Yudaisme Studi Agama 4

 


gitu menjadi mudah, namun 

justru lebih sulit untuk mendefinisikan apa itu Yahudi 

dan apakah status Yahudi itu.152 Max Weber menyebutkan 

bahwa konflik antara realitas empirik dengan cita-cita dan 

imaji kerapkali menghasilkan pelbagai ketegangan baik 

di dalam diri manusia maupun relasinya dengan dunia di 

luar dirinya.153 Paradoks pengalaman etnisitas Yudaisme 

kemudian terus dengan serius diupayakan mengingat 

persoalan modernitas yang kompleks. Hal ini mirip seperti 

kritik pada asumsi Weberian yang lebih menekankan studi 

Yudaisme pada kesejarahan daripada keilmuan sosial.


nilai Yudaisme sebagai refleksi masa lalu, masa mendatang 

serta dewasa ini. 

Dalam pencarian bentuk formal kebangsaan Yahudi 

terkait dengan identitas mereka di antara negara-negara 

Eropa dan tingkat kepercayaan terhadap kelangsungan 

hidup dan kenyamanan melangsungkan kehidupan sebagai 

Yahudi, Isaacs lebih lanjut mencatat bahwa bagi sebagian 

Yahudi, kesukaran untuk mendefinisikan keyahudian tidak 

dihubungkan dengan nosi “kebangsaan”. Yahudi utamanya 

yang datang dari Jerman dan negara-negara Eropa 

Barat sudah tidak punya alasan lagi untuk mempercayai 

keamanan dan kesejahteraan yang ditawarkan kepada 

mereka, bangsa Yahudi, melalui “kebangsaan” negara-

negara itu. Tetapi lain halnya bagi sebagian besar Yahudi, 

dengan pengalaman tidak pernah menjadi warga negara 

dari negara-negara mana mereka itu datang, baik di Eropa 

dari Jerman ke arah timur, atau di Afrika utara dari Maroko 

sampai Mesir atau dari Yaman, Irak, atau dari negara Arab 

manapun. Apa pun artinya bagi orang Yahudi ini, yang 

terpenting bagi mereka yaitu  untuk memperoleh tempat 

berlabuh dari kebangsaan baru Israel, yakni “bertahan 

hidup”. Dengan pemerolehan terciptanya negara Yahudi, 

sebagai bangsa Yahudi, mereka berharap banyak untuk 

mendapatkan keamanan dan kesejahteraan dalam pelbagai 

bentuk apapun, sebagai tempat bertahan dari dunia yang 

tidak ramah dan memberikan nosi permusuhan terhadap 

Yahudi.

mengungkap ketercerabutan yang khas karena terkait 

dengan struktur dan nilai disamping aspektual kohesi 

dalam perspektif antropologi masyarakat beragama.156 

Mitos nasionalisme seperti cita-cita yang terus menerus 

hidup dalam visi Yudaisme. Bersamaan dengan mitos 

nasionalisme Yudaisme, mereka mencari cantelan rekognisi 

komunitas dengan mengarahkan visi Yudaisme pada 

mitos bangsa penyeberang. Deskripsi tantangan Yudaisme 

baik di Eropa, Kana’an dan Amerika melibatkan kembali 

pendekatan holisme. Sebagai ciri pendekatan studi agama 

perspektif antropologis, ia berkenaan dengan praktek 

penghidupan, kekerabatan, kelurga, sekte dan politik secara 

interkonektif. Pengalaman otonom Yudaisme hampir tidak 

dapat ditemukan tatkala perjumpaan pranatanya dengan 

entitas lainnya yang memiliki struktur sosio kultural 

keagamaan majemuk. 

Persoalan berikutnya terkait antara identitas Yahudi 

dan agama yaitu , lalu apa artinya menjadi Yahudi? 

Maka pertanyaaan itu menjadi tetap pertanyaan yang 

menggantung, tidak terjawab. Menurut Isaacs, pertanyaan 

itulah yang menjadi masalah dalam mendefinisikan kembali 

identitas umum sebagai Yahudi, yakni, menetapkan yang 

sebenarnya masih hidup. Bagi sebagian besar Yahudi, hal 

ini  menjadi masalah pribadi. Namun terlepas dari 

mereka sebagai individu, hal itu juga berhubungan dengan 

arti dari agama Yahudi sebagai agama, antara hubungan 

negara dan agama di Israel, antara agama Yahudi sebagai 

agama negara Israel dan agama Yahudi di suatu tempat di 



dunia, antara agama Yahudi dan Zionisme duniawi, antara 

kaum Ortodoks, reformasi maupun ateis, antara nilai 

agama universal dan nilai otoritas agama seperti gereja 

dari bangsa yang merdeka dan kebutuhan-kebutuhan 

negara yang mendesak.157

Dalam konteks antara Yahudi sebagai agama dan 

sekaligus sebagai bangsa, Isaacs menekankan persoalan 

di Israel, Palestina dan negara mukim Yahudi dewasa ini, 

bahwa isu-isu ini timbul di dalam ranah yang sama dari 

kelangsungan hidup itu sendiri, karena nasionalisme 

bangsa Yahudi tidak hanya untuk menyelesaikan masalah 

itu saja. Sebagai penjelas lebih lanjut, nasionalisme 

Israel harus berhadapan muka dan bercampur melawan 

nasionalisme Arab, tidak hanya negara-negara Arab yang 

mengelilingi Israel saja, namun juga dari Arab Palestina 

yang nasionalisme tandingannya menuntut terhadap 

negara Israel itu sendiri.158 Pengalaman Yahudi menegaskan 

relasional kuat antara aspek religi yang lebih menekankan 

relasi sakralitas dengan spektrum eksternal berupa 

sosio kultural dan geostrategis keagamaan. Epistemologi 

pemahaman atas doktrin Yudaisme terkait liturgi Perjanjian 

Lama mencirikan pendekatan filosofis studi agama yang 

fokus pada apa dan bagaimana pengetahuan manusia 

atas liturgi dan Transendensi.159 Pemahaman manusia di 



sini terlihat jelas seperti pendefinisian konteks berteologi 

sosial Yudaisme yang fokus pada agensi manusia. 

Melalui empat kali peperangan dan ketegangan yang 

terus menerus, bagi Israel hal ini bukan hanya berhadapan 

dengan musuh yang ingin menghancurkan mereka, 

namun juga menegaskan dari kelangsungan hidup mereka 

sendiri. Pendirian negara Israel terjadi karena kebutuhan 

yang diperlukan untuk tetap hidup. Tetapi kini, banyak 

diantara orang-orang Yahudi Israel merasakan adanya 

suatu kebutuhan yang mendesak dan mendalam, terutama 

di antara pemikir muda, untuk mengerti apa sebenarnya 

yang membuat kedudukan mereka sebagai sebuah negera 

Yahudi yang merdeka, menjadi entitas yang begitu berbeda. 

Apakah kebangsaan mereka itu pada tingkatan tertentu 

bersifat unik dan penuh dengan arti terhadap semua umat 

manusia, atau apakah mereka itu, seperti halnya nenek 

moyang mereka di masa lalu. Pertama, menekan Samuel 

untuk memberikan kepada umat Yahudi seorang raja, dan 

setelah melalui semua itu, akhirnya hanya “seperti semua 

bangsa-bangsa yang lain?” Inilah pertanyaan yang tidak 

hanya untuk orang-orang Yahudi saja di Israel, namun juga 

untuk semua orang Yahudi di dunia, terutama di Amerika, 

yang juga harus menentukan bagaimana mereka harus 

dapat membedakan antara agama dan kebangsaan mereka, 

serta untuk menentukan di mana, jikan mereka berada di 

mana saja, mereka akhirnya akan termasuk dalam ikatan 

yang mana.

dengan menekankan aspektual esoterik saja. Namun 

pelbagai penjelasan persoalan Yahudi tidak terpisah-pisah 

karena justru yang eksoterik ini mempengaruhi nilai-nilai 

intrinsik Yudaisme berupa keberlangsungan komunitas 

dan kebebasan beragama.


BANGSA YAHUDI DALAM 

PERSPEKTIF SOSIOLOGIS-

ANTROPOLOGIS: PENGALAMAN 

HISTORIS YAHUDI AMERIKA

Bab ini memberikan gambaran komunitas 

Yahudi di Amerika Serikat, walaupun jika 

ditelusuri terdapat pula sejumlah komunitas 

di Brazil, Canada serta negara-negara Amerika lainnya, 

namun sejumlah sumber menyebut-nyebut bahwa secara 

kuantitas, konsentrasi Yahudi di luar Israel, yaitu  di 

Amerika Serikat. Dalam pemaparan Nathan Glazer dan 

Daniel Patrick Moynihan, jika seorang pemuka agama 

Yahudi menanyakan kepada orang Yahudi pada umumnya 

tentang “Berapa jumlah sebenarnya orang Yahudi?” dan 

ketika dijawab, maka ia bertanya balik dengan penuh 

perhatian, “Bagaimana kamu dapat mengetahuinya?”


Persoalan identifikasi Yahudi, Yudaisme dan penandanya 

yaitu  aspek sepanjang hayat serta pasti muncul. Dalam 

sejarah Yudaisme, pertemuan dengan tanah Eropa dan 

tanah Kana’an membuktikan identifikasi manusia Yahudi 

dan religi dinamisnya tidak lah stagnan. Terlebih persoalan 

hereditarianisme atau rasisme menjadi pertanyaan yang 

tidak dapat terjawab dengan sepintas lalu.162 Ia mirip 

seperti pertanyaan Moynihan atas populasi demografis 

Yahudi. 

 Harold R. Isaacs mengutarakan bahwa pada pe-

riode antara tahun 1960-1970an, beberapa orang Yahudi 

di Amerika Serikat mengingat-ingat kembali untuk me-

mikirkan kembali kepada “Ke-Yahudi-an” yang menjadi 

pengalaman baru masa itu. Gerakan-gerakan baru, yang 

banyak mempunyai kesamaan komunal, tumbuh di antara 

anak-anak muda radikal dan para pengganti mereka yang 

bersifat non-politik dalam generasi intelektual perguruan 

tinggi tahun 1970-an yang berkelompok dan belum lama 

mencatatkan keberhasilan dalam pembuatan program 

studi bangsa Yahudi.

terus mengalami perubahan radikal. Penerjemahan 

konsep keselamatan, menurut Weber, cukup berarti bagi 

perubahan sosial. Weber percaya bahwa perubahan 

berbasis restrukturasi keyakinan di dunia ini yaitu  bentuk 

keselamatan. Capaian yang diharapkan yaitu  bentuk 

perilaku etis yang diperlukan dalam pengejawantahan 

visi baru.164 Konsep Pendidikan seperti terbaca dalam 

sejarah Yudaisme menjadi salah satu bentuk pranata yang 

mendorong pelbagai perubahan dan kesadaran. 

 Tentang revitalisasi terhadap agama dan sisi 

romantisisme klan, banyak orang-orang muda yang 

dibesarkan dalam lingkungan terpadu, atau mempunyai 

orangtua yang menganut agama bergaya angin-anginan, 

mulai mencari jalan mereka sendiri untuk menjadi lebih 

“Yahudi”, di dalam eskperimen persaudaraan ysng baru 

itu atau di dalam persatuan persaudaraan yang telah lama 

didirikan. Beberapa di antara mereka kembali pada gaya 

lama Ortodoks, yang telah pula mengalami perubahan 

serta memperoleh kekuatan dan kewibawaan baru. Salah 

seorang guru kelompok Hasidik pada kelompoknya di depan 

kampus perguruan tinggi California, mengatakan bahwa 

“barang yang kita miliki untuk diperdagangkan yaitu  

tradisi, sedangkan perhatian kita yaitu  kepada kaum 

muda Yahudi yang merasa tidak mempunyai pijakan, serta 

ditinggalkan mengembara dalam masyarakat teknologi, 

komputer dan politik. Dalam konteks ini, sebagaimana 

orang-orang muda Yahudi ini berminat dalam politik, 

yakni politik yang berhubungan dengan keadaan orang-



orang Yahudi yang sangat memprihatinkan di Uni Sovyet 

(sebelum runtuh pada dekade 90-an) atau hubungan 

antara Yahudi dengan Israel.165 Problem keyahudian ini 

menegaskan kesadaran kelompok dengan penghayatan 

mitos penderitaan namun pada saat yang sama terkait 

pula dengan pengharapan masa depan. Terlebih kelompok 

keagamaan Hasidik terlihat lebih kuat karena esensi 

kewahyuan yang melingkupinya. Perbedaan klaim relasi 

Yudaisme terutama masalah pemeluk Yahudi dengan 

yang Transenden mengulang-ulang ingatan kolektif atas 

momen kedekatan dengan yang adikodrati. Namun resiko 

yang tertanggung juga terbuka mengingat posisi Hadidis 

yang sejalur dengan Kabbalistik akan berhadapan dengan 

pendirian dan respon kaum Ortodoks. Dinamika kedekatan 

atau sebaliknya berupa penjagaan jarak pada politik 

nasionalisme Yudaisme yaitu  persoalan hermeneutik 

Yudaisme yang akan selalu terus terjadi. Parson melihat 

perubahan eksistensial Yahudi dibandingkan dengan masa 

sebelumnya di Kawasan Eropa.166 Hambatan ini tidak me-

nyurutkan optimisme kebertahanan Yudaisme di dunia. 

 Kecenderungan-kecenderungan di atas dengan 

bobot sosial atau kekuatan daya tahan, membuktikan 

bahwa mereka yaitu  bagian dari pelarian besar 

karena tidak adanya norma-norma dan bentuk-bentuk 

pengupayaan untuk memperoleh jaminan dari susunan 

struktur, kepastian, pertalian hubungan, tata tertib, dan 



kewibawaan yang lebih besar. Dalam konteks keber-

agamaan individu dan persekutuan, seperti yang 

disinggung sebelumnya dalam pelbagai dimensi agama 

dalam ikhtisar ini, tujuan dari mereka yaitu  menuju 

kedamaian yang lebih besar. Namun Isaacs mengingatkan 

bahwa kelegaan apa pun yang diperoleh individu dengan 

jalan mengundurkan diri, misalnya, dari agama, jelas ia 

memperolehnya bukan sebagai individu sendiri namun 

sebagai anggota dari kelompok. Bahkan di dalam tafakur 

yang sangat khusuk atau di dalam sebuah sekte yang 

luar biasa, dan tentu pula pada semua kebangkitan dan 

sekte milineal, sesama perenung dan sesama penganut 

selalu bersifat penting untuk proses tafakur itu. Bukan 

hanya kedamaian rohani yang dicari, namun juga ikatan 

definisi jasmani, rasa kebersamaan dengan orang lain yang 

mempunyai perasaan sama. Para pencari keselamatan 

ini tidak akan mengundurkan diri ke daerah pegunungan 

yang sepi atau berjaga di gurun yang luas, namun mereka 

akan berkumpul di gereja-gereja, di tempat-tempat ibadah, 

dan pada kelompok-kelompok persekutuan doa. Seorang 

perempuan muda anggota perkumpulan Yahudi di kampus 

Ohio mengatakan bahwa “Rasanya sulit menjadi Yahudi 

seorang diri. Maka dengan melihat setiap orang lain yang 

sedang berdoa, tentu akan merasakan kehangatan yang 

luar biasa”.


dengan tantangan kecenderungan individuasi yang masih 

tetap relatif ada. Individuasi mempunyai ekses anomim 

yang perlu diseimbangkan dengan kebutuhan-kebutuhan 

konggregasi dan jemaat. Pada era digital, individuasi 

berbarengan dengan proses societalisasi Wilsonian sebagai 

jawaban kegelisan sementara pemeluk Yudaisme di dunia 

Baru.168 Anonimitas masyarakat modern sesungguhnya 

mendapatkan jawabannya pada proses identifikasi diri 

dengan pengelolaan makna, tujuan dan nilai sesuai dengan 

pengalaman pribadi yang berbeda-beda. Pada akhirnya 

startegi ini memperjelas aspek empowerment baik personal 

maupun spiritual Yudaisme. 

 Dalam konteks Yahudi selanjutnya, utamanya dalam 

proses pengakuan terhadap keberadaan Yahudi, beserta 

pula komunitas etnis lainnya di Amerika, Amy Gutmann 

meng isyaratkan perlunya merespon pertanyaan seperti 

dalam perihal apa dan bagaimana seorang Yahudi dengan 

iden titasnya dianggap sebagai suatu identitas secara 

publik ?169 Problem modernitas semacam menuntun 

kita pada pembacaan tindakan komunikatif seperti pe-

nutur an Habermas sebagai jembatan dilema individu-

masyarakat.170 Masyarakat yang mengakui identitas 

sese orang individu, maka masyarakat itu merupakan 

masya rakat yang benar-benar demokratis, karena 



identitas individu merupakan hal yang diperlukan dalam 

dialog-dialog kolektif. Dalam hubungan inilah, dimensi 

kolektif maupun persekutuan dalam dimensi agama 

dapat dilacak. Gutmann mengutarakan pula bahwa dalam 

masyarakat multikultural dan komunitas yang memegang 

pentingnya kebebasan dan kesetaraan yang seimbang bagi 

semua orang, sesungguhnya terletak pada penghormatan 

yang timbal-balik dalam melihat perbedaan-perbedaan 

intelektual, politik dan budaya. Penanda multikulturalis 

ini bagi sebagian Yahudi, merupakan aspek yang penting 

mengingat ambiguitas-ambiguitasnya di antara agama 

dan bangsa.171 Praktek Yudaisme memang berada di 

persimpangan tidak saja dalam kerangkan dualisme etnis 

dan religi, namun juga menunjukkan citra dan strategi 

dalam dilemma manusia modern. Tidak cukup mudah 

untuk mencapai kesetaraan Gutmaan, namun Weber 

menambahkan optimisme Yudaisme atas keyakinan etis 

sebagai modal sosial-keagamaan.172 Paralelisme etika 

agama-agama, termasuk Yudaisme dan Protestan, yaitu  

konsep eksoterisme agama yang menjadi contoh teologi 

kontinuitas. 

Dalam situasi bagaimana kontributif publik Yahudi 

tentang identitas mereka di Dunia Baru, Amerika, dapat 

ditelusuri dari persoalan melting pot (periuk pelebur). 

Seperti ditemukan dalam disiplin ilmu sosiologi, istilah 



“melting pot” yang lazim dipakai dalam pertautan identitas 

baru dengan identitas yang lama serta secara antropologis, 

tergambarkan pada apa yang dilakukan, dicitakan serta 

dipertanyakan oleh seorang Yahudi Amerika bernama Israel 

Zangwill pada awal abad ke-20. Arthur Mann, mengungkap 

pengalaman Zangwill sebagai Yahudi yang mengalami 

aspek pertautan dengan darah Yahudi, kedekatan serta 

secara paradoks penilaian yang ambigu terhadap identitas 

Yahudi. Dimensi pengalaman dalam studi agama Yahudi, 

dapat saja ditemukan pada pengalaman manusia Yahudi 

kebanyakan yang penuh pergolakan antar individu, 

pertalian dengan kelompok baru serta penerimaan maupun 

penolakan individu ini  oleh kelompok atau suatu 

persekutuan agama. 173 Resiko rasionalitas yang menjadi 

aspek fundamental pandangan modern dapat terlihat 

dengan pelbagai upaya individu melakukan interaksi sosial 

terkait dengan kelompok sosial yang ingin ia dekati. Bryan 

Wilson meramalkan hal ini akan terjadi dalam masyarakat 

modern dimana peran sosial justru berhadapan dengan 

identitas privat sekaligus sosial pada sementara kasus 



otentisitas pemeluk agama.174 Zangwill berada pada 

pusaran pertemuan antara aspektual profan yang coba 

ia bangun justru untuk respon persoalan kompleksitas 

religiositas Yudaisme.

Apabila dipandang dalam perspektif historis-

sosio-religi, keberadaan Yahudi di Amerika relatif me-

ngalami perjumpaan yang berbeda dengan pengalaman 

keberagamaan di Eropa, karena beberapa “persamaan 

nasib” dengan Protestan Inggris. Terlebih lagi, Calvinisme 

merujuk pada kitab Perjanjian Lama, yang begitu 

diperhatikan dalam konteks Kitab-kitab Yahudi. Pemaparan 

berikut melibatkan suatu situasi masyarakat Yahudi dalam 

diaspora, yang tidak saja membentuk golongan-golongan 

Ortodoks, Konservatif dan Reformasi, namun melibatkan 

nosi “cross-cultural” sebagaimana disebut-sebut Ninian 

Smart dalam tipologi dimensi. Dengan 

demikian studi agama, selain memandang penting pel-

bagai dimensi dimensi agama, memerlukan ruang-ruang 

pendalaman kajian seperti yang disebut pula oleh Smart, 

untuk menggali pengalaman-pengalaman manusia ber-

agama dengan keyakinan yang dipeluknya dalam konteks 

yang disebut sebagai kajian “Cultural Studies”.

Terkait dengan agama Yahudi di Amerika, peranan 

orang Yahudi dan agama Yahudi dalam membentuk budaya 

Amerika perlu dicermati dengan seksama. Walaupun 

secara jumlah, keseluruhan anggota etnis Yahudi dapat 

dikatakan jauh lebih sedikit disbanding, misalnya dengan 


kelompok imigran Protestan, tetapi pengaruh Yahudi jauh 

tidak sebanding dengan jumlah anggota mereka. George 

M. Marsden mencatat bahwa lebih dari kelompok imigran 

Protestan yang mana pun, orang Yahudi telah menjadi 

bagian integral dari kegiatan budaya bangsa Amerika, 

namun mereka tetap mempertahankan identitas etnis 

mereka.175

Salah satu alasan adanya keadaan yang kontras 

itu yaitu  bahwa agama telah memainkan peranan yang 

berbeda dalam komunitas Yahudi dari peranan kelompok 

etnis lain. Kebanyakan kelompok etnis berasal dari 

negara di mana agama mereka dominan, biasanya dengan 

dukungan hukum. Di negeri baru mereka, bentuk-bentuk 

tradisional agama ini  memainkan suatu peranan 

yang menentukan di dalam komunitas imigran, tetapi 

tidak memberikan banyak bantuan dalam hubungannya 

dengan budaya Amerika yang lebih luas. Orang -orang dari 

kelompok etnis yang ingin mempertahankan identitas etnis 

yang jelas, biasanya beragama kategori tradisional. Pilihan 

yang ada yaitu  praktek keagamaan tradisional, atau 

Amerikanisasi menyeluruh dengan meninggalkan agama 

dan komunitas etnisnya.176 Proses kompleksitas penataan 

diri Yudaisme menunjukkan cara-cara membentuk 

legitimasi sosial, atau dalam Bahasa Karl Mannheim, 

sebentuk ‘pemeliharaan dunia’.177 Kenyataan yang terjadi 



menjelaskan pola pembentukan citra Yudaisme yang 

mirip dengan deksripsi ciri Calvin yang populer di masa 

pembentukan filosofi Amerika. Terdapat panggung besar, 

meminjam konsep Erving Goffman, sebagai wahana peran 

kelompok Yudaisme dalam upaya pemerolehan dukungan 

sosial.178 Proses negosiasi berulang terjadi antara kutub 

sekuler dengan reposisi keagamaan Yudaisme. Pada pem-

bahasan selanjutnya di bab ini, kecenderungan sekularistik 

Yudaisme tidak berlaku utuh namun kembali kepada mana-

mana yang lebih menguntungkan untuk proses adaptasi di 

lingkungan yang multireligius dan berkebudayan plural. 

Orang Yahudi, sebaliknya, menurut Marsden, selalu 

hidup dalam kelompok minoritas di negara-negara yang 

didominasi oleh agama dan politik orang lain. Mereka telah 

mempunyai pengalaman hidup di “ghetto” selama banyak 

generasi, suatu kehidupan yang baru bagi imigran yang lain. 

Dan identitas etnis mereka tidak tergantung pada praktek 

keagamaan mereka. Walaupun bagi orang Yahudi yang 

setia pada tradisi, mereka mematuhi hukum keagamaan 

dan menjalankan upacara keagamaan secara semestinya 

yaitu  penting bagi keanggotaan mereka dalam komunitas 

Yahudi, orang yang tidak mematuhi semua itu tetap mem-

punyai identitasnya dalam komunitas. Keyahudian yaitu  

suatu status keagamaan maupun etnis.179 Dualisme ke-

yahudian sebagai persoalan etnisitas dan religi sesungguh-

nya yaitu  model studi agama yang dapat memberikan 


contoh bagaimana persoalan kewargaan, nasionalisme, 

agama, geografi dan sosial politik saling terkait-kelindan. 

Turner misalnya menyebutkan persoalan agama menjadi 

tidak dapat dipisahkan dari konsep negara, etnisitas dan 

desekularisasi maupun resakralisasi.180 Hal ini meng-

isyaratkan titik pijak persoalan Yudaisme bersifat multi-

dimensi dengan pluralitas gagasan dan perspektif. 

 Perbedaan-perbedaan kondisi sosial-ekonomi para 

imigran Yahudi, menurut Marsden, dapat diketahui dengan 

membandingkan periode dan asal negara para imigran 

Yahudi ini –apakah dari periode awal, keahlian 

perdagangan maupun kelompok elit. Peranan orang Yahudi 

yang secara luar biasa sangat berpengaruh di Amerika 

Serikat, juga mencerminkan suatu perbedaan ekonomis 

dari imigran non-Protestan yang lain. Imigran Yahudi, yang 

kebanyakan masuk Amerika dalam keadaan miskin, pada 

umumnya tidak berasal dari latar belakang perdesaan, 

seperti halnya kebanyakan imigran Katolik atau Ortodoks.

 Orang Yahudi, yang dibebaskan dari undang-

undangan larangan riba (meminjamkan uang dengan 

bunga) di Eropa, telah mempunyai tradisi lama sebagai 

kelas komersial. Orang Yahudi yang datang pada masa awal, 

kebanyakan dari Spanyol dan Portugal, tidaklah banyak 

jumlahnya, paling-paling sekitar seribu orang lebih sedikit 

pada akhir zaman kolonial. Tetapi banyak diantaranya 

sangat kaya. Selama awal abad ke-19, kebanyakan imigran 

Yahudi, yang jumlah keseluruhannya tidak lebih dari 

100.000 orang sampai tahun 1850-an, datang dari Jerman, 



sering sebagai pedagang besar maupun kecil. Beberapa di 

antaranya menjadi bagian dari kelompok elit pedagang.

 Pada akhir abad ke-19, kelompok Yahudi kaya ter-

sebut kalah dalam hal jumlahnya dengan orang Yahudi 

yang datang dari Eropa Timur, khususnya dari Polandia 

dan Rusia. Perbedaan ekonomi dan budaya memisahkan 

kedua kelompok ini dan menciptakan persaingan. Walau-

pun begitu, orang Yahudi Eropa Timur itu sebagian peng-

rajin yang ahli, dan setelah mengalami masa awal dalam 

kemiskinan selama beberapa tahun, mereka pun bergerak 

menuju kehidupan ekonomi yang sukses.181 Konstruksi citra 

diri sebagai kelompok keagamaan yang mampu melewati 

mitos penderitaan dan sekaligus menjalaninya sebagai titah 

Transenden menjadi modalitas sosial kelompok keagamaan 

Yudaisme ini di dunia Baru. Konstruksi imaji kesuksesan 

menjadi simbol keterlepasan marjinalisasi kelompok.182 

Pel bagai perwujudan keahlian kerja menegaskan imaji se-

mentara kelompok Yudaisme ini sebagai simbol yang ingin 

diperlihatkan kepada kelompok agama dan etnis lainnya. 

Pada beberapa titik, konsep kerja keras Yudaisme pada 

masa-masa yang tidak menguntungkan dapat mengungkap 

paralelisme dengan etika Calvin dalam dunia esoterisme 

Protestan. 

 Faktor lain yang mendukung terintegrasinya orang 

Yahudi dalam kehidupan Amerika, berupa terjalinnya 



keakraban dengan budaya Protestan yang dominan. 

Seperti terlihat pada masa Puritan, banyak orang Protestan 

non-Inggris yang dominan di Amerika beranggapan 

bahwa mereka sedang menegakkan peradaban sesuai 

Alkitab. Tetapi kaum Puritan dan beberapa penggantinya 

yang berpengaruh pada zaman kebangsaan memandang 

Amerika sebagai “Israel baru.” Budaya Calvinis, yang sangat 

berpengaruh dalam membentuk warisan keagamaan 

Amerika awal, yaitu  suatu budaya yang secara khusus 

terbentuk oleh Perjanjian Lama, Kitab Suci Yahudi. Maka, 

budaya Amerika, mungkin lebih dari budaya bangsa 

modern yang lain, dibentuk oleh cita-cita Perjanjian Lama. 

Sampai abad-20, (ketika mereka telah hampir melupakan 

keduanya), kebanyakan orang Amerika mengetahui 

sejarah para bapa bangsa Yahudi dengan lebih baik dari-

pada sejarah mereka sendiri.183 Fenomena keagamaan 

Amerika memang berbeda dan telah berubah tatkala 

Weber menyusun etika Calvin, namun spirit kapitalisme 

rasional menjadi salah satu titik perjumpaan Yahudi dan 

Calvinis di Amerika minimal dalam tataran inspirasional.184 

Selain titik perjumpaan Yahudi dan Calvin, Amerika dapat 

dikatakan sebagai nilai mitos dan filosofis baru sebagai 

tanah terjanji sebagaimana konstruk Israel bagi sementara 

klaim Yudasime yang meyakini dan mempercayainya. 



Namun bagi sementara kelompok Yudaisme lainnya seperti 

Naturei Karta, penafsiran Amerika sebagai Israel Baru pasti 

melewati sejumlah reservasi ketat, termasuk keberatan 

kelompok ini pada Gerakan politik Yudaisme. 

 Tradisi ini, menurut Marsden, hanya berarti 

bahwa nilai-nilai dan pandangan Yahudi cocok dengan 

Amerikanisme yang dominan; tradisi itu juga membantu 

menghilangkan purbasangka yang selalu ada terhadap 

orang Yahudi. Umat Puritan awal, misalnya, memperlakukan 

orang Yahudi, yang dari waktu ke waktu datang berkunjung, 

secara lebih baik, daripada perlakuan mereka terhadap 

orang luar yang lain. Dan walaupun memang terdapat 

diskriminasi terhadap orang Yahudi maupun terhadap 

politik dan praktek keagamaan Yahudi di Amerika zaman 

kolonial, perlakuan mereka masih lunak kalau dibandingkan 

dengan yang terjadi di Eropa.185 Keterikatan doktrinal 

antara Yudaisme dan Protestan pada titik temu Perjanjian 

Lama menguatkan kontinuitas nilai seperti tesis Wilson 

pada pelbagai pertemuan antar tradisi.186 Wilson merujuk 

pada nilai-nilai yang mampu menyatukan diskontinuitas 

nilai antar kelompok beragama. 

Marsden selanjutnya membandingkan antara apa 

yang terjadi pada Yahudi di Eropa, yang mendapatkan 

nosi toleransi di beberapa negara untuk sementara waktu, 

tetapi kemudian terjadi gelombang pengejaran dan 

anti-Semitisme. Di Amerika Serikat, walaupun ada anti-



Semitisme dan larangan untuk masuk dalam kebanyakan 

organisasi dan sekolah ternama terhadap orang Yahudi, 

nosi diskriminasi itu sekurang-kurangnya diperlunak oleh 

banyak pengecualian untuk menciptakan kontras yang 

menarik dibandingkan dengan apa yang terjadi di Eropa.187 Di 

tengah pemertahanan etika kepribadian berdasar perintah 

yang Transenden, pengalaman Yudaisme ini terkait dengan 

konsep penerimaan takdir menuju praksis interaksi sosial. 

Di dalam relais sosial terseebut muncul upaya konstruksi 

citra diri. Strategi konstruksi imaji sebagai kelompok 

agama pasca persekusi yang cukup keras ini  merujuk 

pada penanda yang mengalami pergeseran dengan lebih 

menekankan keberagamaan inner dimension.188 Namun 

pengalaman Yudaisme di Amerika bukan sama sekali 

kemudian menghilangkan sementara sikap anti Semitisme 

seperti yang mereka alami di Kawasan Eropa. Diskriminasi 

pada Yahudi di Amerika lebih merupakan persaingan yang 

tidak terlalu keras daripada perlakuan yang mereka terima 

di Eropa, merupakan kesadaran baru tentang masa depan 

kehidupan Yudaisme pada masa mendatang.

Mengenai pengaruh Pencerahan, orang Yahudi 

Amerika dan umat Protestan Inggris, sama-sama men-

dapatkan pengaruhnya selain kesamaan warisan Kitab 

Suci yang telah disampaikan pada pemaparan sebelumnya. 

Seperti halnya umat Calvinis, yang juga dianggap ber-

pengaruh karena perannya dalam membentuk Amerika, 



orang Yahudi menghargai pendidikan dan karya tulis. 

Dengan demikian, pada abad ke-18, warisan agama mereka 

lengkapi dengan penghargaan tinggi terhadap penalaran 

akal masa itu. Sebagai bangsa yang tertindas, mereka 

mempunyai komitmen mendalam pada ajaran Pencerahan 

Amerika mengenai kesamaan hak bagi semua orang.189 

Impian kebebasan dari mitos penderitaan sebagaimana 

sejarah penindasan yang menimpa sementara kaum 

Yudaisme bertemu dengan etos Protestan dalam Perjanjian 

Lama yang merujuk kisah-kisah perjalanan orang suci 

dengan janji-janji kepada umat Yahudi akan masa depan 

yang gemilang dan jauh dari penderitaan-penderitaan. 

Konsep Raja dan pemimpin Yahudi yang ditunggu-tunggu 

kedatangannya oleh sementara kelompok Yudaisme, 

namun sebaliknya dianggap sudah selesai oleh kelompok 

lainnya, terkenang-kenang dalam mitos Juru selamat atau 

Messiah atau Mashiah.

Selanjutnya Marsden mengungkapkan bahwa 

pemikiran yang pada mulanya menonjol dalam komunitas-

komunitas Yahudi yang relatif kecil, selama awal abad ke-19 

yaitu  memanfaatkan kesamaan ini  untuk berbaur 

dengan budaya garis pokok budaya Amerika. Sejak tahun 

1820-an sudah ada upaya untuk mereformasi aturan-

aturan keagamaan kuno, seperti pantangan makan, upacara 

ibadah di Sinagoga, yang oleh kalangan Yahudi yang sudah 

maju dianggap tidak cocok lagi untuk zaman modern. 

Dari perasaan semacam itu, yang bermula di antara orang 

Yahudi di Jerman, tumbuhlan suatu gerakan Reformasi 



besar, yang digerakkan terutama oleh Rabbi Isaac Mayer 

Wise (1819-1900).190 Pembentukan formasi keagamaan 

baru menuntut penjelasan lebih lanjut pada proses 

struktur sosial keagamaan yang berubah.191 Tindakan sosial 

keagamaan ini cenderung mengubah pola dan struktur dan 

menurut Habermas, kendala yang muncul yaitu  niscaya. 

Ia percaya pelbagai tindakan komunikatif dapat mengatasi 

sejumlah kendala hirarki dan otoritas sosial keagamaan.192 

Perubahan ini seperti dinamika praktek Yudaisme di atas, 

meruang dengan realitas kategori sosial keagamaan lainnya 

berupa gender dan birokrasi sosial keagamaan. 

Gerakan Reformasi Yahudi ini, walaupun ditentang 

oleh golongan Tradisionalis, Wise dan lainnya membangun 

suatu gerakan Reformasi, yang mana membuat agama 

Yahudi ini sangat mirip dengan satu sekte Protestan. Yang 

paling mendekati mirip yaitu  gerakan Unitarian yang 

tumbuh dari Calvinisme pada waktu itu, serta berkembang 

di antara kaum kaya di perkotaan. Bagi agama Yahudi, 

praktek dipandang lebih penting daripada doktrin, maka 

reformasi yang utama yaitu  berupa penyederhanaan 

pelaksanaan dalam cara-cara melaksanakan agama 

Yahudi. Ibadat diadakan dalam bahasa Inggris, waktunya 

diperpendek, umat menyanyikan lagu-lagu pujian, paduan 

suara dan musik organ dipergunakan, dan ada kalanya ibadat 

dilakukan pada hari Minggu, bukan Sabtu sesuai dengan 


hari Sabbath Yahudi.193 Interaksi adaptasi pengalaman 

beragama Yudaisme ini dapat menunjukkan aspek interaksi 

dengan pengalaman agama di luar keyakinan sendiri 

sebagai bentuk konstruksi citra diri sekaligus kebutuhan 

riil masyarakat Yahudi.194 Perilaku keagamaan ini dapat 

berupa simbolik yang bertujuan mendekatkan diri dengan 

dan menopang proses adaptasi dan akulturasi tanpa 

meninggalkan pokok dasar etis Yudiasme. Proses sosial 

ini dalam pandangan sosiologi agama, merupakan deviasi 

religi Yudaisme yang berlangsung di konteks global.195 

Adaptasi Yudaisme yaitu  kata kunci dalam menjalankan 

praktek keagamaan yang seolah-olah baru. Kebaruan 

praktek dan cara pandang keagamaan masyarakat Yahudi 

menjadi lentur dan menyesuaikan situasi keagamaan yang 

di sisi lainnya membutuhkan peran otoritas agama seperti 

yang dijalankan oleh Wise.

Seperti dipaparkan oleh Marsden, ketegangan pun 

semakin menjadi di antara para pemimpin Reformasi dan 

Tradisionalis yang memuncak pada kejadian dramatis. 

Pada tahun 1883, pada satu pesta yang diselenggarakan 

untuk menghormati hari wisuda pertama Hebrew Union 

College di Cincinnati, pusat gerakan Reformasi, bagian 

hidangan mengumumkan menu pembuka berupa masakan 

udang, suatu menu yang merupakan pantangan menurut 

hukum agama Yahudi. Kaum tradisionalis maupun 



modernis bubar. Setelah kejadian itu, maka perpecahan 

mulai terjadi dalam umat Yahudi Amerika menjadi tiga 

kelompok, yakni, Reformasi, Konservatif dan Ortodoks.196 

Perspektif Sosiologis mengingatkan kepada kita tentang 

bentuk kelompok beragama yang menimulkan konsekuensi 

formasi batas-batas serta hubungan antar kelompok yang 

tidak homogen.197 Dalam konteks kasus kosher yang diatur 

dalam Mishna Yudaisme, tidak serta merta kemudian 

bentuk non-kanonisasi liturgi Yahudi ini tersepakati secara 

bulat. Komentar, analisis dan keputusan konsep halal atau 

haram oleh para rohaniawan dalam Yudaisme kemudian 

masuk wilayah perdebatan antar ortodoksi. Pengalaman 

reformasi Yudaisme seperti tercermin dalam perbedaan 

penentuan pada konsep halal/kosher ini  menegaskan 

aspektual pranata dan nilai kelompok keagamaan yang 

terpisah karena doktrin dan penafsirannya. 

Dengan demikian, tiga kelompok Yahudi ini , 

masing-masing dapat dikatakan dalam pelbagai perbedaan 

berikut. Kaum Ortodoks masih secara ketat meneruskan 

praktek tradisional, sementara kaum konservatif yaitu  

penganut gerakan moderat. Mereka disebut konservatif 

dalam arti klasik abad ke-19, yakni mengakui dengan tegas 

nilai khas tradisi Yahudi, tetapi juga menegaskan bahwa 

tradisi-tradisi itu harus berkembang mengikuti zaman. 

Oleh karena itu, kaum konservatif mempertahankan lebih 

banyak praktek tradisional daripada kaum Reformasi, 


tetapi memperbolehkan beberapa penyesuaian dalam 

pelaksanaannya.198 Tipologi Yudaisme dalam konteks prak-

tek dan tradisi menjadi Ortodoks, Konservatif dan Reformasi 

belum dapat diketahui secara jelas sebelum melihat lebih 

teliti sejumlah kasus kepemimpinan agama, pengelolaan 

atau manajemen pelaksanaan ritual dan upacara tradisi 

serta penataan lokus tempat peribadatan.

Sue Morgan menulis tentang kepemimpinan agama 

atau otoritas dalam Yudaisme. Peran kelembagaan per-

empuan Yahudi bukan lagi menjadi perhatian semata-mata 

kesetaraan hak-hak, namun lebih terhadap pendefinisian 

kembali paradigma laki-laki dalam keagamaan secara 

menyeluruh. Ranah visinya yaitu  komunitas beragama yang 

menyentuh perhatian pada wilayah model kepemimpinan 

non-hirarkis. Implementasi pandangan feminin ini berupa 

orientasi ritual dan liturgi baru. Muatan utama kebaruan 

itu dapat menyasar pada penafsiran praktis pada persoalan 

agama. Sebagai contoh tulisan Penina Adelman pada ritual 

Rosh Hodesh dan Miriam pada ritual Yahudi perempuan 

sepanjang tahun.199 Keduanya merupakan teks liturgi yang 

menghilangkan Bahasa androsentris dalam peribadatan 

dengan lebih menekankan pada pengalaman perempuan 

Yahudi. 

Persoalan pandangan Feminis dalam studi agama 

menyasar pula keterkaitan antara agama, manusia dan 



pelbagai persolan sosial. Barbara Andolsen secara kritis 

men catat kesadaran peran perempuan dalam ranah 

Gerakan perdamaian, anti-semitisme, kekerasan seksual, 

keadilan ras, teknologi reproduksi dan persaudaraan 

perempuan. Beverley Wildung Harrison serta Carter 

Heyward menekankan keterlibatan perempuan yang 

menubuh berelasi dengan eksistensi manusiawi. Relasi 

hak-hak antara sesama manusia serta komitmen dan 

keterlibatan mendalam, menurut Harrison dan Heyward 

merupakan bentuk kesadaran penting karena sesuatu tidak 

dapat berdiri sendiri tanpa keterlibatan dan partisipasi 

pihak lain. Hal ini yaitu  bentuk praksis peran agama yang 

tidak memihak pada dominasi gender tertentu, seperti yang 

menjadi perhatian pada pandangan Marxis pada dominasi, 

namun lebih memperhatikan bentuk rasionalitas tindakan 

komunikatif seperti pemaparan Jurgen Habermas.200 

Habermas menyuguhkan pandangan mencerahkan atas 

problem manusia modern dengan menggunakan kuasa 

rasionalitas manusia. Kuasa penting ini  merupakan 

pemahaman atas kegamangan modernitas sebagai dampak 

perbedaan budaya yang terjadi dalam ranah komunikatif. 

Kendala komunikasi berlatar perbedaan gagasan, pe-

mikiran dan pandangan seperti aspektual feminism 

Yudaisme dapat meminjam kemampuan komunikatif untuk 

pemenuhan aspirasi. Alienasi atas akses menjadi minimal 

yang memungkinkan partisipasi proaktif dan keberpihakan 

perempuan pada persoalan sosial. 



Perspektif Feminisme Yudaisme memang dapat 

terlihat tidak saja pada persoalan kepemimpinan Rabbi 

perempuan, namun dapat terpahami melalui penelusuran 

imaji personifikasi perempuan dalam kebijaksaan yang 

Transenden seperti pada Shekinah dalam tradisi Yahudi 

Kabbalistik. Metafora feminin atas kuasa Transenden 

terjadi melalui reimajinasi Transenden maskulin ke 

feminin. Penggabungan imaji Transenden Yudaisme dalam 

bentuk maskulin dan feminin berupaya dengan penuh 

perjuangan mengingat konteks patriarki dominan selama 

ini.201 Pada kasus tipologi Yahudi ini, orang dapat melihatnya 

dari tingkat kelonggaran terhadap, misalnya, perlakuan 

terhadap kaum perempuan dalam upacara dari sudut 

pandang ibadat ketiga kelompok ini . Kaum Ortodoks 

menuntut pemisahan yang tegas antara kaum pria dan 

perempuan dalam ibadat, yang seluruhnya dilakukan oleh 

kaum pria. Sementara itu, kaum konservatif mendukung 

duduknya seluruh keluarga bersama-sama dalam ibadat 

dan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk 

berperan serta dengan kaum pria melaksanakan ibadat 

bersama. Kaum Reformasi, seperti halnya kaum Protestan 

Liberal, memperbolehkan kaum perempuan membaca 

Kitab Taurat dan pada akhirnya menjadi perintis dalam 

mendorong tampilnya kaum perempuan sebagai rabbi.


Reformasi Yudaisme untuk lebih terbuka menerima 

praktek keagamaan. Meskipun resiko yang dihadapi 

yaitu  perbedaan cara pandang yang memicu timbulnya 

perseteruan antara ortodoksi dengan penganut keagamaan 

Reformasi. 

Menurut Marsden, pembagian Yahudi dalam tiga 

kelompok ini  terjadi pada saat menjelang mulainya 

situasi Yahudi berubah dramatis melalui imigrasi. Wilson 

menandai ini sebagai peminggiran tardisionalitas sebagai 

ekses modernitas yang baru.203 Beberapa puluh tahun 

terakhir dalam abad ke-19, merupakan saat peningkatan 

rasialisme dan nasionalisme etnis di seluruh dunia Barat. 

Salah satu sebabnya yaitu  rasa hormat pada ilmu-ilmu 

sosial masa itu, yang terlihat memberikan dasar Darwinis 

bagi keunggulan ras-ras tertentu dalam perjuangan demi 

kelangsungan hidup, kelestarian. Faktor-faktor seperti itu 

hanya memberikan suatu alasan bagi pecahnya kembali 

permusuhan lama dan persaingan modern. Dalam konteks 

itu, orang Yahudi termasuk di antara korban utama 

permusuhan, perseteruan, yang dikobarkan kembali serupa 

itu, sehingga di Eropa Timur dan Rusia, mereka sering 

diusir dari tempat kelahiran mereka oleh program rakyat 

dan penindasan. Antara tahun 1880 dan 1900, setengah 

juta orang lebih meninggalkan negerinya menuju Amerika, 

dan pada tahun 1920, dua juta orang lebih menyeberang. 

Kala itu New York City dengan segera berkembang menjadi 

pusat populasi Yahudi terbesar di dunia.

abad 19 sampai menjelang awal abad ke 20, dunia me-

nyaksikan perpindahan penduduk dari pelbagai belahan 

bumi, termasuk warga asli Eropa ke Dunia Baru. Mereka 

tidak saja mencari penghidupan perekonomian secara 

lebih menjanjikan, namun visi utama mereka yaitu  

keberlangsungan jiwa dan keutuhan spirit agama. 

Selanjutnya, para imigran baru ini  hampir 

semua orang Eropa Timur yang berbicara bahasa dialek 

Yiddish atau Polandia, dan pada mulanya sangat miskin, dan 

membawa segala macam kesulitan yang berkaitan dengan 

kemiskinan. Penduduk Yahudi lama yang berkecukupan, 

yang datang dari Jerman, sering merasa tidak senang dan 

terganggu oleh perasaan tidak enak karena keadaan teman 

seagama yang menyedihkan dan takut akan timbulnya 

rasa anti-Semit. Di New York, muncul perbedaan tajam 

antara orang “up town” dan “downtown”. Kaum berada 

yang tinggal di kota atas, mempunyai perasaan mendua 

terhadap para pendatang baru yang menjadi penghuni kota 

bawah bagian timur.205 Keberagamaan laten dan manifest 

seperti yang dituturkan Wilson menjadi penanda penting 

aspek keterpinggiran sementara kelompok Yudaisme, 

yakni diskontinuitas nilai. Namun nilai etika kepribadian di 

tengah tantangan struktur sosial beragam, menurut Weber 

masih tergenggam oleh kaum Yahudi.


namun mereka masih menunggu-nunggu pengharapan dan 

janji-janji Transenden demi kehidupan yang lebih baik. 

Yahudi yang mampu, mengorganisasi badan-badan 

amal bagi para pendatang itu, tetapi kebanyakan ingin agar 

mereka itu secepat mungkin menanggalkan cara hidup 

mereka yang “asing”. Mereka hendaknya berbaur dalam 

apa yang menjadi judul sebuah sandiwara/drama Israel 

Zangwill, yakni Periuk Peleburan/”Melting Pot”. Zangwill 

menulis dalam karya dramanya bahwa: “[Di sini] semua 

bangsa dari Eropa berbaur dan melakukan reformasi … 

Tuhan sedang membuat orang Amerika”.207 Negosiasi 

etnisitas Yahudi dalam konteks ini, lebih dikedepankan 

daripada perhatian lebih pada aspek religi. Pengalaman 

persekusi Yahudi di Eropa memberikan peringatan cara-

cara adaptif dengan kebudayaan etempat menjadi strategi 

baru Yudaisme di Amerika.

Situasinya ternyata tidaklah sesederhana itu. 

Menurut Marsden, imigran yang berasal dari Eropa Timur 

mempunyai dua kecenderungan. Banyak di antara generasi 

pertama bereaksi terhadap pencabutan akar mereka dengan 

cara yang biasa pada kebanyakan kelompok imigran, yakni 

berpegang erat-erat pada praktek keagamaan tradisional. 

Sementara kelompok yang lain yang cukup besar, sudah 

sedari dahulu dari tanah air mereka, sudah menjadi sekuler 

bahkan anti agama. Biasanya, mereka yaitu  orang-orang 

yang mendukung cara pemecahan sosialis bagi pelbagai 

masalah keduniaan. Walaupun kebanyakan komunitas 



Yahudi cenderung untuk tidak terorganisasi secara politik, 

sebagian sebagai reaksi terhadap Katolik Irlandia, kaum 

sosialis ideologis ini, memberikan pandangan sekuler 

se bagai alternatif terhadap kehidupan keagamaan tra-

disional.208 Sikap Yudaisme seperti penggambaran Weber, 

merupakan kunci pemertahanan nilai yang terletak pada 

pengalaman orang-orang biasa yang masih lekat dengan 

aspektual nubuat yang lebih menekankan pada kedalaman 

etika internal daripada sebaliknya.209 Praktek profan 

seperti politik serta sikap Yudaisme pada keterlibatan 

di masa awal adaptasi di dunia Baru, menunjukkan 

pandangan Yudaisme yang lebih cenderung menggenggam 

mitos kepribadian etis. Kecenderungan situasional 

kaum Yahudi pada penjagaan diri yang lebih besar pada 

pertanggungjawaban individu pada relasionalnya dengan 

yang Transenden, lebih besar daripada aspektual Katolik 

yang dekat dengan kenyamanan kongngregasi Katolik, 

dapat menjadi salah satu pertimbangan pola hidup Yahudi 

pada praksis sosial politik.210 Weber menyebutnya sebagai 

moralitas standar ganda Yudaisme. Secara paradoksal, 

per bedaan orientasi penganut Yudaisme yang dekat 

dengan yang sakral dan bergeser menjadi kecenderungan 

sebaliknya pada situasi tertentu dalam kehidupan sosio-

ekonomi-politik merupakan fenomena yang terjadi pada 

sejumlah pengalaman agama-agama di dunia. Dalam 


ranah Yudaisme, tarik menarik antara yang sakral dengan 

profanitas menjadi salah satu segmen pengalaman 

Yudaisme yang cukup menarik sebagai model kajian konsep 

sakralitas dan yang profan.

Kecenderungan bersikap sekuler ini segera diper-

kuat, sesuai suatu prinsip yang dikenal sebagai “hukum 

Hansen” (menurut nama penulis sejarah imigrasi, Marcus 

Hansen), yang berbunyi: “Apa yang mau dilupakan oleh 

anak-anak, ingin diingat oleh cucu-cucu”. Sementara banyak 

di antara generasi pertama imigran berbahasa Yiddish 

mencoba melestarikan dunia lama dan praktek keagamaan 

yang diwarisinya, banyak di antara generasi kedua, men-

coba melepaskan diri dari tradisi mereka. Selama bertahun-

tahun pertama abad ke-20, hukum ini  berlaku 

secara lebih mencolok dalam komunitas Yahudi daripada 

komunitas lain. Pada tahun 1930-an, kurang dari sepertiga 

keluarga Yahudi merupakan anggota umat agama, dan 

tiga perempat orang muda Yahudi dari kalangan umur 

15 sampai 20 tahun telah setahun lamanya tidak pernah 

menghadiri ibadat keagamaan.211 Prediksi Weber tentang 

bagaimana manusia modern menemukan rasionalitas 

tindakannya tercermin dari kaum Yudaisme yang menjaga 

jarak melalui serangkaian reposisi dalam wujud proses 

sekuleristik setelah pergantian abad ke-19. Namun 

dalam pengalaman keberagamaan Yudaisme selanjutnya, 

sekularisasi yang terjadi tidak menutup etika kepribadian 

yag paralel dengan lanskap religiositas mayoritas 

Protestan. Walaupun paralel murni menurut Weber tidak 



ditemukan dalam praktek ekonomi dengan contoh ribawi 

eksternal hanya dilakukan kaum Yahudi bagi orang di luar 

Yudaisme atau sering dikenal dengan Kapitalisme Pariah, 

namun genggaman aspek kedekatan Yudaisme minimal 

dari sisi etika kepribadian masih tampak manifestasinya. 

Sementara anggapan memberi label kepatuhan Yudaisme 

dalam posisi eksternal terhadap doktrinal religi dengan 

demikian tidak lah sepenuhnya menyentuh realitas ke-

pribadi an Yudaisme. Kecenderungan meyakini ekster-

nalitas doktrinal Yudaisme berhadapan dengan internali-

sasi kesalehan yang benar-benar mandarahdaging dalam 

struktur keyakinan. Ia berada di wilayah yang lebih tinggi 

dan sakral dengan membandingan hukum Yudaisme 

dengan rasionalitas tindakan. Di tengah ketidakpastian 

situasional yang kerapkali muncul dalam pengalaman kaum 

Yahudi, kegamangan relasi antara manusia Yahudi dengan 

yang Transenden hanya merupakan pandangan sementara 

klaim interpretasi.212 Yang terjadi menurut pengamatan 

Weberian, kegiatan-kegiatan individu dalam kerangkan 

pemenuhan aspek relijius sebagaimana umat pemeluk 

agama lainnya menerima penghambaan kepada yang 

Transenden, yaitu  bersifat stabil untuk mencari celah 

dan peluang mitos keselamatan. Sekularisasi Yudaisme 

tergolong lunak sehingga nilai kepribadian khas Yudaisme 

seperti yang disebut Weber masih langgeng dalam praktek 

sosial keagamaan.

generasi muda dengan agama di awal abad ke 20 itu tentu 

dapat terjadi terkait dengan realitas kehidupan sebagai 

bangsa pengembara. Kisah dan mitos Yudaisme yang 

mereka dengar dari ayah dan kakek mereka merupakan 

pengalaman masa lampau yang tidak terlalu terkait dengan 

pengalaman kehidupan baru. 

Walaupun semacam itu, menurut Marsden, alternatif 

sekuler yang kuat ini hampir tidak dapat memperlemah 

sedikit pun identitas Yahudi, yang telah berlaku selama 

ribuan tahun. Identitas kultural dapat bertahan, sekurang-

kurangnya untuk sementara, walaupun tanpa adanya 

praktek keagamaan. Selama awal abad ke-20, komunitas 

Yahudi mendirikan jaringan organisasi yang berkembang 

subur untuk mengurusi hampir setiap dimensi kehidupan 

sosial. Dalam pada itu, sekularisasi Yahudi, di samping pe-

ningkatan kekayaan dan pendidikan mereka, membuat 

orang Yahudi lebih mudah memasuki kehidupan Amerika, 

khususnya media dan hiburan, tanpa memperdulikan 

tradisi keagamaan. Akan tetapi, mereka bukannya lebur 

dalam “periuk peleburan”, melainkan membangun suatu 

model pluralisme Amerika abad ke-20, di mana suatu 

kelompok dapat membangun suatu identitas kuat yang 

tetap bertahan, sementara berperan serta dalam ke-

hidupan iman kepercayaan.214 Max Weber telah menyadari 

kebutuhan sekularistik semacam strategi untuk otonomi 

manusia modern Yudaisme. Mengikuti manusia moral 

dalam pandangan Kantian yang berupaya terus menerus 

untuk justifikasi rasionalisasi, Weber melihat peluang 



Yudaisme untuk dekat dengan dunia Baru. Etika 

Yudaisme mengarahkan situasi adaptif ini  ke dalam 

penghayatan kepada yang Transenden. Etika Protestan, 

dalam pandangan Weberian mengandung aspektual 

aktivitas sosial ekonomi yang menopang rasionalitas 

dengan efisiensi dan kontrol yang kemudian oleh Yudaisme 

menerapkannya untuk justifikasi menemukan kepribadian 

etis yang menyeluruh.215 Strategi Yudaisme cukup berhasil 

mengaitkan model kehidupan penuh tantangan dengan 

pondasi kebiasaan berpikir dan berperilaku sesuai dengan 

ketundukan pada perintah yang Transenden melalui nilai-

nilai Perjanjian Lama. Kenyataan yang sebetulnya terjadi 

justru eksistensi kelompok yang mencuat di kalangan 

publik. Yudaisme di Amerika memahami pluralitas budaya 

dan agama yang menjadi realitas sosio-relijius, walaupun 

persoalan internal di dalam tubuh Yudaisme menyimpan 

sejumlah pertanyaan tentang soliditas dan pemahaman 

multikulturalisme internal termasuk kelompok atau sekte 

dengan penafsiran keagamaan Yudaisme yang masih terus 

dalam tataran negosiasi, asimilasi dan konsolidasi.

Sekularisasi yang terjadi dalam Yahudi, merongrong 

salah satu pondasi komunitas Yahudi, karena identitas 

Yahudi dibentuk dari dua segi, yakni etnis dan praktek 

keagamaan. Peningkatan pelaksanaan agama Konservatif 

dan Ortodoks sebagian yaitu  suatu upaya beberapa 

anggota komunitas untuk memulihkan identitas yang 

mulai mengalami erosi. Faktor itu pula, menurut Marsden, 

yang menjadi sebab peningkatan pendidikan dan sekolah 



Yahudi.216 Aspek pranata Pendidikan dan keluarga Yudaisme 

menjadi titik perhatian penting di mana antar anggota 

masyarakat dan keluarga dapat membangun kehidupan 

berkelompok dalam bingkai relijiusitas. Tantangan 

sekularitik yang terjadi pada penganut Yudaisme dapat saja 

merupakan pemicu kedekatan dengan penempatan kembali 

agama dalam sendi kehidupan manusia Yahudi. Terlebih 

lagi perkembangan teknologi informasi dalam bentuk 

media sosial facebook, twitter, instagram dan sebagainya 

dewasa ini memungkinkan advokasi dan aspirasi suara 

kaum beragama, termasuk golongan minoritas beragama 

dan kaum perempuan. 

 

 Termasuk 

di dalamnya, contoh – contoh bentuk ketegangan antara 

kehidupan modern dan tradisional, penghormatan terhadap 

tradisi dan pengalaman sekularitas.


Dengan melandaskan pokok bahasan pada 

pel bagai dimensi agama dalam agama 

Yahudi, maka ikhtisar ini merespon apa yang 

disampaikan oleh Ninian Smart bahwa konteks studi agama, 

dapat saja berintikan pelbagai pendapat, gagasan dan 

ide keagamaan di satu segi, namun dapat pula berintikan 

pelbagai pengalaman masyarakat beragama. Konteks 

historis masyarakat Yahudi, misalnya, mengisyaratkan 

implikasi yang dalam dalam perjuangan hidup keagamaan, 

kelompok dan pandangan yang berbeda, seperti pada 

kategori Yahudi Ortodoks, Konservatif dan Reformasi. 

Pelbagai dimensi agama Yahudi menyiratkan pemak-

naan umat Yahudi yang tidak monolitik terhadap agama 

dan praktek keagamaan. Pada tataran hukum, interferensi 

para pemuka agama menjadi niscaya, sementara elastisitas 

ini membawa pelbagai implikasi. Salah satunya yaitu  

contoh terhadap cara pandang dimensi material Yahudi, 

Sinagog, yang bermakna tidak tunggal. Sementara Yahudi 

memilih menguatkan tali keagamaannya, sementara yang 

lain bergerak menjauh dengan beragam alasan seperti 

tercermin dalam pengalaman Yahudi di Eropa dan Amerika.

184 • 

:


Dalam ranah pemikiran tentang bagaimana agama 

bersinggungan dengan kehidupan, Jay Mehling berpendapat 

bahwa beberapa aspek dapat diteliti di antara perjumpaan 

agama dan budaya baik yang berupa dimensi keteraturan 

atau pun sebaliknya. Demikian pula Bryan S. Turner dalam 

kerangka studi agama, menyampaikan gagasan bahwa 

agama dewasa ini tampaknya berkaitan erat dengan 

persoalan politik identitas, etnisitas dan gender, teknologi 

medis dan persoalan keamanan.217

Di Indonesia, keberadaan Yahudi dapat ditelusuri 

dari beberapa sumber di dunia maya, yang menyebut-

nyebut sejumlah komunitas Yahudi di Sulawesi Utara dan 

di Jawa Timur. Beberapa sumber ini  menunjukkan 

sejumlah komunitas Yahudi di Indonesia telah membangun 

monumen-monumen material, seperti Menorah dan 

Sinagog di Sulawesi Utara, dengan klaim memiliki sejumlah 

penganut yang tidak sedikit jumlahnya. Sementara 

komunitas Yahudi, dengan jumlah yang lebih sedikit, 

yang merupakan warisan dari zaman Kolonial Belanda, 

tetap hidup dan tinggal bersama-sama masyarakat lain 

di Surabaya, terdapat tulisan lain menyebutkan aktifitas 

komunitas Yahudi dengan sasaran agrikultur dan ekonomi-

sosial di Jember. Sejumlah tulisan ilmiah tentang Yahudi 

di Indonesia, termasuk yang ditulis oleh peneliti Barat, 

telah dilakukan, termasuk terhadap komunitas Yahudi 



di Surabaya, Spiritualitas, Etika Yahudi, Teologi Humanis 

Yahudi serta dinamika internal Yahudi.

Riset Yudaisme berkenaan pula dengan aspektual 

reseptif kelompok agama. Thereen Arlie mencatat bahwa 

kelompok Yahudi bernama The United Indonesian Jewish 

Community (UIJC) di Jakarta menerima perlakuan non 

diskriminatif.218 Studi pada komunitas Yudaisme yang 

berdiri pada tahun 2010 ini  menunjukkan stigma 

konstruktif empatik pada pengalaman kehidupan beragama 

kelompok Yahudi di Indonesia. Ketua komunitas Yahudi 

UIJC, Benjamin Meijer Verbrugge mengatakan bahwa tidak 

terdapat perlakuan yang berbeda dari kelompok agama 

lainnya pada eksistensi komunitas Yahudi ini. Pelaksanaan 

peribadatan menurut Arlie, dapat berlangsung dengan 

damai tanpa perlakuan negatif dari komunitas sekitar 

lokasi peribadatan. Meskipun riset masih berupa narasi 

tiga halaman, namun data fenomenologi cukup kuat dengan 

pertemuan informan Yahudi secara langsung. 

Yudaisme di Indonesia pada umumnya menerima 

perlakuan berbeda dari riset Arlie. Stigma representasi 

Yahudi yaitu  mirip seperti stereotipe antisemitis Eropa 

yang memberikan posisi marginal. Aspek konspirasi 

Yahudi sebagai metanarasi tidak saja mendapat tempat 

dalam kognisi sosial keagamaan Eropa namun juga di 

luar Eropa seperti pandangan miring pada kelompok 

Yahudi. Pelbagai persoalan ideologi, agama, politik dan 


budaya kerapkali menempatkan penanda Yahudi sebagai 

kambing hitam. Patologi sosial ini dapat menjadi salah 

satu fokus konsep menarik dengan memakai pendekatan 

interdisipliner studi agama. Segmen deskripsi komunitas 

Yahudi ini berhubungan dengan penjelasan posisi kajian 

fenomenologi dengan titik fokus pada pemahaman atas 

fenomena aktual. Geertz dan Said mencatat prosedur studi 

fenomenologi agama yang penting mempertimbangkan 

praktek keagamaan bukan dalam kacamata periset, namun 

lebih mengingat pengamatan praktek keagamaan dengan 

sudut pandang pemeluk agama yang menjadi fokus riset. 

Penjelasan pendekatan studi agama Yudaisme dengan 

mengambil perspektif fenomenologis menjadi poin vital 

ketika menulis salah satu konsep dalam studi Yudaisme 

baik memakai data empirik lapangan maupun data cultural 

studies. 

Dengan pengamatan pada kajian Yudaisme di pel-

bagai konteks geografis termasuk di Indonesia, eksistensi 

Yahudi dapat menunjukkan konsep emansipasi, inklusi dan 

normalisasi.219 Landskap religiositas sesungguhnya cukup 

variatif dan distingtif sehingga menanti eksplorasi akademik 

untuk menjelaskan pelbagai fenomena keagamaan yang 

tidak otonom. Relasi pengalaman keagamaan dengan 

situasi geografi dan latar ideologi budaya yang unik mem-

berikan dua alternatif cara pandang pada Yudaisme. 

Tidak mungkin menemukan entitas yang tertutup sama 

sekali dalam menyikapi kemajemukan. Yang terjadi dalam 

realitas sosial keagamaan yaitu  bukti-bukti emansipasi 


dan partisipasi Yudaisme sebagaimana normalisasi suatu 

kelompok keagamaan di antara sejumlah kelompok 

majemuk. Aspek inklusi masih menjadi perhatian serius 

dan mendalam, mengingat situasi psikologi masyarakat 

beragama yang tidak sama.

Persoalan apakah konstruksi masyarakat beragama 

mengajukan sikap berterima terhadap kemunculan eksis-

tensial kelompok agama lainnya, berkenaan dengan debat 

multikulturalisme dengan pluralism. Klaim pengakuan atas 

perbedaan aktif dan pasif mengundang Diana Eck, Seyyed 

Hossein Nasr, John Hick, Heddy Ahimsa, Bikhu Parekh dan 

Martin Marty menyumbangkan pelbagai gagasan terkait 

semantik dan penanda pluralisme sebagai arah kesadaran 

perbedaan-perbedaan.220 Pluralisme, bukan stigmatisasi 

klaim pluralisme teologis yang penuh interpretasi, yaitu  

jalan keterbukaan berpijak pada keyakinan hakiki pemeluk 

agama pada masing-masing agamanya sendiri untuk 

bekerjasama, menyapa dalam perjumpaan-perjumpaan 

sosial budaya yang tidak terelakkan. Latihan rekognisi 

psikologis keagamaan berupa klausul pluralisme ini tidak 

merupakan diskursus belaka. Namun lebih pada kemajuan 

penting pada kesadaran pluralitas beragama sebagai fakta 

sosial yang tidak tunggal. Terlebih lagi tantangan kesadaran 

ini berupa akses pada pengetahuan kesadaran tentang 

betapa berbedanya sudut pandang kelompok keagamaan, 

seperti diskursus inklusi Yudaisme, tidak simetris antar 

satu individu dengan individu lainnya bahkan dalam satu 

konstruksi kelompok yang sama. 



Latar perbedaan dalam menyikapi status eksistensial 

agama, seperti pluralitas klaim kelompok Yudaisme dengan 

masing-masing tafsir dan pemaknaan yang tidak dapat 

menemui titik temu, mengingatkan kita pada pemerian 

teologi diskontinuitas. Teologi sebagai bentuk pemahaman 

human agency, yang bermuara pada bagaimana agama 

berinteraksi dan berelasi dengan persoalan manusia, bukan 

tidak sepi dari klaim sikap pada agama dan kelompok 

agama yang tidak sama dengan ortodoksi keagamaan. 

Kerapkali sifat ortodoksi agama yang ketat dan disiplin 

pada ketundukan liturgi sebagai sikap ejawantah pesan-

pesan kitab suci, menjadi penghalang pintu-pintu harmoni 

antar kelompok. Studi agama Yudaisme memberikan ikhwal 

dan contoh bagaimana pengelolaan sikap pada perbedaan 

keyakinan menjadi problem agama-agama secara umum. 

Buku ini mendedah bagaimana perbedaan ke-

yakinan berlangsung terus menerus dalam Yudaisme. 

Masyarakat religius yang saleh maupun sifat sekuler yang 

tidak melepas sama sekali kepercayaan hakikinya dalam 

Yudaisme dapat merujuk pada hukum, etika, doktrin dan 

ritual serta tempat peribadatan yang sepintas lalu tidak 

menampakkan perbedaan-perbedaan atau menjadi seolah 

statis dan stagnan. Namun pandangan, sikap, keyakinan, 

mitos, tafsir, inovasi, kritik, redefinisi serta klaim berbasis 

kepercayaan dalam Yudaisme memerlukan pendekatan 

yang integratif. Keluasan pendekatan studi Yudaisme bukan 

merupakan justifikasi kebingungan fokus kajian, namun 

lebih menyadarkan perhatian pada keterkaitan antar 

konsep dalam pelbagai pendekatan Yudaisme mulai dari 

Filosofis, Teologis, Sosiologis, Antropologi, Feminis sampai 

189

:


Fenomenologis dan Psikologis. Pendekatan studi Yudaisme 

dapat saja bersifat partikular, namun konsep-konsep dalam 

teori-teori pelbagai pendekatan studi Yudaisme itu terbukti 

saling terkait dan tidak dapat bersifat otonom. 

 Entitas Yahudi, sebagaimana komunitas agama yang 

lain, perlu dipandang dengan pengamatan kehati-hatian 

jikalau terkait dengan politik dan implementasi gerakannya. 

Sebutlah misalnya Zionisme, yang oleh sementara kalangan, 

diatribusikan seluruh aspeknya pada entitas Yahudi. 

Apabila dicermati lebih dalam, maka pandangan Yahudi 

amatlah beragam, seperti yang dijumpai pada entitas Yahudi 

Ortodoks, Naturei Karta, yang berseberangan dengan 

Zionisme dan bersikap kritis terhadap pembentukan negara 

Israel.221 Menurut perkumpulan Yahudi ini, orang Yahudi 

harus berpegangan pada Taurat, sedangkan pembentukan 

paham Zionis dan negara Israel, menurut mereka, dianggap 

telah menyimpang dari ajaran Yahudi sebenarnya. Paham 

Zionisme sebagai sebuah Gerakan baru bermula sejak 

1897 ketika bersiap untuk membangun negara Israel di 

tanah Palestina. Kitab Taurat menyebutkan bahwa Tuhan 

Yahudi sudah menentukan takdir Yahudi untuk hidup di 

pengasingan. Dengan demikian, perkumpulan ini  

mempercayai bahwa “Tanah yang di janjikan Tuhan” itu 

sebenarnya yaitu  setiap jengkal di bumi ini orang Yahudi 

bertempat tinggal serta bermukim. 


DAFTAR & ARTI KATA-KATA 

PENTING

Akedah : Momen dialog antara Tuhan Yahudi, 

Abraham dan pengorbanan Isaac, dalam 

ayat Akedah, Genesis. 22: 3

Al-Qurra : Golongan para pembaca Taurat, tidak 

percaya terhadap Talmud

Anti-Semitisme :  Sentimen anti Yahudi

Ark :  Kotak besar berisikan lembaran-lembaran 

Taurat dalam bentuk gulungan, yakni titik 

pusat liturgi utama di dalam Sinagog

Asimilasi :  Tindakan, sikap maupun proses dengan 

menyerap atau menjadi yang kurang lebih 

bersifat serupa

Beit Alpha :  Tanah di dalam naungan wilayah klaim 

Israel

Bet Ha Knesset : Rumah majelis, sebutan untuk Sinagog 

dalam bahasa Ibrani

Calvinisme : Sekte Protestan dengan rujukan utama 

pada kitab Perjanjian Lama

192 • 

:


Chosen People : Salah satu mitos Yahudi sebagai bangsa 

yang terpilih oleh Tuhan Yahudi

Covenant :  Pakta-pakta, kesepakatan formal

Darwinisme : Pandangan berdasar pada teori Darwin 

tentang superioritas ras tertentu

Diaspora :  Setiap komunitas yang menyebar di luar 

tanah airnya, kaum Yahudi yang tinggal di 

negara-negara di luar Israel

Doktrin : Upaya pemberian sistem dan kejelasan 

dalam keyakinan agama

Dongeng : Kisah dapat berbentuk legenda berciri 

tidak mengubah kondisi manusia 

Dreyfus :  Pertemuan untuk mencari solusi Yahudi 

di Eropa

Dura Europos :  Tanah di luar wilayah klaim Israel atau 

diaspora

Elaboratif :  Bersifat menjelaskan, menjabarkan

Emanasi : Ruh tuhan, transenden, mustahil ber-

hubu ngan langsung dengan materi

Eloh : Tuhan Yahudi dengan beberapa versi 

menurut beberapa keyakinan Yahudi

Ghetto : Permukiman khusus bagi komunitas 

Yahudi

Hasidik :  Kata sifat dari Hasidim, yakni, anggota 

sekte Yahudi didirikan di Polandia 

pada abad ke-18 oleh Baal Shem-Tov, 

berciri penuh mistisisme dan ritual doa 

keagamaan

193

:


Haskalah :  Pencerahan; Gerakan asimilasi total 

Yahudi untuk meraih identitas Eropa

Hermeneutika : Ilmu tentang interpretasi

Holocaust : Peristiwa pemusnahan ras tertentu, 

termasuk terhadap Yahudi di Eropa 

Horeb :  Nama lain gunung Sinai, tempat kon fron-

tasi antara manusia dengan tuhan Yahudi

Hukum Hansen :  Nama istilah migrasi, yakni, apa yang 

ingin dilupakan oleh anak-anak, justru 

ingin dingat oleh cucu-cucu

Ibrani :  Yang suka menyeberang sungai Eufrat, 

Tigris di Palestina 

Ikon :  Imaji sakral, patung atau gambar orang 

suci 

Institusi : Pranata, berupa lembaga keagamaan, 

pe muka agama, maupun pelbagai ben-

tuk penetrasi sosial; suatu sistem 

norma khusus yang menata serangkaian 

tindakan berpola mantap guna memenuhi 

keperluan khusus dari manusia dalam 

kehidupan masyarakat

Israel :  Hamba (Isra) tuhan (Eal); dahulu beriman 

kemudian kembali kepada kepercayaan 

non-Tauhid

Israel Zangwill : Imigran Yahudi di Amerika yang mem-

populerkan istilah etnis-sosiologis periuk 

pelebur atau Melting Pot

194 • 

:


Kabbalah : Kelompok Yahudi dengan kepercayaan 

terhadap keberadaan Tuhan dengan pro-

ses emanasi; Cerita lisan dari generasi ke 

generasi, utamanya sejak abad ke-11

Kahal :  kekuasaan dan protektorat, badan pe nga-

tur lokal mantan komunitas Yahudi Eropa 

Kahin :  Pendeta Yahudi

Kohen :  Pemuka agama dalam ritual Yahudi

Konservatif :  kelompok Yahudi dengan pandangan lebih 

longgar terhadap doktrin Yahudi, namun 

tetap menjalani pedoman doktrinnya

Liturgi :  Segala sesuatu berkait dengan peribadatan 

agama

Lutheran : Sekte Kristen, pengikut Martin Luther 

(1483-1546), sebagai contoh dengan 

aspek numinous yang destruktif

Mashiah : Raja atau juru selamat yang dinanti-

nantikan akan muncul untuk mendirikan 

maa depan baru di Israel 

Menorah :  Tempat lilin bercabang tujuh

Mezuzah :  Kotak kecil berisi potongan tertentu dari 

kitab Yahudi, ditempatkan di pintu rumah

Mikrokosmos : Jagad kecil, dunia partikular, bersifat 

terbatas, dianggap sebagai bagian dari 

sistem jagad raya yang tertata

Mitos : Kisah berciri sakral berkait erat dengan 

ritus keagamaan 

195

:


Mohel : Seseorang Yahudi mempunyai keahlian 

menyunat

Monoteisme : Doktrin kesungguhan Yahudi dalam kon-

teks satu tuhan dalam ketuhanan Yahudi

Narasi : Bentuk penceritaan, sebagai isi literer 

mitos

Naturei Karta :  Kelompok Yahudi penentang Zionisme 

dan pembentukan negara Israel

Numinus :  Spirit (Numen—bahasa Latin); kekuasaan 

tak kasat mata yang mendorong perasaan 

takut ddan merasakan kuasa

Ortodoks : Kelompok Yahudi yang merujuk ketat 

doktrin Yahudi

Paradoksal :  Pernyataan yang sepintas lalu berlawanan 

dengan pandangan umum

Parisi :  Dengan pandangan Filsafat, golongan ini 

memakainya untuk interpretasi terhadap 

Talmud

Passover :  Upacara memperingati peristiwa eksodus 

bangsa Yahudi dari Mesir

Pentakosta :  Bentuk ritual panen pertama

Pogrom :  Pembunuhan yang direncanakan ter-

hadap orang Yahudi 

Praktek :  Salah satu dimensi agama yang mene-

kankan tindakan, perbuatan 

Rabbi :  Pemuka agama Yahudi

Reformasi : Kelompok Yahudi yang membebaskan 

doktrin Yahudi dengan kecenderungan 

196 • 

:


adopsi ajaran Kristen

Ritual :  Ritus sebagai bentuk pelaksanaan upacara 

keagamaan untuk penjabaran perasaan 

mendalam yang menghubungkan realitas 

tak kasat mata 

Robbaniyun : Kelompok dengan interpretasi Talmud 

secara sepenuhnya

Saduki :  Berdasar otoritas pemuka agama Yahudi 

dengan interpretasi Talmud sebagaimana 

halnya Robbaniyun

Samuel :  Nabi dan hakim Israel

Samura : Kelompok Yahudi yang menekankan 

pembahasan otentisitas Talmud

Sifir :  Nama lain Perjanjian Lama atau the Old 

Testament

Sinai : Nama gunung tempat tinggal Yahweh, 

tuhan Yahudi

Sirkumsisi :  Ritual sunat; Ritus keagamaan pada anak-

anak Yahudi

Sekuler : Cenderung memakai aspek non agama; 

non spiritual maupun relijius 

Taurat :  Segenap hukum terdiri dari 600 aturan, 

utamanya untuk kerangka kehidupan 

kaum Ortodoks, yakni, dipercayai me-

ngacu pada Pentateuch, yang terdiri dari 

Hukum lisan maupun tertulis 

Talmud : Teks utama tradisi Yahudi, ditulisan 

dalam bahasa Aramaik, berisi ajaran serta 

197

:


hukum Yahudi

Unitarian : Gerakan keagamaan yang tumbuh dari 

Calvinisme yang mengkritik doktrin 

Trinitas, dengan meyakini bahwa Tuhan 

identik dengan satu person.

Worldview :  Pandangan dunia

Yahweh :  Tuhan utama Yahudi

Yehuda : Putra ke-4 dari 12 putra nabi Ya’kub, 

dimana istilah Yahudi dipercayai dapat 

dilacak

Yiddish :  Bahasa dialek Polandia

Zionisme : Gerakan Yahudi seluruh dunia yang 

bermuara pada pendirian dan pem-

bangunan negara Israel; gerakan politik 

demi status negara Israel sebagai Negara 

agama dan politis orang Yahudi.


199

PERAYAAN DAN RITUS YAHUDI

Beberapa perayaan dalam wujud festival dan 

peringatan berikut menggambarkan situasi menyenangkan 

dan menyedihkan yang dialami oleh Yahudi. Dalam 

penjelasan perayaan ini ditemukan pengalaman masa lalu 

terkait pengembaraan Yahudi sebelum sampai di tanah 

Palestina. Selain itu, terdapat momen kepedihan dimana 

Yahudi mengalami penderitaan seperti ketika terlepas dari 

perbudakan di Mesir, penyerangan Babilonia dan Romawi 

pada masa lalu, serta pemusnahan Yahudi, pada masa 

belakangan, oleh Nazi.222 

Musim Semi

Terdapat tiga peringatan penting pada musim Semi, 

yakni Perayaan “Passover”, pada tanggal 11-15 bulan 

Nisan, untuk memperingati hari pembebasan bangsa 

Yahudi dari Perbudakan di Mesir serta peringatan hari 

kemerdekaan Israel pada tanggal 5 bulan Iyyar. Umat 

Yahudi merayakan “Shavuot” pada tanggal 6 – 7 bulan 

222 Dan Cohn-Sherbok, Judaism-Religions of the World 

(London: Routledge, 2003), hlm. 120-121.

200 • 

:


Shivan, untuk memperingati penerimaan hukum kepada 

Moses di Gunung Sinai.

Pada musim Semi terdapat pelbagai perayaan dan 

peringatan Yahudi, di antaranya yaitu : perayaan tahun 

Baru “Rosh Hosanah”, dimana Yahudi memperingatinya 

dengan penyesalan terhadap dosa, pada tanggal 1-2 bulan 

Tishri. Pada tanggal 10 bulan Tishri, diperingati “Yom 

Kippur”, hari Penebusan, yakni, dilaksanakan sembahyang 

dan puasa untuk menebus dosa. 

 Untuk mengenang masa pengembaraan di 

negeri asing, sebelum sampai di Palestina, umat Yahudi 

memperingati “Sukkot” pada tanggal 15-21 bulan Tishri, 

dengan tinggal di kemah, seperti halnya ketika dahulu 

membawa “tabernacle” atau tenda khas Yahudi. Pada 

hari bersamaan dengan peringatan “Sukkot”, umat Yahudi 

membaca Torah dalam peringatan “Simhat Torah”, ditandai 

dengan pembacaan paling akhir dari Torah, untuk kemudian 

memulai bacaan yang baru.

Musim Panas

 Umat Yahudi memperingati penyerangan kota 

Yerusalem oleh Babilonia pada 586 SM serta oleh bangsa 

Romawi pada 70 M, dengan melaksanakan puasa “Tammuz”, 

pada tanggal 17 bulan Tammuz. Berikutnya pada tanggal 9 

bulan Av, mereka berkabung memperingati penghancuran 

Kuil Yerusalem oleh Babilonia dan Romawi dengan ritus 

“Tishah B’Av”.

201

:


Musim Dingin

Pada musim ini, pada tanggal 25 bulan Kislev sampai 

tanggal 3 bulan Tevlet, diadakan perayaan “Hanukkah”, 

yakni, memperingati kekalahan Raja Yunani oleh Judas 

Maccabeus. Sedangkan pada hari berikutnya, tepat pada 

tanggal 10 bulan Tevet, umat Yahudi mengingat kembali 

penyerangan Babilonia serta para korban tragedi Holocaust 

oleh Nazi. Perayaan “Purim” diadakan untuk mengenang 

kegagalan rencana penganiayaan Yahudi Persia, seperti 

tercantum di kitab Esther.