Manusia diciptakan dengan berpasang-pasangan pria dan wanita
yang secara kodrati imemiliki peran sebagai makhluk pribadi dan juga
makhluk sosial. Dalam kehidupannya sebagai makhluk sosial manusia
yang satu tidak bias terlepas dari manusia yang lain dalam arti manusia
selalu membutuhkan manusia yang lain atau lazim disebut dengan
sosialisasi.Keterkaitan ini terjalin dalam satu bentuk keluarga yang
diikat dengan tali perkawinan.
Al-Quran menyebutkan bahwa, perkawinan yaitu kebahagian
(sakinah). Dari perkawinan ini diharapkan akan dapat terbentuknya
keluarga yang terdiri dari suami dan istri dalam rangka mendapatkan
keturunan, ketentraman dan kedamaian. 1
Perkawinan juga merupakan
iktan batin seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasar Tuhan Yang
Maha Esa. Dalam Islam Perkawinan masuk ke dalam kategori
ibadah.2Dengan demikian inti dari suatu perkawinan sebetulnya yaitu
membangun keluarga yang bahagia, harmonis dan tentram.Landasannya
ialah saling mencintai dan saling kasih mengasihi dalam keluarga
hendaknya saling asih, asah dan asuh dan saling menerima.
Didalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 bahwa tujuan
perkawinan yaitu membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan yang Maha Esa dalam surah ar-Rum
[30]: 21 :
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya
kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang.Sesungguhya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berpikir”.3
Namun dalam membina keluarga terkadang pasangan suami istri
belum imemiliki landasan pondasi yang kuat, sehingga terjadi ketidak
harmonisan pasangan suami isteri dalam ruamah tangga. Salah satu
penyebabnya yaitu perkawinan yang dilangsungkan di usia yang sangat
muda atau Early Age Marriage. Pernikahan dini yang terjadi pada akhirakhir ini karena kebiasaan mengarah kepada pergaulan bebas atau free
sex yang memicu perzinahan korbannya kebayakan yaitu kaum
muda. Pro dan kontra di warga kita bermunculan terhadap Early
Age Marriage, ada yang mendukung dan ada juga yang menolaknya. Ada
dua istilah yang dikatakan menurut Muh. Fayzi Adhim yang sering
dipakai ketika berbicara tentang perceraian yang berlangsung pada
rentang 20-25 tahun yakni “Early marriage” (pernikahan dini) dan “age
marriage”(pernikahan usia muda).4
Menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
dalam pasal 6 ayat(2) menyebutkan bahwa: “Untuk melangsungkan
perkawinan seseorang yang belum mencpai umur 21 tahun harus
mendapat izin kedua orang tua”.Pasal 7 ayat 1 menyatakan bahwa:
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai usia 19
tahun”. Ayat (2)menyatakan bahwa: “Dalam hal penyimpangan terhadap
ayat 1 pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita
sudah mencapai umur 16 tahun”.5
Sedangkan menurut dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 15 ayat (2) menyatakan bahwa: bagi calon
mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin
sebagaimana yang diatur dalam pasal ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1
Tahun 1974.
6
Dari penjelasan diatas menurut UU Perkawinan No 1 tahun 1974
dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini dapat dilihat bahwa wanita yang
kawin dalam usia16 tahun sah secara hukum dengan syarat memperoleh
izin dari orang tuanya dan harus meminta dispensasi kepada pengadilan
dan laki-laki haru mencapau usia 19 tahun. Jika seorang gadis kawin
ketika berumur 16 tahun dia baru sempat belajar sampai sekolah lanjutan
tingkat pertama kebayakan putus sekolah, padahal pendidikan untuk
wanita sama pentingnya terhadap pria, pendidikan pada anak-anak sangat
bergantung kepada kesempurnaan pendidikan sang ibu. Pernikahan dini (Early Age Marriage)merupakan salah satu istilah
yang dibentuk dari dua kata, yaitu kata „pernikahan‟ dan kata „dini‟.
Kata pernikahan dalam bahasa Indonesia yaitu kata benda (nomina) yang merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu nakaha, yankihu,
nikahan7
. Selain itu nikah menurut bahasa al-jam’u dan al-dhamu yang
artinya kumpul.8Makna nikah (Zawâj) bisa diartikan dengan aqdu altazwîj yang artinya akad nikah. Definisi yang hampir sama dengan diatas
dikemukan oleh Rahmad Hakim, bahwa kata nikah berasal dari bahasa
Arab “nikâhun” yang merupak masdar atau asal kata kata kerja (fi’il
mâdhi)“nikaha”, sinonimnya “tazawwaja” kemudian diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan. 9
Menurut dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nikah
(pernikahan atau perkawinan yaitu perjanjian antara laki-laki dan
perempuan untuk bersuami istri (dengan resmi). 10Sedangkan kata “dini”
yaitu kata sifat yang artinya yaitu awal sekali, pagi sekali, sebelum
waktunya.11Mengenai definisi atau konsep Early Age Marriage setelah
penulis teliti dari beberapa literatur yang ada dan beberapa pendapat ahli
ternyata konsepnya berbeda-beda. Beberapa konsep Early Age Marriage
yang penulis kemukakan sebagai berikut: Menurut Sri Rahayu
Hadiutomo, “usia muda atau remaja secara global dimulai sejak umur 12
tahun dan berakhir usia 21 tahun” dan menurut Muhammad Fauzhil
Addhim memaknai Early Age Marriage yakni pernikahan yang dilakukan
dimasa perkuliahan atau pernikahan remaja. 12
Jika pernikahan dini dimaknai dengan pernikahan dalam usia
remaja maka yang termasuk pernikahan dini yaitu pernikahan yang
dilakukan pasangan yang berusia 11 sampai 24 tahun dengan
pertimbangan sebagai berikut :
13
1) Usia 11 tahun yaitu usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual
sekunder mulai Nampak (kriteria fisik).
2) Umumnya warga Indonesia yang berumur 11 tahun sudah
dianggap baliqh baik menurut adat maupun menurut agama sehingga
warga tidak memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria
sosial). Pada usia ini mulai ada tanda-tanda penyempurnaan
perkembangan jiwa.
3) Pada usia 24 tahun merupakan batasan maksimum untuk member
kesempatan mereka mengembangkan jiwa setelah sebelumnya masih
bertanggung dengan orang tua.
Usia dini juga dilihat dalam kitab-kitab fiqih baru dengan istilah
Az-Zawâj Al-Mubakkir.
14 Karena istilah ini mengandung pengertian
“hamil”, jika tidak terjadi indikasi-indikasi ini , maka baligh atau
balighah ditentukan berdasar usia. Abu Hanifah berpendapat bahwa
usiabaligh bagi laki-laki yaitu 18 tahun dan untuk perempuan 17 tahun.
Sementara Abu YusufMuhammad bin Hasan bin As-Syafi‟i berpendapat
bahwa usia 15 tahun baik untuk laki-laki dan perempuan.15 Sedangkan
batas batas usia nikah ini dapat dilihat dalam pasal 7 ayat (1) UndangUndang No. 7 tahun 1974 yaitu perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria telah mencapai 19 tahun dan pihak wanita 16 tahun.
Dari penjelasan diatas bahwa pernikahan yang dilakukan diusiamuda
atau bawah umur yaitu melanggar Undang-Undang Perkawinan.
Konsekuensinya perkawinan ini tidak tercatat, perkawinan yang
tidak dicatatkan yaitu perkawinan di bawah umur pernikahan di bawah
tangan dan tidak dianggap tidak imemiliki kekuatan hukum menurut
undang-undang.Artinya, menurut hukum Negara perkawinan ini
dianggap tidak ada.Terkecuali sebelum perkawinan dilaksanankan telah
terlebih dahulu mendapatkan dispensasi dari Pengadilan Agama bagi
agama Islam dan Pengadilan Negeri bagi Non Islam.
Dari uraian di atas penulisdapat memahami bahwa batasan
usiaEarly Age Marriage sangat variatif. Bahwa Early Age Marriage
yaitu pernikahan yang dilakukan dibawah 15 tahun, sebagian
berpendapat di bawah 17 atau 18 tahun dan yang lain berpendapat
dibawah 20-an tahun dan sebagain lagi dibawah 24 tahun. Namun jika
dikaitkan dengan Undang-Undang Perkawinan maka yang termasuk Early Age Marriage atau di bawah umur yaitu pernikahan yang
dilakukan pasangan 19 tahun, 19 tahun bagi suami dan di bawah 16
tahun bagi istri.
2. Early Age MarriageMenurutUndang-Undang Perkawinan No. 1
Tahun 1974
Kalau kita amati dan cermati tentang Early Age Marriage
(pernikahan dini) sebenarnya ada kaitannya dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
peraturan pemerintahan nomor 9 tahun 1975, pelaksanaan UndangUndang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Instruksi Menteri
dalam Negeri Nomor 27 tahun 1983 tentang batas usia perkawinan dalam
rangka mendukung program kependudukan dan keluarga berencana.16
Dengan demikian di Negara Indonesia ini sudah ada acuan atau
landasa dalam pelaksanaan perkawinan.Dalam Undang-Undang ini sudah
disebutkan prinsip-prinsip atau asas-asas tentangperkawinan. Adapun
asal dan prinsip-prinsip perkawinan yaitu sebagai berikut :
17
1) Tujuan perkawinan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal,
untuk itu suami istri masing-masing perlu saling membantu dan
melengkapi agar dapat mengembangkan kepribadiannya dalam
mencapai kesejahteraan spiritual dan material berdasar Ketuhanan
Yang Maha Esa.
2) Bahwasanya perkawinan yaitu sah Jika dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan keyakinan.
3) Bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
4) Asas perkawinanyaitu monogami, kecuali bagi suami yang agamanya
memperbolehkan kawin lebih dari satu tetapi tetap dengan seizin
pengadilan.
5) Perkawinan harus atas persetujuan kedua belah pihak tanpa adanya
paksaan.
6) Calon suami dan calon istri haruslah masak jiwa dan raganya.
Berhubungan dengan itu, maka Undang-Undang ini menentukan batas
umur untuk kawin, yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita.
7) Hak dan kewajiban serta kedudukan suami dan istri yaitu seimbang.
Early Age Marriage (Perkawinan dini) yaitu perkawinan yang
dilaksanakan pada usia di bawah 19 tahun bagi pria dan dibawah 16
tahun bagi wanita. Dijelaskan adapun syarat-syarat perkawinan pada
pasal (6) Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 yaitu sebagai
berikut :
18
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin orang tua.
Pada kenyataannya dilingkungan warga pernikahan dibawah
umurkerap terjadi, diantara penyebabnya yaitu pengaruh pergaulan
bebas atau free sex antara pria dan wanita yang masih remaja
memicu terjadinya Early Age Marriage (pernikahan dini) dan
menganggappernikahan merupakan jalan keluar terbaik. Ada penyebab
lain yakni orang tua yang merasa tidak mampu lagi membiayai anak
mereka dan inginmelepaskan tanggung jawab dengan menikahkan
anaknya. Akibat dari semua itu maka tidak jarang perkawinan ini
tidak mencapai tujuan yang dikehendaki dan akan memicu
terjadinya perceraian.
3. Early Age Marriage Menurut Analisis Konsep Hukum Islam
Pernikahan dalam Islam merupakan sunatullah yang sangat
dianjurkan karena perkawinan merupakan carayang dipilih Allah Swt
untuk melestarikan kehidupan manusia dalam mencapai kemaslahatan
dan kebahagian hidup.Perkawinan merupakan salah satu perintah agama
kepada orang laki-laki dan perempuan yang mampu dalam hal ini yang
disapa yaitu generasi muda (al-syabab)yang siap dan cukup umur untuk
menjalankan segera melaksanakannya. 19Jadi hidup bekeluarga dalam
Islam harus diawali dengan pernikahan yang terbentuk dari pasangan laki-laki dan perempuan dalam memjamin kehidupan rumahtangga
disahkan melalui perjanjian yang kokoh dengan akad nikah.
Perkawinan yaitu merupakan akad yang memberikan faedah
kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan
wanita dan mengadakan tolong-menolong serta memberi batasan hak
bagi pemiliknya dan memberikan pemenuhan kewajiban masingmasing.20Jika perkawinan dipahami hanya sebagai ikatan atau
kontrak keperdataan saja, akan dapat menghilangkan nilai kesucian
perkawinan sebagai bentuk dan instrument ibadah sosial kepada Allah
Swt.
Definisi ini mensyaratkan adanya hak dan kewajiban yang harus
diemban dalam kehidupan rumahtangga.Perkawianan tidak hanya sebatas
melakukan hubungan suami isteri (bersetubuh), melainkan setelah
tejadinya akad masih ada hak dan kewajiban yang harus ditunaikan.
Adapun dasar hukum pernikahan dapat dijumpai dalam al-Quran
dan hadits Nabi Muhammad Saw.Dalam al-Quran, diantaranya yang
membicarakan tentang perkawinan yaitu QS.An Nuur [24]: 32 sebagai
berikut:
Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin
Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha
Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui”.
21
Menurut ayat diatas,Allah swt menjadikan isteri-isteri untuk
manusia dengan tujuan agar mendapatkan cinta dan kasih sayang serta
keturunan sebagai generasi penerus.Dalam hal ini, dapat diperoleh dalam
perkawinan ini sesuai dengan jalan yang telah ditetapkan Allah Swt
yaitu melalui perkawinan yang sah dan diridhai Allah Swt. Dengan
demikian, secara tersirat, penciptaan isteri-isteri itu yaitu sebagi realisasi dan perwujudan dari anjuran perkawinan dengan berbagai
faedah dan tujuan.22
Adapun dasar hukum perkawinan juga dijelaskan dalam hadis
RasulullahSaw:
Artinya :“Telah menceritakan kepada kami 'Abdan dari Abu Hamzah
dari Al A'masy dari Ibrahim dari 'Alqamah berkata; Ketika aku
sedang berjalan bersama 'Abdullah radliallahu 'anhu, dia
berkata: Kami pernah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam
yang ketika itu Beliau bersabda: "Barangsiapa yang sudah
mampu (menafkahi keluarga), hendaklah dia kawin (menikah)
karena menikah itu lebih bisa menundukkan pandangan dan lebih
bisa menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak sanggup
(manikah) maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu akan
menjadi benteng baginya".(Bukhari-1772).23
Dari penjelasan hadis diatas Rasulullah Saw memerintahkan untuk
melangsungkan perkawian dengan syarat “kemampuan” yang bisa
dipahami sebagai kesiapan secara fisik dan psikis untuk melaksanakan
tanggung jawab dan tugas-tugas dalam rumah tangga. Kemampuan ini
pada umumnya hanya dapat dilakukan orang yang telah dewasa.
Perkawinan dianjurkan dan diatur dalam Islam karenan ia memiliki
tujuan yang mulia. Secara umum,perkawianan antara pria dimaksudkan
sebagai upaya memelihara kehormatan diri (hîfz al’ird) agar mereka
tidak terjerumus ke dalam perbuatan terlarang, memelihara kelangsungan
kehidupan manusia atau keturunan (hîfz an nâsl) yang sehat mendirikan kehidupan rumahtangga yang dipenuhi kasih sayang antara suami dan
isteri serta saling membantu antara kedua untuk kemaslahatan bersama. 24
Menurut Imam al-Ghazali, tujuan perkawinan antara lain :
25
a. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
b. Memenuhihajatmanusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan
kasih sayang.
c. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggungjawab menjalankan
kewajiban dan menerima hak, juga bersungguh-sungguh untuk
memperoleh harta kekayaan yang kekal
e. Menyambung rumahtangga untuk membentuk warga yang
tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Menanggapi isi kandungan al-Quran surah an-Nuur ayat 32 dan
Hadis Rasulullah Saw diatas. Kata salihîn dipahami oleh banyak ulama
dalam arti “yang layak kawin” yakni yang mampu secara mental dan
spiritual untuk membina rumahtangga. Begitu pula dengan hadits
Rasulullah Saw, yang menganjurkan kepada para pemuda untuk
melangsungkan perkawinan dengan syarat adanya kemampuan dan
pernyataanImam al-Ghazali juga menyarankan kepada manusia untuk
melangsungkan pernikahan haruslah siap lahir dan batin supaya tidak
melanggar syariat Islam tentang perkawinan.
Usia dewasa dalam fiqh ditentukan dengan tanda-tanda bersifat
jasmani yaitu tanda-tanda baligh secara umum antara lain, sempurnanya
umur 15 (lima belas) tahun bagi pria, ihtilâm bagi pria dan haid pada
wanita minimal pada umur 9 (Sembilan ) tahun. 26 Dengan dipenuhinya
kriteria baliqh maka telah memungkinkan seseorang melangsungkan
perkawinan.27Sehingga kedewasaan seseorang dalam Islam sering
diidentikkan dengan baliqh.
Ditinjau dari segi biologis pada anak, bahwa Jika terjadi
percepatan pada perkembangan jasmani, sehingga pada usia yang biasanya seseorang telah mengeluarkan air mani bagi pria atau
mengeluarkan darah haid bagi wanita tetapi orang ini mengeluarkan
tanda-tandan kedewasan itu kalau dipaksakan untuk kawin dalam arti
ukuran dewasa yang di ukur dengan kriteria baligh ini bersifat kaku
artinya, jika secara kasuistik memang sangat mendesak kedua calon
mempelai dikawinkan akan menimbulkan mudharat karena usianya
sama-sama terlalu muda.
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batas umur bagi
orang yang dianggap baliqh.Ulama Syafi‟iayah dan Hambali menyatakan
bahwa anak laki-laki dan anak perempuan dianggap baliqh Jika telah
menginjak 15 tahun.Ulama Hanafiyyah menetapkan usia seseorang
dianggap baliqh yaitu anak laki-laki dianggap baliqh bila berusia 18
tahun dan 17 tahun bagi anak perempuan. Sedangkan ulama dari
golongan Imamiyyah menyatakan bahwa anak laki-laki dianggapbaliqh
bila berusaha 15 tahun dan perempuan 9 tahun bagi anak perempuan. 28
Melihat dari penjelasan dari para ulama fiqh bahwa, anak
perempuan yang berusia 9 tahun, maka terdapat dua pendapat yaitu:
29
a. Imam Malik, Imam Syafi‟i dan Imam Abu Hanifah mengataka bahwa
anak perempuan yang berusia 9 tahun hukumnya sama seperti anak
berusia 8 tahun sehingga dianggap belum baliqh.
b. Dianggap telah baliqh karena telah memungkinkan untuk haid
sehingga diperbolehkan melangsungkan perkawinan meskipun tidak
ada hak khiyarbaginya sebagaimana dimiliki oleh wanita dewasa.
Mengingat, perkawinan merupakan akad atau perjanjian yang sangat
kuat (mîtâqan galî galîdan) yang menuntut setiap orang yang berkaitan di
dalamnya untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing dengan
penuh keadilan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan. 30 Perkawinan
sebagai salah satu bentuk dalam pembebanan hukum tidak cukup hanya
dengan mensyaratkan baliq saja. Pembebanan hukum (taklifi) didasarkan
pada akal (aqil, mumayyi),baligh dan pemahaman.
Menurut Yusuf Hanafi, isu perkawinan anak dibawah umur juga
bersinggungan dengan ranah agama, sebab praktik tradisi yang masih
berkecambah luas, khususnya di basis-basis kaum santri tradisional itu,
disinyalir kuat bermotif “teologis”. Artinya, praktik tradisi ini
terpupuk dan menjadi lestari, karena justifikasi dari teks-teks agama.
Dalam Islam, perkawinan legendaris Nabi Muhammad Saw dengan
„Aisyah ra.yang masih kanak-kanak itu hampir selalu dijadikan sebagai
referensi legalitasnya.Tidak mengherankan, fikih klasik tidak
menetapkan basa usia minimum bagi laki-laki dan perempuan untuk
melangsungkan perkawinan. Bahkan wacana perkawinan anak-anak
(nikah al-sâghirah) justru bekonotasi positif, jika hal ini dilakukan
atas pertimbangan kemaslahatan moral dan agama. 31
Menurut penulis, para ulama fiqih klasik dan kontemporer ada yang
berdalih bahwa kawin muda merupakan tuntunan Nabi Muhammad Saw
yang patut ditiru. Pendapat ini sama sekali tidak benar karena Nabi
Muhammad Saw tidak pernah mendorong dan mengajukan untuk
melakukan pernikahan dibawah umur. Akad pernikahan antara Rasul
dengan Siti Aisyah ra.yang kala itu baru berusia sekitar 10 tahun tidak
bisa dijadikan sandaran dan dasar pegangan usia perkawinan dengan
alasan sebagai barikut:
Pertama, Perkawinan itu merupakan perintah Allah Saw
sebagaimana sabda: “Engaku telah diperlihatkan pada ku di dalam mimpi
sebanyak dua kali seorang laki-laki membawamu dalam balutan kain
sutera seraya berkata, „ini yaitu isterimu‟. Maka aku pun berkata, „jika
ini dari Allah Saw niscaya Dia akan menjadikannya kenyataan”. 32
Kedua, Rasulullah sendiri sebenarnya tidak berniat berumah tangga
kalaulah bukan karena desakan para sahabat lain yang diwakili Sayidah
Khawlah binti Hakim yang masih merupakan kerabat Rasulullah Saw,
dimana mereka melihat betapa Rasulullah Saw setelah wafatnya Sayidah
Khadijah, isteri tercintanya sangat membutuhkan pendamping dalam
mengemban dakwah Islam.
Ketiga, Perkawinan Rasulullah Saw dengan Siti Aisyah imemiliki
hikmah penting dalam dakwah dan pengembangan ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam berbagai aspek kehidupan khususnya yang
berkaitan dengan masalah keperempuanan yang banyak para kaum
perempuan bertanya kepada Rasulullah melalui Siti Aisyah ra.
Keempat, Dikarenan kecakapan dan kecerdasan Siti Aisyah
sehingga ia menjadi gudang dan sumber ilmu pengetahuan sepanjang
zaman sebagai isteri pilihan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw.
Dari keempat alasan penulismemberikan pemahaman dalam
menjalankan pernikahan haruslah siap secara fisik maupun psikis
sehingga tidak timbul adanya asumsi buruk dan negatif dalam
warga .Dalam pernikahan Rasulullah Saw dan Siti Aisyah ra.
jadikanlah itu sebagai suatu pelajaran dalam sejarah Islam yang
imemiliki hikmah yang penting perlu diketahui.
4. Analisi Perbandingan Batasan MinimalPernikahan Menurut
Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan di
Indonesiadan Konsep Hukum Islam
Masalah penentuan usia dalam Undang-Undang Perkawinan
maupun dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), memang bersifat
ijtihâdiyah, sebagi usaha pembaharuan pemikiran fikih yang dirumuskan
ulama terdahulu. Namun demikian, Jika dilacak referensi syar’inya
imemiliki landasan kuat. Misalnya isyarat Allah Saw dalam surah alNisâ‟ [4]: 9:
o
Artinya: “Dan hendaklah takut kepada allah orang-orang yang
seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang
lemah, yang mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan)
mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.33
Ayat ini memberikan petunjuk bersifat umum, tidak secara
langsung menunjukkan bahwa perkawinan yang dilakukan oleh pasangan
usia muda di bawah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan akan menghasilkan keturunan yang dikhawatirkan kesejahteraannya. Akan tetapi berdasar pengamatan
dilapangan dan berbagai pihak penulis menyatakan rendahnya usia
kawin, lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi
dan tujuan perkawinan yaitu terwujudnya ketentraman dalam
rumahtangga berdasar kasih sayang.Tujuan ini tentu akan sulit
terwujud, menurut Ahmad Rofiq:34
“Jika masing-masing mempelai belum masak jiwa dan
raganya.Kematangan dan integritas pribadi yang stabil akan sangat
berpengarug di dalam menyelesaikan setiap problema yang muncul
dalam menghadapi liku-liku dan badai rumah tangga yang
menyebabkan banyaknya perceraian cendrung didominasi karena
akibat perkawinan dalam usia muda”.
Dasar pemikiran tidak adanya batas umur pasangan yang akan
kawin itu kiranya sesuai dengan pandangan umat ketika itu tentang
hakikat perkawinan. Menurut pemakalah pendangan mereka perkawinaan
itu tidak dilihat dari segi hubungan kelamin, tetapi dari segi dampak
pengaruhnya dalam menciptakan hubungan yang harmonis. Secara
metodologis, langkah penentuan usia kawin didasarkan kepada metode
marshlahat mursalah.
Adapun hadis Nabi yaitu hadis dari Abdullah ibn Masud muttafaq
alaih yang bunyinya:
Artinya :“Wahai para pemuda siapa di antaramu telah imemiliki
kemampuan dalam persiapan, maka kawinlah”.
Batas usia dewas sebagai mana dapat dipahami dari ayat al-Quran
dan Hadis Rasulullah Saw ini diatas secara jelas diatur dalam
Undang-Undang Perkawinan pada Pasal 7 dengan rumusan sebagai
berikut :
36
1) Perkawinan hanya di izinkan jika pihak pria sudah mencapai 19 tahun
dan pihak wanita sudah mencapi umur 16 tahun 2) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meninta
dispensasi kepada pengadialan atau pejabat yang ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria maupun wanita.
Bedanya jika kurang dari 19 tahun yang diperlukan izin orang tua
dan jika kurang dari 16 tahun perlu dispensasi pengadilan.Ini dikuatkan
pasal 15 ayat 2, dalam Komplikasi Hukum Islam.
Adapun prosedur untuk mendapatkan dispensasi dimaksud dapat
dilihat dalam peraturan Mentri Agama Nomor 3 Tahun 1975 Pasal (13),
yang diatur sebagai berikut:
37
(1) Jika seseorang calon suami belum mencapai umur 19 tahun dan
calon isteri belum mencapai umur 16 tahun hendak melangsungkan
pernikahan harus mendapat dipensasi dari Pengadilan Agama.
(2) Permohonan dipensasi nikah bagi mereka ini pada ayat (1),
diajukan oleh kedua orang tua pria maupun wanita kepada
pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya.
(3) Pengadilan Agama setelah memeriksa dalam persidangan dan
berkeyakinan bahwa terdapat hal-hal yang memungkinkan untuk
memberikan dispensasi ini , maka Pengadilan Agama
memberikan dispensasi nikah dengan satu penetapan.
(4) Salinan penetapan itu dibuat dan diberikan kepada permohonan
untuk memenuhi persyaratan melangsungkan pernikahan.
Kompilasi Hukum Islam mempertegas persyaratan yang terdapat
dalam Undang-Undang Perkawianan dengan rumusan sebagai berikut:
Untuk kemaslahatan keluarga dan ruamahtangga, perkawinan hanya
boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang di
tetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yakni calon
suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurangkurangnya berumur 16 tahun.38
Seperti penjelasan persyaratan diatas penulis mengatakan dalam alQuran maupun hadits Rasulullah Saw serta Undang-Undang Pernikahan
ini untuk melangsungkan perkawinan, yaitu kemampuan persiapan untuk
kawin.Kemampuan dan persiapan untuk kawin ini hanya dapat terjadi
bagi orang yang sudah dewasa.Dalam salah satu persyaratan pasangan yang akan melangsungkan perkawinan ini di atas terdapat
keharusan persetujuan kedua belah pihak untuk melangsungkan
perkawinan. Persetujuan dan kerelaan itu tidak akan timbul dari
seseorang yang masih kecil hal itu mengandung berarti bahwa pasangan
yang diminta persetujuannya itu haruslah sudah dewasa.
Menurut Muhammad Yusuf Hanifah, pada pidatonya pengukuhan
pada 19 September 1978 seperti yang dikutip oleh Bety, dari sudut
ginealogi, wanita kawin pada usia muda atau usia belasan tahun
sebenarnya menimbulakan beberapa kerugian, diantaranya : 39
1) Pada usia 16 tahun seorang wanita sedang mengalami pubertas yaitu
masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa, malahan ada diantara
mereka yang baru pertama kali mendapat haid. Walaupun usia dapat
haid rata-rata 12-15 tahun tapi variasinya berbeda, yaitu antara 10-16
tahun. Pada masa pubertas gadis remaja sedang mengalami perubahanperubahan pada fisik dan jiwa, menuju pada seorang dewasa yang
bertanggung jawab, percaya pada diri sendiri, bebas dan ingin berdiri
sendiri. Proses ini memerlukan waktu beberapa tahun hingga cukup
dewasa, sehingga pada usia 16 tahun seseorang wanita sebenarnya
belum siap fisik dan mentalnya untuk menjadi ibu rumah tangga.
2) Kawin pada usia muda (16 tahun) wanita ini paling tinggi baru
memperoleh pendidikan selama 9 tahun (paling tinggi SLTP) dan
sebagai besar putus sekolah setelah berumahtangga. Pendidikan pada
wanita mempengaruhi berbagai hal diantaranya pendidikan anak-anak
dan keberhasilan program KB serta kependudukan.
3) Kawin pada usia muda berarti memberi peluang kepada wanita
belasan tahun untuk menjadi hamil dengan resiko tinggi (high risk
pregnancy) pada kehamilan belasan tahun (teen age pregnancy)
komplikasi-komplikasi pada ibu dan anak seperti anemia,
preaelamasi, eelam, abortus, partus pracmaturus, kematian pranetal,
golongan 20 tahun keatas. Hal ini telah diselidiki oleh para ahli
berbagai Negara yang dilaporkan dalam population report No. 10,
1976.
4) Kawin usia muda berarti memperpanjang reproduksi, menarche masa
kini lebih cepat dari 50 tahun yang lampau. Sedangkan menopause
Maraknya praktek Early Age Marriage di warga ,serta
Undang-Undang yang mengatur juga masih menjadi perdebatan, baik itu
menurut Islam atau hukum Indonesia. Secara pengertian yang di maksud
dengan Early Age Marriage yaitu pernikahan yang usianya kurang dari
batas usia minimal menikah. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan sudah mengatur tentang batas usia
pernikahan.berdasar alasan ini penulis merasa tertarik untuk
mengkaji lebih dalam tentang “Early Age Marriage ditinjau dari UU
Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dan Analisis Konsep Hukum Islam”.
Metode penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library
Research). Sifat penelitian ini deskriptif analitik yaitu tertuju pada
pemecahan masalah pada masa melalui kajian kepustakaan dalam konsep
UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan konsep analisis hukum Islam.
Sedangkan fokus pembahasan ini yaitu 1. Bagaimana Early Age
Marriagemenurut hukum positif Indonesia.2. Bagaimana Early Age
Marriage menurut Konsep Hukum Islam. Untuk kemaslahatan
rumahtangga dalam Islam, perkawinan hanya boleh dilakukan telah
mencapai umur yang di tetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang No.1
Tahun 1974, yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun
dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.
lambat karena faktor kesehatan umumnya. Dengan menunda
perkawinan berahti memperpanjang masa antara dua generasi dan
memperpendek masa reproduksi.
5) Kawin pada usia muda merupakan faktor prediposisi untuk KLR
(Kanker Leher Rahim).
Dilihat dari batas umur penulis menyatakan, bolehnya seseorang
menikah menurut Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang pernikahan
yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita ini tidak
bertentangan dengan trem Early Age Marriage, tetapi akan bertentangan
jika Early Age Marriage dimaksudkan yaitu pernikahan yang
dilagsungkan di usia yang belum mencapai usia 19 tahun bagi pria dan
16 tahun bagi wanita. Ada hal yang menarik dimana sebagai literature
mengklaim pernikahan di usia muda atau young marriage sebagai
penyebab perceraian, studi akan gagal, sering terjadi pertengkaran dan
ekonomi sulit.






