yang ditarik
oleh kuda-kuda terbaik yang selalu menyertainya. Di RÃ jagaha, saat
itu sedang berlangsung festival tahunan yang diadakan di puncak
bukit. Dipan untuk kedua sahabat itu dipersiapkan di tempat yang
sama. Mereka berdua duduk bersama, dan sewaktu menonton
pertunjukan, mereka tertawa saat pertunjukan humor dan ketakutan
saat pertunjukan horor; mereka juga memberi uang saat mereka
diharapkan untuk memberi uang.
2461
Empat Puluh Satu Arahanta Thera dan Gelar Etadagga
sesudah menikmati pertunjukan itu berkali-kali, suatu hari mereka
menjadi lebih tenang dalam menonton pertunjukan; mereka
tidak lagi tertawa pada adegan lucu, tidak lagi ketakutan pada
adegan yang menyeramkan. Dan juga tidak memberi uang
saat diharapkan. Keduanya berpikir, “Manakah hal-hal menarik
bagi mata dalam festival ini? Mereka yang ambil bagian dalam
pertunjukan ini dan mereka yang datang untuk menonton, semuanya
akan lenyap sebelum seratus tahun berlalu. sebab itu, kami harus
mencari bentuk-bentuk spiritualitas untuk menghindarkan diri
dari saÿsà ra.” Mereka terus-menerus merenungkan kesusahan
dalam hidup.
Selanjutnya Kolita berkata kepada sahabatnya Upatissa, “Teman
Upatissa, engkau terlihat tidak gembira seperti hari-hari sebelumnya.
Apakah yang engkau pikirkan, Sahabatku?” Upatissa menjawab,
“Sahabat Kolita, aku tidak melihat adanya sesuatu yang berharga
dalam menonton pertunjukan ini. Menikmati festival ini sungguh
tidak berguna, kosong. sebab itu aku duduk di sini dengan
pikiran bahwa aku harus mencari sesuatu untuk diriku yang dapat
mengantarkan aku menuju kebebasan dari saÿsà ra.” sesudah berkata
demikian, ia bertanya, “Sahabat Kolita, mengapa engkau juga terlihat
bersedih dan tidak gembira?” Jawaban Kolita sama dengan jawaban
Upatissa. Mengetahui bahwa sahabatnya merenungkan hal
.jpeg)
.jpeg)





